bismillah
Hai,
Indonesia...usiamu sudah 68 tahun.
Apa
kabarmu wahai tanah airku?
Ini
tahun kesembilan sejak terakhir kalinya aku ‘hormat’ pada bendera Indonesia.
Merah Putih. Meski bukan nasionalis buta, aku mencintai negeriku. Selayaknya
seorang anak pada ibu kandungnya. Karena dari tanahnya aku berpijak, tumbuh dan
dari hasilnya aku mereguk setiap denyut hidup hampir dua dasawarsa.
Dan
sekarang aku tengah mengembara di Mesir, Egypt. Negeri pertama yang
mengakui kedaulatan bangsaku, sehingga secara sah Indonesia menjadi negara
secara de facto. Ya, dengan link KH Agus Salim yang bertemu
tokoh-tokoh pergerakan Islam di Timur Tengah, pendirian Lajnah Difa’i ‘an
Indonesia pada bulan Oktober 1945, dan berbuntut pada pengakuan Mesir atas
kedaulatan Indonesia oleh Raja al Farouk –atas desakan Hasan Albanna- 22 Maret
1946.
Tidak
hanya sekali dua kali bangsaku berhutang pada negeri yang sedang ku tempati
ini. Mulai dari beasiswa pendidikan hingga segala kemurahan dan kedermawanan,
Mesir adalah saudara Indonesia.
Sayang,
negeri ini tengah terluka –jika tak mau dibilang sekarat-. Sekali lagi, ‘mainan
demokrasi’ menunjukkan boroknya. Ia tak lebih akal-akalan si oportunis
kapitalis. Jika untung, maka disayang. Jika buntung, maka ditendang.
Daftar
kematian dengan angka bombastis tiba-tiba muncul hanya dalam hitungan
sepersekian jam. Pembubaran paksa demonstran dengan peluru, gas air mata dan
alat berat tak bisa memungkiri akan darah yang tertumpah. Masih tak cukup, api
disulut, masjid pun tak luput. Cairo membara. Dan serentak darah mengalir di
penjuru negeri. Semurah apa darah di negeri Firaun ini?
Ya,
sejarah tak pernah luput dari darah. Berharap tidak? Itu utopia semata.
Ya,
jangan berharap tanpa pamrih pada negeri yang menjajikan kemakmuran dan
kekayaan, jika tidak diimbangi dengan keadilan dan ketaatan. Kalaupun sebuah
negeri bisa berjaya dengan ketidakadilan dan kemaksiatan, ia akan meminta
tumbal. Seperti Nil yang meminta seorang gadis perawan setiap tahun, hingga
sampainya surat dari khalifah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Lalu, untuk
puluhan tahun yang terlewat untuk ketidakadilan tanpa tumbal apapun, apakah
semua dibayar lunas pada genangan darah di masa ini?
Aku
tak lupa pula dengan negeriku. Tanah air yang menjadi surga khatulistiwa,
layaknya ‘singa tertidur’. Bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi,
dalam gugusan belasan ribu pulau dengan panorama alam, hasil bumi dan tanah
yang melimpah dan menyilaukan sekaligus membutakan mata golongan serakah.
‘Surga Asia Tenggara’ ini juga meminta tumbal, tentu aku tidak heran dengan
bencana alam yang banyak memakan manusia. Alur gunung berapi dari Sumatra,
menuju Jawa hingga ujung Timur Nusantara bukan berarti tidak ada apa-apa.
Tsunami 2004 silam juga masih menjadi satu-satunya yang terkenang dalam diktat
al Azharku yang merekam nama Indonesia.
Hari
Raya juga bukan semata bersuka cita. 686 orang tewas, dalam 3.061 kecelakaan di
masa mudik lebaran Idul Fitri 1434 H. Pun di sini, di bumi Kinanah ini. Semarak
Hari Raya tak lagi terasa kecuali tergantikan oleh berita bentrokan dan
pertikaian. (heh, bicara apa aku tentang tumbal hingga ke Hari Raya? Jangan kau
anggap serius lah...)
