Friday 18 April 2014

Dari Tepi Kairo (2)

bismillah
Ablah Gheda menyambutku dengan senyum dan pelukan hangat. Fitri, relawan sepertiku lebih dahulu sampai. Hari  pertama, tentu saja perkenalan.


“Ini Ablah Rani.” Ablah Gheda menunjukku.
Sorot mata polos mereka fokus, keluguan khas bocah tidak tertutupi rambut gimbal, baju kusam dan ujung kuku mereka yang panjang dan hitam. Bukan anak-anak jika situasi tenang dapat bertahan lebih dari hitungan menit. Kelas kembali gaduh.
Di sini, tiidak ada pemisahan usia layaknya PAUD dan TK di Indonesia. Entah tiga atau lima tahun semua bersama dalam kursi-kursi mini dan meja yang disekat tembok-tembok berlukiskan taman bunga dengan dominasi warna yang tak lagi dapat disebut biru muda.
Aku dan Fitri. Kami tak sampai hati bila mengikuti cara pembelajaran ala Ablah Gheda yang ia ajarkan di hari pertama. Bila ada yang tidak ikuti perintah, kau boleh pukul. Duh, kami yang tak pernah menjadi guru TK saja tak sampai hati melihatnya. Bukan pukulan ala Indonesia, tapi Mesir. Plak!
Barangkali anak-anak merasa lebih beruntung karena pada hari-hari berikutnya, kami tak pernah setega itu.
Memang wajib sabar.
Di sela-sela pelajaran menggambar misalnya, aku dan Fitri berkeliling dan memotong kuku mereka satu demi satu. Wajah-wajah imut mereka seperti boneka di toko mainan anak-anak, andai sedikit lebih bersih saja. Bahkan seringkali aku memandang dekat wajah Heba, gadis kecil anak sopir tuk-tuk. Apakah bulu matanya palsu atau sudah terpoles maskara? Ku colek pipi chubynya, ia berkedip dan barulah aku yakin itu asli.
“Eih da?” tanyaku pada Ahmed yang berusia 3 tahun. Di sela-sela waktu istirahat kami sering bercanda bersama mereka.”fi isy wa la baidh wa la burtu’al?” tanyaku sambil mengusap perutnya yang menggelembung.
“Isinya isy.” Jawab Mahmud, kakaknya yang setahun lebih tua. Sementara adiknya hanya diam memandangku sembari asyik menyesap ibu jarinya.
Di waktu istirahat, anak-anak diperkenankan jajan dengan uang saku mereka. Rata-rata satu rubu’ atau nus, meski ada beberapa yang diberi uang saku satu pound oleh orang tuanya. Uang saku standar untuk anak-anak kurang mampu yang belajar di sekolah gratis ini. Tak ada baju seragam apalagi grup drumband. Mereka datang lalu kami ajak menghafal hadits-hadits pendek, itu sudah kebahagiaan tersendiri. Apalagi bagi Ablah Gheda yang berjuang mendirikan sekolah kecil ini. Sayang, kami hanya bisa membantu di saat masa libur kuliah saja.
mattmoyer.photoshelter.com
Kami juga diperkenankan untuk beristirahat jika sewaktu-waktu merasa lelah. Sebuah bilik kecil bersanding dengan ruang kelas. Dinding-dindingnya tidak terbangun simetris. Khas flat-flat murah level penduduk kelas bawah. Ada selapis tikar rombeng sebagai alas dan sebuah bantal buluk untuk sandarkan kepala.
Pernah suatu ketika aku terbangun dari tidur di bilik kecil itu. Ku dapati Fitri tengah merapikan bangku dan meja. Yusuf yang berusia empat tahun nampak kesulitan memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Ku hampiri dia dari belakang, mencoba membantu memasukkan barangnya yang berbungkus plastik. Ia terkejut. Tangannya terayun menampar wajahku. Tidak sengaja, itu yang ku tangkap dari sorot matanya yang menyesal. Tapi ia langsung berlari. Pergi menelusup dalam keramaian pertokoan.
“Ya Yusuf!” panggilku. Jelas tak akan membuatnya kembali. Bagi sebagian orang, begitulah watak Mesir. Tapi buatku, yang barusan adalah seorang bocah yang tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa sesal dan terkejutnya.
Di hari lain.
Pelajaran menggambar. Temanya, binatang. Dua puluhan anak sibuk mengekspresikan bakat melukis mereka di atas selembar kertas. Anak tiga tahun-an hanya membuat bulatan tak sempurna yang bengkok di sana sini dengan beberapa garis tak beraturan. Disebutnya itu kucing. Anak-anak yang lebih tua juga tidak jauh berbeda. Hanya saja lekukan mereka sedikit lebih sempurna. Hanya satu anak yang membuatku terpesona. Ali namanya.
Saat kutanya, ia jawab menggambar singa. Dan memang sab’in fil mi-ah mirip singa jantan. Dengan rambut coklat tebal memenuhi kepala yang membuatnya tampak besar dan garang. Terlalu sempurna untuk seorang anak TK. Menjiplak? Ah, mana mungkin. Jelas-jelas aku melihat tangannya menari-nari di atas kertas yang sebelumnya kosong.
