Monday 30 April 2012

Dan yang Terbaik...

bismillah

“Dan yang terbaik adalah meletakkan husnuddzon –prasangka baik atasNya”
Sesekali saat keluar asrama. Melewati trotoar -selebar jalanan kampung Indonesia, menuju mahattah (halte bus). Pemandangan yang pada awalnya ku kira sesuatu yang di luar kebiasaan. Menyadarkanku bahwa klise kehidupan yang berwarna-warni di tiap garis kehidupan seseorang. Yang menentukan adalah takdir.
Hari ini mungkin cuaca seperti yang kau perkirakan untuk esok. Tapi, siapa menjamin? Untuk itulah, takdir bermain. Esok mungkin tetap sama. Atau kau rasa lebih baik. Atau mungkin terhitung musibah buatmu. Seberapapun perkiraan kita. Alloh Maha Tahu. Dan yang terbaik adalah meletakkan husnuddzon –prasangka baik atasNya. Dan mencuri takdirNya bukan berarti kau bisa merubah apa yang akan menimpamu.
Kembali pada “sesuatu”.
Di lain waktu, kutemukan hal serupa. Tidak sama persis dengan objek yang sebelumnya kulihat memang. Namun nyaris kutemui di tiap ruas jalan. Di dalam bus. Di jalanan berdebu, bahkan di bangku-bangku kuliah. Pun dengan kondisi berbeda-beda. Yang selalu berujung pada gumam hamdalah dalam hati. Syukur atas kondisi yang selama ini dan sampai saat ini Alloh berikan untukku. Juga untuk keluarga dan kawan-kawan terdekatku.
Kesehatan.
Keselamatan.
Kesempurnaan fisik.
Ya, para pemakain gips, entah di lengan atau kaki. Para pemakai collar penyangga leher, juga puluhan penyandang cacat, utamanya kaki, yang biasa menghiasi pemandangan kota Kairo.



Awal menyadarinya, kupikir bahwa pemenuhan gizi pada mayoritas masyarakat adalah kurang. Tidak tercukupi. Atau pengetahuan mereka akan kebutuhan gizi terlalu buruk. Sehingga banyak yang terlahir dalam keadaan cacat. Tapi hipotesaku pantas untuk dieliminasi. Saat salah seorang kawan berkomentar,”Wajar saja. Gaya setir orang Mesir itu kan sembrono!”
Olala! Baru saat itu benang merah tersambung. Benar juga. Pikirku. Meski aku belum pastikan akan kebenarannya, atau bertanya langsung dengan para penyandang tentang sebabnya.
Ya, gaya setir yang ugal-ugalan. Kau tahu, bahkan serasa tak ada beda antara naik jet coaster dengan naik bus umum di jalanan padat Kairo!
Lampu rambu-rambu lalu lintas yang lebih tidak berharga dibanding petugas lalu lintas alumni wajib militer. Belum lagi kebiasaan menyebrang jalan sembarangan. Bukan tidak mungkin terjadi banyak kecelakaan. Jadi… “wajar saja”, banyak penyandang cacat.
Tapi, begini lah Kairo. Kalau tidak begitu, mungkin kami tak bisa membeli stroberi di musim semi dengan 4 pound atau jeruk abou soura dengan 2 pond di musim dingin.
Semua itu menyadarkanku. Bahwa kita tak pernah tahu. Apa yang akan menimpa kita esok hari. Apa yang akan menimpa keluarga kita, kawan-kawan dan kerabat kita. Dan dengan kekuatan terbesar kita sebagai muslim –doa- selalu kita berharap yang terbaik untuk esok hari.
Hari ini mungkin kita bisa berjalan congkak dengan pakaian terindah yang dimiliki. Untuk esok, siapa menjamin? Wajah sempurna yang senantiasa kita rawat ini, akankah tetap dengan “kesempurnaan” versi kita esok hari? Perut yang senantiasa terisi dengan menu bergizi dan lezat hari ini, bisakah kita rasakan esok hari? Dan hirupan udara segar pagi ini, bisakah kita rasakan kembali esok hari?
Dan untuk kesempurnaan hari ini, suara dari langit itu turun,
“Nikmat yang manakah lagi yang akan kau dustai?”


فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Monday 16 April 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...11

bismillah

Ada Budhe.. eyang.. bulik… ah… Ya Rabb… semua menangisi kepergianku.
Juga kawan-kawan, rekan, asatidzah, kakak-kakak, yang tak sempat aku pamiti… atas kondisi yang benar-benar tak memungkinkanku untuk bisa pergi untuk sekedar menghaturkan ucapan perpisahan. Ma’assalamah… maafkan aku…
Aku dan adikku meluncur ke Purwokerto, menjemput pakde Anto yang selanjutnya menemani dan membantu kami di Jakarta. Belum beranjak bus meninggalkan terminal. Seorang pedagang asongan melihat tiketku dan bertanya perihal harga tiket. Ia geleng-geleng kepala saat tahu bahwa tiket yang kubeli tersebut tiga kali lipat harga sewajarnya.
Aku dan adikku turun bus. Kami beradu mulut dengan calo yang akhirnya mengembalikan uang kami. Meski dia ambil sepuluh ribu juga. Haha. Biarlah…
Sampai di purwokerto, malamnya, kami bertiga. Aku, adikku dan pakde Anto meluncur ke Jakarta naik kereta. Shubuh sampai di rumah pakde Paino.
Ingat betul, diperjalanan, dengan sinyal yang seling-surup. Seorang sahabat di Solo mengaku amat sedih. Aku pergi tanpa sempat pamit. Ah, maaf Vin… keadaan benar-benar tidak memungkinkanku untuk berpamitan. Semua serba mendadak, tergesa dan tak terduga…
Hari itu juga, kami pergi ke kedubes. Dua pakde, adik dan aku. Menunggu beberapa jam –phufh…sabar deh. Kami mendapat jawaban bahwa petugas wanita –yang biasa mengurus visa, tengah ijin karena sakit. sedang petugas lain tak bisa menemukan berkas-berkasku. Kami disuruh datang besok. Huft.
Akhirnya pakde Anto harus segera kembali ke Purwokerto. Karena ada rapat dan urusan lain yang tak bisa ditinggalkan.
Setelah mengobrol dengan pakde Paino, barulah aku tahu bagaimana “ribet”nya mengurus legalisir dokumen-dokumenku. Mulai dari hasil terjemah ‘asli’ yang tidak dilegalisir –sesuai keterangan dari kemenham dan kemenlu. Namun setelah diserahkan kedubes, ternyata dibutuhkan. Dan pakdepun harus memaksa kemenlu dan kemenham untuk melegalisir terjemah asli.
Tidak hanya itu, juga ketika akan diserahkan ke kedutaan, pihak kedubes meminta cap dari notaris. Entah sudah berapakali pakde bolak-balik kedubes. Juga biaya yang dikeluarkan untuk mengurus dokumen-dokumen itu. “Saya heran, birokrasinya ribet amat..” keluh pakde dengan logat betawinya.
Belum lagi permintaan untuk bisa segera wawancara dengan konsuler, Mr Muhammad. Ternyata hal itu tidak diperlukan. Sedang pengurusan visa saja bisa diwakilkan oleh pakde. Jadi, sebetulnya tanpa aku datang ke Jakarta, pakde bisa menguruskan visa.
Esoknya, pakde mengurus visaku di kedubes. Dan kami harus menunggu beberapa hari hingga visa benar-benar turun.
Aku dan adikku memutuskan untuk silaturrahim ke kost teman di daerah Mampang. Alhamdulillah, sambutan dari dua orang temanku, Naylin dan Apik sangat hangat. Bahkan mereka mencari kenalan ikhwan, untuk ditumpangi adikku. Bercengkrama dengan mereka, benar-benar menjadi hiburan tersendiri, di tengah perasaanku yang campur aduk dalam menghadapi birokrasi yang ribet dalam keadaan keluarga tertimpa musibah.
Bahkan mereka bersedia mengantarku ke airport, sekiranya memungkinkan. Mereka mengusahakan. Padahal mereka tengah persiapan menghadapi ujian di kampus. Aku terharu… hehe

