Saturday 17 November 2012

Ahlan bik, PMIK!

bismillah

Berbeda dengan lingkungan masisir yang lain.
Ketika awal saya bergabung dengan PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo), apa yang saya jumpai sungguh mengejutkan. Mengingatkan saya pada pondok pesantren yang begitu disiplin dalam banyak hal. Baik dari segi ibadah maupun muamalah.

Jika di komunitas lain, masisir membiasakan sholat berjamaah bukan sebagai prioritas utama. Di sini tidak! Biasanya terdapat asap rokok (yang amat sangat saya benci sekali), o... jangan harap anda menemukannya di PMIK. Ya, di sini saya jumpai fenomena lain (kecuali almamater lho ya, alumnus Ngruki orangnya hanif-hanif deh!). sholat di awal waktu, tidak ada bising musik jahiliy, hubungan ikhwan akhwat yang terjaga (meski dalam pandangan saya, hal ini masih terlalu bebas, setidaknya berbeda lah dengan komunitas dan organisasi lainnya), hingga disiplin waktu. Bener-bener deh, pengen rasanya manjat ke lantai lima supaya tiap kumpul bisa on time..
Beberapa pesan senior PMIK saat upgrading kemarin dengan tema,”lintas generasi, lintas kreasi”, untuk benar-benar memanfaatkan segala apa yang ada di PMIK. Baik itu fasilitas maupun komunitas yang ada. Karena tidak setiap anggota PMIK mampu menjadi seorang PMIKers sejati. Hal itu pula yang menjadikan banyak senior yang begitu betah bertahun-tahun bergabung dengan Perpustakaan yang kini berada di bawah naungan Wisma Nusantara.
Jika biasanya orang-orang menggunakan motivasi “keluar dari zona nyaman, dan pergilah ke hataman badai agar menjadi pribadi yang tangguh”, maka pesan senior berdarah Sunda ini justru sedikit berbalik. “Kalau ada fasilitas nyaman yang bisa dimanfaatkan, gunakan saja untuk membentuk pribadi tangguh”. Itu karena fasilitas di PMIK begitu lengkap dan memadai. Mulai dari ruangan berAC hingga peralatan rumah tangga, semua ada.
Satu hal lagi yang saya jumpai di PMIK, yaitu selera humor anggotanya. Sehingga membuat saya yang masih “gress” tidak merasakan suasana yang begitu kaku. Tentu dengan joke-joke ringan bermutu dan tidak over seperti halnya yang sering saya temui di komunitas masisir lain.
Selepas upgrading, saya yang ditugaskan di Binadata (Bidang Pengadaan dan Pendataan Bahan Pustaka) langsung praktek menghadapi pendataan buku-buku yang baru masuk perpustakaan. Mulai dari cara menyetampel buku, menulis no inventaris dan no seri, hingga komputerisasi. Nah, saya dapat bagian mengurusi buku-buku berbahasa Arab bersama seorang mahasiswa Aceh. Sedang dua teman asrama lain dapat bagian buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris serta tesis dan majalah.
Saya di ajak ta’aruf dengan koleksi buku berbahasa Arab yang memiliki 6 rak. Di jelaskan tentang bagian penempatan sampai anjuran mencatat buku yang sering dicari pengunjung, agar nantinya menjadi masukan bagi PMIK untuk membeli buku tersebut ketika ada Pameran Buku.
“Nanti sering-sering aja keliling rak pakai kursi jalan, sambil lihat-lihat letak buku.” Pesan seorang senior Binadata.
‘ala kulli hal, kesan pertama di PMIK begitu menggoda. Selanjutnya...kita lihat saja nanti!
Allohumma inni as-aluka ‘ilman nafi’an.

Harus PeDe

bismillah

Hari itu aku begitu bangga. Ya, biasanya saat muhadhoroh[1] di Al Azhar terjadi tanya jawab dan diskusi interaktif antara Duktur atau Dukturoh[2] dengan mahasiswi. Teman-teman Mesir memang memiliki rasa percaya diri dan keberanian yang tinggi. Tidak jarang mereka bertanya dan mendebat argumen Duktur. Di sisi lain juga, mereka memang terbiasa adu mulut terhadap persoalan-persoalan kecil. Agak sulit mengalah. Begitulah watak unik mereka.
Tentu berbalik seratus delapan puluh derajat dengan wafidat[3] khususnya yang berasal dari Asia. Lebih khusus lagi Asia Tenggara. Karena rata-rata mahasiswi berasal dari Malaysia, Indonesia, Thailand dan sekitarnya. Selain karena watak asli orang Asia yang pemalu dan lebih memilih tunduk dan sendiko dawuh daripada berdebat. Meski tidak semua begitu. Sejauh yang saya amati, ada beberapa wafidat Asia yang cukup berani, entah itu dari Singapura, Indonesia atau sekitarnya.
Jangankan mendebat argumen Duktur. Untuk bertanya hal yang tidak diketahui, atau memohon Duktur agar menerangkan dengan bahasa fusha[4] saja, terkadang meminta bantuan orang Mesir agar mereka yang sampaikan ke Duktur. Pun Barisan bangku awal selalu terisi mahasiswi Mesir. Entah karena malu, atau tidak percaya diri atau dua-duanya.
Hari itu, muhadhoroh al Nudzum al Islamiyah. Duktur Ahmad menerangkan tentang salah satu asas Undang-undang Islam, yaitu kebebasan. Yang saya cerna dari setiap pelajaran, tampaknya beliau orang Ikhwanul Muslimin (IM). Terlihat jelas dari setiap yang beliau terangkan, mengarah pada perpolitikan dan pujian terhadap gerakan ini.
Di awal beliau jelaskan mengenai perbudakan yang merupakan natijah atau akibat dari peperangan. Di mana hal itu merupakan sesuatu yang telah terjadi sebelum munculnya Islam di Jazirah. Setelah beberapa kali pemaparan, beliau bertanya pada semua mahasiswi. Saat itu semua wafidat diharuskan duduk di tiga baris dari depan. Saya memilih duduk di baris kedua, tepat lurus dengan Duktur. Karena kelas kami di mudarraj[5]. Di kananku Orang Maldaves, kiri orang Singapura, Depan orang Amerika. “Islam melarang adanya perbudakan. Akan tetapi mengapa tidak ada dalil yang secara jelas menyatakan akan pelarangannya?”, tanya Duktur.
Seorang mahasiswi Mesir yang dudukjauh di atasku menjawab. Duktur menggeleng, “Hadza ghoitu shohih...”[6]
Aku angkat tangan. Mencoba asal jawab berdasar  kesimpulan yang kutarik sendiri dari perkataan Duktur sebelumnya. “Perbudakan adalah natijah dari peperangan. Sedang peperangan itu akan terus terjadi hingga hari Kiamat.” Begitu jawabku, singkat.
“Mumtaz!” kata Duktur.
Cess... tanganku langsung bergetar (kebiasaan kalau grogi).
Orang Singapura di sampingku sampai terbengong-bengong, “Wah... subhanalloh. Anti hebat sekali..”. saya sendiri tidak pernah menemukan seorang wafidat yang bisa menjawab dengan benar. Sementara teman-teman Mesir saja tidak satupun yang bisa menjawab dengan benar. Rasanya bangga bercampur gembira! Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku bisa menjawab pertanyaan duktur dan di jawab,”Mumtaz”.
Mungkin ini hal sepele dan wajar. Bahkan mungkin banyak juga wafidat yang mengalaminya. Namun saya mengambil sebuah pelajaran berharga, bahwa kita Ummat Islam harus PeDe. Harus berani! Kalau kata Ustadz saya di Pesantren dulu, “Salah itu nomer pitu likur![7] yang penting adalah keberanian untuk mencoba dan percaya diri. Karena dengan kepercayaan diri dan keberanian Islam pernah mengayomi lebih dari duapertiga dunia!
Seperti Umar bin Khothtob di awal keislamannya,”Ya Rosululloh, a lasnaa ‘ala haqq?!”[8]
Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi saya, dan pembaca sekalian. Wallohu ta’ala a’lam.


