“Assalamualaikum waraohmatullohi wa barokatuh!”
Pintu kelas terbuka
dan seperti biasa, pada jam pelajaran ke lima
setelah istirahat di hari Sabtu, selalu terdengar salam khas dari ustadz
favoritku.
Suara beliau tidak terlalu menggelegar,
kurasa. Tapi menurutku, yang membuat serentak seisi kelas hening tanpa suara, adalah
wibawa beliau. Ustadz yang bijaksana, ramah dan paling penyabar bila kami-para
santri – belepotan ketika menyetorkan hafalan.
Aku menoleh ke barisan
bangku belakang, Umar ”and The Gank” yang baru saja membuat suasana kelas tak
ubahnya seperti pasar, kini duduk manis di kursi masing-masing. Anehnya, tak satupun penghuni kelasku yang
protes pada rois kelas jika mereka membuat
kegaduhan. Bukan karena takut
pada bocah-bocah konyol itu. Tapi, kami menikmatinya. Ya, menikmati joke-joke segar mereka, walau
terkadang sedikit keterlaluan.
Tidak semua yang gaduh
adalah pertengkaran atau kerusuhan, tapi bisa jadi tingkah konyol yang menggila
sehingga membuat perut terasa sakit akibat tertawa terpingkal pingkal. Dan
itulah yang di lakukan Umar ”and The Gank”, di kelas.
Baru saja mereka berbuat usil dengan Hadi. Ketika
istirahat, Hadi yang memang memiliki julukan Abu Naum itu terlelap di atas
meja dengan dua lengannya sebagai sandaran kepala. Umar cs segera beraksi
begitu Hadi benar-benar terlelap. Dua orang mengambil karet gelang dan mulai
mengucir kecil-kecil rambut Hadi yang mulai gondrong di bagian depannya.
Sementara seorang mengambil spidol yang tintanya mudah luntur dan bergerak
melukis selengkung garis di antara mulut dan hidung Hadi. Seorang lagi mengikat tali sepatu Hadi di kaki
kursi. Dan setelah semua selesai, Umar menutup dua lubang hidung Hadi dengan
sobekan besar kertas dari buku tulisnya yang telah ia remas seukuran kelereng
dan menyelotip mulutnya .
Namun yang membuat alisku
berkerut adalah, Hadi tidak bereaksi hingga sekitar satu menit kemudian! Hm,
aku tidak pernah merasa bersalah jika memanggilnya Abu Naum.
Selang satu menit dari
kejadian itu... kurasa kalian bisa menebak apa yang terjadi.
Hadi terbangun setelah
oksigen benar-benar tidak bisa masuk melalui saluran napasnya. Yang pertama ia
lakukan ialah melepas selotip dari mulutnya lalu mengeluarkan sobekan besar
kertas dari lubang hidungnya. Ia mencoba menghampiri Umar yang tak perlu sangsi
ia yakini sebagai biang kerok dari semua ini. Namun,
BUG!
”Auugh!!” dua lututnya
terburu mencium lantai. Mana mungkin Hadi sadar dengan apa yang terjadi pada
tali sepatunya.
Terdengar gelegar tawa
membahana. Nyaris seisi kelas
menekan perut menahan tawa. Bagaimana
tidak tertawa melihat rambutnya yang seperti anak perempuan di taman
kanak-kanak, juga wajahnya yang kucel sehabis tidur! Hadi tidak marah, mungkin
karena ia sudah terbiasa mendapat perlakuan itu oleh Umar. Belum sempat ia menghampiri Umar, dan
terdengarlah salam dari Ustadz Hafidz.
Sandiwara selesai.
Segera setelah melepas
beberapa karet gelang yang mengucir rambutnya, hadi izin keluar kelas dengan
menutup mulutnya.
Ustad Hafidz hanya
tersenyum kecil seperti melihat kenakalan anak kecil.
”Ya, ayyuhal
mujaahiduun...”
Ustadz Hafidz selalu membuka
pelajaran dengan panggilan itu, ”yaa,, ayyuhal mujaahiduun..”, panggilan yang amat sangat ku suka.