Ku sampaikan penilaianku pada Fitri. Ia bilang,”Orang tuanya pelukis jalanan.”
Oh...
“Mama dan Babanya?!” kurang yakin.
Tapi Fitri mengangguk mantap. Barulah aku percaya bakat genetik itu ada. Tapi bagaimana ia dapat menggambar dengan detil dan mempesona begitu? Ia bilang pernah melihatnya di televisi, berarti dia mengcopy-paste dari sana. Jadi, sesuatu yang konyol dan tolol jika ada yang menyuruh anak-anak menggambar Tuhan. Pikiran Mereka yang polos hanya melukis apa yang pernah mereka tangkap dengan indra. Sedang Tuhan tak pernah ditangkap langsung dengan indra.
Aku tersenyum sendiri, jika beruntung, mungkin beberapa belas tahun lagi Ali akan membuka pameran mandiri untuk lukisan-lukisannya. Atau, menjadi sebatas pewaris orang tuanya. Pelukis jalanan. Semoga tidak.
Yusuf datang. serta merta merobek gambar singa-nya Ali. Pertengkaran tak terelakkan. Sekali lagi, ala Mesir, bukan Indonesia ataupun Melayu. Pukul. Tampar. Tendang. Aku dan Fitri yang berusaha melerai cukup merasakan tenaga ekstra anak-anak Bumi Kinanah ini.
Mungkin Yusuf cemburu melihatku yang terkagum-kagum dengan gambar Ali. Namun tetap saja kami paksa ia untuk meminta maaf. Harus dengan sedikit ancaman. Tidak boleh pulang.
Marwah, gadis kecil yang paling banyak hapalan haditsnya itu pun ikut bercakap kepada Ali. “La Tagdhab!”
Ganna pun ikut-ikutan,”Shollu alannabi!”
Olala! Gaya anak-anak ini lucu sekali. Sayang, sebagai guru, rasa gemasku harus ditahan.
Syukur, akhirnya Yusuf mau meminta maaf.
Dua bulan masa liburan sudah terlewat. Sesuai kesepakatan, aku dan Fitri mengakhiri khidmah begitu masa aktif kuliah datang.
Ada kesedihan meninggalkan tatap mata bening bocah-bocah itu. Di pertemuan terakhir, ku kecup kepala mereka satu persatu. Tak lagi peduli dengan tampang kucel dan bau tubuh yang entah kapan terakhir kali mandi. Aku masih tak dapat meneropong ke masa depan. Akan seperti apa nantinya? Anak-anak yang terpaksa hidup di pinggir dalam kerasnya gemerlap kota tersibuk se-benua Afrika ini. Ah, hampir aku lupa, mereka punya takdir. Dan mereka punya usaha.
Satu pekan terlepas. Dalam bayang-bayang kesibukan kuliah beberapa kali rindu menyusup. Anak-anak itu, sedang belajar apa sekarang? Berapa ayat dan hadits yang sudah mereka hapal?
Di dalam bus, lagi-lagi aku melihat papan reklame UU Perlindungan Anak dengan foto bocah yang tersenyum. Aku tersenyum miris.
Seorang anak kecil menaiki tangga bus dengan sebungkus plastik bening kusam penuh permen. Dari rambutnya yang gimbal dan pakaiannya yang kusut tak beraturan membuatku menarik suatu kesimpulan. Penjual permen.
ilo.org
Kakinya berjalan cepat namun lambat bagi orang dewasa. Dengan tangan mungilnya menaruh tiap dua buah permen seharga satu pound di tiap pangkuan penumpang, Sebagaimana lazimnya pedagang dalam bus. Banyak yang menyebut profesi begitu, pengemis. Tapi buatku bukan. Mereka pedagang. Yang disayangkan dari penjual kecil ini adalah usianya yang mengiris hati. Apa yang dilakukan orangtua bocah sekecil ini sehingga harus mencari pundi-pundi junaih seorang diri?
Mau tak mau pikiranku tersangkut pada dua bulan yang kulalui bersama anak-anak yang terlahir dari kelas bawah itu. Ya Rabb...
Ketika bocah itu sampai di tempatku. Ku kembalikan permen yang ia taruh dengan menyertakan receh satu pound. Wajahnya menengadah, lalu terkesiap. Sama sepertiku. Yusuf!
Ia berlari. Tidak peduli pada beberapa permen yang belum diambilnya dari penumpang lain. Bus melaju lambat. Ku lihat ia meloncat dari tangga bus. “Ya Yusuf!” teriakanku tak membuatnya berhenti. De javu.
Tak sampai sedetik sebuah mobil dari belakang melaju kencang lalu mengerem dengan cepat. Ya Rabb, tubuhnya terpental. Tidak! Selanjutnya bocah cilik itu jatuh satu meter dari bemper mobil yang tak mulus itu.
Tak ada darah. Syukurlah.
Ketika orang-orang mulai berkerumun, ia bangkit. Lalu berlari. Aku hanya mengelus dada. Kekhawatiranku beberapa detik lalu berhenti sudah. Namun Yusuf kecil tetap berlari menembus keramaian manusia di siang bolong. Ia terus berlari. Meski kenyataan tidak pernah berlari pergi secepat yang ia harapkan.

