Thursday 30 July 2020

DIARY PETUGAS HAJI: JURUS TELUNJUK YANG AMPUH

bismillah

Kursi roda merupakan salah satu alat yang cukup dibutuhkan bagi jamaah haji lansia, difabel maupun yang sedang sakit, saat melaksanakan Haji atau umroh. Karenanya, dari pihak Masjidil haram demi Khidmah (kontribusi) untuk jamaah haji maupun umroh, menaruh perhatian yang tidak sedikit. Hal ini bisa dilihat dari ragam fasilitas yang disediakan dalam area Masjidil Haram.

Misalnya, di area dekat Terminal Bab Ali (arah bus bagi jamaah haji embarkasi Surabaya, Lombok dll) terdapat penyewaan kursi roda gratis, cukup dengan menunjukkan paspor kepada petugas Masjid.




Ada juga jasa dorong resmi, biasanya berseragam rompi abu-abu, hijau atau merah yang bertuliskan petugas resmi Masjidil Haram berikut nomor badge nya. Tidak gratis memang, namun cukup membantu sebenarnya. Harga jasanya berada di kisaran 125 Reyal Saudi pada hari-hari musim haji biasa, dan secara resmi naik menjadi kisaran 300an Reyal saat puncak musim Haji.

Di lantai 2,5 (dua setengah) -kami biasanya menyebut begitu, karena letaknya antara lantai 2 dan 3, terdapat pula area tawaf dan sai, khusus menggunakan skuter yang disewakan bagi Jemaah. Cukup membeli tiket pada loket yang tersedia di dua tempat. Di dekat bukit Safa dan Bukit Marwa.

Arti Kursi Roda bagi Petugas Haji

Bagi petugas Haji yang bertugas di Seksus (Sektor Khusus) Masjidil Haram, kursi roda adalah salah satu fasilitas yang cukup penting untuk melayani jamaah haji. Terutama ketika terdapat jamaah yang kelelahan dan tidak sangup melanjutkan ibadah dalam area Masjidil Haram.

Oleh karena itu, selain memiliki kursi roda sendiri, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji juga bekerjasama dengan Pengurus Masjidil Haram dalam penyediaan fasilitas tersebut.

Jadi, petugas haji Indonesia memiliki beberapa kursi roda wakaf milik Masjidil Haram yang dikhususkan bagi jamaah Haji Indonesia.

Nah, rupanya ada juga jasa dorong yang tidak resmi di area Masjidil Haram. Biasanya mereka mematok harga sesuai dengan penawaran. Tidak jarang, mereka adalah anak-anak remaja atau pemuda yang tidak dapat menyewa secara resmi (karena membutuhkan paspor).

Memenangkan Kursi Roda

Di malam kedua saya berjaga di Masjidil Haram, saat tengah menempati Pos Marwa, saya dan seorang rekan Polwan berjaga. Terdapat dua kursi roda yang selalu tersedia di Pos Marwa, mengingat area pintu Marwa adalah salah satu titik strategis untuk menyalurkan berbagai bantuan untuk jamaah.

Datang dua anak remaja Arab, mereka menginginkan kursi roda kami. Karena rekan Polwan tidak bias berbahasa Arab, saya lah yang menangani.

Setelah berdebat, sembari mengancam akan saya laporkan ke Askar (karena mereka adalah jasa dorong non resmi), akhirnya mereka sedikit mundur.

Namun rupanya mereka tak semudah itu menyerah. Rekan polwan mencoba memegang dan menduduki kursi roda milik kami, sambil berulang berkata,”NO!”.

Saya yang sudah jengah dan merasa percaya diri, karena tak mungkin mereka berani memaksa saya, hanya menggoyangkan jari telunjuk, “Ck! Ck!” Bahasa isyarat yang kurang lebih berarti “NO!”.

Akhirnya mereka pergi.

Berhasil!

Jurus Telunjuk, "Ck! Ck!"

Saking terkejutnya rekan polwan saya, ia semangat bercerita pada Petugas Haji lain dari Indonesia, “Ainun hebat loh, bisa ngusir anak-anak nakal itu Cuma pakai telunjuk.” Ia pun menggoyangkan jari telunjuk dan menirukan gaya saya, “Ck! Ck!”.

