Saturday 22 September 2012

DUA SAUDARA dan INSPIRASI


bismillah


Sejujurnya, aku sedang tidak mood untuk menulis. Heh, padahal satu hal yang sangat ingin kuhindari, dikalahkan oleh mood. Tapi melihat beberapa buku yang tersusun di atas meja kamar, aku merasa de javu. Teringat sesuatu, apa ya? Eh, bukan. Seseorang, siapa ya? Kelihatannya bukan hanya seorang.
Ha! Tak lain dua saudara kandungku. Hmm, nampaknya aku banyak terinspirasi oleh keluarga. Seperti kata seorang teman Mas yang tengah menempuh studi di Timur Tengah, “Masing-masing kalian (Mas, aku dan Adek) adalah inspirasi. kalau untuk Mas dan Adek, aku setuju sekali. Tapi kalau diriku? Ha, rasanya tak ada yang pantas.
Kembali ke topik semula. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengingat masa-masa di pesantren. Saat itu kami bertiga masih hidup dalam lingkungan pesantren untuk waktu yang lumayan lama. Enam tahun, menghabiskan masa study. Plus setahun bagi yang mengabdi (buat yang bebas pengabdian, bersyukurlah. Aha!)
Saat masih santri, aku tidak masuk kategori santriwati yang sering dijenguk oleh dua saudara kandungku. Cukup sering sih,tidak. Tapi bukan juga termasuk yang jarang dijenguk. Biasanya dijenguk salah satu saja dari mereka berdua. Jarang sekali lah mereka jenguk aku berdua.
Ada satu ciri khas yang berbeda dari santriwan lain saat menjenguk saudari mereka di ghurfah istiqbal. Ya, biasanya santriwan yang menjenguk bawa sesuatu lah untuk santriwati yang dijenguk. Toh, banyak warung dan penjaja makanan yang selalu stand by di depan pondok Putri. Mulai dari bakso hingga gado-gado. Tapi dua saudaraku itu beda. Seingatku, mereka tidak pernah membelikanku sesuatu apapun dari yang dijajakan di depan pondok. Hiks!
Bukan berarti mereka tidak sayang denganku. Mungkin karena kebiasaan ‘tidak jajan’ masih terbawa hingga dewasa ini. oya, ciri khas yang membedakan mereka dengan santriwan lain saat menjenguk adalah, buku. Ya, BUKU! Baik Mas ataupun Adek selalu bawa buku. Meski hanya buku kecil, tapi mereka selalu bawa. Bahkan sampai ada adek kelasku (putri) yang melongo melihat adekku bawa buku. Yang lain bawa siomay, batagor, bakso. Lha ini kok bawa buku! Subhanalloh!mungkin begitu pikirnya. Yang jelas aku sering menggoda adek kelasku itu, “ehm, entar aku jodohin sama Adekku, mau ya?” Haha...
Aku ingin meniru kebiasaan dua saudaraku itu, tapi ternyata hanya terlaksana saat imtihan )ujian(. Itu pun, karena Mudabbiroh Muaqqotah (pengurus sementara) memberi sanksi bagi yang keluar kamar tanpa membawa buku.
Tidak hanya itu, mereka sangat jarang meminta uang saku ke Ummi atau Abi. Berbeda sekali denganku yang tiap dua pekan langganan telpon ke rumah. Cukup dengan tiga suku kata di awal telepon,”Hehe, Mi...” maka suara di seberang otomatis menjawab,”Apa, Nun? Uangnya habis?” Retoris deh. Geli kalau mengenang masa-masa itu. Sekarang tidak bisa lagi begitu.
Bahkan bebrapa kali Adek menjengukku lalu bilang, “Mbak, aku nggak punya sabun...” Weleh, kan tinggal telepon rumah juga bisa!Pikirku. tapi nampaknya ia lebih senang meminta uang dariku daripada langsung minta ke Ummi. Dan saat ku tanya, mengapa uang sakunya telah habis, ia selalu menjawab seperti yang juga biasanya dikatakan Mas,”Habis buat beli buku.” Jawaban yang klise dan selalu sukses membuatku nyengir.
Hm, whatever lah... aku sangat iri dengan mereka. karena mereka adalah samudra inspirasi yang semakin kugali, semakin ia dalam tiada bertepi. Aku ingin mengambil semangat juang mereka. membawanya ke dasar jiwa dan mememjarakannya di lubuk hati yang terdalam agar tak pernah semangat itu pergi.
Semoga, antum terinspirasi. Wallohu ta’ala a’lam.
                                                                                               
                                                                                                Abbasea, Cairo
                                                                                                September in Autumn