Tuesday 26 May 2015

Tidak Nyambung

bismillah
“Kamu gaul banget sih…” Ucap Maryam di tangga.
“Asli, Nduk. Aku mau tetanggaan sama kamu…” Canda sekaligus support Mba Anisa di depan mesin cuci.
“Sholihah banget kamu ni…” Kata Kak Tifau saat aku di dapur.
Pertama, karena saya memperbaiki kipas anginnya. Kedua, saat itu saya minta bantuan tenaga kakak kelas untuk memperbaiki mesin cuci yang tersumbat. Ketiga, saat saya perbaiki kompor listrik di dapur. Aih, seandainya tolak ukur ke-shalihah-an wanita adalah keberhasilannya memperbaiki barang elektronik, tentu saya kerjakan semua :D

Sebenarnya skill-atau kalau boleh saya sebut “kemauan”- mengotak atik alat elektronik rumah tangga, tidak sedikit terdapat pada perempuan. Masalahnya adalah ketika hal-hal demikian terlanjur di-judge sebagai wilayah laki-laki. Kau tahu, seringkali kita terlalu lebay berdecak dan heran melihat perempuan melakukan hal-hal –yang sebenarnya- cukup sederhana. Kita bisa melakukannya, Sis!

Bukan. Bukan berarti kita-wanita- semua harus memiliki skill yang selama ini dianggap sebagai milik laki-laki. Justru agar kita sadar bahwa intinya bukan pada “kamu punya skill atau tidak” tetapi “kamu mau mengerjakannya atau tidak”.

Toh, selama ini terkadang saya juga gagal “menghidupkan” kompor kendatipun semua komponen telah tersambung. Saya juga dua kali gagal menganalisa kerusakan motor pengering mesin cuci (hehe, ya iyalah!). Begitu pula dengan setrika Philips yang ternyata juga RIP di tangan seorang mahasiswa Tehnik elektro asal Thailand.

Dan dua hari berturut-turut, saya seolah menjadi muhandis bagi barang-barang elektronik buus banat. “Sebenarnya prinsip saya sederhana saja,” kataku saat memperbaiki kipas angin seorang kawan,”sesuatu yang putus itu masih bisa disambung.”

“Kecuali,” Sahutnya,”mantan.”

Kami tertawa.

“Kamu bisa beginian sejak kapan?” tanya seorang lain. Saya pun memutar memori untuk menjawabnya. Tapi tidak menemukan jawaban itu.

Baru selepas ujian tadi saya mulai berpikir. Semua hal yang saya lakukan dewasa ini tidak terlepas dari pengalaman masa kecil. Baik itu berupa pengalaman maupun cerita ummi abi yang memotivasi.

Saat abi menyambung kabel misalnya, saya suka memperhatikan. Mau tak mau, ingatan itu terekam baik di memori. Namun saking seringnya saya mengutak-atik kabel, nyaris saya lupa bahwa awalnya saya tahu bagaimana memotong karet pembungkus tembaga itu, dari abi. Lalu, ummi juga pernah bilang saat saya masih di bangku SD,”Dulu, yang bisa memperbaiki lampu dan barang-barang elektronik di rumah, bukan Pakdhe, bukan Eyang, Nun. Tapi Umi!”. Hal itu yang membentuk pola pikir saya. elektronik bukan hanya ranah lelaki!

Karenanya, perempuan yang bisa skill-yang seringkali dianggap kasar- bukan berarti tomboy. Saya lho, selepas memakai inai di kuku, lalu perbaiki kompor. Hehe

Lalu hmm.. apa lagi... Menjahit!

Meski bukan pro, dan masih banyak kekurangan di sana sini. Saya juga bisa menjahit. Sekali lagi, buat saya segala sesuatu tidak diukur dengan “punya skill atau tidak” tapi “mau kerjakan atau tidak”. Eh, kecuali dunia tarik suara, saya angkat bendera putih tinggi-tinggi!