[1] Sebutan untuk kelas perkuliahan
[2]Kebiasaan untuk memanggil Dosen.  Karena semua pengajar di Al Azhar telah menyelesaikan doktoral.
[3] Sebutan untuk mahasiswi berkewarganegaraan selain Mesir.
[4] Rata-rata bahasa pengantar kuliah adalah bahasa Ammiyah.
[5] Kelas dengan susunan bangku memanjang dan bertingkat.
[6] Jawabanmu tidak benar.
[7] Salah itu nomor dua puluh tujuh.

[8] Wahai Rosululloh, bukankah kita di atas kebenaran?!

Wednesday 14 November 2012

Aktif Sabar... hohoho (^_^)"?

bismillah

Malam ini aku jadi penanggung jawab pelatihan baca koran arab dari kekeluargaan. Tempatnya di Hay Tsamin. Selepas maghrib kita berangkat bersama dari sekretariat kekeluargaan. Di tengah-tengah pelatihan, handphone ku bergetar dalam kondisi “silent”. Niatku supaya tidak mengganggu konsentrasi saat materi di sampaikan.
Tapi di sela-sela pelatihan akhirnya tetap ku buka juga, tuntutan penasaran. Hehe.
Dan ternyata... nomor Indonesia! Nomor abi! Kayaknya aku dapat telephon dari Indonesia itu setahun yang lalu. Ketika aku baru sampai di bumi Kinanah. Selebihnya aku biasanya yang menelpon ke Indonesia setiap bulan. Karena biaya telepon lewat internet di sini relatif lebih murah.
Huwa.. rasanya pengen nangis deh... tadi telepon itu nggak aku angkat. Hiks. Sedih pokoknya deh...
Setelah itu pulang ke asrama. Sambil menunggu bus 80 coret, aku teringat mafrum alias daging giling calon pentol bakso di freezer. Waduh, di dapur nggak ada merica. Jadilah aku menyeberang jalan yang terpisah rel tua menuju athoroh yang menjual obat-obatan dan bumbu dapur.
Ini pentol bakso yg akhirnya berhasil saya buat d bantu seorang teman. dengan mengandalkan resep dari seorang senior masisir. edisi perdana bs di bilang "mumtaz" lho... ^_^

Jam setengah sembilan tepat, akhirnya kami dapat bus. Berharap dapat sampai asrama tepat pukul sembilan, sehingga tidak terlambat. Ternyata takdir berkata lain. Sedikit kemacetan, dan kami sampai asrama pukul 9 lebih 20. Karena security asrama saat itu orangnya disiplin, kami masuk daftar terlambat deh. Hiks.
Melihat Aula kecil asrama, aku teringat ujian Dauroh LUghoh yang ku lewatkan. Padahal sebelum libur Idul Adha, semua acara aku cancel demi ikut dauroh ini lho. Sampai-sampai tadi sore teman dari Belgica menelponku dan bertanya alasan absenku. Hiks lagi deh
Naik tangga ke lantai tiga, menoleh ke kanan, lihat Mesin cuci. Teringat cucian baju yang menumpuk. Kapan ada waktu sela untuk mencuci ya? Hiks
Menoleh ke kiri, melihat dapur. Ingat mafrum lagi. Kapan ya, ada waktu buat bikin baksonya? Hiks
Sampai di kamar, buka pintu. Teman sekamarku sudah tidur. Aku melihat netbook merah kesayanganku di bawah. Teringat tugas buletin yang belum ku kerjakan. Deadline nya besok. O..ow! alamat begadang nih. Hiks
Sekilas melihat notebook kertas berisi jadwal kegiatan harianku, seharusnya malam ini belajar untuk pelajaran esok hari. Harus dikorbankan deh. hiks.
Teringat esok hari –seharusnya- mulai setor tahfidz bersama teman. Tapi malam ini tak bisa murojaah. Aduh... hiks
Akhirnya ngelembur tugas buletin. E... ketiduran. Bangun-bangun meggigil kedinginan karena mulai masuk musim dingin. Brr... selepas sholat, melihat jam. Masih tersisa 40 menit sebelum adzan shubuh. Kuputuskan untuk masak sahur. Lumayan lah, ada ayam dan sayuran, bisa dibuat sop.
Sambil merebus air di hitter. Kayaknya dari kemarin aku sedikit banget minum air putih... nyambi selesaikan tugas buletin juga. Sambil bolak-balik kamar-dapur, akhirnya sup untuk sahur selesai juga. Tara!
Aku kembali melihat jam di handphone, kyaaaa!
Dua menit lagi adzan!
Aku coba makan kilat, sambil kepanasan karena kuah sop yang panas. Huaaah...
“Allohu akbar-Allohu akbar!...”
Yah.. lumayanlah tiga sendok sahur. Lha... minumnya? Hadoh, lupa deh. seret. Padahal dari semalam, cita-citaku adalah minum air putih. Hiks
Selamat datang pagi.. kita mulai aktifitas lagi!
Ala kulli hal, alhamdulillah! Betul2?

Wednesday 24 October 2012

MARAH is JUNUN

bismillah



Malam ini, aku sedikit merenung, berkontemplasi. Sebelumnya, maaf saja kalau aku banyak menulis tentang diriku, yang tentu bias saja berbeda dengan anda atau orang lain.
Tentang amarah, emosi, temperamen, entah apa sebutan lainnya yang mewakili. Dalam kondisi marah, entah itu marah pada keadaan, orang lain atau bahkan diri sendiri –aku menyebutnya ‘penyesalan’. Apa yang terjadi dalam otakku adalah kebekuan. Ya, otak yang serasa membeku sehingga menghambat jalannya pikiran yang sebelumnya mengalir lancer.
Dalam keadaaan seperti itu pula, setan-setan terasa berkelebatan mengitari setiap gerak, pandangan dan perasaan. Mereka seolah membisikkan segala yang berbau apatisme dan kerusakan. Jadi, apapun bias terjadi. Aku bahkan bias menghamburkan sekian LE untuk hal yang remeh temeh. Aku bias mengitari Cairo dengan membuang biaya dan waktu tanpa berpikir panjang. Pun aku bias melampiaskan pada orang yang saat itu telah berbuat baik padaku.
Itu mengapa aku setuju.sangat. dengan peryataan bahwa orang yang marah itu ‘junun’, gila! Dan setelah semua itu terjadi. Ketika benak semakin mencair, meleleh, pikiran berjalan lancer kembali, yang terjadi adalah penyesalan.
Maka, aku tak seirama dengan mereka yang mengatakan bahwa ‘menyembunyikan kemarahan’ –khususnya- terhadap orang lain adalah ‘ketidakjujuran’. Justru sebaliknya, semisal aku marah dengan seseorang, dan aku cukup sadar bahwa jika kutampakkan kemarahan dan kebencianku padanya, maka nantinya aku akan menyesal. Karena aku tak ingin itu terjadi, aku memilih untuk diam.
Bukan berarti aku munafik. Dan jangan artikan sikap itu sebagai ketidakjujuran. Justru itu adalah berpikir lebih panjang. Karena aku cukup sadar bahwa segala tindakan yang kulakukan ketika ‘marah’  adalah ‘gila’. Maka aku lebih memilih untuk diam. Menunggu otakku untuk mencair.
Karena seringkali, jika aku membenci seseorang karena kesalahannya, dan suatu hari aku menemukan kebaikan darinya. Tumbuhlah penyesalan karena pernah membencinya. Dan penyesalan itu sakit, kawan. Buatku. Entah untukmu.