Beberapa hari kemudian, di saat rehat santai, seorang petugas haji menceritakan. Salah seorang petugas dari tim medis Seksus Masjidil Haram, terpaksa merelakan kursi roda di Pos Marwa. Kalah oleh anak-anak remaja, jasa dorong illegal.

Mendengar itu, rekan polwan saya kembali berseloroh, “Harusnya dia belajar dari Ainun,” ia menepuk Pundak saya setengah tertawa. Sekali lagi ia menjiplak mimic muka dan jari telunjuk dari saya, “Ck! Ck!”.

 

Monday 27 July 2020

Diary Petugas Haji: Menangani Jamaah Pertama

Bismillahirrahmanirrahim


Sebelum jamaah haji tiba, sebagai orang yang baru pertama kali tiba di kota Mekkah, saya dibayangi rasa was-was. Jika untuk diri sendiri saja masih belum menguasai area Masjidil Haram yang sangat luas itu, bagaimana nantinya saya melaksanakan tugas; melayani, melindungi dan membimbing para jamaah haji?
Namun semua petugas “senior” yang pernah bertugas sebelumnya, selalu memiliki jawaban yang sama,”Nanti kalau sudah terjun di lapangan juga tahu sendiri, Mbak”. Dan saya hanya bisa nyengir untuk merespos jawaban semacam ini.

Petugas Haji Mengarahkan Jamaah


Saat belum ada jamaah yang datang, saya sudah melaksanakan umroh untuk haji Tamattu. Dari situ saya benar-benar memahami kenapa jamaah tersesat itu hal biasa. Pertama kali saya umroh, bahkan untuk mencari “pilar hijau” tanda permulaan tawaf saja, saya kebingungan. Saya sempat salah mengira bahwa Rukun Yamani adalah Hajar Aswad. Bagaimana dengan jamaah yang sudah sepuh dan terpisah rombongan? Hm…

Jamaah Pertama
Hari pertama bertugas dalam area Masjidil Haram, saya dapat tugas selama 12 jam untuk stand by di pos-pos tertentu dalam area Masjid. Sudah menjelang selesai bertugas, seorang petugas wanita dari unsur Polisi membawa seorang jamaah laki-laki yang masih muda. Saya perkirakan berumur 40an tahun. Ia mendatangi kami yang berjaga di pos Marwa sembari memberi isyarat mata, bahwa jamaah tersebut mentalnya terganggu.
Walau sudah pernah diberitahu bahwa kemungkinan adanya jamaah haji yang “disorientasi” itu ada, dan bagi yang bertugas di Sektor Masjidil Haram, pasti pernah menghadapinya. Namun saya agak terkejut, karena jamaah haji yang satu ini terbilang cukup muda. Biasanya gangguan mental ataupun disorientasi lebih banyak dialami jamaah haji yang sudah sepuh.
Dari penjelasan petugas tadi, ternyata jamaah tersebut terpisah rombongan, tersesat, sedikit mengalami gangguan mental dan juga memiliki riwayat jantung serta -ia sudah tawaf namun belum melaksanakan Sa’i!
Mas'aa lantai 2 saat sepi jamaah
Saya pun menawarkan diri untuk membantu sang jamaah untuk Sa’i, karena itu memang bagian dari tugas kami sebagai petugas haji. Saya berjalan bersama jamaah tersebut menuju area mas’aa. Sembari saya ajak berkomunikasi, dan mengedukasi seputar tata cara dan tuntunan melaksanakan sa’i.
“Bapak sanggup Sa’I sendiri kan ya ,Pak. Saya tunggu di sini ya (bukit Marwa)” Ujar saya.
Bapak itu tersenyum sembari dua matanya menyipit,”Jangan, Mbak. Saya ada sakit jantung nih”.
Akhirnya saya temani Bapak itu melaksanakan Sa’i. Karena kami masuk dari bukit Marwa, artinya Sa’I baru dimulai setelah kami sampai di bukit Safa. Lumayan lah jaraknya, 450 meter. Kalau plus Sa’i, total 3,5 KM. huhu
Inilah kenapa muncul anekdot di antara para petugas Seksus (Sektor Khusus) Masjidil Haram, “Andai ada namanya {Sa’i Sunnah} sebagaimana tawaf sunnah”. Itu karena seringnya kami terpaksa ikut Sa’i ketika jamaah ingin ditemani. Padahal sekali Sa’I, dengan jalan normal, tanpa istirahat, bisa makan waktu 30 menit-an.
Pintu Keluar Marwa lantai 1, titik poin jamaah selesai Sa'i

