Friday 8 February 2013

DIARY VALENTINE (peristiwa 10 tahun lalu)

bismillah

Aku bukan orang yang percaya diri kecuali “terpaksa”!
Akan tetapi banyak “keterpaksaan” yang membuatku begitu berani. Bahkan terkadang terhitung sebagai keberanian yang serampangan. Penuh keegoisan. Terlebih masa-masa bangku Sekolah Dasar. Siapa yang menyangka, anak perempuan yang melewati masa kanaknya di pelosok ndeso Wonogiri ini. Berani berkelahi dengan murid laki-laki paling badung di kelasnya. Atau menyeret kerah baju murid laki-laki yang membuat kericuhan di kelas. Bahkan menentang teori guru tentang fungsi gurat sisi pada ikan!
Dan pagi itu, aku yang duduk di kelas 6 sebuah SD Negeri di ujung Utara Solo, menjadi pemimpin upacara. Kebetulan pembina upacara yang menyampaikan pidato adalah guru agama Kristen di sekolah. Di awal pidato, beliau langsung mengingatkan murid-murid akan Hari Valentine yang telah berlalu. Memang saat itu telah melewati separuh bulan Februari. Panjang lebar beliau menjelaskan tentang pentingnya kasih sayang kepada semua orang. Terkhusus pada hari Valentine.
Ini sedikit membuatku terkejut. Karena beberapa hari sebelumnya, aku membuat kegemparan di kelas.
Ya. Memasuki awal februari, aku menemukan selembar kertas HVS berwarna di rumah. Bukan sekedar kertas kosong. Melainkan sebuah artikel tentang asal usul hari Valentine dan sebab dilarangnya merayakan hari tersebut. Itu adalah awal mula aku tahu tentang apa itu hari Valentine yang sering dirayakan muda mudi yang berpacaran. Sekaligus mengetahui bahwa terdapat larangan untuk merayakannya.
Setelah sering membaca artikel serupa. Di masa berikutnya aku sedikit mengamati bahwa biasanya artikel semacam itu berisi tentang sejarah seorang Pendeta yang bla..bla..bla.. maka tidak aku singgung di sini.
Selesai membacanya, aku pergi ke Ummi untuk mengkonfirmasi kebenaran artikel itu, sekaligus meminta ijin Ummi untuk mengcopy-nya. Satu hal yang kupikirkan saat itu,”teman-teman dan sahabat terdekatku harus tahu akan hal ini!”
Sudah bisa ditebak apa respon teman-teman sekelas.
Mereka menentangku! Tidak hanya satu orang, tapi seisi kelas!
Bahkan teman-teman yang biasanya dekat denganku, berbalik memusuhiku. Hanya satu orang sahabat terdekatku yang berusaha bersikap netral. Meskipun dia tetap keukeuh dan merayakan hari Valentine bersama teman-teman yang lain.
Kau tahu, selama beberapa hari aku tersudut di pojok kelas. Beberapa kali mendapat komentar sinis. Tidak ada yang kurasakan dalam kelas kecuali “panas”. Wew, bermusuhan dengan satu orang saja sudah membuatku was-was. Entahlah, hingga saat ini aku begitu membenci permusuhan. Dada serasa menyempit dan bernapas serasa menghirup gas beracun. Tapi saat itu pukulan terberatku adalah, dimusuhi seisi kelas!
Aku masih ingat, saat itu teman –yang sebelumnya dekat denganku- mengirim sebuah surat balasan atas artikel yang kuberikan padanya. Kau tahu apa isinya?
“Nun, ajaran kita berbeda. Kamu Muhammadiyah dan aku NU. Maka kamu nggak berhak melarang aku buat merayakan Valentine!”
Ya, itu jawaban seorang murid polos. Kalau sekarang, mungkin aku akan meledeknya,”ye... kagak nyambung kali...”
Yang jelas saat itu aku berontak dalam hati. Lha wong aku ndak pernah ngikut-ngikut Muhammadiyah atau NU... mulai dari TK juga ndak pernah sekolah di Muhammadiyah atau NU. E.. bisa-bisanya dia menuduhku begitu!
Mengingat peristiwa itu... membuatku tersenyum geli. Bahkan aku tak menyangka, bahwa aku begitu “lancang”nya menentang seisi kelas. Meski akhirnya mereka tetap merayakannya dan telingaku sangat panas saat seorang teman dekatku maju ke depan kelas dengan sebungkus plastik hitam besar,”siapa yang mau tukeran coklat sama aku?!”
Masih dalam episode Valentine.
Seorang murid laki-laki –yang suka membuntutiku sejak kelas 4 SD dan pernah mempermalukanku dengan menyanyi gombal untukku di depan kelas (hedeh!)- ia duduk pada dua baris bangku di depanku. Selepas istirahat, ia sesekali menoleh ke arahku dengan senyuman aneh. Aku yang merasa risih dengannya, segera berkemas ketika bel akhir pelajaran berdering.
Saat membereskan laci meja, tanganku meraba sesuatu. Ku keluarkan.
Coklat!
Aku menghela napas dengan batin remuk redam. Sekilas ku lihat teman laki-laki itu tersenyum padaku. Aku merasa muak dan segera beranjak keluar kelas.
Hari itu, mungkin aku kalah.
Namun aku tak akan pernah menyerah.


In syaalloh. Biidznillah.



    Cairo, Madinah al Buuts al Islamiyah 2013