Saturday 22 September 2012

DUA SAUDARA dan INSPIRASI


bismillah


Sejujurnya, aku sedang tidak mood untuk menulis. Heh, padahal satu hal yang sangat ingin kuhindari, dikalahkan oleh mood. Tapi melihat beberapa buku yang tersusun di atas meja kamar, aku merasa de javu. Teringat sesuatu, apa ya? Eh, bukan. Seseorang, siapa ya? Kelihatannya bukan hanya seorang.
Ha! Tak lain dua saudara kandungku. Hmm, nampaknya aku banyak terinspirasi oleh keluarga. Seperti kata seorang teman Mas yang tengah menempuh studi di Timur Tengah, “Masing-masing kalian (Mas, aku dan Adek) adalah inspirasi. kalau untuk Mas dan Adek, aku setuju sekali. Tapi kalau diriku? Ha, rasanya tak ada yang pantas.
Kembali ke topik semula. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengingat masa-masa di pesantren. Saat itu kami bertiga masih hidup dalam lingkungan pesantren untuk waktu yang lumayan lama. Enam tahun, menghabiskan masa study. Plus setahun bagi yang mengabdi (buat yang bebas pengabdian, bersyukurlah. Aha!)
Saat masih santri, aku tidak masuk kategori santriwati yang sering dijenguk oleh dua saudara kandungku. Cukup sering sih,tidak. Tapi bukan juga termasuk yang jarang dijenguk. Biasanya dijenguk salah satu saja dari mereka berdua. Jarang sekali lah mereka jenguk aku berdua.
Ada satu ciri khas yang berbeda dari santriwan lain saat menjenguk saudari mereka di ghurfah istiqbal. Ya, biasanya santriwan yang menjenguk bawa sesuatu lah untuk santriwati yang dijenguk. Toh, banyak warung dan penjaja makanan yang selalu stand by di depan pondok Putri. Mulai dari bakso hingga gado-gado. Tapi dua saudaraku itu beda. Seingatku, mereka tidak pernah membelikanku sesuatu apapun dari yang dijajakan di depan pondok. Hiks!
Bukan berarti mereka tidak sayang denganku. Mungkin karena kebiasaan ‘tidak jajan’ masih terbawa hingga dewasa ini. oya, ciri khas yang membedakan mereka dengan santriwan lain saat menjenguk adalah, buku. Ya, BUKU! Baik Mas ataupun Adek selalu bawa buku. Meski hanya buku kecil, tapi mereka selalu bawa. Bahkan sampai ada adek kelasku (putri) yang melongo melihat adekku bawa buku. Yang lain bawa siomay, batagor, bakso. Lha ini kok bawa buku! Subhanalloh!mungkin begitu pikirnya. Yang jelas aku sering menggoda adek kelasku itu, “ehm, entar aku jodohin sama Adekku, mau ya?” Haha...
Aku ingin meniru kebiasaan dua saudaraku itu, tapi ternyata hanya terlaksana saat imtihan )ujian(. Itu pun, karena Mudabbiroh Muaqqotah (pengurus sementara) memberi sanksi bagi yang keluar kamar tanpa membawa buku.
Tidak hanya itu, mereka sangat jarang meminta uang saku ke Ummi atau Abi. Berbeda sekali denganku yang tiap dua pekan langganan telpon ke rumah. Cukup dengan tiga suku kata di awal telepon,”Hehe, Mi...” maka suara di seberang otomatis menjawab,”Apa, Nun? Uangnya habis?” Retoris deh. Geli kalau mengenang masa-masa itu. Sekarang tidak bisa lagi begitu.
Bahkan bebrapa kali Adek menjengukku lalu bilang, “Mbak, aku nggak punya sabun...” Weleh, kan tinggal telepon rumah juga bisa!Pikirku. tapi nampaknya ia lebih senang meminta uang dariku daripada langsung minta ke Ummi. Dan saat ku tanya, mengapa uang sakunya telah habis, ia selalu menjawab seperti yang juga biasanya dikatakan Mas,”Habis buat beli buku.” Jawaban yang klise dan selalu sukses membuatku nyengir.
Hm, whatever lah... aku sangat iri dengan mereka. karena mereka adalah samudra inspirasi yang semakin kugali, semakin ia dalam tiada bertepi. Aku ingin mengambil semangat juang mereka. membawanya ke dasar jiwa dan mememjarakannya di lubuk hati yang terdalam agar tak pernah semangat itu pergi.
Semoga, antum terinspirasi. Wallohu ta’ala a’lam.
                                                                                               
                                                                                                Abbasea, Cairo
                                                                                                September in Autumn

Sunday 19 August 2012

Idul Fitri kali ini....

bismillah

I’dun sa’id!!!
Taqobbalallohu minna wa minkum!!!
Wa ja’alanalloh wa iyyakum minal aidin wal faizin!!!
Kullu ‘aam wa antum bi khoir!!!

Alhamdulillah, itu yang jadi kalimat utama untuk hari ini. Meski lebaran kali ini cukup berbeda dari 20 lebaran sebelumnya. Di hari penuh kemenangan ini, semua terasa ‘bahagia’.
Dan hmm... terdengar cukup childish memang. Tapi saya akui, es krim tetap jadi yang nomor satu buatku di hari raya ini (dan hari-hari biasanya), dan air mata akhirnya tumpah juga mengingat lebaran kali ini tanpa kebersamaan dengan Ummi dan Abi, juga Mas Us dan Jundi.
Ummi , Abi,”besok kita telpon dan puas-puasan ya...”
Mas Us di Suriah, smoga Ied nya lancar-lancar saja meski berada di negri konflik dan dalam keadaan mengungsi. “Mas, aku pengen telpon tapi kok nomermu gak aktif terus ya...?”
Jundi, Ustadz Macho,”Aku kangen dengan keluguan dan joke-joke spontanmu...”
Eyang, Mbah ty... “Maaf, tahun ini gak bisa sungkem... smoga di beri umur panjang, Yang... Mbah...”
Aku kangen suasana silaturrahim di Indonesia...
Kangen dengan liburannya...
Menikmati berbagai air terjun di Tawangmangu. Jumog...Grojogan Sewu dengan ribuan anak tangga dan monyet-monyet kreatifnya... Parang Ijo... brrr.. ku rindukan kesegaran itu...
Menelusuri pantai-pantai di selatan Jogja... Mas Us yang jadi sopir kebanggaan keluarga... Kukup, krakal, Baron... terakhir kita ke sana sebelum perpisahan Mas Us ke Yordan... eh, malah nyasar ke Suriah...
Aku kangen Bulek Ida dan anak-anaknya yang paling imyut sedunia... Muti’ yg kreatif... Fida yang diam-diam cabe rawit... Dina, siluman Tomat (saking pipinya embem)... Syafiq, yang mulai kliatan dewasanya,... Fatan, yang usil tapi nggemesin... en, Zidan... aku baru ketemu kamu di fb... huwaaaa semua imut2.. sholeh n sholehah.. mbak Inun kangeeeen....
Kangen,
Kangen,
Kangen,
Pengen pulaaaaang......
Hiks.
>_<