Masalah Rumah Tangga
Sembari berjalan menuju Safa, saya ajak mengobrol. Ternyata beliau orang Aceh, istrinya orang Bekasi. Sudah lama menetap di Bekasi. Saya pun bilang, “Oh, suami lon ureng Aceh. Lon Ureung Solo”. Beliau pun ajak saya bicara bahasa Aceh. Dan saya hanya bisa tersenyum sambil bilang,”Lon hanjeut basa Aceh.” Saya nggak bisa bahasa Aceh.
Bapak itu bercerita pada saya, bahwa ia sedang ada masalah rumah tangga. Saat ini ia dan istrinya sedang tidak akur dan berencana untuk cerai. Ia bercerita panjang lebar soal rasa kesalnya dengan sang istri. Lah… malah curhat! Saya hanya menanggapi, “sabar ya, Pak, semoga masalahnya tuntas.”
Setelah beberapa kali bolak balik Safa Marwa, ia nampak menguasai area Mas’aa. “Bapak, Sa’I sendiri sanggup ya pak, saya tunggu di Marwa. Kalau sudah selesai nanti tahalul.”. Alhamdulillah beliau mau Sa’i sendiri.
Saat itu, tiba-tiba seorang jamaah wanita Indonesia mendekati kami, tiba-tiba ia merangkul Bapak tersebut, setelah melihat saya yang berseragam petugas, ia pun menertawakan Bapak itu. “Haha.. kamu nyasar ya…”.
Saya sedikit terhenyak. Mungkinkah itu istri dari jamaah yang saya bimbing sa’i?
“Bu, Bapaknya belum selesai Sa’I, baru 3 kali.” Kata saya.
“Oh, Ya. Lanjut dulu Sa’I nya ya…”
Tak lama berselang, beberapa jamaah mendatangi saya. Setelah bapak itu melanjutkan Sa’I sendiri, beberapa jamaah laki-laki dan perempuan yang ternyata satu rombongan dengan Bapak itu bilang,”Bapak tadi suaminya Ibu itu,” sembari menunjuk jamaah wanita yang tadi menertawakan sang Bapak. “Orangnya agak sakit (mental) memang, tadi terpisah rombongan kami.”
Sembari menunggu Bapak tadi selesai Sa’i, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Justru seperti ada rasa bersalah telah mempertemukan Bapak itu dengan rombongan. Karena rupanya sang Istri ada dalam rombongan tersebut. Sebelumnya saya kira Istrinya tidak ikut Haji. Dan melihat respon sang istri ketika tahu suaminya tersesat, justru ditertawakan. Hmm…
Akhirnya Bapak itu selesai melaksanakan Sa’I dan Tahalul, alhamdulillah rombongannya pun mau menunggunya sehingga bisa pulang ke hotel dengan rombongan utuh seperti semula.
Jamaah Haji Indonesia keluar dari pintu Marwa Lantai 1
Saya dan rombongan itu akhirnya keluar dari pintu Marwa. Masing-masing mengeluarkan sandal maupun sepatu yang dibawa. Bapak itu tiba-tiba mendekati saya, tangannya terulur mencoba memberikan sesuatu untuk saya. Dalam genggamannya ada beberapa lembar Rupiah berwarna biru yang sengaja dilipat.
“Oh, nggak perlu, Pak. Ini sudah tugas saya.” Saya mencoba menolak secara halus.
Jamaah lain ikut berkomentar,”Nggak apa, Mbak, ambil saja.”
“Saya sudah ada yang gaji loh, Pak. Nggak perlu, buat infaq ke yang lain saja.” Saya keukeuh menolak.
Akhirnya ia mengembalikan Rupiah itu ke sakunya, sambil berjalan menuju terminal Ajyad, rombongan itu pamit dan berterima kasih pada saya.
Dalam hati saya berdoa agar Bapak itu lekas sembuh dan permasalahan rumah tangganya terselesaikan.
Amin.

