bismillah
Malam ini, aku sedikit merenung,
berkontemplasi. Sebelumnya, maaf saja kalau aku banyak menulis tentang diriku,
yang tentu bias saja berbeda dengan anda atau orang lain.
Tentang amarah, emosi, temperamen,
entah apa sebutan lainnya yang mewakili. Dalam kondisi marah, entah itu marah
pada keadaan, orang lain atau bahkan diri sendiri –aku menyebutnya ‘penyesalan’.
Apa yang terjadi dalam otakku adalah kebekuan. Ya, otak yang serasa membeku
sehingga menghambat jalannya pikiran yang sebelumnya mengalir lancer.
Dalam keadaaan seperti itu pula,
setan-setan terasa berkelebatan mengitari setiap gerak, pandangan dan perasaan.
Mereka seolah membisikkan segala yang berbau apatisme dan kerusakan. Jadi,
apapun bias terjadi. Aku bahkan bias menghamburkan sekian LE untuk hal yang
remeh temeh. Aku bias mengitari Cairo dengan membuang biaya dan waktu tanpa
berpikir panjang. Pun aku bias melampiaskan pada orang yang saat itu telah
berbuat baik padaku.
Itu mengapa aku setuju.sangat.
dengan peryataan bahwa orang yang marah itu ‘junun’, gila! Dan setelah semua
itu terjadi. Ketika benak semakin mencair, meleleh, pikiran berjalan lancer kembali,
yang terjadi adalah penyesalan.
Maka, aku tak seirama dengan
mereka yang mengatakan bahwa ‘menyembunyikan kemarahan’ –khususnya- terhadap
orang lain adalah ‘ketidakjujuran’. Justru sebaliknya, semisal aku marah dengan
seseorang, dan aku cukup sadar bahwa jika kutampakkan kemarahan dan kebencianku
padanya, maka nantinya aku akan menyesal. Karena aku tak ingin itu terjadi, aku
memilih untuk diam.
Bukan berarti aku munafik. Dan
jangan artikan sikap itu sebagai ketidakjujuran. Justru itu adalah berpikir
lebih panjang. Karena aku cukup sadar bahwa segala tindakan yang kulakukan
ketika ‘marah’ adalah ‘gila’. Maka aku
lebih memilih untuk diam. Menunggu otakku untuk mencair.
Karena seringkali, jika aku
membenci seseorang karena kesalahannya, dan suatu hari aku menemukan kebaikan
darinya. Tumbuhlah penyesalan karena pernah membencinya. Dan penyesalan itu
sakit, kawan. Buatku. Entah untukmu.