Saturday 18 August 2012

Aku dan AMAZING (sebuah catatan kecil)

bismillah

Mungkin ini hal yang terbilang sepele. Tapi buat saya, tidak.
Masih terhitung akhir Ramadhan. Teman-teman Indonesia yang lulus seleksi beasiswa dan ditempatkan di asrama internasional Al Azhar, membentuk sebuah wadah di setiap tahun kedatangan. Putra dan putri.
Kami menamainya marhalah AMAZING. 
Dengan harapan masing-masing menjadi pribadi yang ‘amazing’ untuk ummat, bangsa, dan diri masing-masing. Kalau dikalkulasi, hampir satu tahun marhalah ini terbentuk. Tentu saya hanya menikmati sekitar 7 atau 8 bulan saja, mengingat keterlambatan saya dalam mendapat visa ke mesir.
Setahun berlalu. Dan pemilihan ketua baru untuk putra maupun putri dilangsungkan di rumah salah seorang anggota putri yang telah berkeluarga di kawasan Tub Romly, Nasr City. Masih dalam Ramadhan. Berharap seiring dengan masa Ramadhan yang belum berakhir, turut mendapat suntikan barokah dalam pemilihan ini.
Dari segi kuantitas anggota, memang tidak mencapai angka yang fantastis. Bahkan terhitung marhalah dengan jumlah anggota paling sedikit di banding para senior. Namun justru hal itu yang membuat suasana ‘kekeluargaan’ kami begitu erat. Terlebih anggota putri yang hanya berjumlah 10 orang.
Dan ada yang terasa cukup menyesakkan buat saya. Ya, awalnya kandidat utama untuk ketua putri adalah seorang sahabat karib saya. Namun di tengah pemilihan, secara spontan dan di luar dugaan saya, ia mengundurkan diri. Bukan tanpa alasan memang, dan sayangnya, saya paham betul kondisi yang ia alami. Jadi, dengan berat –sangat- saya dan seorang kawan yang juga menjadi kandidat harus merelakannya mengundurkan diri.
Pemilihan babak kedua berlanjut. Dan, ya Rabb. Akhirnya saya yang harus menerima amanah tersebut.
Ya, ini terlihat biasa saja. Bukan sesuatu yang ‘wah’ buat kebanyakan orang. Tapi sepertinya tidak buat saya. Memang sempat  beberapa kali saya menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi. Tapi rasanya kali ini berbeda.
Tentu saja, yang saya pimpin adalah orang-orang yang kematangan dan kedewasaannya sama bahkan jauh melampaui saya. Kawan-kawan masisir, dalam pandangan saya adalah sosok-sosok yang mengagumkan. Bukan saja dari segi akademis. Namun dari ketekunan dan ijtihad mereka dalam berbagai lahan yang digeluti. Saya? Bukan apa-apa.
Fenomena itu saya sadari. Dan saya juga cukup sadar akan kelemahan diri. Terlebih untuk menjadi seorang pemimpin. Satu kelemahan besar yang saya miliki adalah tidak dapat melakukan pengambilan keputusan (decision making) dengan cepat.
Ya, seharusnya seorang pemimpin dituntut untuk intuitif, memiliki rasa peka yang besar dan juga cepat dalam mengambil keputusan. Tidak perlu jauh-jauh, dari sebuah contoh sehari-hari saja, bisa menjadi analogi yang tepat. Jika lazimnya seseorang (wanita khususnya) memasak di dapur selama satu jam. Maka saya menghabiskan waktu satu setengah jam, bahkan dua jam.
Ya, setengah jam pertama saya gunakan untuk berpikir keras.  Tentang apa nanti yang pertama kali saya lakukan di dapur. Mana yang seharusnya lebih dulu saya kerjakan, menyiapkan bahan utama atau bumbunya? Mana yang seharusnya lebih dahulu untuk dikerjakan agar efektivitas waktu mampu dioptimalkan. Saya selalu ingin meminimalisir kesalahan, namun itu juga menuntut saya –yang tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat- untuk menghabiskan banyak waktu. Tidak sesuai dengan tujuan awal.
Dan dari hal-hal seperti itu, saya membangun karakter diri untuk hal yang lebih besar lagi. Saya tidak tahu, apakah karakter yang demikian bisa berubah –untuk yang lebih baik- atau itu memang sesuatu yang melekat dalam diri dan tak dapat dipisahkan.
Saya tahu, bahwa kawan-kawan akan membantu di perjalanan ini nantinya. Karena kita adalah keluarga. Bersatu dalam ukhuwah abadi. Ukhuwah Islamiyah.
In syaalloh…


Cairo, akhir Ramadhan 1433 H


Sunday 5 August 2012

Benar, anda Benar?

bismillah

Sepulang buka bersama marhalah kekeluargaan di Hay Asyir, Mutsallas.
Ketua kekeluargaan berbaik hati mengantar saya dan seorang kawan kembali ke asrama. Malam memang, sekitar pukul setengah sepuluh. Meski di jam itu jalanan Cairo masih ramai, karena di musim panas, masyarakat Mesir banyak menghabiskan waktu malam untuk beraktifitas sebagai ‘balas dendam’ atas teriknya siang hari.
Cairo seperti kota yang nyaris 24 jam berdenyut. Terlebih Ramadhan ini, di mana masjid-masjid selalu ramai dengan tarawih dan berlanjut dengan qiyamullail hingga dini hari. Bus besar yang dikelola pemerintah Mesir, beroperasi mulai sekitar jam 6 pagi hingga pukul 12 malam. Sementara minibus dan tramco, nyaris selalu ada. 24 jam. Berbeda dengan di Indonesia, khususnya kota Solo, kampung halaman saya. Bus dan angkot sudah nyaris tidak ada jika lewat jam 5 sore hari. Saya melihat bahwasanya tenaga dan spirit orang Arab –mesir khususnya- cukup berjarak jauh dengan orang Indonesia. Meski begitu, orientasi mereka bukan ‘uang’ semata. Itu yang saya lihat selama ini.
Kembali pada senior yang mengantar kami berdua pulang. Karena jam sepuluh adalah batas akhir kami keluar asrama –jika tidak ingin menandatangani buku hitam, maka Mas Hasan –sebut saja begitu- menyetop taksi. Saya dan kawan berpandangan dengan bahasa tanpa kata, “wah, mahal nih. Gimana dong?!”
Untuk kalangan masisir, taksi adalah transportasi yang cukup jarang kami gunakan. Lebih baik naik bus, yang ongkosnya tidak bikin kantong tipis. Tapi Mas Hasan segera menangkap isi kepala kami, “Biar cepet, naik taksi aja ya?”. Bisa saya bilang, bahwa beliau sangat mengkhawatirkan keselamatan kami. Intinya, terharu deh. Baru kali ini menemukan senior yang benar-benar perhatian dan merasa bertanggung jawab atas anggotanya.
Beliau adalah kakak kelas kawan saya. Jadi wajar saja sangat perhatian dengan kami berdua –kan ada adik almamaternya. Di sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 40 menit itu, terjadi perbincangan dua arah antara beliau dan kawan saya. Sementara saya lebih memilih untuk diam dan mendengar alunan Musyari Rasyid dari MP3 di balik jilbab. Inti dari yang saya dengar, beliau memberi paparan seputar dunia masisir. Tentang fenomena globalisasi yang berujung pada aktifitas masisir, di mana geliat intelektualitas semakin lesu, terkalahkan oleh hasrat finansial yang menandalkan profit semata. Cukup panjang beliau bercerita, dan sesekali kawan saya turut berargumen. Sampai air matanya menitik. terharu dengan perhatian kakak almamaternya.
Saya iri? Iya. Ternyata memang kita tidak bisa menilai penampilan seseorang. Orang yang kesehariannya memakai celana jins, penampilan yang agak jauh dari kesan islami, bahkan terkadang merokok. Ternyata memiliki perhatian jauh dengan fenomena lingkungan di sekitarnya, tentang pengabdian dan sumbangsih terhadap ummat Islam. Yah, meski juga bukan jaminan bahwa seluruhnya bisa dibenarkan.
Suasana menjadi tenang. Mereka terdiam, saya kecilkan alunan murottal. Dan Mas Hasan mengajak saya bicara, “Ainun dari Ngruki kan ya?” saya mengamini. “Bisa bahasa Jawa kan?” kembali saya amini. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa kenalan dan adik kelasnya yang sempat belajar di Ngruki juga, sesekali dengan bahasa Jawa.
Dengan bahasa yang tidak to the point beliau memberi wejangan. Cukup membuat saya tahu tentang anak Ngruki di matanya. “Kita harus menerapkan apa yang dipelajari. Katanya, innamal mukminuna ikhwah. Ya harus di terapkan, jangan kok mengurung diri, belajar sendiri. Harus sosialisasi kan? Itu bukti “ikhwah”nya.
Di satu sisi saya merasa tersindir. Soalnya, hehe, saya rasa itu ada benarnya –buat saya lho, bukan buat senior dan alumnus Ngruki lainnya. Namun di sisi lain saya tidak setuju. Terlebih ketika dia berkata,”Jangan merasa benar, bla bla bla...”
Karena buat saya, kita memang harus selalu menjadi yang “benar”. Dalam arti, tidak mengakui sesuatu yang jelas-jelas itu salah dan menyimpang. Okelah, sebagai insan akademisi tidak berarti mengakui segala sesuatu sebagai “kebenaran”. Harus ada prinsip dan idealisme yang harus tertancap kokoh. Misalnya saja, ada 2 pendapat yang berlawanan, kontradiksi. Tidak bisa kita membenarkan keduanya, juga tidak bisa menyalahkan keduanya. Kita harus berdiri di salah satunya. Sesuai prinsip kita. Ya, kalau dalam ilmu mantiq “annaqidhoni la yajtamiani”. Anda melihat sebuah benda bergerak, sementara ada orang lain melihat benda tersebut diam. Berdiri sebagai akademisi, tidak bisa kita mengatakan “o, benda itu bergerak tapi juga diam” nah lho.. yang benar hanya satu. Satu.
Karena menurut saya, merasa “benar” itu harus. Bukan berarti tanpa ilmu. Namun sejauh mana kebenaran yang kita peroleh dari apa yang dipelajari, harus diterapkan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Jika toh, ternyata seiring berjalannya waktu, kita tahu hal itu menyimpang, ya harus siap banting setir.
Dalam melihat permasalahan, bolehlah melihat berbagai pendapat. Namun berdiri di salah satunya, bukan berarti menafikan yang lain. Tapi itu adalah idealisme.
Wallohu ta’ala a’lam


