Tuesday 10 December 2013

Berduka untuk Mesir, Sepenggal Cerita di Musim Dingin

bismillah

Winter semakin terasa. Meski begitu pagi ini saya paksakan diri berangkat kuliah lebih awal. Jam pertama dimajukan, untuk mengejar materi sebelum ujian termin dua. Karena di whatsapp tersiar kabar bahwa hari ini akan kembali terjadi demonstrasi. Kabarnya kemarin ada dua mahasiswa yang terbunuh-innalillahi wa inna ilaihi roji’un- di asrama mahasiswa Mesir al-Azhar. Maka pagi ini saya punya harapan lebih, semoga bisa masuk kampus sebelum terjadi kerusuhan.
Namun harapan tinggal harapan, Alloh ta’ala yang menentukan. Bus berputar melalui Anwar Sadat karena jalan menuju Hay Sadis (lokasi asrama mahasiswa Mesir al-Azhar) macet. Saya cukup bersyukur, karena itu berarti bisa langsung turun di depan gerbang masuk kampus tanpa harus berjalan kaki. Sayangnya gerbang utama kampus sudah diblokir massa. Petugas khozinah yang tadi naik minibus bersamaan dengan bus saya, bisa masuk. Namun lebih dahulu mendapat pukulan dari perempuan-perempuan yang berada di dekat gerbang. Entah siapa entah mengapa. Pun nampak beberapa mahasiswi memanjat tembok pagar setinggi 2 meter.
Akhirnya saya bertemu Marwa, teman Mesir yang masih satu kelas. Ia mengajak masuk melalui gerbang lain. Tapi nihil, semua terkunci. Setidaknya selama perjalanan dalam bus tadi, saya sudah melihat bahwa semua gerbang utama telah diblokir.
Seorang ibu-ibu tambun ber-scraf merah tiba-tiba muncul dari kerumunan mahasiswi, seorang laki-laki menuntunnya. Jelas bahwa ia nyaris pingsan. Namun harus menunggu cukup lama hingga ada mobil yang bersedia membawanya pergi dari kerumunan massa. MasyaAlloh.
Bersama kawan lain, saya mengikuti gerombolan mahasiswi yang bertolak menuju gerbang Fakultas Farmasi. Entahlah, hampir setiap orang berjalan tak tentu arah, datang dan pergi begitu saja. Sementara ada teman yang memberitahu bahwa mereka berhasil masuk kampus dengan cara meloncat lewat jendela pos keamanan. Tanpa pikir panjang saya langsung bertekad, apapun yang terjadi, saya tidak akan masuk kampus dengan cara meloncat. Harus dengan sopan dan secara ‘mahasiswa akademis’. Hehe...
Alhamdulillah, gerbang fak. Farmasi telah dibuka. Saya memasukinya tanpa berdesak-desakan. Lancar. Hanya saja masih banyak gerombolan mahasiswa Mesir yang berkerumun di sekitar gerbang. Hingga tidak jauh dari gerbang, seorang mahasiswi Mesir bercelana hitam berteriak, wajahnya ditutup kain hitam sembari mengacungkan tongkat ia nampak kalap dan sedikit menjadi pusat perhatian. Saya agak terkejut, tapi juga sudah mewaspadai akan hal-hal semacam ini. Hanya beberapa detik kemudian ia berlari menuju gerbang. Massa nampak kembali memadati gerbang yang barusan saya lewati. Beberapa tongkat terayun ke atas, dan suana tampak mencekam diiringi teriak histeris dari kerumunan itu. Saya berjalan cepat menjauhi gerbang. Tak begitu lama, sirine ambulan menyala dan perlahan mengecil. Berkali-kali kami istighfar.
Kampus mulai ramai karena gerbang utama telah dibuka. Puluhan massa mengangkat tangan ke atas dengan ibu jari dilipat “Rabea”, bercampur dengan massa pendukung Sisi yang mengacungkan telunjuk dan jari tengah. Saya dan seorang kawan bergegas melewati kerumunan itu dan langsung menuju kelas. Dua jam dari jadwal yang direncanakan, baru kami bisa muhadhoroh dengan dosen. Sungguh sayang karena dua mata kuliah yang seharusnya disampaikan dalam dua jam harus disingkat menjadi tiga puluh menit. Saya kasihan dengan Dukturah Rotibah yang sangat tergesa menyampaikan Takhrij dan Dirasat al-Asanid. Dukturah Azza datang dan terpaksa materi kilat Dukturah Rotibah terpotong.
Selepas kelas berakhir, seorang kawan Mesir maju ke depan. Di belakang meja dosen yang dibuat lebih tinggi dari lantai kelas. Ia mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam hamlah. Dengan berisghtifar seribu kali dalam sehari,”Apakah ini berat untuk kalian?” tanyanya. Kami hanya tersenyum sembari mengiyakan. Juga sholat fajar setiap qobla Shubuh, tahajud dan meminta pada Alloh ta’ala agar rof’ul bala’ atas apa yang kini tengah terjadi. Juga agar satu sama lain memiliki nomor telepon agar dapat saling mengingatkan.
Sebelum semua beranjak pergi, Hagar-seorang kawan Mesir menghimbau semua untuk segera pulang dan menghindari Madinah alias asrama mahasiswa Mesir al-Azhar karena tengah terjadi demonstrasi di sana. Secepat mungkin kami pergi meninggalkan kampus, beberapa pergi dengan setengah panik.
Cukup lama hingga kami mendapat bus ke arah Darrasah. Sementara jalur bus ke arah itu tentu harus melintasi tepat di depan gerbang Madinah. Sekitar dua ratus meter dari gerbang asrama, jalanan menyepi. Mobil-mobil berputar haluan menuju jalur lain. Beberapa mahasiswa meloncati tembok pagar asrama untuk dapat keluar. Sementara banyak juga yang berada dalam asrama dan menatap jalanan dari jendela kamar mereka. Semakin mendekati gerbang asrama, sopir bus beberapa kali berteriak,”Tutup jendela! Akan ada gas air mata!” oenumoang yang berjejal dalam bus menurut. Seratus meter dari gerbang asrama, tercium aroma aneh-saya belum (semoga tidak pernah) mencium atau terkena gas air mata- udara nampak berkabut putih, nampak pagar paku telah dipasang dan jalan berdebu, juga berserakan pasir batu. Menunjukkan bekas adanya kerusuhan.
Bus terpaksa berputar haluan. Kembali menuju kampus putri al-Azhar. Melewati ACC (al-Azhar Conference Center), nampak ratusan demonstran telah memadati jalanan depan Majma al-Buhuts. Kemacetan tak terhindarkan. Mustasyfa Ta’min dan sekitarnya mulai macet total. Namun bus kami menuju Anwar Sadat. Alhamdulillah perjalanan lancar hingga asrama Madinah al-Buuts al-Islamiyah, alias asrama mahasiswa asing al-Azhar yang kami tempati.
Kira-kira begitulah gambaran situasi Cairo saat ini, khususnya asrama dan kampus mahasiswa al-Azhar. Hal ini patut disayangkan karena semua itu mengganggu aktifitas perkuliahan, terlebih di saat menjelang ujian termin pertama yang sebentar lagi digelar.
Kita sebagai mahasiswa asing yang ‘bertamu’ dan ‘menumpang’ memang memiliki kewajiban utama belajar, terlepas dari berbagai macam situasi politik yang memanas. Siapapun yang memimpin negeri Kinanah, bagaimanapun kebijakan dalam dan luar negeri, hingga perekonomiannya tidak perlu kita turut campur tangan. Tugas kita hanya satu, belajar!
Benarkah itu sikap seorang akademis sejati? Sesungguhnya saya cukup miris jika mendengar komentar, “terserah mau bagaimana yang terjadi, yang penting kita-mahasiswa asing- belajar saja!” Sejatinya kita tidak hanya melihat permasalahan dari luarnya saja. Tidak ada musabbab kecuali didahului sebab.
Benar, tugas utama sebagai mahasiswa adalah belajar, mengkaji, berdiskusi, talaqqi dan bebagai aktifitas akademis lainnya. namun saya tidak akan mengesampingkan sikap saya sebagai seorang Muslim, atau minimal sebagai seorang ‘manusia’ lah. Anda boleh berpendapat lain, tetapi buat saya, tidak sepantasnya kita bersikap acuh dan beranggapan bahwa ‘tidak terjadi apa-apa’, hanya karena status kita sebagai mahasiswa. Padahal secara dengan mata kepala kita tahu ada banyak korban berguguran, fasilitas dihancurkan dan kedzaliman dikukuhkan.
Lalu, selain berdoa-yang merupakan senjata seorang muslim- apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan itu adalah PR yang harus dijawab dengan bijak dan tidak tergesa-gesa. Selamat menjawabnya...

ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (Yusuf: 99)

Cairo, 10 Desember 2013, 18:27 CLT

Friday 22 November 2013

Uneg-Eneg

bismillah

Hm, hampir dua bulan blog ini tidak kunjung saya “hiasi”. Rasanya hampaa... malas kah? Umm, ‘sebetulnya’ tidak juga. Sibuk? Wah, itu cari-cari alasan namanya. Tapi entah kenapa saya ingat nasehat seorang senior-siapapun yang lebih tua dari saya, maka saya sebut senior, haha- yang intinya, “istiqomahlah dalam menulis”.

Namun juga, hal itu menjadi tanda tanya bagi saya, menulis adalah bentuk aktualisasi diri saya. Penyaluran uneg-uneg-terutama- yang telah saya alami dari kejadian sehari-hari atau hasil kontemplasi yang ndak begitu serius. Dengan kata lain, bagi saya menulis akan menghadirkan kepuasan sendiri. 

Jadi, kembali pada nasehat tadi, mengapa saya harus istiqomah? Karena kata-kata ‘istiqomah’ seperti menunjuk pada hal-hal yang sulit untuk dilakukan, dan butuh kerja ekstra untuk melakukannya. Sedangkan bagi saya menulis itu kepuasan, tidak perlu kerja keras dan memeras otak untuk melakukannya.

Lalu saya teringat nasehat senior yang lain lagi, untuk meningkatkan kualitas tulisan. Hm, sampai di titik inilah saya mulai merasa ada sesuatu yang ‘aneh’. Tapi tentu saja berbeda dengan rasa ‘dahsyah’nya para filosof ketika mencapai puncak tertentu dalam gelutan pikiran mereka. (^_^)”??

Ya, dari situ saya lalu merasa tertohok. Selama ini apa sih yang sudah saya tulis? Apakah ada peningkatan kualitas? Peningkatan ragam? Atau justru berjalan ke belakang? wawasan apa pula yang sudah saya tulis? Rasanya seperti hanya jalan di tempat.

