bismillah
Kisah ini saya dengar dari Kiai
sepuh di pesantren, saat saya berada di kelas 5 KMI. Terlepas dari benar
tidaknya kisah yang beliau tuturkan saat taushiyah pekanan di depan masjid ini,
Kiai yang acapkali berbicara dengan bahasa Inggris ini ingin menyampaikan
sebuah pesan moral,”Mulutmu, harimaumu”
Alkisah seorang pengemudi mobil
yang melintas di jalan, tiba-tiba mobilnya di seruduk oleh mobil lain. Segera ia
turun dan melihat ada bagian mobilnya yang lecet. Keadaan itu ia manfaatkan
untuk memeras Si penabrak, “Hey, kamu harus bayar mahal untuk lecet di mobilku!”
“Saya minta maaf,Pak. Beribu maaf,”
Ujar Si penabrak tulus.
Bukannya melunak pengemudi itu
semakin memeras Si penabrak,”Maaf..maaf.. harusnya kamu bertanggungjawab, kalau
perlu kamu ganti mobilku ini dengan yang baru!”
“Baiklah, mari ikut saya ke
bengkel, Pak.” Ujar Si penabrak.
Sampai di bengkel, pengemudi itu
masih saja membentak-bentak Si penabrak. Namun ia heran karena para pegawai
bengkel begitu hormat dengan Si penabrak. Maka ia bertanya pada salah seorang
pegawai bengkel, tentang siapa sebenarnya Si penabrak.
“Maksud anda, orang yang menyuruh
kami memperbaiki mobil anda?”
“Ya,” jawab pengemudi tadi.
“Dia adalah bos kami, pemilik
bengkel ini, juga pemilik pabrik perusahaan mobil Ford.” Jawab pegawai itu
jujur.
Pengemudi itu malu sekali saat
Henry Ford muncul, dan meminta maaf atas sikap kasar dan berbalik menghormati
pemilik perusahaan mobil Ford itu.
Cerita selesai. Dari kisah itu,
Kiai saya mengambil sebuah hikmah yang cukup masyhur, “mulutmu, harimaumu”.
Benar bahwa perkataan yang
meluncur dari lisan harus terkontrol, jika tidak ia akan benar-benar menjadi
bumerang bagi yang mengatakannya. Di era informasi saat ini, hal itu tidak
perlu pembuktian lagi. Kesalahan kata sedikit saja bisa menghantarkan anda ke
jeruji besi, lebih lagi jika dikatakan di depan khalayak pers oleh seorang
tokoh terkenal.
Jika setiap kata-kata yang keluar dari
mulut bersumber dari lisan. Kita posisikan sebagai muqaddimah sughro, dan “mulutmu,
harimaumu” sebagai muqoddimah kubro, akan lahir sebuah natijah,”Lisanmu,
harimaumu”. Seandainya kita andaikan opini publik sebagai ‘mulut’, dan ‘lisan’nya
adalah media, maka kesimpulannya adalah penyamaan antara harimau dan media.
Ya, media sebagai corong opini
publik sejatinya berada di posisi yang mengkhawatirkan ini. kesalahan dalam pemberitaan
bisa berakibat fatal. Dengan satu artikel, bisa menarik jurnalis ke penjara. Dengan
satu paragraf bisa membuat buletin ditarik dari peredaran.
Karena media tak bisa lepas dari perannya yang
menggiring opini masyarakat ke arah tertentu. Tentu ini sudah jadi rahasia
umum. Di balik opini dan pemberitaan yang dituangkan sang jurnalis dalam media,
tentu bisa sejalan dengan pemikiran oknum tertentu, atau bisa juga berbalik 180
derajat. maka di sini terbuka sebuah jalan bagi oknum yang tidak sepakat untuk
membuka arena kritik sebagai balasan.
Kritik dan balasan atas suatu
opini yang menyesatkan harus dilancarkan, namun –dalam hemat penulis- dengan
cara yang semestinya, tanpa harus ada kedholiman. Perang opini yang sehat akan
melahirkan pemikiran-pemikiran segar yang mencerahkan. Bahkan sebuah teori
filsafat selalu hadir dari budaya kritik penciptanya. Seperti Anaximandros yang
mengkritisi buah pikir gurunya, Thales yang menganggap asal mula segala sesuatu
dari air. Selanjutnya Anaximenes mengkritisi dua sesepuhnya. Dan begitu
seterusnya hingga munculnya Rene Decartes, John Lock, David Hume. Sebuah teori
filsafat baru terdorong lahirnya dari budaya kritik.
Tulisan ini pasti banyak
kekurangan di sana sini, namun yang sebenarnya ingin penulis ajak, adalah
menghidupkan budaya kritik yang sehat. Utamanya kita sebagai insan akademis,
kesadaran untuk mengkritisi itu sudah menjadi hal yang wajib dan lumrah.
Penulis sendiri merasa cukup jauh
dari ajakannya. Namun semua tidak akan terjadi jika tidak dimulai dari hal yang
paling kecil, dimulai dari diri sendiri dan dimulai sekarang juga!
Mari kita hidupkan budaya kritik
yang sehat dan membangun!
Madinah
Al Buuts Al Islamiyah, 23:32
23/3/2013