Sunday 8 April 2012

MENITI AWAL PERJALANAN 10

bismillah


Kami pun selalu memotivasi abi, “Ayo,bi. Cepat sembuh. Biar bisa antar Ainun ke bandara…”
Dua pekan dirawat di RS. Abi memutuskan untuk pulang. Meski belum pulih. Ya, setidaknya tangan dan kaki bisa bergerak, meski tidak bisa meniggalkan tempat tidur. Kata dokter memang, tinggal menggunakan bantuan fisioterapis saja, dan menunggu hingga pulih sempurna.
Aku ingat betul, tepat sebelum membawa abi pulang, dokter itu memperingatiku panjang lebar agar tidak sedikitpun menggeser dan mengutak-atik collar yang terpasang di leher abi.
Alhamdulillah. Abi pulang. Meski hanya bisa terbaring di atas tempat tidur.
Hingga datang panggilan dari Pakde di Jakarta. Ya, aku harus segera tiba di kedubes. Visa.
Esoknya, aku menelpon kedubes. Memastikan saja.
Pihak kedubes mengatakan bahwa aku harus wawancara dengan Mr. Muhammad. Entah siapa beliau. Aku meminta kelonggaran, karena wawancara yang dimaksud adalah agar aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar beasiswa di Mesir pada beliau, sedang aku tinggal di Solo. Sehingga akan memakan banyak waktu dan biaya jika bolak-balik Jakarta.
Pihak kedubes mengatakan bahwa ia akan menanyakan pada Mr Muhammad, perlu tidaknya wawancara tersebut. Sementara pakde di Jakarta mengira bahwa aku harus mengikuti test wawancara di kedubes. Sehingga menyuruhku untuk segera datang ke Jakarta.
Pakde Paino di Jakarta, bukan Mahromku. Jadi aku berangkat ke Jakarta –yang nantinya memakan waktu beberapa hari, pikirku, bersama adik laki-laki dan pakde ku –yang mahrom. Sebut saja Pakde Anto.
Pagi itu, pagi terakhir aku bisa melihat secara langsung wajah ummi yang meneteskan air mata. Mungkin tak akan sederas itu jika sanggup mengantarku hingga bandara. Juga abi… yang tergolek tak berdaya di atas ranjang. Aku harus rela meninggalkan abi setelah mencium kedua pipinya.
Aku ingat betul pesan ummi,”Kamu harus rajin ya… lihat saja, kamu pergi sedang keadaan keluarga seperti ini,  kami harus rela merelakankamu pergi dalam keadaan begini …”
Ya Rabb… pagi itu adalah aku yang sekuat tenaga tidak meneteskan air mata…

