bismillah
Cairo, Madinah al Buuts al Islamiyah 2013
Aku bukan orang yang percaya
diri kecuali “terpaksa”!
Akan tetapi banyak
“keterpaksaan” yang membuatku begitu berani. Bahkan terkadang terhitung sebagai
keberanian yang serampangan. Penuh keegoisan. Terlebih masa-masa bangku Sekolah
Dasar. Siapa yang menyangka, anak perempuan yang melewati masa kanaknya di pelosok
ndeso Wonogiri ini. Berani berkelahi dengan murid laki-laki paling
badung di kelasnya. Atau menyeret kerah baju murid laki-laki yang membuat
kericuhan di kelas. Bahkan menentang teori guru tentang fungsi gurat sisi pada
ikan!
Dan pagi itu, aku yang duduk di
kelas 6 sebuah SD Negeri di ujung Utara Solo, menjadi pemimpin upacara.
Kebetulan pembina upacara yang menyampaikan pidato adalah guru agama Kristen di
sekolah. Di awal pidato, beliau langsung mengingatkan murid-murid akan Hari
Valentine yang telah berlalu. Memang saat itu telah melewati separuh bulan
Februari. Panjang lebar beliau menjelaskan tentang pentingnya kasih sayang
kepada semua orang. Terkhusus pada hari Valentine.
Ini sedikit membuatku terkejut.
Karena beberapa hari sebelumnya, aku membuat kegemparan di kelas.
Ya. Memasuki awal februari, aku
menemukan selembar kertas HVS berwarna di rumah. Bukan sekedar kertas kosong.
Melainkan sebuah artikel tentang asal usul hari Valentine dan sebab dilarangnya
merayakan hari tersebut. Itu adalah awal mula aku tahu tentang apa itu hari
Valentine yang sering dirayakan muda mudi yang berpacaran. Sekaligus mengetahui
bahwa terdapat larangan untuk merayakannya.
Setelah sering membaca artikel
serupa. Di masa berikutnya aku sedikit mengamati bahwa biasanya artikel semacam
itu berisi tentang sejarah seorang Pendeta yang bla..bla..bla.. maka tidak aku
singgung di sini.
Selesai membacanya, aku pergi ke
Ummi untuk mengkonfirmasi kebenaran artikel itu, sekaligus meminta ijin Ummi
untuk mengcopy-nya. Satu hal yang kupikirkan saat itu,”teman-teman dan sahabat
terdekatku harus tahu akan hal ini!”
Sudah bisa ditebak apa respon
teman-teman sekelas.
Mereka menentangku! Tidak hanya
satu orang, tapi seisi kelas!
Bahkan teman-teman yang biasanya
dekat denganku, berbalik memusuhiku. Hanya satu orang sahabat terdekatku yang
berusaha bersikap netral. Meskipun dia tetap keukeuh dan merayakan hari
Valentine bersama teman-teman yang lain.
Kau tahu, selama beberapa hari
aku tersudut di pojok kelas. Beberapa kali mendapat komentar sinis. Tidak ada
yang kurasakan dalam kelas kecuali “panas”. Wew, bermusuhan dengan satu orang
saja sudah membuatku was-was. Entahlah, hingga saat ini aku begitu membenci
permusuhan. Dada serasa menyempit dan bernapas serasa menghirup gas beracun.
Tapi saat itu pukulan terberatku adalah, dimusuhi seisi kelas!
Aku masih ingat, saat itu teman
–yang sebelumnya dekat denganku- mengirim sebuah surat balasan atas artikel
yang kuberikan padanya. Kau tahu apa isinya?
“Nun, ajaran kita berbeda. Kamu
Muhammadiyah dan aku NU. Maka kamu nggak berhak melarang aku buat merayakan
Valentine!”
Ya, itu jawaban seorang murid
polos. Kalau sekarang, mungkin aku akan meledeknya,”ye... kagak nyambung
kali...”
Yang jelas saat itu aku berontak
dalam hati. Lha wong aku ndak pernah ngikut-ngikut Muhammadiyah atau NU...
mulai dari TK juga ndak pernah sekolah di Muhammadiyah atau NU. E..
bisa-bisanya dia menuduhku begitu!
Mengingat peristiwa itu...
membuatku tersenyum geli. Bahkan aku tak menyangka, bahwa aku begitu “lancang”nya
menentang seisi kelas. Meski akhirnya mereka tetap merayakannya dan telingaku
sangat panas saat seorang teman dekatku maju ke depan kelas dengan sebungkus
plastik hitam besar,”siapa yang mau tukeran coklat sama aku?!”
Masih dalam episode Valentine.
Seorang murid laki-laki –yang
suka membuntutiku sejak kelas 4 SD dan pernah mempermalukanku dengan menyanyi
gombal untukku di depan kelas (hedeh!)- ia duduk pada dua baris bangku di
depanku. Selepas istirahat, ia sesekali menoleh ke arahku dengan senyuman aneh.
Aku yang merasa risih dengannya, segera berkemas ketika bel akhir pelajaran
berdering.
Saat membereskan laci meja,
tanganku meraba sesuatu. Ku keluarkan.
Coklat!
Aku menghela napas dengan batin
remuk redam. Sekilas ku lihat teman laki-laki itu tersenyum padaku. Aku merasa
muak dan segera beranjak keluar kelas.
Hari itu, mungkin aku kalah.
Namun aku tak akan pernah
menyerah.
In syaalloh. Biidznillah.