Saat putar memori, ternyata pertama kali saya pegang jarum dan benang itu… saat masih di Wonogiri, berarti saat saya TK atau kelas 1 SD. Iya. Saya lupa menjahit apa, yang jelas ummi hanya izinkan saya menggunakan alat jahit sederhana itu. dan untuk mesin jahit, karena keluarga kami baru memilikinya saat saya kelas 3 atau 4 SD, abi lah yang pertama kali menyuruh kami (termasuk mas n adek) untuk belajar mengayuh mesin. Abi lho. Bukan ummi.

Ya, ternyata semua kembali pada orang tua. Saat abi dan ummi mengizinkan anak-anaknya untuk belajar atau bahkan sekedar melihat pekerjaan rumah tangga mereka, ternyata melahirkan pola pikir yang berpengaruh besar dalam masa depan anak-anaknya.

Hal ini semakin saya sadari saat seorang kakak kelas bercerita. Sejak kecil, saat ayahnya memperbaiki alat-alat misalnya, ia hanya diminta untuk membuat teh, dan pekerjaan lain yang bersifat “keibuan”. Oleh karenanya saat ini ia begitu keibuan. Sangat.

Begitulah, tanpa kita sadari, hal-hal kecil yang orang tua kerjakan ternyata berpengaruh besar pada diri kita dewasa ini.

Okay, kembali lagi.

(maaf loncat-loncat)

Yang jelas bagi saya, terlalu banyak hal-hal sederhana yang sebenarnya dapat kita kerjakan (baca: mandiri). Namun karena mindset “ini ranah lelaki” terlanjur berkuasa, akhirnya kita merasa tak bisa mengerjakan hal-hal tersebut.

Tadinya saya ingin mengobrak-abrik pikiran seseorang. Iya, seseorang yang membuat hati saya bergemuruh karena pesan yang ia tujukan pada saya, “kau bukanlah orang yang sempurna diennya karena kau wanita…”

Membacanya, mata saya terbelalak. WHUOOO… ini fatwa gender dari mana, berroooo?! Hmm, saya justru takut, apakah pikiran semacam itu tertanam dalam benak setiap laki-laki ya? Entahlah.

Eh, tapi kenapa justru celotehan di atas yang keluar ya? Hihi. Nggak nyambung.

Meski beda pembahasan, yah… biarlah. Tidak nyambung? Yah.. biarlah. Yang penting, meski cuacanya ujian, uneg-uneg yang entah di mana benang merahnya ini bisa keluar. Weeee :p