Lalu teringat lagi saat blogwalking ke blog senior yang lain. Entah ini murni kata-katanya atau hasil mengutip, “membaca adalah bernapas, dan menulis adalah menghembuskannya”. Eureka!! Di sini saya menemukan jawabannya. Bagaimana saya bisa menulis sesuatu yang berkualitas kalau bacaan saya tidak berkualitas? Bagaimana bisa menulis dengan wawasan yang luas kalau saya tidak membaca apa-apa? Saya juga teringat ketika mewawancarai sastrawan tanah air yang tengah melawat ke Mesir, bapak Taufik Ismail. Bahwa apa yang selama ini beliau perjuangkan adalah supaya masyarakat kita gemar membaca. Duh!
Setiap kali membaca hasil tulisan orang lain, saya merasa iri, minder bahkan apatis. Apa saya bisa menulis sebagus itu? Tulisan apa saja. Fiksi ataupun non-fiksi. Serius ataupun yang berpoles humor. Apa saja. Lalu tiba-tiba terbersit di kepala saya untuk ‘tawaquf’ –hihi, saya gemar sekali pakai alasan ini untuk um,,, rahasia ah- sampai bacaan saya ‘cukup’ untuk menelurkan tulisan yang sedikit ‘ehm’. Maka dari itu, blog saya jadi ‘mati suri’. Gara-gara keputusan ber-tawaquf itu.^_^

Ibaratnya, selepas masa ‘membaca’ saya ingin bisa dapat ilham dari langit, lalu keluarkan tulisan yang sedikit lebih ‘berkualitas’. Tapi setelah beberapa waktu terlewat. Justru rasa hampa yang mengisi kepala saya. Seperti ada sesuatu yang menyumbat ketika saya menarik nafas kehidupan. Eciee...

Jadi, haduh.. awalnya saya hanya ingin menulis satu paragraf untuk epilog, tapi ternyata malah ngalor ngidul. Padahal saya hanya mau menulis pengalaman sore tadi, ketika jalan yang melewati kompleks ‘madinah’ mahasiswa (Mesir) al-Azhar diblokir polisi dan nampak gas putih mengepul dari dalam kompleks (kemarin 3 mahasiswa meninggal karena bentrok dengan aparat –kabarnya begitu-) pasir dan batu juga berserakan tepat di depan gerbang kompleks asrama mahasiswa yang-ketika saya lewati- sudah lenggang. Juga sedikit insiden dalam bus, dan reaksi lucu seorang teman. Lho..lho... masih ingin menulis. Tapi ada tugas lain yg harus d kerjakan.
Anyway, smoga uneg-uneg ini bermanfaat.
Allohumma arinal haqqo haqqon warzuqna ittiba’aah, wa arinal batila batilan warzuqna ijtinabah.

