Saturday 17 August 2013

Kado Ulang Tahun tuk Indonesia-ku

bismillah


Hai, Indonesia...usiamu sudah 68 tahun.
Apa kabarmu wahai tanah airku?

Ini tahun kesembilan sejak terakhir kalinya aku ‘hormat’ pada bendera Indonesia. Merah Putih. Meski bukan nasionalis buta, aku mencintai negeriku. Selayaknya seorang anak pada ibu kandungnya. Karena dari tanahnya aku berpijak, tumbuh dan dari hasilnya aku mereguk setiap denyut hidup hampir dua dasawarsa.
Dan sekarang aku tengah mengembara di Mesir, Egypt. Negeri pertama yang mengakui kedaulatan bangsaku, sehingga secara sah Indonesia menjadi negara secara de facto. Ya, dengan link KH Agus Salim yang bertemu tokoh-tokoh pergerakan Islam di Timur Tengah, pendirian Lajnah Difa’i ‘an Indonesia pada bulan Oktober 1945, dan berbuntut pada pengakuan Mesir atas kedaulatan Indonesia oleh Raja al Farouk –atas desakan Hasan Albanna- 22 Maret 1946.


Tidak hanya sekali dua kali bangsaku berhutang pada negeri yang sedang ku tempati ini. Mulai dari beasiswa pendidikan hingga segala kemurahan dan kedermawanan, Mesir adalah saudara Indonesia.
Sayang, negeri ini tengah terluka –jika tak mau dibilang sekarat-. Sekali lagi, ‘mainan demokrasi’ menunjukkan boroknya. Ia tak lebih akal-akalan si oportunis kapitalis. Jika untung, maka disayang. Jika buntung, maka ditendang.
Daftar kematian dengan angka bombastis tiba-tiba muncul hanya dalam hitungan sepersekian jam. Pembubaran paksa demonstran dengan peluru, gas air mata dan alat berat tak bisa memungkiri akan darah yang tertumpah. Masih tak cukup, api disulut, masjid pun tak luput. Cairo membara. Dan serentak darah mengalir di penjuru negeri. Semurah apa darah di negeri Firaun ini?
Ya, sejarah tak pernah luput dari darah. Berharap tidak? Itu utopia semata.
Ya, jangan berharap tanpa pamrih pada negeri yang menjajikan kemakmuran dan kekayaan, jika tidak diimbangi dengan keadilan dan ketaatan. Kalaupun sebuah negeri bisa berjaya dengan ketidakadilan dan kemaksiatan, ia akan meminta tumbal. Seperti Nil yang meminta seorang gadis perawan setiap tahun, hingga sampainya surat dari khalifah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Lalu, untuk puluhan tahun yang terlewat untuk ketidakadilan tanpa tumbal apapun, apakah semua dibayar lunas pada genangan darah di masa ini?
Aku tak lupa pula dengan negeriku. Tanah air yang menjadi surga khatulistiwa, layaknya ‘singa tertidur’. Bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, dalam gugusan belasan ribu pulau dengan panorama alam, hasil bumi dan tanah yang melimpah dan menyilaukan sekaligus membutakan mata golongan serakah. ‘Surga Asia Tenggara’ ini juga meminta tumbal, tentu aku tidak heran dengan bencana alam yang banyak memakan manusia. Alur gunung berapi dari Sumatra, menuju Jawa hingga ujung Timur Nusantara bukan berarti tidak ada apa-apa. Tsunami 2004 silam juga masih menjadi satu-satunya yang terkenang dalam diktat al Azharku yang merekam nama Indonesia.
Hari Raya juga bukan semata bersuka cita. 686 orang tewas, dalam 3.061 kecelakaan di masa mudik lebaran Idul Fitri 1434 H. Pun di sini, di bumi Kinanah ini. Semarak Hari Raya tak lagi terasa kecuali tergantikan oleh berita bentrokan dan pertikaian. (heh, bicara apa aku tentang tumbal hingga ke Hari Raya? Jangan kau anggap serius lah...)
