Saturday 15 November 2014

Egypt vs Senegal

bismillah
Hari ini saya ke stadion. Nonton bola!
Sesuatu yang tidak pernah saya inginkan sebelumnya, dan ini sedikit di luar rencana. Beberapa hari lalu, iseng-iseng saya minta didaftarkan seorang kawan asrama. Seorang mahasiswi Senegal menawarkan seat supporter negaranya. Saya bukan maniak bola, hanya sesekali pernah nonton di televisi. Itu pun dulu. Dulu sekali. Lalu saya pikir, mumpung di luar negeri, pertandingan internasional, dapat aksesoris plus jemputan, ada kawan, free pula. Boleh deh!
Dalam bus
Sebetulnya dijadwalkan jemputan di asrama pukul 15.00, ternyata jam 14.30 bus sudah stand by. Mungkin karena Kedubes Senegal tak mau ada keterlambatan. Di dalam bus, hanya saya dan seorang kawan yang berkebangsaan Indonesia. Anak Thailand bisa dihitung jari, dua orang Mesir dan sisanya, nona-nona benua coklat-mencontek istilah Arab. Setelah diabsen, kaos dibagikan.
Di atas kaos berwarna latar putih itu ada bendera Senegal; hijau, kuning, merah dan satu bintang kecil di tengah, juga lambang CAF (Confederation of African Football-alias Prancisnya Confederation Africaine de Football). Ada dua kalimat tertulis. Saya tak tahu apa artinya. Bahasa Prancis. Saat tanya petugas, kalimat pertama dia bilang,”kulluna dhidda Ebola” we against Ebola, kita semua lawan Ebola. O, jadi, kampanye lawan Ebola. Wabah ini memang sedang mendera di Afrika. Saya tidak tanya kalimat kedua karena dia kelihatan sibuk. Yang jelas, pertandingan ini merupakan bagian dari rentetan Piala Afrika yang diselenggarakan 2 tahun sekali. Biasanya dihelat pada bulan Januari-Februari. Artinya, acara puncak akan digelar tahun besok. Pantas saja, saya banyak lihat tulisan 2015 di spanduk dan kaos-kaos.
Melihat supporter Senegal
Meskipun kali ini Mesir vs Senegal, saya kira hanya akan sedikit yang menonton. Tapi saat bus perlahan mengitari komplek Cairo International Stadion, antusiasme supporter Mesir tidak main-main. Dalam perjalanan-disebut perjalanan karena, meskipun lokasi stadion dekat dengan asrama, tapi macet plus satu kali putaran hingga melewati komplek Anwar Sadat- setiap kali musyaji’ itu melihat bus kami, mereka akan memutar ibu jari ke arah bumi, sambil meneriakkan yel-yel dan tertawa mengejek, kata mereka,”tiga-kosong!”. Saya sesekali tertawa bersama kawan. Siapapun yang menang kami takkan peduli. Di sela itu saya berimajinasi ringan, seandainya warna hitam dendera dan aksesoris Mesir ini dirobek, jadilah Indonesia. Hm... semoga tidak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kami jadi supporter Senegal. Malu lah. Haha.
Dua kali pemeriksaan dan dua gerbang yang harus diterobos dengan merunduk-saking ketatnya penjagaan oleh sekuriti. And then... ya! Stadion!
Ini pertama kali saya ke stadion yang berisi supporter. Yeah! I feel it!
Ya..ya.. jadi begini toh, rasanya jadi supporter di bangku First Class. Satu tujuan kami menghemat baterai handphone. Selfie dan jeprat jepret sana sini. Ups, hehe.
Saya melihat lautan manusia dalam pekik histeria. Terompet, lukisan bendera di pipi, polisi-polisi, bendera-bendera, teriakan, sorot lampu dan tangan-tangan yang bergerak seirama. Seperti di televisi, tapi tidak seluas yang saya kira. Mungkin karena posisi bangku di tengah, tidak terlalu jauh, lapangan hijau dan kemampuan melihat nomor punggung pemain lapangan. Tapi kata kawan,”oh, ini paling Cuma sepertiga GBK”.
Jumlah supporter Senegal-termasuk saya dan puluhan anak asrama Buuts- tidak sampai sepersepuluh supporter Mesir. Pintar sekali, tidak perlu keluarkan banyak yel, cukup andalkan sound system besar di ujung depan untuk teriakkan rekaman yel-yel.
ambil foto dengan supporter Senegal asal China
Magrib menggema sejak sebelum masuk stadion, puluhan supporter bergantian sholat di belakang bangku. Ada pemandangan yang cukup menarik buat masyarakat Indonesia, andai saja saya punya kamera yang lensanya seharga belasan juta. Tak apalah, mata saya cukup jelas merekam seorang polisi berseragam hitam yang melepas sepatu dan beberapa atribut lalu sholat di tepi-agak tengah- lapangan hijau. Begitu pula setelah Isya, beberapa offisial saya lihat sholat di tepi lapangan, agak ke tengah. Mungkin menghindari keramaian yang amat sangat. Sedangkan kami, sembari menanti antrian sajadah, kawan saya ngobrol sejenak dengan sekuriti Mesir yang cukup ramah. Olala, dia mahasiswa tingkat 3 Azhar Tanta.
Seorang polisi tengah sholat dalam posisi rukuk di lapangan
Pertandingan dimulai. Memasuki menit ke-8. GOAL!
1-0   untuk Senegal!
Teriakan saya kalah dengan histeria puluhan manusia berkulit hitam. Ups, reflek. Pokoknya saya niatkan pengalaman nonton bola “beneran” ini sekali saja. Buat obati rasa penasaran. Sebetulnya saya ada janji silaturahim ke rumah seorang senior yang punya baby. Tapi dengan banyak pertimbangan, rasa-rasanya tak mungkin keluar stadion menuju mahattah seorang diri. Maafkan saya, kakak. (^o^)
Di sini saya-selaku orang yang kuper bola- belajar beberapa hal. Dari injury time, kode wasit pinggir sampai bagaimana cara menggerakkan bendera jumbo oleh supporter. Hehe.
Sampai babak kedua, skor belum berubah. Saya cukup paham bagaimana seorang bapak Mesir yang menonton dari bangku Senegal menepuk pundak anak lelakinya, saat timnas Mesir tak kunjung membalas gol Senegal.