Mujaahiduun...
Aku termasuk mujahid.
Mujahid!!
”Secara terminologi, mujahid
berasal dari fi’il, jahada yajhadu. Yang artinya bersungguh-sungguh. Akan
tetapi secara etimologi arti mujahid adalah seseorang yang mempertahankan atau berjuang
demi agama Islam.”
Aku teringat jawaban Ustadz
hafidz ketika suatu ketika ku tanya tentang arti mujahid.
Hm, bila aku mujahid, maka berarti
aku seperti Khalid bin Walid, atau Umar bin Khathab, atau Usamah bin Zaid. Ugh,
betapa hebatnya...
”Zaid! Lanjutkan!”
”Ha?!”
Aku tergagap. Celaka! Pelajaran
telah dimulai dan aku justru melamun.
”Sampai mana tadi?” Setengah
berbisik ku senggol lengan Jundi yang duduk di sampingku.
”Shofhah robiah.” jawab Jundi setengah berbisik.
Aku segera membuka buku arab
gundul halaman empat. Sementara Ustadz Hafidz tersenyum kecil melihatku yang
membuka buku dengan tangan bergetar.
***
”Zaid, Zaid!” Jundi berlari ke
arahku dengan napas memburu.
”Madzaa hadatsa?” tanyaku.
”Hh...hh..” Rupanya nafas
Jundi masih tersenggal-senggal. ”Us..Ustadz Azzam, ustadz Azzam!”
”Ada apa dengan Ustadz Azzam?”
tanyaku panik.
”Ustadz Azzam di tangkap
polisi semalam!”
”Hah?!” mulutku menganga seolah tak percaya. Setahuku beliau
adalah Ustadz yang baik. Dan bukan tipe pelaku kriminal. Aku yakin penangkapan
ini berkaitan dengan fitnah seputar teroris.
Pagi hari sebelum apel
dimulai. Aku dan beberapa santri mengerubungi Ustadz Hafidz yang kebetulan
tengah duduk-duduk depan kantor.
”Ustadz Azzam ditangkap polisi
ya, Tadz?”
”Kenapa?”
”Apa karena tuduhan teroris?’
Kami memberondong beliau
dengan beberapa pertanyaan. Namun jawaban pertama beliau adalah segaris senyum
bijak yang sulit untuk kami tafsirkan.
Setelah mengusap rambut dan
pundak beberapa dari kami beliau baru berkata, ”Benar Ustadz Azzam semalam
ditangkap polisi.”
Kami tidak lagi menyela beliau
dengan beberapa pertanyaan karena tahu, beliau akan segera menjelaskan yang
sebenarnya terjadi tanpa kami minta.
”Beliau ditangkap atas tuduhan
dugaan terlibat dengan jaringan terorisme.” Ustadz Hafidz menghela napas.
Seperti ada beban berat di sana.
Hati kami serasa mendidih.
Ugh! Andai saja aku bersama Ustadz Azzam saat terjadi penangkapan, tentu aku
akan berjuang mati-matian untuk melindungi beliau agar tidak ditangkap polisi!
Aku tidak akan percaya bila beliau di tuduh sebagai teroris! Aku tahu benar
bagaimana baik dan ramahnya Ustadz Azzam.
”Kita do’akan saja agar
tuduhan itu tidak terbukti.” Ujar Ustadz Hafidz bijak. Namun hatiku semakin
panas ingin melawan polisi yang telah menangkap Ustadz kami. Ini tidak mungkin.
Apa karena beliau berjenggot lebat, memakai celana tidak isbal dan selalu memakai
peci?!
”Ustadz, ayo kita datang ke
kantor polisi dan kita beri pelajaran pada polisi itu! Seenaknya saja menangkap ustadz kita!!” Ujarku
membara.
Santri lain segera bersorak
mendukungku. Tapi Ustadz Hafidz justru terkekeh.
”Kalian tidak usah berpikir
macam-macam. Nanti justru ikut ditangkap oleh polisi.” beliau tersenyum geli.
”Lho, kita harus bela Ustadz
kita yang tidak bersalah, tadz!”