Tapi fakta memang menyimpan derita itu. Derita sebuah negeri dengan Muslim mayoritas. Aku merasa tidak sepenuhnya muslim di negeri kita bisa dibanding-bandingkan dengan mayoritas muslim di negeri ini. Dengan kultur budaya dan jumlah ulama yang berbeda tidak semua hal, mulai dari pergolakan politik hingga penyelesaiannya bisa disamakan dengan Indonesia (hah, sampai di mana baiknya negeri kita sebagai kaca perbandingan untuk yang terjadi di Mesir ini?)
Lihat lah jawaban Prof. W.F. Wertheim saat ditanya, mengapa kelompok Islam teralienasikan?  Jawabnya, “tipikal umat Islam Indonesia meerderheid met minderheids-mentaliteit (mayoritas dengan mentaliteit minoritas)”. Hampir semua sepakat, tapi faktanya PeeR ini belum kunjung selesai digarap oleh umat Islam sendiri, ndak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.
Pak Karno bilang JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)! Lalu aku teringat masa awal kemerdekaan kita. Proklamasi digelar, bukan berarti perjuangan bubar. Namun perang ideologi gencar, “mau ke mana dibawa bangsa Indonesia ini?”
Pak karno juga bilang, bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa pahlawan. Tapi ternyata pahlawan hanya tergantung siapa penulis permainan sejarahnya. Sutan Sjahrir dengan pahlawan selepas kematiannya? Natsir dengan Mosi Integral-nya yang brilian dan PRRI? Sukarno dg demokrasi  terpimpinnya? Suharto dengan Orde baru nya?
(Tidak hanya politik yang bisa dipermainkan. Sejarah tak jauh beda. Pahlawan bukan berarti tanpa cela dan cacat. Seperti halnya kau bisa menulis Abu al Abbas as Safah sebagai pengkhianat dan penghancur Umawi, atau Sang pendiri Dinasti Abbasiyah.)
Kemerdekaan dan euforia akan kebebasan berekspresi. Sewajarnya itu terjadi. Terlebih pasca kemerdekaan, revolusi, reformasi apalah yang semisal. Namun otot tambah otot sama dengan darah. Hati ditambah hati sama dengan... ‘bukan darah’ lah. Kalaupun ada ya... bisa diminimalisir.
Pinjam bahasa sesepuh di sini, Pak Sigit. Kita ini sedang ‘namu’. Tamu yang terkadang lebih banyak merepotkan dan mengganggu. Rasa kemanusiaan memang nomor satu. Tapi apa daya, kekuatan hanya sampai di lidah. Maka senjata terakhir adalah doa. Ku bilang senjata, bukan sekedar omong kosong belaka.
Untuk ending aku mencoba meraba, “Bagaimana komitmen Indonesia untuk menghapus penjajahan?”
Bukankah terdengar sangat patriotik, sejak SD pun paragraf ini selalu bergaung di telinga kita, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sedikit berkontemplasi dengan kata ‘penjajahan’. Fa’il kata ini adalah ‘penjajah’ yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti orang yg terlalu menguasai (menindas dsb) orang lain (bawahan dsb).
Tidak hanya suatu bangsa yag bisa menjajah bangsa lainnya. tapi penjajah bisa jadi dilakukan satu oranag. Dengan kata lain, penjajahan bisa bersifat kolektif maupun per-individu. Selanjutnya, mengamati fenomena yang terjadi di Mesir saat ini, bisakah disebut sebagai penjajahan? Lantaran aroma darah dan kekuasaan sangat kental terasa. Dan bagaimana respon Indonesia terhadap ‘saudara’nya ini? Sesuaikah dengan amanat UUD 1945?
Bertambah satu lagi PeeR kita. Merdeka!





                                         Dirgahayu Indonesiaku, Cairo, 17 Agustus 2013