Madinatul Buuts al-Islamiyah lil Banat, Abbasea, Cairo

27 Mei 2015, 00:46

Monday 11 May 2015

Belajar dari Teteh

bismillah
Ada yang berbeda saat kami belajar bersama di rumah seorang kawan di bilangan Darrasah. “Teteh” begitu keponakan pertama kawan saya itu biasa dipanggil.
Diiringi polah tingkah batita (bawah tiga tahun) itu, kami belajar. Menggelar buku-buku, malzamah dan laptop di lantai kamar. Sesekali rasa ingin tahu “teteh” mendorongnya untuk “meng-operasi” tempat pensil juga isi tas saya.
Sambil memasang mata awas, saya perhatikan peralatan apa saja yang ia gunakan untuk bereksperimen. Mulai dari spidol whiteboard, pena gel, sticky note sampai fawasil (pembatas halaman).
Setidaknya saya harus punya alasan kuat sekaligus solusi ketika melarangnya menggunakan sesuatu. Spidol whiteboard misalnya,”Teteh, spidol ini dipakai di papan tulis. Kalau kena tangan, tangan Teteh jadi hitam. Pakai pulpen saja,ya.”
Saat ia bereksperimen dengan sticky note,”Teh, note ini belum Ate (baca: Tante) pakai. Jadi bukan untuk ditempel-tempel. Disimpan ya, Teteh pakai note yang lain.”
Begitu pula saat seluruh isi tempat pensil berserakan, mau tak mau harus dengan dorongan persuasif.”Teh, masukin alat-alat ini ke dalam,yuk!”
Agak memakan waktu memang. Tetapi menyampaikan alasan yang tepat sesuai logika anak kecil pun bukan perkara remeh. Terbukti saat kawan saya melarangnya membuka susu kemasan,”Jangan! Teteh nggak suka susu putih!”. Olala… wajah Teteh membeku seketika. Dengan sorot tajam ia membatu. Bibirnya terkatup sedikit monyong. Belum saya ajak bicara, ia pergi dengan langkah kesal. Eh, ngambek. Karena bentakan tantenya tadi.
Kawan saya pun nyeletuk,”Anak kecil, nggak bisa dimarahin.”
Saya benarkan dalam hati.
“Makanya,” lanjut kawan itu,”orang dewasa yang nggak bisa dimarahin, seperti anak kecil.” Tegasnya.
Sedetik analogi kawan itu saya cerna. Benar juga.
Selanjutnya ia mensyarah,”Iya kan?” Retoris.
“Meskipun ada beberapa pengecualian. Tapi pada umumnya, orang yang tidak mau dimarahi, tidak mau dibentak, tidak mau menghadapi hal yang kasar dan sukar. Seperti layaknya anak kecil.”
“Benar juga.” Ungkap kawan lain. Saya juga mengamini. Meski saya juga ikut tertohok.
Ada saat di mana kita-atau saya saja deh-  tidak ingin mengahadapi suatu kesulitan, bentakan, cacian. Bukan karena kehalusan hati dan jiwa, tapi ternyata karena sifat kekanak-kanakan saya. Tidak ingin dan tidak mau menghadapi kondisi sulit di depan mata.
Nasehat ini lebih ingin saya tujukan untuk pribadi sendiri. Bahwa kalimat “Aku tuh orangnya nggak bisa dibentak.” dan yang sejenisnya, masih perlu diselidiki. Apakah itu lahir dari hati yang murni. Atau karena sifat kekanakan yang tak kunjung beranjak pergi.
Usia kita sejalan dengan waktu. Tidak ada kata untuk mundur maupun diam di tempat. Menjadi dewasa adalah tuntutan, dan bagi sebagian adalah keniscayaan. Problematika yang kita hadapi pun semakin beragam dengan level yang terus beranjak naik. Itu keniscayaan. Itu tuntutan. Dan –tentu saja- harus dihadapi. Saya pikir, hal demikian adalah konsekuensi dari kedewasaan. Tantangan kita bukan semata menggapai apa yang kita inginkan, namun benalu dan permasalahan di sekitar juga harus dilewati, dipikirkan, dicari solusinya, diselesaikan.

Bukan kabur.


Uushikum wa iyyaya…


Madinatul Buus Al Islamiyah, Abbasea, Cairo
22:33

Wednesday 6 May 2015

Editor Kecil dan Fisika

bismillah


Editor kecil.

Sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Abi seringkali meminta saya menjadi asisten alias sekretarisnya. Terlebih pasca ujiaperubahan gaya gan berartin SLTPN, juga saat LKS buatannya melewati fase pengeditan.

Pasca ujian, dengan dalih “Ow, tulisan kamu sudah seperti tulisan orang dewasa.” Akhirnya saya yang bertugas menulis puluhan rapor siswa-siswi Abi. Mulai dari rata kiri, rata kanan, semua manual dan penuh pengarahan. Sekali tangan menulis, artinya harus selesaikan semua. Karena perpindahan tangan berarti perubahan gaya tulisan. Jadilah saya penulis rapor Abi. Apa rewardnya? Bolpoin.

Iya, bolpoin snowman yang telah digunakan untuk menulis rapor, dihitung sebagai “kompensasi” atas ketelitian saya. Bangga? Iya dong. Terlebih saat tahu bahwa kerapian tulisan dua saudara laki-laki saya benar-benar tak bisa diharapkan. :D

Saya juga menjadi editor Abi ketika LKS (Lembar Kerja Siswa) yang disusunnya telah diketik rapi. Mulai dari Mata Pelajaran Biologi, Fisika hingga Kimia, saya yang edit. Karena saat itu saya masih SD, sedang tulisan yang saya edit merupakan materi siswa SLTP, saya edit semampu saya. Huruf capital, kesalahan-kesalahan teks, keteraturan susunan soal multiple choise, hal itu saja. Soal Bahasa ilmiyah, Abi yang tangani.

