Friday 1 August 2014

Jilbab, Adik-adikku... ^_^

bismillah
Tulisan ini saya tujukan, terutama buat adik-adik muslimah. Entah adik sepupu (karena adik kandung saya laki-laki), adik kelas, well, siapapun yang muslimah dan berusaha istiqomah di jalanNya. Bukan berarti saya sempurna, karena cucu dari mbah Sampoerna. Hehe. Ala kulli hal, la’alla nafi’an!
Jilbab, kerudung, dan hijab.saya tidak ingin berpanjang lebar mengupas sisi bahasa dari tiga kata itu. kesemuanya saya sebut jilbab. Begitu saja. Okay?


Ceritanya, sewaktu kecil –kira-kira kelas 3 SD- Ummi bercerita tentang anak temannya yang berkomitmen memakai jilbab setiap hari (kecuali di dalam rumah atau dengan mahrom tentunya). Padahal Si anak juga seumuran saya. mulai dari situ, saya iri. Iya, iri!
Sementara saya, meski pakai jilbab, tapi kalau merasa panas, ya lepas. Jadi, kalau anak teman ummi saja bisa, saya juga bisa dong. Maka saya putuskan komitmen pakai jilbab. Awalnya yang penting pakai kerudung. Meski pakai celana tiga perempat dan kaos berlengan pendek. Kalau diingat, lucu deh. culun.
Namun semua berjalan lewat proses. Yang intinya tidak ada paksaan dari ummi atau abi supaya saya berkomitmen menutup aurat. Seperti masalah kaos kaki, tidak berjabat tangan/salaman dengan non-mahrom. Semua keputusan saya. selain juga karena iri melihat ummi dan teman-temannya begitu. Yang saat itu (masih SD lho ya) dalam pikiran saya, muslimah dewasa ya yang berkomitmen menjaga dan menutup aurat. Tapi tetap saja, dengan motivasi seorang anak kecil: iri dan sok jadi orang dewasa!


