bismillah
“Dan
yang terbaik adalah meletakkan husnuddzon –prasangka baik atasNya”
Sesekali saat keluar asrama.
Melewati trotoar -selebar jalanan kampung Indonesia, menuju mahattah (halte
bus). Pemandangan yang pada awalnya ku kira sesuatu yang di luar kebiasaan. Menyadarkanku
bahwa klise kehidupan yang berwarna-warni di tiap garis kehidupan seseorang.
Yang menentukan adalah takdir.
Hari ini mungkin cuaca seperti yang
kau perkirakan untuk esok. Tapi, siapa menjamin? Untuk itulah, takdir bermain.
Esok mungkin tetap sama. Atau kau rasa lebih baik. Atau mungkin terhitung
musibah buatmu. Seberapapun perkiraan kita. Alloh Maha Tahu. Dan yang terbaik
adalah meletakkan husnuddzon –prasangka baik atasNya. Dan mencuri takdirNya
bukan berarti kau bisa merubah apa yang akan menimpamu.
Kembali pada “sesuatu”.
Di lain waktu, kutemukan hal
serupa. Tidak sama persis dengan objek yang sebelumnya kulihat memang. Namun
nyaris kutemui di tiap ruas jalan. Di dalam bus. Di jalanan berdebu, bahkan di
bangku-bangku kuliah. Pun dengan kondisi berbeda-beda. Yang selalu berujung
pada gumam hamdalah dalam hati. Syukur atas kondisi yang selama ini dan sampai
saat ini Alloh berikan untukku. Juga untuk keluarga dan kawan-kawan terdekatku.
Kesehatan.
Keselamatan.
Kesempurnaan fisik.
Ya, para pemakain gips, entah di
lengan atau kaki. Para pemakai collar penyangga leher, juga puluhan penyandang
cacat, utamanya kaki, yang biasa menghiasi pemandangan kota Kairo.
Awal menyadarinya, kupikir bahwa
pemenuhan gizi pada mayoritas masyarakat adalah kurang. Tidak tercukupi. Atau
pengetahuan mereka akan kebutuhan gizi terlalu buruk. Sehingga banyak yang
terlahir dalam keadaan cacat. Tapi hipotesaku pantas untuk dieliminasi. Saat
salah seorang kawan berkomentar,”Wajar saja. Gaya setir orang Mesir itu kan
sembrono!”
Olala! Baru saat itu benang merah
tersambung. Benar juga. Pikirku. Meski aku belum pastikan akan kebenarannya,
atau bertanya langsung dengan para penyandang tentang sebabnya.
Ya, gaya setir yang ugal-ugalan.
Kau tahu, bahkan serasa tak ada beda antara naik jet coaster dengan naik bus
umum di jalanan padat Kairo!
Lampu rambu-rambu lalu lintas yang
lebih tidak berharga dibanding petugas lalu lintas alumni wajib militer. Belum
lagi kebiasaan menyebrang jalan sembarangan. Bukan tidak mungkin terjadi banyak
kecelakaan. Jadi… “wajar saja”, banyak penyandang cacat.
Tapi, begini lah Kairo. Kalau tidak
begitu, mungkin kami tak bisa membeli stroberi di musim semi dengan 4 pound atau
jeruk abou soura dengan 2 pond di musim dingin.
Semua itu menyadarkanku. Bahwa kita
tak pernah tahu. Apa yang akan menimpa kita esok hari. Apa yang akan menimpa
keluarga kita, kawan-kawan dan kerabat kita. Dan dengan kekuatan terbesar kita
sebagai muslim –doa- selalu kita berharap yang terbaik untuk esok hari.
Hari ini mungkin kita bisa berjalan
congkak dengan pakaian terindah yang dimiliki. Untuk esok, siapa menjamin?
Wajah sempurna yang senantiasa kita rawat ini, akankah tetap dengan
“kesempurnaan” versi kita esok hari? Perut yang senantiasa terisi dengan menu
bergizi dan lezat hari ini, bisakah kita rasakan esok hari? Dan hirupan udara
segar pagi ini, bisakah kita rasakan kembali esok hari?
Dan untuk kesempurnaan hari ini,
suara dari langit itu turun,
“Nikmat yang manakah lagi yang akan
kau dustai?”
فَبِأَيِّ
آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