Tuesday 24 July 2012

Malam kedua

bismillah

Malam kedua dan ketiga, saya memilih untuk sholat tarawih di masjid Ma’shorowi. Tidak terlalu jauh dari rumah memang. Tapi entah kenapa, di hari kedua saya dan seorang kawan tidak menemukan satu bus pun yang beroperasi. Hanya satu minibus yang baru dating. Berjalan hingga pasar Tabbah pun, tidak satupun tramco yang bisa dinaiki. Penuh.
Akhirnya, sembari menunggu taksi lewat –barangkali ada- kami berjalan. Alhamdulillah jalanan tidak terlalu becek (heran deh, bagaimana sih sanitasinya, masak musim panas begini, bisa-bisanya becek?) saying beribu saying, mau naik taksi, lampu hijau yang menghiasi menara masjid sudah terlihat. Paling 100 meter di depan. Yup, akhirnya jalan deh.
Sampai di tempat sayyidat, alhamdulilllah masih kebagian tempat. Kami sholat Isya (telat euy). Seperti biasa, sholat tarawih, total delapan rekaat, empat kali sholat, masing-masing dua reka’at. Selesai rekaat keempat, diisi khutbah, dan berakhir dengan witir dan qunut.
Ada beberapa yang beda di masjid sekaligus Markas Hifdzul Quran al Ma’shorowi ini, dari delapan reka’at itu, sholat isya dan empat reka’at pertama di imami seorang syeh dan rekaat selanjutnya plus witir di imami oleh syekh yang berbeda. Juga witir di sana tidak langsung 3 reka’at melainkan 2 rekaat lalu 1 reka’at. Tempat sayyidat pun jauh lebih luas di banding masjid-masjid di perkampungan (iyalah!)
Sang khatib mengulas satu ayat. Ayat ke 31 dari surat Al-a’raf. Tentang berpakaian, ketika menuju masjid beserta adab-adabnya. Beliau juga menceritakan bagaimana Imam Malik saat mengajar, di mana beliau memakai pakaian yang bersih dan terpilih. Tidak lain karena sikap hormatnya kepada hadist-hadist Rosululloh shallallohu alaihi wa sallam. Khotib juga mengingatkan untuk tidak israf, atau berlebih-lebihan dalam memenuhi perut. Karena tidak ada wadah dalam keturunan Adam yang paling buruk kecuali perutnya. Dan beliau juga menyitir hadist Rosululloh shallallohu alaihi wa sallam. Agar manusia membagi ruang diperutnya untuk 3 hal. Makanan, minuman dan udara.
 Beliau juga menyampaikan bahwa seorang mukmin makan dengan satu lambung sementara orang kafir makan dengan tujuh lambung, saking tingginya hasrat mereka terhadap makanan. Dan terakhir, beliau menasehatkan agar tidak terlalu banyak makan, sehingga memberatkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah.
Sholat selesai kurang lebih pukul setengah sebelas. Kami pun pulang, setelah sebelumnya, kawan saya itu ‘tepar’. Katanya, “baru kali ini aku sholat tarawih lamanya begini”. Hehe, ini sih biasa di pondok saya, Mbak…