*Mengenang Musim Haji 1440 H / 2019 M

Sunday 26 July 2020

PENGALAMAN JADI PETUGAS HAJI

bismillah


Impian yang Mustahil

Sekitar tahun 2010, mendekati kelulusan setingkat SMA di Pesantren. Saya mencoba menulis impian-impian yang ingin dicapai. Ada semacam quote dari salah seorang Ustadz yang cukup menggugah pola piker saya. Dirimu saat ini (apa yang kamu lakukan, kerjakan, usahakan) adalah dirimu yang ini juga pada sepuluh tahun lagi. Saya pun mengambil kesimpulan bahwa semangat saya saat itu, -jika terus konsisten- akan terwujud di masa depan.
Musim Haji 2019 M
Ada beberapa impian yang cukup konyol saya tulis, salah satunya adalah impian untuk pergi ke Dufan. Hehe. Namun ada beberapa impian yang -dalam pertimbangan saya saat itu- amat sangat mustahil; salah satunya, Haji sebelum umur 30 tahun. Saya tidak ingin berhaji saat fisik telah lemah dan jadi nenek-nenek.
Ternyata impian yang sangat mustahil dalam benak saya sepuluh tahun lalu itu, terwujud Sembilan tahun berikutnya!
Allah memberi jalan yang tiada pernah saya sangka. Usia saya 27 tahun pada 2019. Saya sudah menikah dan memiliki seorang putri berusia 2,5 tahun kala itu. Beberapa malam sebelum pemilihan tenaga musim Haji mahasiswi Indonesia di Mesir, saya terus bermimpi, mimpi berdiri di pelataran Masjidil Haram sembari melihat Ka’bah!
Ternyata impian saya, Allah SWT kabulkan Sembilan tahun kemudian. Tak hanya itu, tak hanya sekadar menunaikan rukun Islam yang kelima, namun ada sebuah rasa yang semakin menggebu ketika saya tak sekedar mendapatkan kesempatan yang -bagi banyak Ummat Islam- harus bertahun-tahun menunggunya. Iya, tak hanya untuk diri sendiri, saya menjadi khadim (pembantu) jamaah Haji!
Sungguh, dua hal itu adalah kemuliaan yang sungguh sulit untuk diabaikan; Haji sekaligus membantu orang yang berHaji!

Menjadi Bagian Sektor Khusus Masjidil Haram
Pertama kali mengetahui bahwa saya di tempatkan di Sektor Khusus Masjidil Haram, tidak ada rasa khawatir. Namun semakin kawan-kawan mahasiswa Temus yang membicarakan, terasa itu adalah pekerjaan yang berat.

Saat Sepi Jamaah, bisa berfoto ria



Namun begitu bergelut pada fakta di lapangan, saya memiliki sebuah kesimpulan; berat atau ringan itu relatif.
Benar bahwa baru pada Tahun 2019 lalu, -musim Haji sebelum adanya pandemi Covid-19 yang amat patut saya syukuri telah diberi kesempatan sebelum musibah itu datang- ada penambahan petugas wanita dalam sektor Khusus Masjidil Haram. Namun yang cukup berbeda pada sector khusus ini, dibanding sector-sektor lain, adalah komposisi petugas yang terdiri dari unsur TNI, Polri, Tenaga Medis dan Mahasiswa maupun mukimin Saudi.
Hal itu karena memang tugas di lapangan, banyak menuntut pekerjaan fisik dibandingkan lainnya. Jadi bias dibayangkan, saya yang bertubuh mungil ini tenggelam saat harus berjejer dengan unsur lain. Hehe.

Sisi Kanan, bangunan baru King Abdullah yang dibuka saat musim Haji


Jadi, berdasarkan kisah-kisah mereka yang pernah Temus sebelumnya, menjadi petugas Haji di Sektor Khusus Masjidil Haram adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan sangat melelahkan. Kalua mau jujur, memang jika diukur secara fisik, memang berat. Kami harus menguasai seluruh area Masjid (jangan dibayangkan seperti saat umroh, karena saat musim Haji, bangunan baru King Abdullah yang memiliki terowongan ke arah Jarwal, sepenuhnya dibuka), belum lagi jarak antar terminal -di mana jamaah sering salah terminal- cukup jauh, belum lagi jika jamaahnya butuh didorong karena memakai kursi roda, dan banyak hal lain yang menuntut kekuatan fisik untuk melayani jamaah Haji.
Setelah merasakan langsung bekerja, menjadi khadim di Aera Masjidil Haram, saya memahami beberapa petugas lain yang mengeluh kecapekan, kelelahan. Namun anehnya, saya tidak merasakan hal itu sama sekali. Memang ada rasa capek secara fisik. Namun seperti ada energi lain yang membangkitkan semangat saya untuk terus berkhidmah dalam area Masjidil Haram. Iya, jujur, saya tidak ada rasa mengeluh atau bahkan menyesal, telah ditugaskan di area Masjidil Haram.
Karena sungguh kenikmatan tiada tara, Allah SWT beri kesempatan untuk senantiasa berjumpa dengan masjidil Haram setiap hari, selama kurang lebih 2 bulan lamanya!