                                                                                                    Cairo, 22 November 2013
20:02 CLT



Sunday 15 September 2013

Gom’ah Mubarak... ^_^

bismillah


Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis status di facebook perihal hari Jumat. Dimana saya seringkali mencoret besar-besar agenda untuk keluar di hari Jumat karena banyak resiko yang patut dipertimbangkan untuk keluar pada hari libur resmi Mesir ini.
Dan memang beginilah faktanya. Mungkin tidak semua merasakan hal yang sama. Namun bagi kami, mahasiswi yang tinggal di asrama buuts putri, menjadi kendala tersendiri jika harus keluar pada hari Jumat. Ya, semenjak suhu politik di Mesir yang memanas dan sulit untuk diprediksi, hari Jumat adalah momen yang sering digunakan massa untuk berdemonstrasi.
Mulai dari transportasi yang sulit didapat, plus harus merogoh kocek yang lebih..lebih..dalam, hingga aturan asrama yang seringkali berubah mengenai batasan waktu untuk keluar.
Sebetulnya saya masih sedikit mutung alias ngambek gara-gara semalam ada acara di Hay Asyir yang memaksa beberapa dari kami (anak asrama putri buuts) untuk mengikutinya hingga cukup larut. Melanggar aturan jam kembali asrama? O, jelas. Resiko menghadap direktur asrama? Bisa jadi. Terpaksa naik taksi, demi hemat waktu dan karena tidak ada bus yg beroperasi? Saldo beasiswa bukan lagi nol, tapi minus. Hiks! Ini kan belum masuk tengah bulan... /(ToT)”?
Toh, intinya Jumat ini saya harus keluar lagi, karena ada agenda di Wisma Nusantara yang letaknya di kawasan Rabea al Adaweyah. Kawasan yang menjadi saksi terbunuhnya ratusan (ada yang bilang ribuan) nyawa demonstran, dan hingga kini masih dijaga ketat olrh aparat keamanan dan militer Mesir.
Mengetahui ada agenda di hari ini, sebetulnya saya sudah ada feeling agak buruk. Benar saja, aliran air asrama beberapa kali tersendat, selanjutnya ketika ijin keluar. Ammu Wahab yang menjaga gerbang mendelik pada saya,”Ruh fein?!!” Mau ke mana kamu?!!
“Awwil Sabi’,” jawabku lirih. Itu adalah kawasan yg dekat Rabea al Adaweyah.
Namun senior yang bersama saya segera menjawab dengan keras,”Ahmad Said, Ammu..” ini sih nama kawasan yang terdekat dengan asrama. Hoho...
“mau pergi ke mana kamu?!” tanya Ammu Wahab lebih keras.
Sedikit keder terpaksa saya jawab,”Ana ma’aha, ila Ahmad Said..” Maafin saya sekaliiii ini ya Ammu.
Setelah berhasil keluar asrama, barulah saya tahu kalau sebelumnya ada senior yang dibentak dengan keras gara-gara ingin sholat Jumat di Masjid alAzhar. “Teriak-teriak sampai matanya melotot dan kedengaran sampai imarah 3.” Jelasnya. Whuoo.. Imarah 3 kan jaraknya hampir 50 meter dari gerbang...
Kami agak gamang untuk melanjutkan perjalanan, karena harus kembali sebelum dhuhur. Mustahil.tapi ternyata pak Bos nggak memberi ijin untuk membatalkan agenda, malah kami disuruh segera naik taksi. Taksi ...lagi? haha, saya meringis aja deh.
awwal sabi'
Akhirnya ada sopir taksi yang berbaik hati mengantar kami hingga kawasan Rabea al Adaweyah. Ia mengambil jalur arah ke airport, namun ternyata untuk menuju Rabea al Adaweyah tidak mudah. Bebarap kali taksi berputar-putar mencari celah untuk melewati blokade militer dan aparat keamanan, namun hasilnya nihil. Hampir di setiap ruas jalan terdapat tank-tank dan tentara dengan seragam lengkap. Moncong senjatanya itu lho, bikin ketar-ketir.
Terpaksa kami turun di jalan terdekat yang diblokade untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Keluar dari gang kecil dengan beberapa restoran kecil yang baru mulai beroperasi, kami menuju jalan utama yang nampak sepi. Beberapa aparat keamanan berseragam hitam bersiaga di sana. Tidak jauh di belakang, dua tank dan beberapa tentara berseragam lengkap juga menghadang.
Setelah memastikan bahwa masing-masing dari kami berempat telah membawa paspor dan identitas diri, dengan langkah pelan kami mendekati para aparat itu.
“Langsung jalan apa ijin dulu ya?” kami masih ragu. Tapi, daripada resiko nyelonong lalu di-dor, nah lho.. lebih baik ijin lewat.
Saat berjalan mendekat, beberapa dari mereka mengamati kami yang berjalan mendekat.
“Lau samakh, boleh kami lewat..”
“silakan...” jawab beberapa dari mereka. Phuft...
Kami pun berbelok ke kanan dan...
“WHUAAAH...”
Hihi, akhirnya keinginan saya untuk melihat Maidan Rabea al Adaweyah tercapai! Saya benar-benar penasaran ingin melihat langsung masjid Rabea al Adaweyah yang sempat hangus, serta kawasan pusat yang sempat jadi ‘neraka’ di Bumi Kinanah itu.
Yap, dengan jalanan lebar dan berpusat di bundaran yang cukup besar namun sepi dan lenggang. Dulunya kawasan ini tak pernah sepi dari orang dan kendaraan. Tapi kali ini sepii.. tidak satupun kendaraan bisa lewat. Dan blokade yang cukup luas sehingga seperti taman yang sepi dan dikelilingi apartemen dan bangunan yang cukup lenggang.
Memang sudah tidak ada sisa hangus dan trotoar nampak telah diperbaiki dan ruas jalan telah dicat kembali. Tapi kami juga buru-buru istighfar, membayangkan bahwa di setiap bangunan yang mengelilingi kami terdapat sniper yang sewaktu-waktu mengincar kepala kami. Tentu saja cukup mudah bagi mereka, demonstran bertumpuk di jalanan seperti lapangan yang dikepung gedung-gedung di berbagai sisi. Para sniper sangat mudah memburu mangsanya.
Sedikit konyol kami berlari kecil dengan menunduk, membayangkan bagaimana situasi saat penyerbuan dan mengevakuasi para korban sembari menyelamatkan diri dari sniper yang mengincar kami. Haha..
Sampai di Wisma Nusantara, tentu saja kami datang telat. Ho
Meskipun hanya mengikuti briefing beberapa puluh menit, adzan berkumandang. Dan selesai. Agak canggung juga, karena kami harus segera kembali, sementara kawan-kawan yang tinggal di luar asrama Buuts harus mengikuti rapat hingga akhir.
Saya sih, tidak berpikir ‘dapat apa’ dari agenda siang itu. Yang penting setor muka saja dan kembali ke asrama sebelum kami di marahi oleh Ammu Wahab. Ini sudah jam 1 lebih, padahal kami berjanji untuk pulang sebelum Dhuhur. Punteeen, Ammu...
Cerita pulang tidak jauh berbeda dengan perjalanan berangkat. Kami harus berputar-putar dengan taksi, demi keluar dari kawasan Rabea al Adaweyah. Jika tadi kami bingung mencari jalan masuk, kini harus pusing mencari jalan keluar.
Sopir taksi akhirnya bertanya pada seorang tentara,”Ya basya... ada jalan keluar nggak?” sebab di setiap ruas jalan dan gang-gang telah diblokade oleh tank-tank dengan amunisi penuh.
“Gak ada, kullu thori muta-affil” ia juga mengatakan akan adanya kemungkinan demonstrasi, jadi setiap akses jalan memang diblokade. Whehe... sudah berputar-putar ndak jelas, akhirnya kami mencoba lewat jalan ke Anwar Sadat. Di tengah jalan yang lenggang, tiba-tiba seorang sopir taksi yang berjalan berlawan arah dari kami berteriak kencang,”IRJI’!!!”
Nadanya itu lho... “Ooii, BALIK! Jangan lewat sana!!”
Wuiih, saya meringis, seolah di depan sana sedang terjadi baku tembak. Haha, ternyata masing-masing dari kami berpikir sama.
Meskipun kembali ke tempat semula, akhirnya kami menemukan jalan keluar dari kawasan itu. Kami putuskan untuk turun dan naik bus menuju Nadi Sikkah. Dari sana oper tramco ke Duwai-ah, lalu sambung ke asrama Buuts.
Di dalam tramco kami masih berpikir bagaimana membuat alasan untuk Ammu Wahab. Kami tidak ingin berbohong, namun entah apa jadinya kalau mengaku bahwa kami pergi ke kawasan Rabea al Adaweyah. Habis lah...
Gerbang asrama telah ditutup karena waktu keluar telah habis, kami berdiri di luar dan saling bersembunyi di balik punggung satu sama lain. Akhirnya salah seorang memberanikan diri membuka gerbang, seorang Ammu bawwab berseragan putih ‘askari tersenyum melihat ketakutan di wajah kami.
“Buruan masuk..”katanya. kami mengawasi sekitar dan bertanya, di mana Ammu Wahab. Ternyata beliau sedang di kamar mandi. Serentak kami bersorak gembira dan segera menulis tanda bahwa kami telah kembali. Ammu itu hanya tersenyum geli melihat tingkah kami. Semua beres, dan kami amat sangat berterima kasih pada Ammu itu, “Mutasyakir awi... syukran..syukran Ammu...”
Tiba-tiba seorang dari kami melihat Ammu Wahab keluar, “Ada Ammu Wahab! Larii....!!”