Friday 6 April 2012

MENITI AWAL PERJALANAN 9

bismillah

Kau tahu…
Aku hanya ingin menjadi seperti apa yang pernah ummi katakan, untuk tidak panik dan frustasi saat menghadapi situasi begini.
Namun nyatanya, seribu bayangan negatif menggantung sepanjang perjalananku ke Rumah Sakit. Air mata yang berusaha ku tahan sedikit demi sedikit meluncur deras.
Di Rumah Sakit.
Saat memarkir motor, ku lihat sepeda motor ummi sudah terparkir. Aku berputar-putar RS mencari ruang IGD. Yang pertama kali kulihat adalah sesosok abi yang tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit. beberapa luka kecil di tangan dan kaki, serta luka di kepala yang telah terjahit. Juga seragam guru yang penuh bercak darah di bawah ranjang.
Alhamdulillah abi sempat siuman, itu kata ummi. Kami hanya berharap tidak terjadi luka atau cacat serius pada abi. Mengingat empat anggota gerak badannya belum bisa digerakkan.
Ummi pergi untuk sholat ashar. Dan aku berjaga di samping abi yang tak lama kemudian membuka mata perlahan. Abi memanggilku. Menayakan apakah sudah masuk waktu sholat ashar. Aku mengiyakan.
Kemudian Abi bertanya dimana posisi tangan dan kakinya yang tak bisa digerakkan. Ya Rabb, semoga ini hanya lumpuh sementara…
Selanjutnya, tentu kau tahu.
Ya, hari-hariku disibukkan dengan shift jaga abi di RS. Bergantian dengan ummi dan adikku. Kami harus bergantian. Antara mengurus rumah dan menemani abi –yang tak mungkin ditinggal sendirian di RS. Leher belakang yang membentur trotoar, luka jahitan di kepala akibat helm yang pecah –kami sering menghibur abi dengan julukan “simoncelli kedua”, membuat cedera otot, sehingga nyaris seluruh badan abi tak bisa bergerak. Memang setelah beberapa hari di ruang HCU, ada sedikit kemajuan. Setidaknya jemari abi bisa bergerak sedikit. Sedikit.

Aku masih ingat, beberapa kali abi memanggilkku dan berkata,”nun, apapun yang terjadi. Meski abi masih dalam keadaan seperti ini. Rencanamu harus tetap jalan. Kamu harus tetap ke mesir.”
Ah, abi… 

Wednesday 4 April 2012

MENITI AWAL PERJALANAN 8

bismillah

Kami pun putar otak. Agar tidak menambah rupiah yang hilang akibat perencanaan yang kurang matang.
Besoknya, pagi-pagi selepas mengantar nenekku kajian. Aku meluncur ke biro titipan kilat. Mengirim seluruh dokumen, beserta fotokopi dan terjemahnya ke Jakarta. Ke rumah pakde Paino. Ya, nampaknya kami memang butuh bantuan beliau yang lebih berpengalaman. Di banding harus bolak-balik Solo Jakarta yang menghabiskan banyak biaya.
Selanjutnya, tinggal menunggu kabar dari pakde, kapan aku harus benar-benar ke Jakarta. Mengurus visa sekaligus langsung berangkat Jakarta-Cairo.
Baru istirahat sejenak, di tengah hari-hari kesibukanku hilir mudik mengurus persiapan keberangkatan. Alloh menguji kami sekeluarga. Sore itu, selepas mengantar nenek silaturrahim di Boyolali. Pulangnya, kami mampir ke rumah Bulik.
Belum sempat aku duduk di kursi, kata-kata itu terlanjur keluar dari mulut Bulik,
“Nun… abimu kecelakaan.”

Monday 2 April 2012

PA...CAR...?

bismillah

Ya, senja hari itu. Menampar.
Seorang kakak tingkat, yang lumayan dekat denganku. Berkomentar tentang obrolan kami di salah satu warung makan masisir.
Kurang lebih intinya begini…
“Halah, Nun…”
“Yang begitu ya namanya pacar. Sama saja!”
“Lho, kok bisa, Mbak?” tanyaku.
“Iyalah” Tegasnya,”meski tidak selalu berduaan, meski tidak pacaran seperti orang-orang pada umumnya. Tapi sama-sama suka!”
Lalu ia menambahkan,”meski tahu batas. Meski ngaku-ngaku “calon”. Wealah, ndak usah nyebut “calon”, sebut saja lah, PACAR!”
“Haha..” Aku tertawa, “Kamus hidup Mbak beda ya, sama kamus orang-orang pada umumnya…”
Dan ketika pulang, sendiri dalam bus. Aku merenung. Murottal Misyari Rasyid terdengar samar dari headset-ku.
Suasana keramaian malam pada musim semi cairo tak kuindahkan. Pun kerlip lampu dari kawasan kota nun jauh di balik kaca jendela bus yang sekaligus menampilkan wajahku, samar.
Pacar…?
Judul itu menghiasi benakku. Dan tak bisa, oh bukan. Tapi sulit untuk menghentikannya.
Ya…
 pacar?
Suka sama suka, tapi tak pernah melanggar aturan syar’ie.
Tapi suka sama suka.
Bagaimana bila “calon?”
Ah, tidak.
Sebut saja, “pacar”!