Lalu masuk pesantren, awalnya sukarela memakai jilbab lebar. Hm, meski kata lebar itu relatif, buat saya bisa disebut lebar kalau batas minimal samping jilbab adalah siku tangan. Kalau di atas siku ya, buat saya belum lebar. Pokoknya saya pakai jilbab lebar karena dua hal. Pertama, peraturan. Kedua, meniru ustadzah. Kebetulan tahun awal di pesantren kami ditempatkan di komplek khusus. Sehingga-seperti lazimnya anak baru, semua taat peraturan.
Namun sesekali melihat kakak kelas dari komplek lain pesantren, jilbab mereka kecil. Di atas siku. Meski banyak juga yang berjilbab lebar, bahkan bercadar. Namun tetap saja, kesannya kakak kelas yang berkerudung kecil itu lebih gaul, lebih keren, lebih berani. Cool deh. dari situ terbersit di pikiran saya, nanti kalau naik kelas dan tinggal satu kompleks dengan kakak kelas, saya akan pakai jilbab kecil.
Sungguh Alloh Maha Penyayang. Beberapa bulan di kompleks asrama pesantren yang baru, saya mengamati seorang kakak kelas. sebut saja namanya Rani. Kak Rani ini berkerudung lebar, lalu setamat MTs melanjutkan sekolah di luar pesantren. Namun ketika berkunjung ke pesantren, kak Rani masih berkomitmen dengan jilbab lebarnya.
Hal itu yang membuat cara pandang saya berubah drastis. Muslimah keren itu bukan karena ‘nakal’ atau yang kecil jilbabnya. Tapi mereka yang mampu istiqomah dengan pilihan terbaiknya. Dari situ saya berpikir bahwa peraturan ‘jilbab lebar’ dari pesantren (walaupun hal ini berkali-kali disampaikan oleh asatidzah di pesantren) bukan sekedar aturan biasa, namun ini aturan yang syar’i.
jika di pesantren saya berani pakai jilbab lebar, kenapa di luar pesantren tidak? Buat saya ini berasa munafik. Dan juga pecundang. Saya ingin buktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mamakai jilbab lebar bukan karena aturan dari orang lain. Ini pilihan saya, dan saya bangga sekaligus percaya diri memakainya.
Iya, menurut saya, santriwati-santriwati yang ketika di pesantren taat peraturan (meski terpaksa) namun ketika liburan atau selepas lulus pesantren tidak berkomitmen dengan pakaiannya, itu nggak keren. Apalagi yang pada akhirnya memilih bercelana ketat dan berkerudung pendek dan tipis. Enggak banget!
Yang saya ingat dari pelajaran kewanitaan di awal masa mondok, di antara fungsi pakaian muslimah adalah sebagai pelindung dan identitas muslimah. Pelindung; melindungi dari godaan mata lelaki nakal. Dan identitas bahwa pemakainya adalah seorang muslimah yang memiliki kehormatan dan harga diri. wew, ini keren banget,nget!
Awalnya saya ragu untuk terus berkomitmen dengan jilbab lebar, tapi keraguan saya tidak pernah didukung dengan fakta yang saya hadapi. Hal ini saya buktikan di luar pesantren. Ketika berkumpul dengan sanak saudara di keluarga besar, juga di lingkungan kuliah dan sekitar. Hm, tidak ada masalah kok. Meski kadang di jalan juga dipandang aneh, tapi so what gitu?! Kalau wanita yang berbusana tidak pantas saja berani tampil PeDe, maka kita, yang berusaha menjaga harga diri, why not?!
Pun ketika merantau di negeri Piramida. Saya sudah aware dengan perkara ini. saya tahu, bahwa saya akan menemui dunia yang lebih luas. Orang-orang, lingkungan dan pemikiran. Namun saya coba jalani saja. Awalnya kaku juga. hm, di sini saya tidak memandang orang lain di bawah saya lho. Buat saya, kerudung lebar versi saya bukan suatu kewajiban buat orang lain. Tentu masing-masing punya standar tersendiri sebagai patokan.
Iya, awalnya saya takut akan berubah. Karena lingkungan yang saya jalani berisi muslim-muslimah dengan ragam berbeda. Namun ternyata ketakutan saya tidak terbukti. Saya merasa kawan-kawan, baik senior maupun junior, tidak terlalu mempermasalahkan pakaian saya. tentu pernah sesekali terlontar pertanyaan,”enggak panas apa?”. Tapi saya yang menjalani, dan ini nyaman. Saya jawab begitu.
Bahkan, pada beberapa komunitas yang doyan colak-colek antara laki-laki dan wanita-nya. Saya tetap bisa berkomunikasi, dan saya merasa lebih dihargai. Intinya tidak ada yang berani macam-macam. Hehe. Rasanya jadi benteng berjalan. Saya bebas berkomunikasi, mengeluarkan isi pikiran, tapi tetap aman dan dihargai.
Namun menurut saya, poinnya bukan sekedar di pakaian (jilbab lebar). Dari yang selama ini saya jalani, di mana pun kita berada, orang akan memperlakukan kita berdasarkan dua hal. Satu, sikap, akhlaq dan perilaku. Dua, ilmu dan wawasan.
Jadi, adik-adikku, jangan pernah minder dengan busana kalian yang sudah syar’i. tidak perlu ikut-ikutan ber’hijab’ ala hijabers yang pasmina-nya melingkar-lingkar dan butuh puluhan tusuk jarum buat memasangnya, hanya sekedar terlihat gaul.
Tidak perlu foto selfie dengan pose monyong-monyong dan sok kiyut (pinjam bahasa ust Felix Siauw), karena itu tidak membuat kita semakin lucu dan imut seperti yang kamu bayangkan. Terkadang kita harus membedakan mana yang “be my self” dengan mana yang “menuruti hawa nafsu”. Saya pun tidak sempurna, namun saya yakin, kita semua ingin merasa aman, dihargai, dihormati. Sebagai muslimah. Ya, muslimah!
Smoga kita makin lebih baik!


*semua gambar/foto ngacak di google.com

                                                                                         Cairo, 1 Agustus 2014