PS: maaph, mau foto2 di TKP tapi takut di-dor. hehe
*huhu... alhamdulillah ala kulli hal ^_^


Saturday 17 August 2013

Kado Ulang Tahun tuk Indonesia-ku

bismillah


Hai, Indonesia...usiamu sudah 68 tahun.
Apa kabarmu wahai tanah airku?

Ini tahun kesembilan sejak terakhir kalinya aku ‘hormat’ pada bendera Indonesia. Merah Putih. Meski bukan nasionalis buta, aku mencintai negeriku. Selayaknya seorang anak pada ibu kandungnya. Karena dari tanahnya aku berpijak, tumbuh dan dari hasilnya aku mereguk setiap denyut hidup hampir dua dasawarsa.
Dan sekarang aku tengah mengembara di Mesir, Egypt. Negeri pertama yang mengakui kedaulatan bangsaku, sehingga secara sah Indonesia menjadi negara secara de facto. Ya, dengan link KH Agus Salim yang bertemu tokoh-tokoh pergerakan Islam di Timur Tengah, pendirian Lajnah Difa’i ‘an Indonesia pada bulan Oktober 1945, dan berbuntut pada pengakuan Mesir atas kedaulatan Indonesia oleh Raja al Farouk –atas desakan Hasan Albanna- 22 Maret 1946.


Tidak hanya sekali dua kali bangsaku berhutang pada negeri yang sedang ku tempati ini. Mulai dari beasiswa pendidikan hingga segala kemurahan dan kedermawanan, Mesir adalah saudara Indonesia.
Sayang, negeri ini tengah terluka –jika tak mau dibilang sekarat-. Sekali lagi, ‘mainan demokrasi’ menunjukkan boroknya. Ia tak lebih akal-akalan si oportunis kapitalis. Jika untung, maka disayang. Jika buntung, maka ditendang.
Daftar kematian dengan angka bombastis tiba-tiba muncul hanya dalam hitungan sepersekian jam. Pembubaran paksa demonstran dengan peluru, gas air mata dan alat berat tak bisa memungkiri akan darah yang tertumpah. Masih tak cukup, api disulut, masjid pun tak luput. Cairo membara. Dan serentak darah mengalir di penjuru negeri. Semurah apa darah di negeri Firaun ini?
Ya, sejarah tak pernah luput dari darah. Berharap tidak? Itu utopia semata.
Ya, jangan berharap tanpa pamrih pada negeri yang menjajikan kemakmuran dan kekayaan, jika tidak diimbangi dengan keadilan dan ketaatan. Kalaupun sebuah negeri bisa berjaya dengan ketidakadilan dan kemaksiatan, ia akan meminta tumbal. Seperti Nil yang meminta seorang gadis perawan setiap tahun, hingga sampainya surat dari khalifah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Lalu, untuk puluhan tahun yang terlewat untuk ketidakadilan tanpa tumbal apapun, apakah semua dibayar lunas pada genangan darah di masa ini?
Aku tak lupa pula dengan negeriku. Tanah air yang menjadi surga khatulistiwa, layaknya ‘singa tertidur’. Bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, dalam gugusan belasan ribu pulau dengan panorama alam, hasil bumi dan tanah yang melimpah dan menyilaukan sekaligus membutakan mata golongan serakah. ‘Surga Asia Tenggara’ ini juga meminta tumbal, tentu aku tidak heran dengan bencana alam yang banyak memakan manusia. Alur gunung berapi dari Sumatra, menuju Jawa hingga ujung Timur Nusantara bukan berarti tidak ada apa-apa. Tsunami 2004 silam juga masih menjadi satu-satunya yang terkenang dalam diktat al Azharku yang merekam nama Indonesia.
Hari Raya juga bukan semata bersuka cita. 686 orang tewas, dalam 3.061 kecelakaan di masa mudik lebaran Idul Fitri 1434 H. Pun di sini, di bumi Kinanah ini. Semarak Hari Raya tak lagi terasa kecuali tergantikan oleh berita bentrokan dan pertikaian. (heh, bicara apa aku tentang tumbal hingga ke Hari Raya? Jangan kau anggap serius lah...)
Tapi fakta memang menyimpan derita itu. Derita sebuah negeri dengan Muslim mayoritas. Aku merasa tidak sepenuhnya muslim di negeri kita bisa dibanding-bandingkan dengan mayoritas muslim di negeri ini. Dengan kultur budaya dan jumlah ulama yang berbeda tidak semua hal, mulai dari pergolakan politik hingga penyelesaiannya bisa disamakan dengan Indonesia (hah, sampai di mana baiknya negeri kita sebagai kaca perbandingan untuk yang terjadi di Mesir ini?)
Lihat lah jawaban Prof. W.F. Wertheim saat ditanya, mengapa kelompok Islam teralienasikan?  Jawabnya, “tipikal umat Islam Indonesia meerderheid met minderheids-mentaliteit (mayoritas dengan mentaliteit minoritas)”. Hampir semua sepakat, tapi faktanya PeeR ini belum kunjung selesai digarap oleh umat Islam sendiri, ndak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia.
Pak Karno bilang JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)! Lalu aku teringat masa awal kemerdekaan kita. Proklamasi digelar, bukan berarti perjuangan bubar. Namun perang ideologi gencar, “mau ke mana dibawa bangsa Indonesia ini?”
Pak karno juga bilang, bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa pahlawan. Tapi ternyata pahlawan hanya tergantung siapa penulis permainan sejarahnya. Sutan Sjahrir dengan pahlawan selepas kematiannya? Natsir dengan Mosi Integral-nya yang brilian dan PRRI? Sukarno dg demokrasi  terpimpinnya? Suharto dengan Orde baru nya?
(Tidak hanya politik yang bisa dipermainkan. Sejarah tak jauh beda. Pahlawan bukan berarti tanpa cela dan cacat. Seperti halnya kau bisa menulis Abu al Abbas as Safah sebagai pengkhianat dan penghancur Umawi, atau Sang pendiri Dinasti Abbasiyah.)
Kemerdekaan dan euforia akan kebebasan berekspresi. Sewajarnya itu terjadi. Terlebih pasca kemerdekaan, revolusi, reformasi apalah yang semisal. Namun otot tambah otot sama dengan darah. Hati ditambah hati sama dengan... ‘bukan darah’ lah. Kalaupun ada ya... bisa diminimalisir.
Pinjam bahasa sesepuh di sini, Pak Sigit. Kita ini sedang ‘namu’. Tamu yang terkadang lebih banyak merepotkan dan mengganggu. Rasa kemanusiaan memang nomor satu. Tapi apa daya, kekuatan hanya sampai di lidah. Maka senjata terakhir adalah doa. Ku bilang senjata, bukan sekedar omong kosong belaka.
Untuk ending aku mencoba meraba, “Bagaimana komitmen Indonesia untuk menghapus penjajahan?”
Bukankah terdengar sangat patriotik, sejak SD pun paragraf ini selalu bergaung di telinga kita, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Sedikit berkontemplasi dengan kata ‘penjajahan’. Fa’il kata ini adalah ‘penjajah’ yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti orang yg terlalu menguasai (menindas dsb) orang lain (bawahan dsb).
Tidak hanya suatu bangsa yag bisa menjajah bangsa lainnya. tapi penjajah bisa jadi dilakukan satu oranag. Dengan kata lain, penjajahan bisa bersifat kolektif maupun per-individu. Selanjutnya, mengamati fenomena yang terjadi di Mesir saat ini, bisakah disebut sebagai penjajahan? Lantaran aroma darah dan kekuasaan sangat kental terasa. Dan bagaimana respon Indonesia terhadap ‘saudara’nya ini? Sesuaikah dengan amanat UUD 1945?
Bertambah satu lagi PeeR kita. Merdeka!





