Wednesday 21 December 2011

DI AWAL PERJALANAN

bismillah

Madinah Al Bu'ust, Cairo
Jum'at, 14 Muharrram 1433 H
9 Desember 2011 M

Tidak terasa, sudah 4 hari menginjak bumi para Nabi.
Jauh hari sebelum aku pergi safar ke negeri ini, telah ku persiapkan segala kemungkinan. Hal-hal yang tak kubayangkan mungkin saja terjadi. Jadi memang harus siap untuk kemungkinan terburuk.
Aku tidak berharap muluk-muluk di negeri ini, karena sudah lama banyak orang –utamanya alumni al azhar- yang mewanti-wanti. Sehingga aku benar-benar –memang harus- tawakkal.
Entah terhadap administrasi dan birokrasi yang njelimet, ribet dan ruwet. Mental sudah ku persiapkjan. Jadi, aku tidak shock, ketika mereka janjikan hari Senin, ternyata sepekan kemudian baru terlaksana. Toh kelihatannya hal tersebut sudah biasa. Buktinya kakak kelas di sini tidak pernah mengomel saat ijroat –pendaftaran- asrama tersendat-sendat dan memakan waktu lama, pun harus menelan banyak tenaga untuk mondar-mandir, telpon sana telpon sini.
So, pelajaran amat berharga bagiku untuk berurusan dengan orang Mesir –entah dengan orang Arab d luar Mesir- adalah, "jangan berharap banyak dengan pelayanan mereka".

jazakalloh khoiron, tuk adikku yang sabar dalam menemani hari-hariku di Ibu Kota

Senin malam,5 desember  selepas isya.
Aku bertolak ke bandara Soekarno-Hatta, cengkareng. Setelah beberapa anggota keluarga mengadakan perpisahan sederhana di rumah paman jauhku. Sementara, keluarga intiku, tidak seorangpun yang bisa mengantar hingga bandara. Aku cukup memahami hal itu, mengingat kondisi abi yang tidak memungkinkan untuk banyak beraktifitas selepas kecelakaan yang mencederai otot lehernya.
Aku masih ingat bagaimana ummi tak sanggup membendung air mata, saat melepas kepergianku, seorang diri. Putrid semata wayangnya. Juga wajah abi yang tak berdaya di atas tempat tidur, untuk sekian tahun lamanya, baru kali itu aku bias mencium pipi abi.
Alhamdulillah, aku mampu menyembunyikan kesedihanku –yang amat sangat- atas kondisi itu. Dua teman semasa SMA ikut mengantar, ala kulli hal, Alhamdulillah. Meski begitu, -sekuat tenaga- aku selalu menegangkan otot mataku untuk menahan air mata yang siap membuncah. Syukurlah, tak seorangpun pernah melihatku menangis, meski aku selalu melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Hehe, aku cengeng juga ya…
Bahkan seorang sahabatku, sempat menangis tersedu-sedu mernjelang keberangkatanku, ia katakan, "aku menangis kayak kehilangan pacar…". Untuk keadaan seperti itu, aku selalu menahan jatuhnya air mata. Ugh, itu hal tersulit yang pernah ku lakukan.

Awalnya aku berharap bisa bertemu orang Indonesia yang juga sama-sama safar ke Cairo. Saat check in di bandara, aku harus menelan kecewa. Pun saat menunggu di Gate keberangkatan, ku Tanya beberapa wanita yang juga tengah menunggu. Jawaban mereka sama, "Tujuan kami Kuwait". Huft, memang maskapai yang ku pakai adalah Kuwait Airways. Yang nantinya transit 6 jam di Kuwait. Tapi ternyata semua penumpang –sepertinya- TKW di Kuwait.
Hingga saat berangkatnya pesawat, harapan itu harus ku telan pahit. Tak ada kawan.
Aku berjalan gontai menuju kabin. I'm alone.
Sampai di kursi, aku bertukar tempat duduk dengan seorang kakek berkebangsaan Mesir. Ini penerbangan pertamaku, Jadi tak ingin ku lewatkan pemandangan lewat jendela pesawat.
Aku harus berterimakasih pada banyak orang. Utamanya sahabatku, yang pernah menyuruhku untuk  mengunyah permen karet, agar telingaku tak sakit saat take off. Well, juzita khair ya Naylin…
Jakarta, di atas ketinggian beberapa ribu meter bagai mutiara manikan. Indah dan menawan. Seperti kerlip Kristal yang tak membosankan mata untuk dipandang. Terima kasih Alloh, Kau beri aku setitik nikmatMu yang tak setiap insane mampu meraba kenikmatan malam ini.
Selamat tinggal, INDONESIA…
Mungkin kita takkan berjumpa hingga 4 tahun lamanya…