bismillah
Ablah Gheda
menyambutku dengan senyum dan pelukan hangat. Fitri, relawan sepertiku lebih
dahulu sampai. Hari pertama, tentu saja
perkenalan.
“Ini Ablah
Rani.” Ablah Gheda menunjukku.
Sorot mata
polos mereka fokus, keluguan khas bocah tidak tertutupi rambut gimbal, baju
kusam dan ujung kuku mereka yang panjang dan hitam. Bukan anak-anak jika
situasi tenang dapat bertahan lebih dari hitungan menit. Kelas kembali gaduh.
Di sini, tiidak
ada pemisahan usia layaknya PAUD dan TK di Indonesia. Entah tiga atau lima
tahun semua bersama dalam kursi-kursi mini dan meja yang disekat tembok-tembok
berlukiskan taman bunga dengan dominasi warna yang tak lagi dapat disebut biru
muda.
Aku dan Fitri.
Kami tak sampai hati bila mengikuti cara pembelajaran ala Ablah Gheda yang ia
ajarkan di hari pertama. Bila ada yang tidak ikuti perintah, kau boleh pukul. Duh,
kami yang tak pernah menjadi guru TK saja tak sampai hati melihatnya. Bukan
pukulan ala Indonesia, tapi Mesir. Plak!
Barangkali
anak-anak merasa lebih beruntung karena pada hari-hari berikutnya, kami tak
pernah setega itu.
Memang wajib
sabar.
Di sela-sela
pelajaran menggambar misalnya, aku dan Fitri berkeliling dan memotong kuku
mereka satu demi satu. Wajah-wajah imut mereka seperti boneka di toko mainan
anak-anak, andai sedikit lebih bersih saja. Bahkan seringkali aku memandang
dekat wajah Heba, gadis kecil anak sopir tuk-tuk. Apakah bulu matanya palsu
atau sudah terpoles maskara? Ku colek pipi chubynya, ia berkedip dan
barulah aku yakin itu asli.
“Eih da?” tanyaku
pada Ahmed yang berusia 3 tahun. Di sela-sela waktu istirahat kami sering
bercanda bersama mereka.”fi isy wa la baidh wa la burtu’al?” tanyaku sambil mengusap
perutnya yang menggelembung.
“Isinya isy.”
Jawab Mahmud, kakaknya yang setahun lebih tua. Sementara adiknya hanya diam
memandangku sembari asyik menyesap ibu jarinya.
Di waktu
istirahat, anak-anak diperkenankan jajan dengan uang saku mereka. Rata-rata
satu rubu’ atau nus, meski ada beberapa yang diberi uang saku
satu pound oleh orang tuanya. Uang saku standar untuk anak-anak kurang mampu
yang belajar di sekolah gratis ini. Tak ada baju seragam apalagi grup drumband.
Mereka datang lalu kami ajak menghafal hadits-hadits pendek, itu sudah
kebahagiaan tersendiri. Apalagi bagi Ablah Gheda yang berjuang mendirikan
sekolah kecil ini. Sayang, kami hanya bisa membantu di saat masa libur kuliah
saja.
mattmoyer.photoshelter.com |
Kami juga
diperkenankan untuk beristirahat jika sewaktu-waktu merasa lelah. Sebuah bilik
kecil bersanding dengan ruang kelas. Dinding-dindingnya tidak terbangun
simetris. Khas flat-flat murah level penduduk kelas bawah. Ada selapis tikar
rombeng sebagai alas dan sebuah bantal buluk untuk sandarkan kepala.
Pernah suatu
ketika aku terbangun dari tidur di bilik kecil itu. Ku dapati Fitri tengah
merapikan bangku dan meja. Yusuf yang berusia empat tahun nampak kesulitan
memasukkan sesuatu ke dalam tasnya. Ku hampiri dia dari belakang, mencoba
membantu memasukkan barangnya yang berbungkus plastik. Ia terkejut. Tangannya
terayun menampar wajahku. Tidak sengaja, itu yang ku tangkap dari sorot matanya
yang menyesal. Tapi ia langsung berlari. Pergi menelusup dalam keramaian
pertokoan.
“Ya Yusuf!”
panggilku. Jelas tak akan membuatnya kembali. Bagi sebagian orang, begitulah
watak Mesir. Tapi buatku, yang barusan adalah seorang bocah yang tidak tahu
bagaimana mengekspresikan rasa sesal dan terkejutnya.
Di hari lain.
Pelajaran
menggambar. Temanya, binatang. Dua puluhan anak sibuk mengekspresikan bakat melukis
mereka di atas selembar kertas. Anak tiga tahun-an hanya membuat bulatan tak
sempurna yang bengkok di sana sini dengan beberapa garis tak beraturan.
Disebutnya itu kucing. Anak-anak yang lebih tua juga tidak jauh berbeda. Hanya
saja lekukan mereka sedikit lebih sempurna. Hanya satu anak yang membuatku
terpesona. Ali namanya.
Saat kutanya,
ia jawab menggambar singa. Dan memang sab’in fil mi-ah mirip singa
jantan. Dengan rambut coklat tebal memenuhi kepala yang membuatnya tampak besar
dan garang. Terlalu sempurna untuk seorang anak TK. Menjiplak? Ah, mana
mungkin. Jelas-jelas aku melihat tangannya menari-nari di atas kertas yang
sebelumnya kosong.