                                         Dirgahayu Indonesiaku, Cairo, 17 Agustus 2013
 

Friday 26 July 2013

Sederhana

bismillah





Sederhana dalam berpikir. Seringkali itu yang diinginkan manusia. Memang enak, tidak perlu ribet2. Menerima sesuatu yang instan itu seperti orang kelaparan yang disodori mie instan siap makan. Tidak perlu belajar, menganalisa, berkomparasi dengan berbagai pemikiran dan pilihan, dan dengan bahasa yang mudah segera mendapat jawaban. A atau B. Hitam atau Putih. Begitulah berpikir secara sederhana.
Namun saya teringat dengan nasehat kakak saya kala masih santriwati. Ketika itu saya sedang berkeluh tentang kejengahan belajar. “Hey, bahkan aku tanya temanku yang paling jeniuspun,”Ujarnya setengah lantang, “ia juga tidak suka yang namanya belajar. B.E.L.A.J.A.R!”
Berpikir sederhana memang berbeda dengan belajar. Belajar itu butuh kesungguhan, ketekunan, pengorbanan! Jadi, bertanya pada seseorang, “kamu suka belajar?” sama artinya dengan “kamu suka bekerja?bertekun ria? Berkorban?” siapa yang suka berada di zona nyaman? Namun betapa keluar dari zona zero itu bisa menghantarkan menjadi hero. Ada kenyamanan dan kepuasan di akhir, bahkan dalam proses itupun ada kepuasan.
Tapi bukan hal mudah pula membahasakan apa yang telah dipelajari dengan bahasa sederhana. Walau memang terlihat indah menggunakan bahasa akademis yang ‘ilmiyah’ atau ‘sok ilmiyah’. Memang penggunaannya melihat kondisi ‘mukhotob’nya. Tapi jika diberi dua pilihan seimbang, saya, dengan girang dan riang akan memilih bahasa yang sederhana. Tidak perlu meliuk-liuk dan berliku seperti labirin yang terlihat indah dan menantang, namun perlu perjuangan untuk mengetahui makna sederhananya. Tidak pula harus menyingkat sesuatu yang jika disederhanakan memang butuh space yang sedikit lebih.
Mengapa?
Menyederhanakan pikiran dengan bahasa yang sederhana, mudah diterima itu seni tersendiri. Bahasa yang sederhana tidak hanya untuk orang awam, karena seharusnya kalangan yang gemar berbahasa ‘langit’ itu terkejut sebab bahasa mereka sebenarnya bisa berjalan di ‘bumi’. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi rasanya seperti Socrates yang membanting wilayah falsafat langit itu ke bumi manusia. Bum!
Saya teringat pula saat-saat mempelajari beragam rumus inti semasa MTs dulu. Kebetulan Om saya yang sangat jenius itu mengajar di kelas saya. Hampir seluruh rumus inti yang dituntut kurikulum untuk dihapal, beliau jabarkan dari suatu asal mula yang sederhana. Kami mendapat suatu pelajaran berharga, ternyata sesuatu yang ‘ribet’ dan menjadi ‘momok’ itu berawal dari sesuatu yang sederhana. Begitu sederhana seperti rumus satu ditambah satu sama dengan dua. Dan hanya dengan sedikit polesan saja, menjadi sesuatu yang menakutkan jika dilihat sekilas. Namun berkat uraian sederhana yang dijabarkan beliau, kami menjadi terpesona. Bahkan lucunya, seorang kawan menyebut Om saya itu dengan “Pangeran”. Bukan karena fisik atau apa (Om saya udah kepala empat e...) tapi mungkin karena beliaulah ia menjadi suka dengan pelajaran yang sebelumnya begitu ia benci. Matematika.
Begitulah, bahasa yang sederhana mampu merubah benci menjadi cinta.
Oleh karenanya, saya cinta dengan kata sederhana. Kata-kata biasa yang mampu menarik hati tanpa polesan-polesan palsu. Dengan bahasa sederhana semua mampu mengerti dan memahami. Bukan karena ingin berpikir sederhana. Namun sesuatu bisa disampaikan secara sederhana tanpa diksi yang berputar-putar, sebuah kerumitan mampu berkemas sederhana. Indah. Santun. Elegan.
Maturnuwun.

