Sejujurnya, aku sedang tidak
mood untuk menulis. Heh, padahal satu hal yang sangat ingin kuhindari, dikalahkan
oleh mood. Tapi melihat beberapa buku yang tersusun di atas meja kamar, aku
merasa de javu. Teringat sesuatu, apa ya? Eh, bukan. Seseorang, siapa
ya? Kelihatannya bukan hanya seorang.
Ha! Tak lain dua saudara
kandungku. Hmm, nampaknya aku banyak terinspirasi oleh keluarga. Seperti kata
seorang teman Mas yang tengah menempuh studi di Timur Tengah, “Masing-masing
kalian (Mas, aku dan Adek) adalah inspirasi. kalau untuk Mas dan Adek, aku
setuju sekali. Tapi kalau diriku? Ha, rasanya tak ada yang pantas.
Kembali ke topik semula. Tidak butuh
waktu lama bagiku untuk mengingat masa-masa di pesantren. Saat itu kami bertiga
masih hidup dalam lingkungan pesantren untuk waktu yang lumayan lama. Enam tahun,
menghabiskan masa study. Plus setahun bagi yang mengabdi (buat yang bebas
pengabdian, bersyukurlah. Aha!)
Saat masih santri, aku tidak
masuk kategori santriwati yang sering dijenguk oleh dua saudara kandungku. Cukup
sering sih,tidak. Tapi bukan juga termasuk yang jarang dijenguk. Biasanya
dijenguk salah satu saja dari mereka berdua. Jarang sekali lah mereka jenguk
aku berdua.
Ada satu ciri khas yang berbeda
dari santriwan lain saat menjenguk saudari mereka di ghurfah istiqbal. Ya,
biasanya santriwan yang menjenguk bawa sesuatu lah untuk santriwati yang
dijenguk. Toh, banyak warung dan penjaja makanan yang selalu stand by di
depan pondok Putri. Mulai dari bakso hingga gado-gado. Tapi dua saudaraku itu
beda. Seingatku, mereka tidak pernah membelikanku sesuatu apapun dari yang
dijajakan di depan pondok. Hiks!
Bukan berarti mereka tidak
sayang denganku. Mungkin karena kebiasaan ‘tidak jajan’ masih terbawa hingga
dewasa ini. oya, ciri khas yang membedakan mereka dengan santriwan lain saat
menjenguk adalah, buku. Ya, BUKU! Baik Mas ataupun Adek selalu bawa buku. Meski
hanya buku kecil, tapi mereka selalu bawa. Bahkan sampai ada adek kelasku
(putri) yang melongo melihat adekku bawa buku. Yang lain bawa siomay,
batagor, bakso. Lha ini kok bawa buku! Subhanalloh!mungkin begitu pikirnya.
Yang jelas aku sering menggoda adek kelasku itu, “ehm, entar aku jodohin sama
Adekku, mau ya?” Haha...
Aku ingin meniru kebiasaan dua
saudaraku itu, tapi ternyata hanya terlaksana saat imtihan )ujian(. Itu pun, karena Mudabbiroh Muaqqotah (pengurus sementara) memberi sanksi
bagi yang keluar kamar tanpa membawa buku.
Tidak hanya itu, mereka sangat
jarang meminta uang saku ke Ummi atau Abi. Berbeda sekali denganku yang tiap
dua pekan langganan telpon ke rumah. Cukup dengan tiga suku kata di awal
telepon,”Hehe, Mi...” maka suara di seberang otomatis menjawab,”Apa, Nun? Uangnya
habis?” Retoris deh. Geli kalau mengenang masa-masa itu. Sekarang tidak bisa
lagi begitu.
Bahkan bebrapa kali Adek
menjengukku lalu bilang, “Mbak, aku nggak punya sabun...” Weleh, kan tinggal
telepon rumah juga bisa!Pikirku. tapi nampaknya ia lebih senang meminta
uang dariku daripada langsung minta ke Ummi. Dan saat ku tanya, mengapa uang
sakunya telah habis, ia selalu menjawab seperti yang juga biasanya dikatakan
Mas,”Habis buat beli buku.” Jawaban yang klise dan selalu sukses membuatku nyengir.
Hm, whatever lah... aku sangat
iri dengan mereka. karena mereka adalah samudra inspirasi yang semakin kugali,
semakin ia dalam tiada bertepi. Aku ingin mengambil semangat juang mereka.
membawanya ke dasar jiwa dan mememjarakannya di lubuk hati yang terdalam agar tak
pernah semangat itu pergi.
Semoga, antum terinspirasi.
Wallohu ta’ala a’lam.
Abbasea,
Cairo
September
in Autumn