Thursday 19 July 2012

Malam Pertamaku

bismillah

Mengawali Bulan Ramadhan yang full berkah, sekaligus memanfaatkan peluang “agazah” alias ijin menginap di luar asrama. Saya pergi ke rumah seoraqng senior di kawasan Tabbah, terhitung pinggir Cairo. Dekat terminal akhir minibus dan sejumlah bus besar dengan nomor tertentu. Entah mengapa Mahattah akhir tersebut dinamakan arba’ wan nush (4,5).
Memasuki perkampungan, banyak umbul-umbul terpasang. Warna warni. Seperti menjelang HUT RI lah kalau di Indonesia. Ini sih lebih penting dari pada HUT RI, Ramadhan euy!!!
Masih tanpa info apakah Ramadhan tahun ini dimulai hari Jum’at atau sabtu, yang jelas tidak aka nada polemic seputar penentuannya seperti di Indonesia. Begitu mendapat kabar dari Koran online, bahwa Dar Ifta’ memutuskan bahwa Ramadhan dimulai pada hari Jum’at, segera bakda Isya saya segera menuju masjid terdekat guna mengikuti sholat tarawih.
Kebetulan senior-senior dan seorang kawan di rumah tidak bisa menemani saya yang ingin benar-benar merasakan bagaimana tarawih di Mesir. Maklum lha, ini Ramadhan pertama saya di bumi kinanah. Berhubung adzan Isya telah berkumandang beberapa saat sebelumnya, daripada sholat di rumah, saya putuskan untuk sholat di masjid terdekat. Letaknya hanya beberapa meter dari rumah.
Setelah sholat Isya, sholat tarawih dimulai. Raka’at pertama, mulai dari al Baqarah hingga seperdelapan juz. Lantunan qiroah Hafs dari sang imam, cukup membuat telinga ini nyaman, meski berada dalam ruangan sayyidat yang lumayan sempit. Sholatnya dua reka’at- dua reka’at. Mengikuti hadist Rosululloh Shallallohu alaihi wa as salam, “sholatul laili matsna…matsna”
Setelah mencapai setengah juz, khutbah pun dimulai. Berbeda dengan di Indonesia yang biasanya di adakan setelah reka’at yang kedelapan usai. Sang khatib berkhutbah dengan lantang dan menggebu-gebu. Setidaknya, itu sudah biasa di kalangan masyarakat Mesir.
Khatib sedikit mengingatkan jama’ah mengenai surat Al Baqarah yang tadi dibaca imam. Untuk siapa baqarah itu disembelih! Yang berujung pada anjuran bagi jama’ah untuk terus berusaha dalam mensucikan hati dalam bulan Ramadhan ini. Juga untuk meninggalkan hal yang sia-sia. Seperti meninggalkan ‘musalsal’ dan sejenisnya. (waduuh…(^_^)”??) dan tak lupa, beliau mengingatkan untuk terus mendoakan ikhwah kita yang tengah berjuang melawan kedzoliman, wa bil khusus fi Suriah. Di akhir khutbahnya, ia berdoa untuk kebaikan seluruh ummat Islam dan memohon pertolongan Alloh Ta’ala untuk ikhkwah di Suriah khususnya. Sholat Tarawih berlanjut hingga selesai juz 1. Ditutup witir dengan qunut pada akhir reka’at. Sekali laghi, untuk ikhwah yang di Suriah.
Dan ada hal baru yang saya rasa agar berbeda. Entah apa. Namun memang sepertinya saya tidak sering merasakan sholat tarawih sepanjang satu juz, langsung bakda Isya. Ya, mulai kecil di masyarakat sekitar, belum pernah sholat tarawih di masjid kampung dengan bacaan sepanjang satu juz. Beranjak di pesantren, iya, biasanya satu juz sekali qiyamullail. Di sepertiga malam, bukan langsung bakda Isya. Pun ketika saya masih kelas satu MTs dii pesantren, kami diwajibkan qiyamullail berjamah pada dini hari. Sedang untuk periode selanjutnya, khusus anak kelas satu MTs ada rukhsoh ‘keringanan’ untuk tarawih bakda ISya langsung.
Pun ketika sudah lulus pesantren, biasanya saya ikut I’tikaf, dan tentu qiyamullail dengan satu juz (biasanya) di sepertiga malam. Jadi, kalau untuk tarawih satu juz, bakda sholat Isya langsung, jarang sekali saya rasakan.
Ala kulli hal Alhamdulillah. Semoga malam-malam berikutnya mendapat kesempatan untuk sholat di masjid yang berbeda-beda. Agar merasakan sholat tarawih yang berbeda pula.  Karena bacaan imam satu masjid dengan masjid lainnya berbeda-beda. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Sebagaimana halnya yang saya ikuti di masjid kampung Tabbah tersebut, itu termasuk yang cepat bacaannya, karena jam sebelas sudah selesai.
Sekian dulu sedikit yang saya alami pada malam pertama bulan Ramadhan di Cairo. Semoga disempurnakan pertemuan dengan Ramadhan tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Amin.










Thursday 12 July 2012

Akankah Ustadz Pergi? (part 2)

bismillah

Aku memutar otak. Memutar kembali slide-slide peristiwa yang ku lalui. Slide berhenti saat Umar menepuk punggungku ketika kami membaca koran. Secara spontan kuraba punggung seragamku. Terasa ada kertas yang menempel di sana. Setelah ku tarik dan, tertulis besar di sana... ”TERORIS”
Ku tempelkan kertas itu di dahi dan menatap Umar yang duduk jauh di bangku belakang, ”Seharusnya kamu tempel di jidatku saja! Aku ingin Amerika menembakku di sini, agar cepat syahid! ” kelakarku.
Ku biarkan teman-teman tertawa sepuasnya karena taK lama kemudian seorang Ustadz datang dan pelajaran pun di mulai.
***
Sabtu pagi ketika lima menit yang lalu bel istirahat berdering. Beberapa santri –termasuk aku- berdiskusi seputar tema yang tak pernah membosankan bagi kami. Terorisme.
Jiwa muda kami terbakar begitu topik diskusi mengenai Ustadz Azzam yang masih di tahan polisi dan tidak satupun keluarga dan kerabat yang boleh menjenguk sehingga tidak ada kabar mengenai keadaan beliau.
Umar yang juga ikut berdiskusi tiba-tiba berjalan ke depan kelas, melepas sepatunya, memindahkan Al Quran yang ada di laci meja terdepan ke meja di belakangnya, lalu mulai menaiki kursi. Kaki kirinya ada di atas kursi dan kaki kanannya di atas meja. Ia melepas ikat pinggang dan mengikatnya di kepala. Gayanya bak pasukan pejuang kemerdekaan yang siap untuk berorasi membakar semangat pejuang lainnya.
