bismillah
Sebetulnya dijadwalkan
jemputan di asrama pukul 15.00, ternyata jam 14.30 bus sudah stand by. Mungkin karena
Kedubes Senegal tak mau ada keterlambatan. Di dalam bus, hanya saya dan seorang
kawan yang berkebangsaan Indonesia. Anak Thailand bisa dihitung jari, dua orang
Mesir dan sisanya, nona-nona benua coklat-mencontek istilah Arab. Setelah
diabsen, kaos dibagikan.
Meskipun kali
ini Mesir vs Senegal, saya kira hanya akan sedikit yang menonton. Tapi saat bus
perlahan mengitari komplek Cairo International Stadion, antusiasme supporter
Mesir tidak main-main. Dalam perjalanan-disebut perjalanan karena, meskipun
lokasi stadion dekat dengan asrama, tapi macet plus satu kali putaran hingga
melewati komplek Anwar Sadat- setiap kali musyaji’ itu melihat bus kami,
mereka akan memutar ibu jari ke arah bumi, sambil meneriakkan yel-yel dan
tertawa mengejek, kata mereka,”tiga-kosong!”. Saya sesekali tertawa bersama
kawan. Siapapun yang menang kami takkan peduli. Di sela itu saya berimajinasi
ringan, seandainya warna hitam dendera dan aksesoris Mesir ini dirobek, jadilah
Indonesia. Hm... semoga tidak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kami jadi
supporter Senegal. Malu lah. Haha.
*Madinah al Buuts al Islamiyah
Abbasea, Cairo
Dini hari, 3.29
*Sedikit kontemplasi: ada kalanya saya menulis bukan supaya orang memperlakukan saya dengan sikap tertentu. Bukan.
Saya ingin tulisan disikapi sebagai tulisan. bukan sebagai siapa si penulis.
Saya ingin berbagi. Dan berekspresi. Bas!
what about you?
Sesuatu yang
tidak pernah saya inginkan sebelumnya, dan ini sedikit di luar rencana. Beberapa
hari lalu, iseng-iseng saya minta didaftarkan seorang kawan asrama. Seorang
mahasiswi Senegal menawarkan seat supporter negaranya. Saya bukan maniak bola,
hanya sesekali pernah nonton di televisi. Itu pun dulu. Dulu sekali. Lalu saya
pikir, mumpung di luar negeri, pertandingan internasional, dapat aksesoris plus
jemputan, ada kawan, free pula. Boleh deh!
Dalam bus |
Di atas kaos berwarna
latar putih itu ada bendera Senegal; hijau, kuning, merah dan satu bintang
kecil di tengah, juga lambang CAF (Confederation of African Football-alias
Prancisnya Confederation Africaine de Football). Ada dua kalimat tertulis. Saya
tak tahu apa artinya. Bahasa Prancis. Saat tanya petugas, kalimat pertama dia
bilang,”kulluna dhidda Ebola” we against Ebola, kita semua lawan Ebola. O, jadi, kampanye lawan Ebola. Wabah ini memang sedang mendera di Afrika. Saya tidak
tanya kalimat kedua karena dia kelihatan sibuk. Yang jelas, pertandingan ini
merupakan bagian dari rentetan Piala Afrika yang diselenggarakan 2 tahun
sekali. Biasanya dihelat pada bulan Januari-Februari. Artinya, acara puncak
akan digelar tahun besok. Pantas saja, saya banyak lihat tulisan 2015 di
spanduk dan kaos-kaos.
Melihat supporter Senegal |
Dua kali
pemeriksaan dan dua gerbang yang harus diterobos dengan merunduk-saking
ketatnya penjagaan oleh sekuriti. And then... ya! Stadion!
Ini pertama
kali saya ke stadion yang berisi supporter. Yeah! I feel it!
Ya..ya.. jadi
begini toh, rasanya jadi supporter di bangku First Class. Satu tujuan kami
menghemat baterai handphone. Selfie dan jeprat jepret sana sini. Ups, hehe.
Saya melihat
lautan manusia dalam pekik histeria. Terompet, lukisan bendera di pipi,
polisi-polisi, bendera-bendera, teriakan, sorot lampu dan tangan-tangan yang
bergerak seirama. Seperti di televisi, tapi tidak seluas yang saya kira. Mungkin
karena posisi bangku di tengah, tidak terlalu jauh, lapangan hijau dan
kemampuan melihat nomor punggung pemain lapangan. Tapi kata kawan,”oh, ini
paling Cuma sepertiga GBK”.
Jumlah
supporter Senegal-termasuk saya dan puluhan anak asrama Buuts- tidak sampai
sepersepuluh supporter Mesir. Pintar sekali, tidak perlu keluarkan banyak yel,
cukup andalkan sound system besar di ujung depan untuk teriakkan rekaman
yel-yel.
ambil foto dengan supporter Senegal asal China |
Magrib
menggema sejak sebelum masuk stadion, puluhan supporter bergantian sholat di
belakang bangku. Ada pemandangan yang cukup menarik buat masyarakat Indonesia,
andai saja saya punya kamera yang lensanya seharga belasan juta. Tak apalah, mata saya
cukup jelas merekam seorang polisi berseragam hitam yang melepas sepatu dan
beberapa atribut lalu sholat di tepi-agak tengah- lapangan hijau. Begitu pula
setelah Isya, beberapa offisial saya lihat sholat di tepi lapangan, agak ke
tengah. Mungkin menghindari keramaian yang amat sangat. Sedangkan kami, sembari
menanti antrian sajadah, kawan saya ngobrol sejenak dengan sekuriti Mesir yang
cukup ramah. Olala, dia mahasiswa tingkat 3 Azhar Tanta.