Ku sampaikan
penilaianku pada Fitri. Ia bilang,”Orang tuanya pelukis jalanan.”
Oh...
“Mama dan
Babanya?!” kurang yakin.
Tapi Fitri
mengangguk mantap. Barulah aku percaya bakat genetik itu ada. Tapi bagaimana ia
dapat menggambar dengan detil dan mempesona begitu? Ia bilang pernah melihatnya
di televisi, berarti dia mengcopy-paste dari sana. Jadi, sesuatu yang konyol
dan tolol jika ada yang menyuruh anak-anak menggambar Tuhan. Pikiran Mereka
yang polos hanya melukis apa yang pernah mereka tangkap dengan indra. Sedang
Tuhan tak pernah ditangkap langsung dengan indra.
Aku tersenyum
sendiri, jika beruntung, mungkin beberapa belas tahun lagi Ali akan membuka
pameran mandiri untuk lukisan-lukisannya. Atau, menjadi sebatas pewaris orang
tuanya. Pelukis jalanan. Semoga tidak.
Yusuf datang.
serta merta merobek gambar singa-nya Ali. Pertengkaran tak terelakkan. Sekali
lagi, ala Mesir, bukan Indonesia ataupun Melayu. Pukul. Tampar. Tendang. Aku
dan Fitri yang berusaha melerai cukup merasakan tenaga ekstra anak-anak Bumi
Kinanah ini.
Mungkin Yusuf
cemburu melihatku yang terkagum-kagum dengan gambar Ali. Namun tetap saja kami
paksa ia untuk meminta maaf. Harus dengan sedikit ancaman. Tidak boleh pulang.
Marwah, gadis
kecil yang paling banyak hapalan haditsnya itu pun ikut bercakap kepada Ali.
“La Tagdhab!”
Ganna pun
ikut-ikutan,”Shollu alannabi!”
Olala! Gaya
anak-anak ini lucu sekali. Sayang, sebagai guru, rasa gemasku harus
ditahan.
Syukur,
akhirnya Yusuf mau meminta maaf.
Dua bulan masa
liburan sudah terlewat. Sesuai kesepakatan, aku dan Fitri mengakhiri khidmah
begitu masa aktif kuliah datang.
Ada kesedihan
meninggalkan tatap mata bening bocah-bocah itu. Di pertemuan terakhir, ku kecup
kepala mereka satu persatu. Tak lagi peduli dengan tampang kucel dan bau tubuh
yang entah kapan terakhir kali mandi. Aku masih tak dapat meneropong ke masa
depan. Akan seperti apa nantinya? Anak-anak yang terpaksa hidup di pinggir
dalam kerasnya gemerlap kota tersibuk se-benua Afrika ini. Ah, hampir aku lupa,
mereka punya takdir. Dan mereka punya usaha.
Satu pekan
terlepas. Dalam bayang-bayang kesibukan kuliah beberapa kali rindu menyusup.
Anak-anak itu, sedang belajar apa sekarang? Berapa ayat dan hadits yang sudah
mereka hapal?
Di dalam bus,
lagi-lagi aku melihat papan reklame UU Perlindungan Anak dengan foto bocah yang
tersenyum. Aku tersenyum miris.
Seorang anak
kecil menaiki tangga bus dengan sebungkus plastik bening kusam penuh permen.
Dari rambutnya yang gimbal dan pakaiannya yang kusut tak beraturan membuatku
menarik suatu kesimpulan. Penjual permen.
ilo.org |
Kakinya
berjalan cepat namun lambat bagi orang dewasa. Dengan tangan mungilnya menaruh
tiap dua buah permen seharga satu pound di tiap pangkuan penumpang, Sebagaimana
lazimnya pedagang dalam bus. Banyak yang menyebut profesi begitu, pengemis.
Tapi buatku bukan. Mereka pedagang. Yang disayangkan dari penjual kecil ini
adalah usianya yang mengiris hati. Apa yang dilakukan orangtua bocah sekecil
ini sehingga harus mencari pundi-pundi junaih seorang diri?
Mau tak mau
pikiranku tersangkut pada dua bulan yang kulalui bersama anak-anak yang
terlahir dari kelas bawah itu. Ya Rabb...
Ketika bocah
itu sampai di tempatku. Ku kembalikan permen yang ia taruh dengan menyertakan
receh satu pound. Wajahnya menengadah, lalu terkesiap. Sama sepertiku. Yusuf!
Ia berlari.
Tidak peduli pada beberapa permen yang belum diambilnya dari penumpang lain.
Bus melaju lambat. Ku lihat ia meloncat dari tangga bus. “Ya Yusuf!” teriakanku
tak membuatnya berhenti. De javu.
Tak sampai
sedetik sebuah mobil dari belakang melaju kencang lalu mengerem dengan cepat.
Ya Rabb, tubuhnya terpental. Tidak! Selanjutnya bocah cilik itu jatuh
satu meter dari bemper mobil yang tak mulus itu.
Tak ada darah. Syukurlah.
Ketika orang-orang mulai
berkerumun, ia bangkit. Lalu berlari. Aku hanya mengelus dada. Kekhawatiranku
beberapa detik lalu berhenti sudah. Namun Yusuf kecil tetap berlari menembus
keramaian manusia di siang bolong. Ia terus berlari. Meski kenyataan tidak
pernah berlari pergi secepat yang ia harapkan.
NB: dimuat dalam Buletin Terobosan Edisi 361