NB: dimuat dalam Buletin Terobosan Edisi 361



Wednesday 16 April 2014

Diri Sendiri

bismillah

di dunia ini banyak permasalahan yang lebih layak dibahas ketimbang 'diri sendiri'. Entah anda sepakat atau tidak, buat saya, apapun itu, selama bisa diambil hikmahnya, why not?


Saya lelah.
Menurut saya, beberapa kawan irresponsible. Itu yang membuat saya frustasi.
Sedikit-sedikit mengeluh, lalu marah. Saya kira stok kesabaran sudah habis. Namun setelah dipikir ulang, tidak seberapa besar kesalahan di sisi kawan-kawan. Saya merasa setiap usaha saya harus berbuah manis. Seperti mangga yang manis dipohonnya. Tak boleh ada ulat yang berpesta dalam istana buah.
Padahal harapan seperti itu mustahil terus-menerus terjadi. Terlebih dalam kerja tim. Saya tak mungkin memaksa orang lain-yang berbeda prioritas dan sudut pandang- mengikuti apa mau saya.
Saya menyalahkan kawan. Padahal sebenarnya itu adalah ekspresi ketidakpuasan pada hasil kerja saya yang-rasanya- tidak dihargai.
Lalu saya teringat Ummi saat berkata pada seorang asing yag bertanya perihal saya. “Ainun ini sifatnya masih kekanakan,” Benar, saya tak pernah berontak pada statemen itu. tapi bukan karena paham betul. Karena baru sekarang saya mulai sadar. Sifat kekanakan saya, ya di sini. Selalu ingin idealita menjadi realita. Padahal dunia bukan milik saya seorang.
Saya tak ingin diam dan tidak berbuat. Pembenahan selalu saya usahakan. Dengan begitu akselerasi kebaikan diri tak boleh putus. Mindset saya harus dirubah, sesekali boleh juga saya jatuh, untuk tahu rasa kegagalan itu bagaimana. Karena seorang senior pernah bilang, salah satu yang membuat Firaun menjadi ‘firaun’ adalah perasaan tak pernah gagal.
Dan...
Agak-agaknya saya menyadari sesuatu,

Saya belum siap menerima orang lain di sisi saya.

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
"...dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah..." (QS Yusuf:87)

Wednesday 9 April 2014

Setia

bismillah

Ku buka diary lama.
7 tahun lalu.
Ku dapati seorang,
tipe setia.
Minimal, gaya tulisan tangannya tidak berubah.
Tanyakan pada kawanku,
Tak ada yang tak terkejut.
Did U see?
Ia setia.
Loyal.
kaku seperti robot.
Lurus tapi keras.
Birokratis.
Idealis yang naif.
Dan barangkali...
Membosankan

Sunday 6 April 2014

thanks

bismillah
Selepas lulus dari pesantren,
saya tak lagi berhasrat punya sahabat dekat
tak ingin berkawan karib,
apalagi saling mengetahui curahan hati,
terlebih berinteraksi dengan intens 24 jam

semua saya kubur,
meski naluri 'cerewet' ala wanita sesekali bocor juga
tapi jujur,
saya tak ingin punya kawan dekat,
baik perempuan atau kaum adam,
(entah kalau candaan saya ditafsirkan 'kedekatan')

apa?
bukan kenapa.
saya tak ingin menyiksa kawan,
tak ingin buatnya menderita,
karena kebusukan-kebusukan saya


semakin kami dekat,
semakin ia tahu busuk pribadi saya
makin ia sadari kontrasnya 'in' dan 'out'
makin ia tahu saya bagai kedondong
mulus di luar, menusuk di dalam

walau bagaimanapun,
terimakasih,
untuk semua orang yang terpaksa berada di sekelilingku
untuk cinta, sayang, ukhuwah dan segalanya...

#bukan sedang galau, hanya mencoba bangkit dari pribadi yang inferior