bismillah
Di bawah ini, adalah terjemah artikel saya, yang dimuat dalam buletin الطيف edisi bulan Februari ^_^
Di bawah ini, adalah terjemah artikel saya, yang dimuat dalam buletin الطيف edisi bulan Februari ^_^
Pada awal didirikannya, al Azhar menjadi tempat
pembelajaran mazhab Syiah saja, tepatnya Syiah Ismailiyah. Yang mana mazhab
tersebut terkenal dalam mengkultuskan ahlul bait secara berlebihan. Hingga
datanglah masa Shalahuddin al Ayyubi, lalu ia merubah pembelajaran di al Azhar
menjadi berbasis Sunni. Selain karena belum adanya sekolah yang mengajarkan
Sunni saat itu, pendirian sekolah-sekolah Sunni juga bertujuan untuk mengikis
pengaruh Syiah yang masih mencengkeram erat, sisa dari pengaruh Dinasti
Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya.
Shalahuddin yang menganut mazhab Syafii, tidak
hanya mendirikan sekolah-sekolah Sunni yang mengajarkan mazhab Syafii saja,
tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan 3 mazhab fiqih lain yang
terkenal dalam Sunni. Yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Saat itu al Azhar
menjadi salah satu masjid dan sekolah yang terkenal karena di dalamnya terdapat
pembelajaran 4 mazhab tersebut, berbeda dengan sekolah lain yang mayoritas
hanya mengajarkan satu atau dua mazhab saja. Demikianlah gambaran singkat
perjalanan al Azhar sebagai institusi pendidikan yang tetap mempertahankan
fungsinya sebagai media pembelajaran sarjana muslim, meski harus merasakan
gejolak politik yang berpengaruh besar dalam perpindahan penguasa Mesir dan
khususnya Kairo saat itu.
Seiring berjalannya waktu, bertambah pula
jumlah pelajar di al Azhar, baik dari seluruh penjuru Mesir maupun di luar
Mesir. Hingga dibuatlah peraturan Ruwaq yang dibentuk pada masa daulah Mamalik
Bahriyah dan Syarakisah. Setiap pelajar diberi ruwaq khusus sesuai daerah
masing-masing. Nampak jelas kemurahan hati al Azhar dan komitmen institusi ini
dalam mendorong pelajarnya untuk menuntut ilmu. Tidak hanya dibebaskan dari
biaya belajar, para pelajar juga dibebaskan untuk tinggal selama masa belajar,
diberi uang saku bulanan dan juga diterapkan pemberian makanan pokok. Yang mana
pendanaannya ditanggung oleh donatur tetap dan juga hasil wakaf yang khusus
untuk membiayai al Azhar. Hal ini terus berlangsung pada masa dinasti Utsmani,
lalu berlanjut pada masa berkuasanya Muhammad Ali Pasha, hingga pada tahun 1954
Dewan Kementrian Mesir menetapkan pembangunan asrama khusus mahasiswa asing al
Azhar sebagai ganti dari sistem Ruwaq yang ada. Awalnya asrama ini bernama
Madinah Nashir lil Buuts al Islamiyah, lalu berganti menjadi Madinah al Buuts
al Islamiyah yang masih ada hingga saat ini. Tidak terhitung betapa besarnya
kontribusi al Azhar dalam menyokong pembelajaran bagi mahasiswa asing sejak
satu milenium lamanya.
Berbicara al Azhar, tidak akan terlepas dari
prinsip yang dipegang teguh oleh institusi pendidikan ini, yaitu moderatisme. Mantan
Mufti Mesir, DR Nasr Farid membenarkan soal keterkaitan moderatisme Al Azhar
dengan ketidakberpihakannya dalam aliran atau partai politik tertentu, menjadi
salah satu pilar eksistensi Al Azhar. “Karena moderat di sini berarti prinsip
untuk menghindari fanatisme dan mengikuti aliran politik tertentu.” Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Islam posisinya lebih tinggi dari politik. Meski
begitu Islam tidak terlepas dari politik, baik secara umum maupun khusus. Tetap
ada korelasi antara keduanya, di mana Islam menjelaskan metode syar’i yang shahih
dalam politik syar’i untuk mengatur rakyat dan negara sesuai al Quran dan
Sunnah untuk kemaslahatan bersama.