Suka sama suka.

Masih ada waktu untuk berbenah diri. Untuk upgrade niat.
Wallohu ta’ala a’lam

MENITI AWAL PERJALANAN 7

bismillah

Intinya, hari itu aku check up. Dan hari berikutnya, aku pergi ke rumah pak RT. Meminta surat pengantar SKCK, lalu ke rumah pak RW, Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan, dan akhirnya…Kantor Polres.
Esoknya, aku pergi ke Poltabes Surakarta. Masih meminta pengantar untuk SKCK. Ku pikir Cuma di stempel saja. Ternyata ada banyak persyaratan yang harus kupenuhi. Mulai dari paspor, hingga pemeriksaan dan pembuatan kartu sidik jari. Memakan waktu seharian.
Di hari berikutnya, aku dan abi meluncur ke Semarang. Yap, proses terakhir untuk SKCK. Di Polres Semarang, kami harus rela antri 2 jam. Maklum, saingan dengan para TKI dan TKW yang juga mengurus SKCK. Dua jam menunggu, akhirnya SKCK ku selesai. Aku dan abi pun langsung pulang ke Solo. Di Salatiga kami sholat ashar di sebuah masjid kecil. Dan di situ pula –karena kecerobohan, handphoneku tertinggal berikut nomor teleponnya. Hiks…. Handphone kesayanganku lho… masih bersyukur, jika saja nomor itu hilang sebelum kedubes menelpon… wah, kandas sudah beasiswaku. Ala kulli hal, Alhamdulillah.
Seluruh dokumen terkumpul. Selanjutnya, terjemah. Setelah browsing di google, aku menemukan tempat terjemah yang paling dekat. Di Semarang. Memang agak mahal, dibanding penerjemahan yang ditawarkan seorang teman (sekarang dia di Madinah lho, ehm) di kawasan Bekasi. Tapi, untuk lebih mudahnya, aku dan keluarga, memilih penerjemah di Semarang itu.
Setelah nego harga, akhirnya kami sepakat. Kira-kira total biaya menerjemah untuk 5 dokumen 900ribu rupiah. Berkisar segitu. Dan dikirim via ATM.
Malam itu juga, aku mengirim hasil scan seluruh dokumen via email, untuk bisa segera diterjemahkan. Setelah menunggu beberapa hari. Datang paket terjemah. Alhamdulillah, kami tidak ditipu. Hehe. Sempat khawatir juga sih.
Tapi, olala…
Nampaknya memang dikerjakan secara terburu-buru. Terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan namaku. Dan stempel penerjemah tersumpahnya hanya da di sebagian dokumen. Vatal.
Aku komplain dengan sang penerjemah. Ia meminta maaf dan berjanji segera mengirim ulang koreksinya. Huft. Artinya semakin membuang waktu saja.
Beberapa hari kemudian, hasil koreksi terjemah datang. Alhamdulillah.
Ummi berencana pergi ke Jakarta untuk mengurus legalisir dokumen-dokumenku. Setelah sore sebelum hari H berjuang memperebutkan tiket Argo Lawu yang nyaris diserobot ibu-ibu keturunan Arab.
Memang belum rejeki. Di tengah guyuran hujan, Ummi datang ke pintu pemeriksaan karcis, tepat lima menit setelah kereta meninggalkan stasiun. Tiga ratus ribu lebih melayang sudah. Hehe.