Kini satu tangannya terkepal. Aku tak sabar ingin tahu apa yang akan ia katakan ketika bertingkah konyol seperti ini.
”Wahai, Mujahid-mujahid yang berkorban demi tegaknya Islam! Ayo kita lawan mereka yang mengatakan bahwa kita adalah teroris! Allohu akbar!!”
Satu tangannya meninju udara, serentak kami melakukan hal yang sama, ”Allohu akbar!!’
”Allohu ak...” Takbir Umar terputus oleh pintu yang terbuka tiba-tiba.
”Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.”
Ustadz Hafidz!
Umar berusaha secepatnya turun. Ku lihat Ustadz Hafidz hanya menggeleng-gelengkan kepala. Seisi kelas hanya bisa cekikikan.
”Umar bisa malu juga...” bisikku di telinga Jundi. Sesungging senyum segera tampak di wajahnya.
”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Darahku seakan berpacu cepat melalui pembuluh-pembuluh di sekujur tubuhku. Mujahid!
”Iftahuu kitaabakum! Nastamir ilaa darsil jadiid...
Aku segera membuka halaman buku yang telah ku baca semalam. Ustadz Hafidz selalu meminta kami untuk membaca pelajaran yang akan di pelajari esok hari.
”Assalamualaikum!” seorang Ustadz muda tiba-tiba masuk kelas dengan wajah pucat pasi. Ia segera membisikkan beberapa kalimat di telinga Ustadz Hafidz.
”Ya, tunggu sebentar.” Aku hanya sempat mendengar itu dari Ustadz hafidz yang tampak santai saja. ”Mujahid-mujahidku, kalian hafalkan lima ayat yang ada di halaman sepuluh. Afwan, Ustadz pergi dulu, ini sedang ada...” kalimat beliau terputus karena terburu-buru keluar kelas. Sepertinya hal yang sangat penting sekali. Belum pernah beliau meninggalkan kelas dengan cara seperti ini.
Spontan beberapa santri melongo keluar kelas. Aku yang paling depan. Kulihat beberapa polisi menghampiri Ustadz Hafidz dan menunjukkan sebuah kertas putih yang terlipat. Tak sampai satu menit kemudian, tangan Ustadz Hafidz di borgol dan ditarik pergi. Kami yang melihat hal itu secara spontan keluar kelas dan mengejar Ustadz yang tengah digelandang beberapa polisi berbadan besar.
”Heh, mau di bawa ke mana Ustadz kami!” Ku tarik tangan salah seorang polisi yang segera mendorongku. Aku nyaris terjungkal.
”Ustadz!” aku berusaha sekali lagi mencegah polisi itu membawa Ustadz favoritku di bantu beberapa santri lainnya. Tapi usaha kami sia-sia. Beberapa polisi berpakaian preman lainnya segera datang dan menghalangi kami dari Ustadz Hafidz.
”Ustadz Hafidz!!” Aku berteriak meski hal itu tidak akan mengembalikan Ustadz Hafidz pada kami.
”Innalloha ma’anaa!! Allohu akbar!” itu kalimat yang terakhir ku dengar dari beliau sebelum akhirnya di paksa masuk dalam sebuah mobil kijang.
”Allohu akbar!!” Sambutan takbir di teriakkan oleh kami semua. Mengiringi kepergian Ustadz kami tercinta.
Tak lama kemudian, beberapa Ustadz menyuruh kami memasuki kelas.
Umar berdiri dengan tangan terkepal, dua mata elangnya menatap ke depan penuh amarah. Aku belum pernah melihatnya seserius ini. ”Apa yang mereka inginkan, hah?! Siapa yang akan mengajar kita di kelas ini? Siapa? Siapa?!” dua kristal bening menetes di wajahnya. Kelas hening berkutat dengan pikiran masing-masing. Apa yang kami pikirkan tetap sama. Ustadz Hafidz. Rasanya benar-benar memuakkan!!
Aku maju ke depan kelas. Menatap setiap pasang mata yang balas menatap ke arahku.
”Kita tahu bahwa Ustadz Hafidz adalah ustadz yang baik dan tidak mungkin melakukan tindak kriminal. Terlebih terorisme, betul?”
Secara kompak dan bersemangat, semua menjawab,”Betul!”
”Kemarin, sebelum apel pagi di mulai beliau menasehati beberapa santri yang masih ku ingat apa isi nasehat itu. Tugas utama kita di sini adalah belajar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kita pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidz yang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa! Allohu akbar!!”
”Allohu akbar!” seisi kelas menyambut.
”Kita laksanakan apa yang beliau perintahkan pada kita tadi.”
Aku kembali ke bangkuku. Dan mulai menghafalkan lima ayat yang beliau perintahkan. Jundi mengikutiku. Juga Umar, lalu Adi, lalu Ridwan, Hadi, dan semuanya. Satu persatu kami hafalkan ayat itu...
”Yaa ayyuhalladzinaamanusta’iinubisshobriwassholah, innalloha ma’asshoobiriin...
Bibirku terasa bergetar...
”Walaataquuluulimanyuqtalufiisabiilillahiamwat,bal ahyaauwwalaakin laatasy’uruun....
Bola mataku terasa basah...
”Walanabluwannakum bisyaiim minnal khoufi wal juu’i wannaqsil amwaali wal anfusi wastsamaroot, wabasysyirisshobiriin...
Aku tak lagi sanggup membendungnya....
”Alladziina idzaa ashoobathummusiibah, qooluu innalillahi wa innalillahi rooji’uun...
Apakah seorang mujahid tak boleh menangis?
”Ulaaika ’alaihim sholawaatum min robbihii wa rohmah, ulaaikahumul muhtaduun...
Kepada siapa akan ku setorkan hafalan tahfidku ini?
Aku tak sanggup menatap ke meja ustadz. Karena ku tahu, Ustadz Hafidz tidak duduk di sana untuk menyimak hafalan surat Al Baqoroh ini.....
Ketua
Tukang tidur
Kata kerja
Halaman empat
Apa yang terjadi?
Melebihi mata kaki
Jamak dari ustadz
Sesungguhnya Alloh bersama kita
 Buka buku kalian! Kita lanjutkan ke pelajaran baru
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 153)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Alloh, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al Baqoroh : 154)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaankepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 155)
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ”Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun” (Al Baqoroh : 156)
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al Baqoroh : 157)

