Tuesday 18 February 2014

Al-Azhar untuk Islam

bismillah

Di bawah ini, adalah terjemah artikel saya, yang dimuat dalam buletin الطيف edisi bulan Februari ^_^


Pada awal didirikannya, al Azhar menjadi tempat pembelajaran mazhab Syiah saja, tepatnya Syiah Ismailiyah. Yang mana mazhab tersebut terkenal dalam mengkultuskan ahlul bait secara berlebihan. Hingga datanglah masa Shalahuddin al Ayyubi, lalu ia merubah pembelajaran di al Azhar menjadi berbasis Sunni. Selain karena belum adanya sekolah yang mengajarkan Sunni saat itu, pendirian sekolah-sekolah Sunni juga bertujuan untuk mengikis pengaruh Syiah yang masih mencengkeram erat, sisa dari pengaruh Dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya.
Shalahuddin yang menganut mazhab Syafii, tidak hanya mendirikan sekolah-sekolah Sunni yang mengajarkan mazhab Syafii saja, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan 3 mazhab fiqih lain yang terkenal dalam Sunni. Yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Saat itu al Azhar menjadi salah satu masjid dan sekolah yang terkenal karena di dalamnya terdapat pembelajaran 4 mazhab tersebut, berbeda dengan sekolah lain yang mayoritas hanya mengajarkan satu atau dua mazhab saja. Demikianlah gambaran singkat perjalanan al Azhar sebagai institusi pendidikan yang tetap mempertahankan fungsinya sebagai media pembelajaran sarjana muslim, meski harus merasakan gejolak politik yang berpengaruh besar dalam perpindahan penguasa Mesir dan khususnya Kairo saat itu.
Seiring berjalannya waktu, bertambah pula jumlah pelajar di al Azhar, baik dari seluruh penjuru Mesir maupun di luar Mesir. Hingga dibuatlah peraturan Ruwaq yang dibentuk pada masa daulah Mamalik Bahriyah dan Syarakisah. Setiap pelajar diberi ruwaq khusus sesuai daerah masing-masing. Nampak jelas kemurahan hati al Azhar dan komitmen institusi ini dalam mendorong pelajarnya untuk menuntut ilmu. Tidak hanya dibebaskan dari biaya belajar, para pelajar juga dibebaskan untuk tinggal selama masa belajar, diberi uang saku bulanan dan juga diterapkan pemberian makanan pokok. Yang mana pendanaannya ditanggung oleh donatur tetap dan juga hasil wakaf yang khusus untuk membiayai al Azhar. Hal ini terus berlangsung pada masa dinasti Utsmani, lalu berlanjut pada masa berkuasanya Muhammad Ali Pasha, hingga pada tahun 1954 Dewan Kementrian Mesir menetapkan pembangunan asrama khusus mahasiswa asing al Azhar sebagai ganti dari sistem Ruwaq yang ada. Awalnya asrama ini bernama Madinah Nashir lil Buuts al Islamiyah, lalu berganti menjadi Madinah al Buuts al Islamiyah yang masih ada hingga saat ini. Tidak terhitung betapa besarnya kontribusi al Azhar dalam menyokong pembelajaran bagi mahasiswa asing sejak satu milenium lamanya.








