Labels
memory bumi kinanah
(46)
mimpi
(31)
renungan
(30)
rehat
(22)
mesir
(17)
beasiswa al azhar
(15)
IIP
(14)
Ibu Profesional Level 8 Tantangan 10 Hari
(11)
Bunsay
(9)
info
(9)
Komukasi produktif
(8)
Melatih Kemandirian
(8)
hijrah
(6)
fiksi
(5)
alazhar
(4)
hadis
(4)
kajian
(4)
pemudihijrah
(4)
haji
(3)
haji masisir
(3)
haji muda
(3)
selfreminder
(3)
temus
(3)
universitas alazhar
(3)
2019
(2)
Haji 2019
(2)
Ibu Profesional
(2)
for things to change I must change first
(1)
gaza
(1)
ibuprofesional
(1)
melatih
(1)
nisfu syaban
(1)
Monday 11 August 2014
Friday 1 August 2014
Jilbab, Adik-adikku... ^_^
bismillah
*semua gambar/foto ngacak di google.com
Cairo, 1 Agustus 2014
Tulisan ini saya tujukan, terutama
buat adik-adik muslimah. Entah adik sepupu (karena adik kandung saya
laki-laki), adik kelas, well, siapapun yang muslimah dan berusaha istiqomah di
jalanNya. Bukan berarti saya sempurna, karena cucu dari mbah Sampoerna. Hehe. Ala
kulli hal, la’alla nafi’an!
Jilbab, kerudung, dan hijab.saya
tidak ingin berpanjang lebar mengupas sisi bahasa dari tiga kata itu.
kesemuanya saya sebut jilbab. Begitu saja. Okay?
Ceritanya, sewaktu kecil –kira-kira
kelas 3 SD- Ummi bercerita tentang anak temannya yang berkomitmen memakai
jilbab setiap hari (kecuali di dalam rumah atau dengan mahrom tentunya). Padahal
Si anak juga seumuran saya. mulai dari situ, saya iri. Iya, iri!
Sementara saya, meski pakai
jilbab, tapi kalau merasa panas, ya lepas. Jadi, kalau anak teman ummi saja
bisa, saya juga bisa dong. Maka saya putuskan komitmen pakai jilbab. Awalnya yang
penting pakai kerudung. Meski pakai celana tiga perempat dan kaos berlengan pendek.
Kalau diingat, lucu deh. culun.
Namun semua berjalan lewat proses.
Yang intinya tidak ada paksaan dari ummi atau abi supaya saya berkomitmen
menutup aurat. Seperti masalah kaos kaki, tidak berjabat tangan/salaman dengan
non-mahrom. Semua keputusan saya. selain juga karena iri melihat ummi dan
teman-temannya begitu. Yang saat itu (masih SD lho ya) dalam pikiran saya,
muslimah dewasa ya yang berkomitmen menjaga dan menutup aurat. Tapi tetap saja,
dengan motivasi seorang anak kecil: iri dan sok jadi orang dewasa!
Lalu masuk pesantren, awalnya
sukarela memakai jilbab lebar. Hm, meski kata lebar itu relatif, buat saya bisa
disebut lebar kalau batas minimal samping jilbab adalah siku tangan. Kalau di
atas siku ya, buat saya belum lebar. Pokoknya saya pakai jilbab lebar karena
dua hal. Pertama, peraturan. Kedua, meniru ustadzah. Kebetulan tahun awal di
pesantren kami ditempatkan di komplek khusus. Sehingga-seperti lazimnya anak
baru, semua taat peraturan.
Namun sesekali melihat kakak kelas
dari komplek lain pesantren, jilbab mereka kecil. Di atas siku. Meski banyak
juga yang berjilbab lebar, bahkan bercadar. Namun tetap saja, kesannya kakak
kelas yang berkerudung kecil itu lebih gaul, lebih keren, lebih berani. Cool deh.
dari situ terbersit di pikiran saya, nanti kalau naik kelas dan tinggal satu
kompleks dengan kakak kelas, saya akan pakai jilbab kecil.
Sungguh Alloh Maha Penyayang. Beberapa
bulan di kompleks asrama pesantren yang baru, saya mengamati seorang kakak
kelas. sebut saja namanya Rani. Kak Rani ini berkerudung lebar, lalu setamat
MTs melanjutkan sekolah di luar pesantren. Namun ketika berkunjung ke
pesantren, kak Rani masih berkomitmen dengan jilbab lebarnya.
