Friday 27 January 2012

MENIKAH?

bismillah

PERNIKAHAN?
                Siapa yang tak mengidamkan momen indah tersebut?
Bagi sebagian orang, -kebanyakan sahabat-sahabat saya sesama muslimah- adalah momen terindah dalam sepenggal episode kehidupan. Saat di mana dua cinta bersatu dalam sebuah akad suci, terjalin dalam sebuah perjanjian kuat. Sakral.
و أخذن منكم ميثاقا غليظا
Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. )Annisa 21(
Memang benar. Terlebih, bahwa momen tersebut bernilai ibadah. Setengah dien. Waw! Siapa yang tak ingin? Memadu kasih, bernilai ibadah pula! Dapat limpahan pahala pula! Subhanalloh… Tiada yang memahami akan fitrah manusia kecuali Rabb semesta alam.
Dan untuk saya sendiri. Pernikahan adalah titik awal di mana sebuah perjuangan akan dimulai. Perjuangan menapaki kehidupan baru, keluarga baru, lahan dakwah baru, dan yang tak kalah penting, merupakan langkah awal bagaimana nantinya generasi kita akan terbentuk.
Ya, untuk melahirkan generasi tangguh, tidak cukup dimulai ketika anak berusia balita, atau dalam kandungan. Namun sejak pemilihan pasangan hidup, menentukan di mana kita akan mengakhiri garis finish!
فاظفر بذات الدين تربت يداك
Maka, pernikahan bukanlah permainan. Di mana kita bisa seenak hati mengikat dan melepas jalinan suci sekehendak hati. Meski dengan mahar sebuah cincin besi-dan rukun yang lain- ikatan sah bisa terjadi. Meski dengan sepenggal kalimat, jalinan itu bisa terurai dan takkan kembali, “Kau ku talak!”
Ibarat akan membangun gedung, pernikahan adalah peletakan batu pondasi pertama.
Tak selayaknya momen itu diawali dengan maksiyat kepadaNya. Tak selayaknya momen itu diawali dengan nuansa romantis yang belum saatnya. Juga dengan kenikmatan yang tidak halal bagi keduanya!
Karena “awal” itu, nantinya akan membawa pada bagaimana “proses” dan “ending” kehidupan kita. Yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapanNya. Ya Rabb…
Seperti saat kita meracik bumbu sayur. Kita akan merasakan hambarnya sayur yang kita masak, jika bumbu racikan itu telah kita makan di awalnya.

إذا جاءكم من ترضون دينه و خلقه فانكحوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض و فساد كبير
Sudah bukan di luar kewajaran. Para akhwat utamanya eks-santriwati sering kedatangan tamu istimewa (ehm) di usia mereka yang masih ranum (hayo, ngaku!)
Juga tidak asing lagi, para ikhwan –pun yang terhitung cukup muda- dengan semangat –yang macam-macam tingkatannya, berlomba meraih pahala dari ibadah yang menggenapkan nishfuddin ini.
Buat saya, itu sebuah godaan. Pada usia tersebut, adalah masa di mana kita –akhwat- mampu mengais ilmuNya yang terserak di bangku-bangku kuliah, kajian-kajian islami, juga buku-buku yang rindu akan dibaca ummat ini.
Godaan itu pasti datang. Entah itu rayuan gombal,  permintaan orang tua, atau memang yang serius datang melamar. Nah lho…
Ya, di tengah aktifitas –utamanya- belajar yang butuh konsentrasi penuh, harus terganjal dengan dua pilihan yang mengundang Andi Lau! Antara dilemma dan galau–pinjam istilah Pak Mario Teguh-
“ya dan tidak!”
Kalau “ya”, bagaimana dengan kelanjutan studi kita? Apakah kita mampu?
Kalau “tidak” bagaimana jika ia adalah lelaki sholeh yang dimaskud dalam hadist?
Ya, untuk masalah kesanggupan, semua kembali pada diri masing-masing. Toh, belajar adalah ibadah. Menikah adalah ibadah. Bagaimana dalam dua hal yang sama-sama “ibadah” terjadi hukum nasikh-mansukh?
Saya teringat akan keluh kesah seorang kawan yang iri dengan teman-teman lain. Karena mereka bisa belajar –baik formal atau non formal- sedang ia tidak bisa lagi. Karena pernikahan!
Menurut saya, pernikahan tidak bisa dikambinghitamkan. Toh, berapa banyak pasangan yang mampu menjalani aktifitas studi mereka, dalam status yang tak lagi single.
Semua terkait kesiapan kita. Bukan semata siap secara jasmani dan finansial. Tapi siap dengan hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi saat menjalani sebuah pernikahan. Khususnya siap ilmu.
Salah seorang dosen saya dulu, berkata,”Kalian ingin nikah? Harus tahu dulu apa itu rukun dan syaratnya,talak, rujuk, dsb. Bagaimana bila nanti kita menghadapi hal-hal yang di luar perkiraan kita?”
Memang tidak ada syarat “cukup ilmu” bagi pasangan yang ingin menikah. Kata-kata beliau ditujukan untuk memotivasi kami dalam menuntut ilmu. Namun, itu juga menjadi catatan tersendiri buat saya pribadi.
Bahkan,  ada juga dosen yang berkata,”Belajar kepada suami? Nyaris mustahil!”
Memang ada segelintir istri yang “sukses” belajar dengan suami mereka. Segelintir.
Ya, kalau anti –ya ukhti- ingin menjadi orang kaya, anda bisa menikah dengan saudagar atau konglomerat. Kalau anda ingin kehormatan, anda bisa menikah dengan pejabat yang terpandang. Tapi, untuk menjadi seorang yang berilmu, cukupkah dengan menikah dengan Ustadz, Kiai, atau ulama terpandang?
Tidak.
Kita harus mendapat transfer ilmu, dengan segala kemampuan dalam diri kita. Dengan usaha kita sendiri. Dengan belajar sendiri. Bukan dengan orang lain sebagai gantinya. Al ‘ilmu fis shuduur!
Siap, bukan berarti menunggu perfect. Mana ada manusia sempurna? Paling tidak kita kuasai dahulu dasar-dasarnya –seiring berjalannya waktu- kita terus belajar.
Jika godaan itu datang, ketika kita benar-benar belum siap, jangan memaksakan diri untuk menerimanya saat itu juga. Cukup katakan, “Maaf, saya harus menuntut ilmu sebagai bekal pernikahan. Kalau ingin menunggu silahkan. Tapi saya tidak berjanji. Dan jika ingin mencari yang lain, tafadhol.”
Jika ia adalah jodoh anda, ia akan kembali. Jika tidak, anda akan diberi yang lebih baik oleh Alloh SWT.
Dan buat mereka yang telah menjalani pernikahan. Saya yakin mereka telah benar-benar siap dengan hal itu. Sehingga saya harus salut atas keberanian mereka, yang mampu menggenapkan setengah dien di usia muda.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Rum, 21)


Tulisan ini sifatnya subjektif. Berasal dari pemikiran dangkal saya, dalam melihat fakta yang dialami beberapa kawan. Kritik dan saran, sangat dibutuhkan.
Semoga Alloh selalu menangi kita dalam ridhoNya.
Syukron.