Berbicara al Azhar, tidak akan terlepas dari prinsip yang dipegang teguh oleh institusi pendidikan ini, yaitu moderatisme. Mantan Mufti Mesir, DR Nasr Farid membenarkan soal keterkaitan moderatisme Al Azhar dengan ketidakberpihakannya dalam aliran atau partai politik tertentu, menjadi salah satu pilar eksistensi Al Azhar. “Karena moderat di sini berarti prinsip untuk menghindari fanatisme dan mengikuti aliran politik tertentu.” Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Islam posisinya lebih tinggi dari politik. Meski begitu Islam tidak terlepas dari politik, baik secara umum maupun khusus. Tetap ada korelasi antara keduanya, di mana Islam menjelaskan metode syar’i yang shahih dalam politik syar’i untuk mengatur rakyat dan negara sesuai al Quran dan Sunnah untuk kemaslahatan bersama.
Adapun dalam masa pergolakan politik yang tengah melanda negeri Mesir saat ini, al Azhar pun turut terkena imbasnya. Institusi pendidikan yang pada dasarnya netral ini pada akhirnya nama besarnya ikut diseret dalam arena perpolitikan. Padahal munculnya aliran dan perpecahan politik tersebut tidak seharusnya serta merta dikaitkan dengan institusi pendidikan manapun. Karena tugas utama yang diemban dari sebuah institusi pendidikan adalah sebagai fasilitator kegiatan pembelajaran di dalamnya. Sementara perilaku dan keputusan pribadi tidak selayaknya mewakili institusi tersebut. Di tengah carut marut perpolitikan negeri ini, muncul pula oknum-oknum yang mengaku mantan mahasiswa al Azhar namun menjatuhkan dan menghina institusi pendidikan ini. Tidak hanya itu, dalam sebuah media cetak lokal dimuat beberapa tulisan oknum yang memandang rendah al Azhar, dikatakan bahwa institusi ini seperti kakek renta yang berhenti di tengah persimpangan jalan. Al azhar tidak mampu melahirkan pembelajaran agama yang membawa pada pembaharuan, tidak pula pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, farmasi dan lain-lain sebagaimana universitas lainnya.
Hal ini cukup mengherankan, karena pernyataan yang merendahkan al Azhar tersebut keluar dari mereka yang mengaku telah belajar bertahun-tahun di bawah al azhar. Di manakah akhlaq seorang murid ketika menghina dan menjelek-jelekkan sekolah dan gurunya? Nampaknya ia tidak memahami akan hakekat asli sebuah institusi pendidikan dengan tugas utamanya sebagai fasilitator pengajaran dan pembelajaran. Ibarat sebuah media dan alat yang dapat memberi manfaat bagi pengguna sesuai apa yang ia butuhkan. Mengkambing hitamkannya adalah sebuah kesalahan, sebagaimana kebodohan tukang kayu yang menyalahkan palu dan kapak karena hasil kerjanya yang tidak memuaskan.
Lewat sejarah, telah terbukti besarnya peran al Azhar di segala lini kehidupan. Dalam kancah perpolitikan misalnya, tidak dapat diperhitungkan perjuangan ulama dan pelajarnya dalam perjuangan menumpas penjajahan di bumi Mesir. Di sisi lain peran al Azhar dalam menyokong pembelajaran ilmiyah tidak dapat dipandang sebelah mata, tidak hanya di Mesir namun ke seluruh penjuru dunia serta tokoh-tokoh yang dilahirkannya. Salah satu contoh bagaimana lembaga ini membawa pembaharuan, adalah pembentukan perundang-undangan di dalamnya dalam beberapa kurun waktu pada akhir abad 19. Di mana saat itu diwakili oleh Muhammad Abduh dengan pembaharuan yang ia bawa dan melahirkan ketentuan dimasukkan pembelajaran ilmu-ilmu modern beserta metode yang disesuaikan. Tidak mau tergilas jaman, pada tahun 1961 dibuatlah undang-Undang yang memutuskan pendirian fakultas Kedokteran, Arsitek, Perindustrian dan sebagainya yang hingga kini masih dapat terasa manfaat yang dihasilkannya.
Masih banyak peran al Azhar yang tak terhitung jumlahnya sejak satu milenium berdirinya. Merupakan kesalahan besar merendahkan dan memandang al Azhar dengan sebelah mata. Terlebih dilakukan oleh mereka yang mengaku telah menimba ilmu di dalamnya.
Sekali lagi, al Azhar adalah fasilitator besar bagi pembelajaran. Ia adalah wasilah yang dapat digunakan untuk menyebarkan Islam melalui pengajaran berbasis al Quran dan Sunnah yang tidak akan terhapus oleh zaman. Adapun konsep dan kurikulum di dalamnya merupakan bentuk dan rancangan ulama dengan jerih payah mereka sebagai manusia yang tak akan mencapai kata sempurna. Mereka telah berusaha agar konsep dan kurikulum yang diberlakukan di dalamnya tidak jumud dan selaras dengan ajaran Islam. Sehingga bila ada kekeliruan di dalamnya, tentu menjadi tanggung jawab ummat Islam bersama-terkhusus alumninya- untuk memperbaiki, bukan menyalahkan dan merendahkan.

Wallohu ta’ala a’lam