Wednesday 11 July 2012

Akankah Ustadz Pergi?Akankah Ustadz Pergi? (part 1)


“Assalamualaikum waraohmatullohi wa barokatuh!”
            Pintu kelas terbuka dan seperti biasa, pada jam pelajaran ke lima setelah istirahat di hari Sabtu, selalu terdengar salam khas dari ustadz favoritku.
            Suara beliau tidak terlalu menggelegar, kurasa. Tapi menurutku, yang membuat serentak seisi kelas hening tanpa suara, adalah wibawa beliau. Ustadz yang bijaksana, ramah dan paling penyabar bila kami-para santri – belepotan ketika menyetorkan hafalan.
            Aku menoleh ke barisan bangku belakang, Umar ”and The Gank” yang baru saja membuat suasana kelas tak ubahnya seperti pasar, kini duduk manis di kursi masing-masing. Anehnya, tak satupun penghuni kelasku yang protes pada rois kelas jika mereka membuat kegaduhan. Bukan karena takut pada bocah-bocah konyol itu. Tapi, kami menikmatinya. Ya, menikmati joke-joke segar mereka, walau terkadang sedikit keterlaluan.
            Tidak semua yang gaduh adalah pertengkaran atau kerusuhan, tapi bisa jadi tingkah konyol yang menggila sehingga membuat perut terasa sakit akibat tertawa terpingkal pingkal. Dan itulah yang di lakukan Umar ”and The Gank”, di kelas.
            Baru saja mereka berbuat usil dengan Hadi. Ketika istirahat, Hadi yang memang memiliki julukan Abu Naum itu terlelap di atas meja dengan dua lengannya sebagai sandaran kepala. Umar cs segera beraksi begitu Hadi benar-benar terlelap. Dua orang mengambil karet gelang dan mulai mengucir kecil-kecil rambut Hadi yang mulai gondrong di bagian depannya. Sementara seorang mengambil spidol yang tintanya mudah luntur dan bergerak melukis selengkung garis di antara mulut dan hidung Hadi. Seorang lagi mengikat tali sepatu Hadi di kaki kursi. Dan setelah semua selesai, Umar menutup dua lubang hidung Hadi dengan sobekan besar kertas dari buku tulisnya yang telah ia remas seukuran kelereng dan menyelotip mulutnya .
            Namun yang membuat alisku berkerut adalah, Hadi tidak bereaksi hingga sekitar satu menit kemudian! Hm, aku tidak pernah merasa bersalah jika memanggilnya Abu Naum.
            Selang satu menit dari kejadian itu... kurasa kalian bisa menebak apa yang terjadi.
            Hadi terbangun setelah oksigen benar-benar tidak bisa masuk melalui saluran napasnya. Yang pertama ia lakukan ialah melepas selotip dari mulutnya lalu mengeluarkan sobekan besar kertas dari lubang hidungnya. Ia mencoba menghampiri Umar yang tak perlu sangsi ia yakini sebagai biang kerok dari semua ini. Namun,
            BUG!
            ”Auugh!!” dua lututnya terburu mencium lantai. Mana mungkin Hadi sadar dengan apa yang terjadi pada tali sepatunya.
            Terdengar gelegar tawa membahana. Nyaris seisi kelas menekan perut menahan tawa.  Bagaimana tidak tertawa melihat rambutnya yang seperti anak perempuan di taman kanak-kanak, juga wajahnya yang kucel sehabis tidur! Hadi tidak marah, mungkin karena ia sudah terbiasa mendapat perlakuan itu oleh Umar. Belum sempat ia menghampiri Umar, dan terdengarlah salam dari Ustadz Hafidz.
            Sandiwara selesai.
            Segera setelah melepas beberapa karet gelang yang mengucir rambutnya, hadi izin keluar kelas dengan menutup mulutnya.
            Ustad Hafidz hanya tersenyum kecil seperti melihat kenakalan anak kecil.
            ”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Ustadz Hafidz selalu membuka pelajaran dengan panggilan itu, ”yaa,, ayyuhal mujaahiduun..”, panggilan yang amat sangat ku suka.
Mujaahiduun...
Aku termasuk mujahid. Mujahid!!
”Secara terminologi, mujahid berasal dari fi’il, jahada yajhadu. Yang artinya bersungguh-sungguh. Akan tetapi secara etimologi arti mujahid adalah seseorang yang mempertahankan atau berjuang demi agama Islam.”
Aku teringat jawaban Ustadz hafidz ketika suatu ketika ku tanya tentang arti mujahid.
Hm, bila aku mujahid, maka berarti aku seperti Khalid bin Walid, atau Umar bin Khathab, atau Usamah bin Zaid. Ugh, betapa hebatnya...
”Zaid! Lanjutkan!”
”Ha?!”
Aku tergagap. Celaka! Pelajaran telah dimulai dan aku justru melamun.
”Sampai mana tadi?” Setengah berbisik ku senggol lengan Jundi yang duduk di sampingku.
”Shofhah robiah.” jawab Jundi setengah berbisik.
Aku segera membuka buku arab gundul halaman empat. Sementara Ustadz Hafidz tersenyum kecil melihatku yang membuka buku dengan tangan bergetar.
***
”Zaid, Zaid!” Jundi berlari ke arahku dengan napas memburu.
”Madzaa hadatsa?” tanyaku.
”Hh...hh..” Rupanya nafas Jundi masih tersenggal-senggal. ”Us..Ustadz Azzam, ustadz Azzam!”
”Ada apa dengan Ustadz Azzam?” tanyaku panik.
”Ustadz Azzam di tangkap polisi semalam!”
”Hah?!” mulutku menganga seolah tak percaya. Setahuku beliau adalah Ustadz yang baik. Dan bukan tipe pelaku kriminal. Aku yakin penangkapan ini berkaitan dengan fitnah seputar teroris.
Pagi hari sebelum apel dimulai. Aku dan beberapa santri mengerubungi Ustadz Hafidz yang kebetulan tengah duduk-duduk depan kantor.
”Ustadz Azzam ditangkap polisi ya, Tadz?”
”Kenapa?”
”Apa karena tuduhan teroris?’
Kami memberondong beliau dengan beberapa pertanyaan. Namun jawaban pertama beliau adalah segaris senyum bijak yang sulit untuk kami tafsirkan.
Setelah mengusap rambut dan pundak beberapa dari kami beliau baru berkata, ”Benar Ustadz Azzam semalam ditangkap polisi.”
Kami tidak lagi menyela beliau dengan beberapa pertanyaan karena tahu, beliau akan segera menjelaskan yang sebenarnya terjadi tanpa kami minta.
”Beliau ditangkap atas tuduhan dugaan terlibat dengan jaringan terorisme.” Ustadz Hafidz menghela napas. Seperti ada beban berat di sana.
Hati kami serasa mendidih. Ugh! Andai saja aku bersama Ustadz Azzam saat terjadi penangkapan, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk melindungi beliau agar tidak ditangkap polisi! Aku tidak akan percaya bila beliau di tuduh sebagai teroris! Aku tahu benar bagaimana baik dan ramahnya Ustadz Azzam.
”Kita do’akan saja agar tuduhan itu tidak terbukti.” Ujar Ustadz Hafidz bijak. Namun hatiku semakin panas ingin melawan polisi yang telah menangkap Ustadz kami. Ini tidak mungkin. Apa karena beliau berjenggot lebat, memakai celana tidak isbal dan selalu memakai peci?!
”Ustadz, ayo kita datang ke kantor polisi dan kita beri pelajaran pada polisi itu! Seenaknya saja menangkap ustadz kita!!” Ujarku membara.
Santri lain segera bersorak mendukungku. Tapi Ustadz Hafidz justru terkekeh.
”Kalian tidak usah berpikir macam-macam. Nanti justru ikut ditangkap oleh polisi.” beliau tersenyum geli.
”Lho, kita harus bela Ustadz kita yang tidak bersalah, tadz!”
Ustadz tersenyum sekali lagi lalu menepuk-nepuk bahuku, ”Kalian ini masih muda, semangat begitu meledak-ledak.”
”Bukan begitu caranya, Zaid. Apa dengan melawan polisi lantas Ustadz Azzam di bebaskan dan semua beres?” Retoris.
”Sudah-sudah, kita do’akan saja agar Ustadz Azzam secepatnya dibebaskan. Tugas kalian di pesantren ini adalah untuk belajar.”
”Tapi kita kan di ajarkan untuk membela saudara kita yang tidak bersalah!” Protesku.
”Ya, benar. Tapi tugas utama kalian di sini tetap belajar. Ingat, be-la-jar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kalian pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidzyang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa.
Bel berdering dua kali. Saatnya untuk apel pagi. Sepuluh menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi, para santri di wajibkan mengikuti apel pagi, setiap hari. Selain bertujuan untuk mendisiplinkan santri, apel di isi pula dengan do’a-do’a supaya kami dipermudah Alloh dalam menuntut ilmu. Dengan sendirinya kami membubarkan diri.
Selesai apel, aku berjalan menuju papan pengumumam yang biasa digunakan untuk memajang koran. Di pesantrenku, media terbaik untuk mendapat informasi seputar dunia luar pesantren adalah koran. Tidak ada televisi, tidak ada radio atau barang elektronik lainnya. Terkadang bila ada berita heboh, ustadz-ustadz segera browsing berita di internet, lalu memajang print outnya di papan pengumuman, berjejer dengan koran-koran.
Aku benar-benar tidak ingin sekalipun melewatkan membaca berita di papan pengumuman. Harus terus mengikuti perkembangan. Karena yang kurasa, nyaris setiap hari ada saja berita baru yang menghebohkan.
Yang pertama kali ku baca adalah headline yang selalu terpajang di halaman depan. Hm, ternyata topiknya masih sama dengan kemarin. Terorisme.
Huh, memang terorisme harus dihentikan. Tapi bukan terorisme seperti yang dikumandangan Amerika. Karena aku tahu, perang melawan terorisme yang pertama kali di serukan mantan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush seolah di nisbatkan kepada Islam, agamaku. Aku tidak bisa menerima ini. Islam adalah agama perdamaian. Islam sendiri, secara terminologi berarti perdamaian. Aku lebih tidak menerima bila simbol-simbol Islam turut pula dicap sebagai simbol terorisme. Hatiku serasa mendidih saat membaca berita-berita yang memojokkan Islam. Islam tidak pernah menyerukan tindakan teror kecuali bila umat Islam diteror terlebih dahulu. Bukankah kini fakta berbalik arah, umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam justru dikucilkan, bahkan dicurigai sebagai teroris. Aku heran, siapakah yang sebenarnya lebih layak mendapat gelar teroris?
Kurasakan tepukan keras di belakang punggungku,”Apa berita terbarunya, Zaid?”
Rupanya Umar. Aku hanya menunjuk halaman headline dan membiarkannya membaca sendiri. Bel pelajaran pertama berdering. Ustadz Hafidz keluar kantor dan menyuruh kami meninggalkan papan pengumuman.
”Ayo, Zaid, membaca koran bisa kamu lanjutkan saat istirahat nanti.” Seperti biasa, aku yang terakhir kali meninggalkan papan pengumuman.
Saat memasuki kelas, aku mendengar beberapa santri cekikikan di belakangku. Sepertinya menertawakanku. Aku menoleh, mereka justru tertawa. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku? Entahlah. Lebih baik bersikap masa bodoh.

”Zaid, cepat atau lambat kamu akan ditangkap Amerika!” Jundi tertawa begitu aku duduk di kursiku.

*ku tulis sekitar 3 tahun lalu