Tapi
fakta memang menyimpan derita itu. Derita sebuah negeri dengan Muslim
mayoritas. Aku merasa tidak sepenuhnya muslim di negeri kita bisa
dibanding-bandingkan dengan mayoritas muslim di negeri ini. Dengan kultur
budaya dan jumlah ulama yang berbeda tidak semua hal, mulai dari pergolakan
politik hingga penyelesaiannya bisa disamakan dengan Indonesia (hah, sampai di
mana baiknya negeri kita sebagai kaca perbandingan untuk yang terjadi di Mesir
ini?)
Lihat
lah jawaban Prof. W.F. Wertheim saat ditanya, mengapa kelompok Islam teralienasikan?
Jawabnya, “tipikal umat Islam Indonesia meerderheid
met minderheids-mentaliteit (mayoritas dengan mentaliteit minoritas)”.
Hampir semua sepakat, tapi faktanya PeeR ini belum kunjung selesai digarap oleh
umat Islam sendiri, ndak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.
Pak
Karno bilang JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)! Lalu aku
teringat masa awal kemerdekaan kita. Proklamasi digelar, bukan berarti
perjuangan bubar. Namun perang ideologi gencar, “mau ke mana dibawa bangsa
Indonesia ini?”
Pak
karno juga bilang, bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa pahlawan. Tapi
ternyata pahlawan hanya tergantung siapa penulis permainan sejarahnya. Sutan Sjahrir
dengan pahlawan selepas kematiannya? Natsir dengan Mosi Integral-nya yang brilian
dan PRRI? Sukarno dg demokrasi
terpimpinnya? Suharto dengan Orde baru nya?
(Tidak
hanya politik yang bisa dipermainkan. Sejarah tak jauh beda. Pahlawan bukan
berarti tanpa cela dan cacat. Seperti halnya kau bisa menulis Abu al Abbas as
Safah sebagai pengkhianat dan penghancur Umawi, atau Sang pendiri Dinasti
Abbasiyah.)
Kemerdekaan
dan euforia akan kebebasan berekspresi. Sewajarnya itu terjadi. Terlebih pasca
kemerdekaan, revolusi, reformasi apalah yang semisal. Namun otot tambah otot
sama dengan darah. Hati ditambah hati sama dengan... ‘bukan darah’ lah.
Kalaupun ada ya... bisa diminimalisir.
Pinjam
bahasa sesepuh di sini, Pak Sigit. Kita ini sedang ‘namu’. Tamu yang terkadang
lebih banyak merepotkan dan mengganggu. Rasa kemanusiaan memang nomor satu.
Tapi apa daya, kekuatan hanya sampai di lidah. Maka senjata terakhir adalah
doa. Ku bilang senjata, bukan sekedar omong kosong belaka.
Untuk
ending aku mencoba meraba, “Bagaimana komitmen Indonesia untuk menghapus
penjajahan?”
Bukankah
terdengar sangat patriotik, sejak SD pun paragraf ini selalu bergaung di
telinga kita, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sedikit
berkontemplasi dengan kata ‘penjajahan’. Fa’il kata ini adalah
‘penjajah’ yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti orang yg terlalu menguasai
(menindas dsb) orang lain (bawahan dsb).
Tidak hanya suatu bangsa yag bisa menjajah bangsa lainnya. tapi
penjajah bisa jadi dilakukan satu oranag. Dengan kata lain, penjajahan bisa
bersifat kolektif maupun per-individu. Selanjutnya, mengamati fenomena yang
terjadi di Mesir saat ini, bisakah disebut sebagai penjajahan? Lantaran aroma
darah dan kekuasaan sangat kental terasa. Dan bagaimana respon Indonesia terhadap
‘saudara’nya ini? Sesuaikah dengan amanat UUD 1945?
Bertambah satu lagi PeeR kita. Merdeka!
Dirgahayu
Indonesiaku, Cairo, 17 Agustus 2013