Hal itu yang membuat cara pandang
saya berubah drastis. Muslimah keren itu bukan karena ‘nakal’ atau yang kecil
jilbabnya. Tapi mereka yang mampu istiqomah dengan pilihan terbaiknya. Dari situ
saya berpikir bahwa peraturan ‘jilbab lebar’ dari pesantren (walaupun hal ini
berkali-kali disampaikan oleh asatidzah di pesantren) bukan sekedar aturan
biasa, namun ini aturan yang syar’i.
jika di pesantren saya berani
pakai jilbab lebar, kenapa di luar pesantren tidak? Buat saya ini berasa
munafik. Dan juga pecundang. Saya ingin buktikan pada diri saya sendiri bahwa
saya mamakai jilbab lebar bukan karena aturan dari orang lain. Ini pilihan
saya, dan saya bangga sekaligus percaya diri memakainya.
Iya, menurut saya,
santriwati-santriwati yang ketika di pesantren taat peraturan (meski terpaksa)
namun ketika liburan atau selepas lulus pesantren tidak berkomitmen dengan
pakaiannya, itu nggak keren. Apalagi yang pada akhirnya memilih bercelana ketat
dan berkerudung pendek dan tipis. Enggak banget!
Yang saya ingat dari pelajaran
kewanitaan di awal masa mondok, di antara fungsi pakaian muslimah adalah
sebagai pelindung dan identitas muslimah. Pelindung; melindungi dari godaan
mata lelaki nakal. Dan identitas bahwa pemakainya adalah seorang muslimah yang
memiliki kehormatan dan harga diri. wew, ini keren banget,nget!
Awalnya saya ragu untuk terus
berkomitmen dengan jilbab lebar, tapi keraguan saya tidak pernah didukung
dengan fakta yang saya hadapi. Hal ini saya buktikan di luar pesantren. Ketika berkumpul
dengan sanak saudara di keluarga besar, juga di lingkungan kuliah dan sekitar. Hm,
tidak ada masalah kok. Meski kadang di jalan juga dipandang aneh, tapi so what
gitu?! Kalau wanita yang berbusana tidak pantas saja berani tampil PeDe, maka kita,
yang berusaha menjaga harga diri, why not?!
Pun ketika merantau di negeri
Piramida. Saya sudah aware dengan perkara ini. saya tahu, bahwa saya akan menemui dunia yang lebih luas.
Orang-orang, lingkungan dan pemikiran. Namun saya coba jalani saja. Awalnya kaku
juga. hm, di sini saya tidak memandang orang lain di bawah saya lho. Buat saya, kerudung lebar
versi saya bukan suatu kewajiban buat orang lain. Tentu masing-masing punya
standar tersendiri sebagai patokan.
Iya, awalnya saya takut akan
berubah. Karena lingkungan yang saya jalani berisi muslim-muslimah dengan ragam
berbeda. Namun ternyata ketakutan saya tidak terbukti. Saya merasa kawan-kawan,
baik senior maupun junior, tidak terlalu mempermasalahkan pakaian saya. tentu
pernah sesekali terlontar pertanyaan,”enggak panas apa?”. Tapi saya yang menjalani,
dan ini nyaman. Saya jawab begitu.
Bahkan, pada beberapa komunitas
yang doyan colak-colek antara laki-laki dan wanita-nya. Saya tetap bisa
berkomunikasi, dan saya merasa lebih dihargai. Intinya tidak ada yang berani
macam-macam. Hehe. Rasanya jadi benteng berjalan. Saya bebas berkomunikasi,
mengeluarkan isi pikiran, tapi tetap aman dan dihargai.
Namun menurut saya, poinnya bukan
sekedar di pakaian (jilbab lebar). Dari yang selama ini saya jalani, di mana
pun kita berada, orang akan memperlakukan kita berdasarkan dua hal. Satu,
sikap, akhlaq dan perilaku. Dua, ilmu dan wawasan.
Jadi, adik-adikku, jangan pernah
minder dengan busana kalian yang sudah syar’i. tidak perlu ikut-ikutan ber’hijab’
ala hijabers yang pasmina-nya melingkar-lingkar dan butuh puluhan tusuk jarum
buat memasangnya, hanya sekedar terlihat gaul.
Tidak perlu foto selfie dengan
pose monyong-monyong dan sok kiyut (pinjam bahasa ust Felix Siauw), karena itu
tidak membuat kita semakin lucu dan imut seperti yang kamu bayangkan. Terkadang
kita harus membedakan mana yang “be my self” dengan mana yang “menuruti hawa
nafsu”. Saya pun tidak sempurna, namun saya yakin, kita semua ingin merasa
aman, dihargai, dihormati. Sebagai muslimah. Ya, muslimah!
Smoga kita makin lebih baik!
*semua gambar/foto ngacak di google.com
Subscribe to:
Posts (Atom)