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
― Sapardi Djoko Damono


 

Wednesday 26 June 2013

2013

bismillah

Masih segar dalam ingatanku. Episode kehidupan bersama Ummi dan Abi selepas lulus pesantren. Malam itu, Abi yang mengatakannya secara langsung padaku.
“Nun, kamu tahu, teman-teman Abi, mereka berinvestasi banyak untuk anak-anaknya. Ada yang berupa tanah, rumah, macam-macam. Tapi Abi dan Ummi, tidak bisa seperti mereka. Namun kami tetap berinvestasi. Dan investasi kami adalah kalian, anak-anakku...”
“Abi tidak memberi harta yang bermacam-macam, karena investasi kami adalah kalian. Bukan barang.”
Dialog satu arah itu membuatku tercekat. Aku tidak bisa bermain-main. Namun setelah mengevaluasi perjalanan hidup ini, terutama satu tahun di bumi Kinanah ini. Entah, sangat malu rasanya. Semangat juang ketika pertama kali datang bak memudar satu persatu. Mungkin banyak juga yang merasakan hal serupa. Ujung-ujungnya, Disorientasi.
Meski demikian aku tidak akan lagi mengeluh. Ku kira selama ini sudah cukup banyak aku mengeluh dan meratapi diri. Tapi toh itu tidak menghasilkan perubahan yang ‘wah’. Jadi seharusnya memang move on. Tidak lagi memandang ke belakang dengan putus asa.
Terlebih di usia 21 ini. –wew, cepat sekali rasanya- Ummi, Abi... anak-anakmu sudah besar. Eyang... Alloh menjawab pertanyaan Eyang saat aku masih di pesantren dulu, “Nun, Eyang masih bisa melihat cucu-cucu sampai pada kuliah gak ya?”
Terima kasih Alloh... kau limpahkan karuniaMu padaku. Banyak. Tak terhitung. Meski sering aku melalaikannya. Ampuni hamba ya Rabb...
Sudah waktunya serius. Tidak lagi menjalani hidup dengan ‘main-main’. Mulai sekarang –lebih baik telat daripada telat banget ^_^- aku harus fokus terhadap visi hidup yang sudah terplaning. Tak akan gentar tak akan ragu dan tak akan lagi bermain. Harus percaya diri! Kudu bisa!
Selama ini aku benar-benar seperti anak kecil yang merasa patut untuk manja. Ini dibantu, itu dibantu. Merengek sana merengek sini. Apa karena takut untuk menjalani dengan mandiri? Entah. Meski perubahan itu tidak akan langsung drastis, bagaimana bisa berubah jika tidak di awali dengan langkah pertama?
Mungkin nantinya akan ada kawan yang merasa ‘woi, Ainun kembali ekstrim!’. Hm, setidaknya aku harus bersiap untuk itu. Karena buatku, fanatik dan kolot itu perlu terutama saat tahu bahwa itu hal yang diperlukan dan dibenarkan.
Selama setahun ini, sebagaimana lazimnya kehidupan, ada suka, duka, lara, gembira, kecewa, macam-macam lah. Ada kesalahan dan kebenaran. Ada yang harus dipertahankan, juga ada yang harus dikoreksi. Setidaknya beberapa pekan ini ada beberapa hikmah yang bisa ku dapatkan. Misalnya tentang bagaimana mengakui sebuah kesalahan.
Ternyata mengakui kesalahan itu tidak cukup dilakukan ketika ‘kita merasa bahwa kita bersalah’ karena yang lebih berat adalah mengakui kesalahan ‘yang ditunjuk orang lain atas kita, padahal sama sekali kita tidak merasa salah’.
Yah, tidak ada yang spesial di hari ini kecuali usia yang semakin mendekati ajal. –makanya kudu selesaikan tugas sebelumajaldatang, hehe-. Hari ini sama seperti hari-hari biasanya. Aku masih menganggap bahwa perayaan itu tidaklah diperlukan, satu-satunya yang paling tepat hayalah momen untuk muhasabah diri.
Tidak perlu kecewa tiada seorang yang mengetahui tanggal lahirmu lalu mengucap “HBD yah...” Karena toh tidak semua melakukan hal itu karena murni perhatian dengan tanggal lahir kita. Cukup pantengin aja layar facebook setiap hari, dan siapapun bisa mengucap selamat ulang tahun pada kawannya. Entah itu benar atau salah. (based on real experience).
Maturnuwun.

                                                       Memasuki Summer, Cairo, Buuts,
                                                       26 juni 2013

Monday 13 May 2013

Tak Ingin Kembali

bismillah


Saat ini aku adalah seorang pengecut
Maka maaf.

Aku sedang tak ingin kembali
Bukan semata citaku keliling dunia
Namun semesta kecil di kampung kita,
Aku tak tahu, bisakah aku menghadapinya

Di sini aku membeku
Dalam jumud dan silap duniaku
Seperti pesan hati
Yang benci untuk kembali
Ini aku lagi

Namun aku tetap akan kembali bukan?
Jadi bagaimana?
Di sini, aku mengutuk sepi
Di sini aku rindu berkelana lagi
Bagaimana bisa aku kembali?

Jika kembali, nanti...
Segenggam asamu, aku takut memudar
Harapmu, aku takut mendekat pada lenyap

Aku ingin pergi lagi
Jauh dari mentari di desa kita
Bolehkah?

Aku tak kuat membagi
Antara hati dan fakta yang harus dihadapi

Tidak.
Hari ini saja
Ijinkan aku pergi
Lagi...