Adapun dalam masa pergolakan politik yang
tengah melanda negeri Mesir saat ini, al Azhar pun turut terkena imbasnya. Institusi
pendidikan yang pada dasarnya netral ini pada akhirnya nama besarnya ikut
diseret dalam arena perpolitikan. Padahal munculnya aliran dan perpecahan
politik tersebut tidak seharusnya serta merta dikaitkan dengan institusi
pendidikan manapun. Karena tugas utama yang diemban dari sebuah institusi
pendidikan adalah sebagai fasilitator kegiatan pembelajaran di dalamnya.
Sementara perilaku dan keputusan pribadi tidak selayaknya mewakili institusi
tersebut. Di tengah carut marut perpolitikan negeri ini, muncul pula
oknum-oknum yang mengaku mantan mahasiswa al Azhar namun menjatuhkan dan
menghina institusi pendidikan ini. Tidak hanya itu, dalam sebuah media cetak lokal
dimuat beberapa tulisan oknum yang memandang rendah al Azhar, dikatakan bahwa
institusi ini seperti kakek renta yang berhenti di tengah persimpangan jalan.
Al azhar tidak mampu melahirkan pembelajaran agama yang membawa pada pembaharuan,
tidak pula pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, farmasi dan lain-lain
sebagaimana universitas lainnya.
Hal ini cukup mengherankan, karena pernyataan
yang merendahkan al Azhar tersebut keluar dari mereka yang mengaku telah
belajar bertahun-tahun di bawah al azhar. Di manakah akhlaq seorang murid
ketika menghina dan menjelek-jelekkan sekolah dan gurunya? Nampaknya ia tidak
memahami akan hakekat asli sebuah institusi pendidikan dengan tugas utamanya
sebagai fasilitator pengajaran dan pembelajaran. Ibarat sebuah media dan alat
yang dapat memberi manfaat bagi pengguna sesuai apa yang ia butuhkan.
Mengkambing hitamkannya adalah sebuah kesalahan, sebagaimana kebodohan tukang
kayu yang menyalahkan palu dan kapak karena hasil kerjanya yang tidak memuaskan.
Lewat sejarah, telah terbukti besarnya peran al
Azhar di segala lini kehidupan. Dalam kancah perpolitikan misalnya, tidak dapat
diperhitungkan perjuangan ulama dan pelajarnya dalam perjuangan menumpas
penjajahan di bumi Mesir. Di sisi lain peran al Azhar dalam menyokong
pembelajaran ilmiyah tidak dapat dipandang sebelah mata, tidak hanya di Mesir
namun ke seluruh penjuru dunia serta tokoh-tokoh yang dilahirkannya. Salah satu
contoh bagaimana lembaga ini membawa pembaharuan, adalah pembentukan perundang-undangan
di dalamnya dalam beberapa kurun waktu pada akhir abad 19. Di mana saat itu
diwakili oleh Muhammad Abduh dengan pembaharuan yang ia bawa dan melahirkan
ketentuan dimasukkan pembelajaran ilmu-ilmu modern beserta metode yang
disesuaikan. Tidak mau tergilas jaman, pada tahun 1961 dibuatlah undang-Undang
yang memutuskan pendirian fakultas Kedokteran, Arsitek, Perindustrian dan
sebagainya yang hingga kini masih dapat terasa manfaat yang dihasilkannya.
Masih banyak peran al Azhar yang tak terhitung
jumlahnya sejak satu milenium berdirinya. Merupakan kesalahan besar merendahkan
dan memandang al Azhar dengan sebelah mata. Terlebih dilakukan oleh mereka yang
mengaku telah menimba ilmu di dalamnya.
Sekali lagi, al Azhar adalah fasilitator besar
bagi pembelajaran. Ia adalah wasilah yang dapat digunakan untuk menyebarkan
Islam melalui pengajaran berbasis al Quran dan Sunnah yang tidak akan terhapus
oleh zaman. Adapun konsep dan kurikulum di dalamnya merupakan bentuk dan
rancangan ulama dengan jerih payah mereka sebagai manusia yang tak akan mencapai
kata sempurna. Mereka telah berusaha agar konsep dan kurikulum yang
diberlakukan di dalamnya tidak jumud dan selaras dengan ajaran Islam. Sehingga
bila ada kekeliruan di dalamnya, tentu menjadi tanggung jawab ummat Islam
bersama-terkhusus alumninya- untuk memperbaiki, bukan menyalahkan dan
merendahkan.
Wallohu ta’ala a’lam