Jamaah Haji dan Kota Mekkah
Kota Mekkah adalah titik poin yang cukup krusial saat musim haji. Terlebih pada area Masjidil Haram, di mana saat prosesi inti ibadah haji, seluruh jamaah haji tumpah ruah menjadi satu. Di satu tempat, satu waktu.
Dan dalam kepadatan prosesi ibadah Haji, area Masjidil Haram adalah area yang sangat memungkinkan bagi mayoritas jamaah Haji untuk kelelahan, terpisah rombongan dan tersesat saat tawaf Ifadhoh, setelah Armuzna .
Oleh karena itu ada tim Khusus yang “berlari” alias nonstop bertugas di Area Masjidil Haram pada hari-hari puncak prosesi ibadah haji. Tim itu disebut “Tim Haramain”, dan saya termasuk di dalamnya.
Mengedukasi Jamaah haji



Armuzna
Saat jamaah haji bertolak ke Arafah, Tim Haramain adalah petugas Haji “terakhir” yang menyapu bersih area Masjidil Haram, memastikan tidak ada jamaah haji yang tercecer maupun tertinggal rombongan menuju padang Arafah.
Baru setelah itu, kami menyusul ke Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian, tim kami adalah petugas haji yang harus stand by pertama, menyambut jamaah haji yang telah bertolak dari Armuzna. Kami diharuskan menjadi orang Indonesia yang terakhir meninggalkan Masjidil Haram sebelum Armuzna, dan menjadi orang Indonesia yang pertama kali sampai Masjidil Haram selepas Armuzna.
Karenanya, selepas Wukuf di Padang Arafah, kami langsung di antar bus khusus menuju Muzdalifah, di saat jamaah Haji melakukan mabit, kami harus langsung berjalan kaki menuju mina, dari Mina melalui beberapa terowongan hingga menuju Jamarat. Sampai Jamarat kurang lebih tengah malam.
Segera setelah itu, sambal berjalan cepat, kami berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Sesampai masjidil Haram, lalu Tawaf Ifadhah dan Sai. Saya selesai sa’I qabla subuh. Jadi, sejak Maghrib selepas wukuf hingga pagi hari Idul Adha, saya terus berjalan dan tidak tidur.
Selepas sholat Id, di masjidil Haram, ternyata tim kami sudah menemukan beberapa jamaah yang tersesat.
Karena tidak ada transportasi umum maupun bus “Solawat”, dan jalanan macet, serta harga taksi yang melambung tinggi, kami antarkan jamaah yang tersesat, menuju Kantor Daker Mekkah.
Kondisi jalanan yang macet mengharuskan kami mencari kursi roda bagi jamaah-jamaah tersebut, kemudian berjalan kaki dan mendorong melalui beberapa turunan tajam.
Selesai mengantar beberapa Jamaah Haji tersebut, kami pun tidak punya pilihan kecuali berjalan kaki menuju hotel kami. Adapun Taksi, bila harga normal 15 Reyal, maka di puncak musim haji menjadi 300 Reyal, saking macetnya jalanan.
Sesampai hotel, jam menunjukkan pukul 11.55 siang. Tim kami yang kelelahan, karena belum istirahat sejak Wukuf di Arafah sepakat untuk memejamkan mata. Namun 5 menit kemudian sebuah pesan masuk: Kepada Tim Haramain, sudah pukul 12.00 siang, saatnya bertugas di Masjidil Haram.
لا حول ولا قوة إلا بالله


Ziarah Masjid Nabawi



*Mengenang Musim Haji 1440 H/2019 M