*aih, kacau ne...

Saturday 11 May 2013

Ini Suriah, Sepenggal Scene dari Negeri yang Terluka

bismillah

Baru saja telepon dari Negeri Syam itu disudahi. Kini aku tak sabar lagi untuk menceritakan tutur remaja WNI yang masih bertahan kuliah di Damaskus, Ibu kota Suriah yang kini tengah menjadi neraka dunia.
“ini sekitar 3 atau 4 hari lalu.” Ia bertutur melalui “private number” ke nomor Mesirku. Selanjutnya aku bahasakan dengan “aku”.
Malam itu aku dan beberapa kawan tengah menyaksikan rekaman video bersama, di rumah kami. Dan tiba-tiba, BLAMM!!
Jangan berpikir untuk mendengar suara itu, terlebih merasakannya. Karena dentuman itu jauh lebih keras dari suara meriam modern yang biasa kami dengar setiap saat. Ku pikir jantungku sempat terhenti berdetak selama suara itu nyaris memecah gendang telinga.
Tiba-tiba lampu rumah berkedap kedip. Suasana remang mencekam. Tiada seorang mampu berkata. Namun setiap penghuni rumah bergerak tanpa komando.
Klap!
Lampu dimatikan.
Sret! Jendela-jendela ditutup.
Dalam diam kami bersiaga jika tiba-tiba datang pasukan yang mendobrak pintu lantas memaksa kami untuk berkata “laa ila illa ‘Pak Kumis’...”(wa iyyadzubillah) lalu menculik dan menyeret seorang dari kami ke penjara, atau menyiksa dan menembak mati kami di tempat. Bukan hanya kami yang bersiap untuk kemungkinan terburuk, namun nampaknya seluruh penduduk Damaskus melakukan hal serupa.
Mungkinkah dentuman barusan hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami? Aku masih bertanya-tanya. Namun dalam kondisi mencekam seperti ini, yang terbaik adalah selalu bersikap siaga.
Tak lama berselang, kami putuskan untuk melihat keadaan di luar. Malam ini, nyaris seluruh penduduk kota membuka jendela seperti kami. Dan dengan muka penuh tanda tanya, karena tidak terjadi apapun. Ini aneh.
Tiba-tiba, dari gedung yang menghalangi pandanganku, sekilas cahaya muncul. serentak pandangan mata seisi kota menuju ke sana. Aku melihat kilat cahaya merah telah sampai di atas. Ia berasal dari daratan, bukan dari langit. Berarti bukan bom yang dijatuhkan dari langit. Namun ini sama persis dengan yang ku tonton dalam film Hiroshima-Nagasaki. Tapi ini bukan asap cendawan, ini cahaya merah yang menukik ke langit.
Belum lama aku terpana, sebuah angin panas menyeruak. Mendorong dan melibas tubuh-tubuh kami, seisi rumah.
BUG!!
Masing-masing tubuh kami berdentum ke lantai dengan keras. Bersamaan dengan debu pasir dan angin panas yang menyeruak.
“Tutup jendela!!” akhirnya seisi penghuni rumah segera menutup jendela tanpa ada komando lebih.

Cerita di atas sedikit mendeskripsikan apa yang terjadi saat itu. Berdasarkan informaso yang ia peroleh, itu adalah serangan bom kimia dari dua pesawat Israel di sebuah pegunungan di pinggir Dmaksus, sekitar 5 sampai 7 Km dari pusat kota. Tentu akan lebih membuat jantungmu berdegup lebih keras jika kau mengalaminya sendiri. Kita doakan semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindunganNya. Namun yang di atas bukan film atau narasi fiktif. Hal yang benar-benar di alami seorang mahasiswa muslim yang bertahan menuntut ilmu dan membantu rakyat Suriah di sana.
“Ku pikir ini film. Kau tahu, seperti dalam scene bom nuklir yang meledak lalu gelombang ledakannya menjalar ke segala penjuru... Blaaar!!”
Aku hanya membayangkan ekspresi wajahnya di seberang sana. Di negeri yang masih berada dalam kawasan Tiur Tengah. Huh, mereka bilang Arabic Spring yang tak “spring”nya terlalu lama. Tidak seperti di Mesir dengan segala macam pergolakan pasca revolusinya.
Tapi hey, di sini aku tertegun.
Mahasiswa itu juga sama seperti masisir, ujian di depan mata. Namun ia menyaksikan sendiri hiruk pikuk peperangan, meski masih bertahan di daerah yang cukup aman dalam kawasan sang penguasa ‘Pak Kumis’. Jangan kau tanya siapa itu Pak Kumis.. itu kode kami untuk membicarakan penguasa rezim Suriah yang tega melakukan ‘genosida’ pada rakyatnya sendiri.
Damaskus bersalju. a little pic of him ^_^
Bukan karena alasan apa ia bertahan. Namun jiwa nya yang berteriak untuk membantu saudara muslim di sana lebih keras memanggil. Bertahanlah sebagai seorang muslim, kau mampu untuk pergi dengan jiwa nasionalis yang acuh, namun bantulah penduduk negeri ini dengan jiwamu sebagai seorang muslim. Itu suara iman yang mengalahkan apapun.
Aku hanya bisa mendengar kisahmu di sini. Aku pun belum membantu banyak secara langsung. Padahal kita sama-sama tengah belajar. Dan menghadapi ujian yang sudah di depan mata. setidaknya ruh belajarku kembali bergelora. Bukan untuk apa. Namun aku sadar bahwa segala fasilitas yag kini tengah kunikmati, tengah digadaikan oleh kucuran darah saudaraku di negeri-negeri yang terluka. Maka tidak sepantasnya aku berleha. Begitu pun kau!

Wallohu ta’ala a’lam

*jangan lupa juga doakan untuk segera selesainya krisis di Negeri Syam ini. Allohumma amin.