Ustadz tersenyum sekali lagi
lalu menepuk-nepuk bahuku, ”Kalian ini masih muda, semangat begitu
meledak-ledak.”
”Bukan begitu caranya,
Zaid. Apa dengan melawan
polisi lantas Ustadz Azzam di bebaskan dan semua beres?” Retoris.
”Sudah-sudah, kita do’akan
saja agar Ustadz Azzam secepatnya dibebaskan. Tugas kalian di pesantren ini
adalah untuk belajar.”
”Tapi kita kan di ajarkan
untuk membela saudara kita yang tidak bersalah!” Protesku.
”Ya, benar. Tapi tugas utama kalian di sini tetap
belajar. Ingat, be-la-jar.
Itu amanah yang di titipkan orangtua kalian pada pesantren. Masalah-masalah
seperti ini biarkan asatidzyang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam
kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di
fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa.”
Bel berdering dua kali.
Saatnya untuk apel pagi. Sepuluh menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi,
para santri di wajibkan mengikuti apel pagi, setiap hari. Selain bertujuan
untuk mendisiplinkan santri, apel di isi pula dengan do’a-do’a supaya kami
dipermudah Alloh dalam menuntut ilmu. Dengan sendirinya kami membubarkan diri.
Selesai apel, aku berjalan
menuju papan pengumumam yang biasa digunakan untuk memajang koran. Di
pesantrenku, media terbaik untuk mendapat informasi seputar dunia luar
pesantren adalah koran. Tidak ada televisi, tidak ada radio atau barang
elektronik lainnya. Terkadang bila ada berita heboh, ustadz-ustadz segera
browsing berita di internet, lalu memajang print outnya di papan pengumuman,
berjejer dengan koran-koran.
Aku benar-benar tidak ingin
sekalipun melewatkan membaca berita di papan pengumuman. Harus terus mengikuti
perkembangan. Karena yang kurasa, nyaris setiap hari ada saja berita baru yang
menghebohkan.
Yang pertama kali ku baca
adalah headline yang selalu terpajang di halaman depan. Hm, ternyata topiknya
masih sama dengan kemarin. Terorisme.
Huh, memang terorisme harus
dihentikan. Tapi bukan terorisme seperti yang dikumandangan Amerika. Karena aku
tahu, perang melawan terorisme yang pertama kali di serukan mantan presiden
Amerika Serikat, George Walker Bush seolah di nisbatkan kepada Islam, agamaku.
Aku tidak bisa menerima ini. Islam adalah agama perdamaian. Islam sendiri,
secara terminologi berarti perdamaian. Aku lebih tidak menerima bila
simbol-simbol Islam turut pula dicap sebagai simbol terorisme. Hatiku serasa
mendidih saat membaca berita-berita yang memojokkan Islam. Islam tidak pernah
menyerukan tindakan teror kecuali bila umat Islam diteror terlebih dahulu.
Bukankah kini fakta berbalik arah, umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam
justru dikucilkan, bahkan dicurigai sebagai teroris. Aku heran, siapakah yang
sebenarnya lebih layak mendapat gelar teroris?
Kurasakan tepukan keras di
belakang punggungku,”Apa berita terbarunya, Zaid?”
Rupanya Umar. Aku hanya
menunjuk halaman headline dan membiarkannya membaca sendiri. Bel pelajaran
pertama berdering. Ustadz Hafidz keluar kantor dan menyuruh kami meninggalkan
papan pengumuman.
”Ayo, Zaid, membaca koran bisa
kamu lanjutkan saat istirahat nanti.” Seperti biasa, aku yang terakhir kali
meninggalkan papan pengumuman.
Saat memasuki kelas, aku
mendengar beberapa santri cekikikan di belakangku. Sepertinya menertawakanku.
Aku menoleh, mereka justru tertawa. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku?
Entahlah. Lebih baik bersikap masa bodoh.
”Zaid, cepat atau lambat kamu
akan ditangkap Amerika!” Jundi tertawa begitu aku duduk di kursiku.
*ku tulis sekitar 3 tahun lalu