Seorang polisi tengah sholat dalam posisi rukuk di lapangan |
1-0
untuk Senegal!
Teriakan saya
kalah dengan histeria puluhan manusia berkulit hitam. Ups, reflek. Pokoknya
saya niatkan pengalaman nonton bola “beneran” ini sekali saja. Buat obati rasa
penasaran. Sebetulnya saya ada janji silaturahim ke rumah seorang senior yang
punya baby. Tapi dengan banyak pertimbangan, rasa-rasanya tak mungkin keluar stadion
menuju mahattah seorang diri. Maafkan saya, kakak. (^o^)
Di sini
saya-selaku orang yang kuper bola- belajar beberapa hal. Dari injury time, kode
wasit pinggir sampai bagaimana cara menggerakkan bendera jumbo oleh supporter. Hehe.
Sampai babak
kedua, skor belum berubah. Saya cukup paham bagaimana seorang bapak Mesir yang
menonton dari bangku Senegal menepuk pundak anak lelakinya, saat timnas Mesir
tak kunjung membalas gol Senegal.
Hello, ini Mesir lho. Negara dengan rekor terbanyak penyabet juara Piala Afrika sejak 1957. Saya juga tidak heran dengan histeria supporter Mesir mengingat banyak cerita kawan Masisir tentang fanatisme warga terhadap bola dan klub andalan mereka. Cukup jelas tergambar penantian mereka akan gol balasan. Iya, wajah para sekuriti berjas dan berdasi rapi hanya datar namun penuh gelora yang ditahan. Alias geregetan.
Bapak dan anak Mesir duduk di bangku Senegal |
Hello, ini Mesir lho. Negara dengan rekor terbanyak penyabet juara Piala Afrika sejak 1957. Saya juga tidak heran dengan histeria supporter Mesir mengingat banyak cerita kawan Masisir tentang fanatisme warga terhadap bola dan klub andalan mereka. Cukup jelas tergambar penantian mereka akan gol balasan. Iya, wajah para sekuriti berjas dan berdasi rapi hanya datar namun penuh gelora yang ditahan. Alias geregetan.
Ada satu hal
yang patut disayangkan, mendekati akhir babak kedua, sebuah batu melayang ke
bangku supporter Senegal. Berasal dari atas. Di mana supporter Mesir
berkerumun. Tidak tahu siapa yang berbuat ulah, karena penglihatan kami
terhalang oleh beton pembatas tingkat atas. Seorang supporter terluka. Saya sempat
melihat, ia dipandu menuju ruang medis, dengan tangan kanan menutup kepala dan
tangan kiri menadah darah yang bercucuran. Tak ada penanganan khusus. Kecuali para
polisi yang disiagakan di kanan bangku supporter. Itupun tidak mencegah
lemparan-lemparan botol, terompet dan sampah dari atas. Hm... saya dan kawan
putuskan mundur ke bangku yang agak atas. Di bawah beton. Demi keamanan.
Beberapa supporter wanita menaruh tas di atas kepala menghindari lemparan dari atas |
Tuh kan. Saya
nggak akan “nonton” bola lagi. Diakidkan oleh kejadian semacam ini. cukup
sekali ini sebagai obat penasaran. Ini pun dengan beberapa keluhan sepanjang
pertandingan. Mau tahu apa? “Duh, laparnya. Ndak Ada yang jualan kacang ya?”
Jadi terbayang obrolan seorang kawan di grup Whatsapp asrama. “Eh, kalau gue
jualan kacang di stadion Cairo, laku banyak pasti ya?” Sayang tidak ada yang
berani membuktikan.
Begitulah,
hingga pukul 10 lewat, akhirnya kami bisa pulang dengan bus yang sama. Namun kali
ini lebih padat. Karena banyak mahasiswa asrama yang lebih dulu menyusup dalam
bus mahasiswi. Ya sudahlah, berdiripun tak apa. Rasa penasaran sudah terobati,
dan untungnya tak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kehadiran kami. Saya dan
seorang kawan berdiri di bus agak belakang. seorang berwajah Asia memberi kursi
untuk mahasiswi Afrika. Saya dan seorang kawan yang melihat mahasiswa Asia berjaket
merah itu tertegun. Spontan menahan nafas. Erm... tidak. Tidak apa-apa.
Hanya saja
tulisan di belakang jaket pemuda itu membuat kami terkejut. INDONESIA.
Abbasea, Cairo
Dini hari, 3.29
*Sedikit kontemplasi: ada kalanya saya menulis bukan supaya orang memperlakukan saya dengan sikap tertentu. Bukan.
Saya ingin tulisan disikapi sebagai tulisan. bukan sebagai siapa si penulis.
Saya ingin berbagi. Dan berekspresi. Bas!
what about you?