Bapak dan anak Mesir duduk di bangku Senegal

Hello, ini Mesir lho. Negara dengan rekor terbanyak penyabet juara Piala Afrika sejak 1957. Saya juga tidak heran dengan histeria supporter Mesir mengingat banyak cerita kawan Masisir tentang fanatisme warga terhadap bola dan klub andalan mereka. Cukup jelas tergambar penantian mereka akan gol balasan. Iya, wajah para sekuriti berjas dan berdasi rapi hanya datar namun penuh gelora yang ditahan. Alias geregetan.
Ada satu hal yang patut disayangkan, mendekati akhir babak kedua, sebuah batu melayang ke bangku supporter Senegal. Berasal dari atas. Di mana supporter Mesir berkerumun. Tidak tahu siapa yang berbuat ulah, karena penglihatan kami terhalang oleh beton pembatas tingkat atas. Seorang supporter terluka. Saya sempat melihat, ia dipandu menuju ruang medis, dengan tangan kanan menutup kepala dan tangan kiri menadah darah yang bercucuran. Tak ada penanganan khusus. Kecuali para polisi yang disiagakan di kanan bangku supporter. Itupun tidak mencegah lemparan-lemparan botol, terompet dan sampah dari atas. Hm... saya dan kawan putuskan mundur ke bangku yang agak atas. Di bawah beton. Demi keamanan.
Beberapa supporter wanita menaruh tas di atas kepala menghindari lemparan dari atas
Tuh kan. Saya nggak akan “nonton” bola lagi. Diakidkan oleh kejadian semacam ini. cukup sekali ini sebagai obat penasaran. Ini pun dengan beberapa keluhan sepanjang pertandingan. Mau tahu apa? “Duh, laparnya. Ndak Ada yang jualan kacang ya?” Jadi terbayang obrolan seorang kawan di grup Whatsapp asrama. “Eh, kalau gue jualan kacang di stadion Cairo, laku banyak pasti ya?” Sayang tidak ada yang berani membuktikan.
Begitulah, hingga pukul 10 lewat, akhirnya kami bisa pulang dengan bus yang sama. Namun kali ini lebih padat. Karena banyak mahasiswa asrama yang lebih dulu menyusup dalam bus mahasiswi. Ya sudahlah, berdiripun tak apa. Rasa penasaran sudah terobati, dan untungnya tak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kehadiran kami. Saya dan seorang kawan berdiri di bus agak belakang. seorang berwajah Asia memberi kursi untuk mahasiswi Afrika. Saya dan seorang kawan yang melihat mahasiswa Asia berjaket merah itu tertegun. Spontan menahan nafas. Erm... tidak. Tidak apa-apa.

Hanya saja tulisan di belakang jaket pemuda itu membuat kami terkejut. INDONESIA.



*Madinah al Buuts al Islamiyah
Abbasea, Cairo
Dini hari, 3.29

*Sedikit kontemplasi: ada kalanya saya menulis bukan supaya orang memperlakukan saya dengan sikap tertentu. Bukan.
Saya ingin tulisan disikapi sebagai tulisan. bukan sebagai siapa si penulis.
Saya ingin berbagi. Dan berekspresi. Bas!
what about you?






















Friday 14 November 2014

Elegi Cinta

bismillah

Aku sudah kemasi barang dan siap pergi
Tapi, Cinta
Mengapa kau masih di situ?
Tidakkah kau ingin tinggalkan tempat itu?
Tidakkah kau mau hapus elegi itu?

Kita memijak tanah yang sama
Menghirup hawa yang tidak berbeda
Tapi kenapa,
Saat menatap langit,
Purnama kita tak sama?

Mengapa bisa, Cinta
Kita bertemu pada takdir lalu
Di ruang rindu,
Di mana tiada seorangpun berlalu
Pada durasi yang tidak semu
Tanpa janji, tanpa ragu
Pun akhirnya, kita menyapa malu-malu

Selanjutnya kita tahu,
Masing takdir kita telah terlukis
Jika dipadu, hasilkan warna yang ambigu

Cinta,
Mataku tak pernah lama merekam bayangmu
Tapi hati kita sudah lama saling menatap
Tatapan yang dalam,
Diam-diam hati kita saling bicara
Dengan sandi rahasia

Kali ini,
Aku ingin satu hal
Jangan jawab pertanyaan ini,
“Cinta, aku harus bagaimana?”




*Saya bukan penulis yang istiqomah,
Bukan pujangga kawakan,
tapi satu,

saya tak ingin lepas dari dunia itu.




Madinatul Buus al Islamiyah, Abbasea, Cairo
Dalam syahdu Subuh yang mengawali Syita
5.45 CLT
15 November 2014