Kadang bangga, kadang sebal juga. Karena waktu bermain saya jadi berkurang. Tapi ini resiko anak perempuan yang kerjanya rapi :p

Kalau ingat masa-masa itu, rasanya haru. Lintasan masa kecil selalu beraroma nostalgik yang hm… membahagiakan dan penuh kerinduan. Baru akhir-akhir ini saya sadari, ternyata sebelum saya jadi editor (amatiran) di Terobosan, lebih dari satu dasawarsa lalu, saya telah jadi editor kecil Abi. Yeah!

Meski tidak terlalu dualem menguasai EYD, modal saya hanya teliti, kritis, berani dan ….sok tahu. Hehe. Rasa-rasanya perpaduan itu semua seringkali membuat orang lain terlalu percaya pada saya. Percaya saya bisa, saya mampu, dan menguasai suatu persoalan. Ups… padahal aslinya sih, begini-begini saja.

Ngomong-ngomong soal edit-mengedit. Meski kadang saya sebal karena jadi editor Abi-waktu itu-, tapi saya benar-benar merasa bersalah pernah sebal dengan kerjaan edit-mengedit itu. Tepatnya saat saya kelas VII MTs, sudah mondok.
Ceritanya, saat pelajaran Fisika, guru saya Ustadz Rosyid bertanya pada seisi kelas. Tentang volume dan cara mengukur satuannya. “Volume balok dapat diketahui dengan mengalikan panjang, lebar dan tingginya. Bagaimana dengan… batu. ia tidak memiliki tinggi, lebar dan panjang yang teratur seperti balok. Bagaimana kita mengukur volume-nya?”

Kelas hening.

Tidak seorangpun menyahut.

Akhirnya ada santriwati angkat suara. Tapi berakhir dengan gelengan kepala Ustadz Rosyid.

Entah ilham itu turun dari mana. Tiba-tiba saya angkat tangan.

“Ya, Ainun.” Tunjuk Ustadz yang selalu terlihat kalem itu.

Spontan saja benak saya memutar pola dan gambar-gambar di kertas LKS Abi yang pernah saya edit. Saya tidak pernah mencoba memahami apa yang say abaca, karena focus saya hanya pada teks-teks yang salah. Tapi gambar-gambar peraga di atas kertas itu seperti bercerita dan tersusun kembali di kepala.

Bukan saya mengatakan apa yang pernah saya baca. Tapi lewat gambar-gambar itu saya terinspirasi untuk membuat jawaban sendiri.

“Kita ambil wadah, lalu kita isi air sampai penuh,”
Ustadz Rasyid mengangguk-angguk seolah ingin segera saya selesaikan jawaban.
“Lalu, masukkan batu itu ke sana, Ustadz.”
“Lalu, Nun?” Tanya beliau. Kedua matanya semakin berbinar. Mungkin hanya saya yang merasakan. Cie…

“M… ya air yang tumpah, itu volumenya, Ustadz.” Saya berhenti menjawab.
Ustadz Rasyid menepuk tangan sekali. Menunjuk ke arah saya, dan tanpa kata ia buka pintu kelas.



Telunjuknya mengarah keluar kelas. Oh, tidak!

“Yah…” ujarnya dengan nada kecewa.

“Andai saja..” katanya,”andai saja kantin sudah buka, saya akan belikan makanan apa saja yang kamu mau.”

Seisi kelas gaduh.
Dikiranya saya siswi yang rajin dan jenius di kelas.
Ustadz Rasyid tersenyum bangga.

Saya senyum-senyum saja. Untung saja kawan-kawan saya tidak tahu, bahwa jauh-jauh lalu saya sering mengedit LKS Fisika Abi pada pembahasan yang sama.

Di tambah, pada pekan berikutnya. Seluruh santriwati kelas VII akan ulangan. Kecuali di kelas saya. Karena guru di kelas kami berbeda dengan kelas lainnya. Hanya Ustadz Rasyid yang tidak mengadakan ulangan.

Karena kawan-kawan sekamar saya-yang berbeda kelas- belajar Fisika, saya ikut mereka belajar.

Dan tahukah apa yang terjadi esoknya? Ulangan Fisika!

Ustadz Rasyid bilang,”Ini ulangan mendadak.” Seisi kelas protes. Untung semalam saya ikut belajar dengan teman-teman kamar.

Eng…ing…eng…

Selesai ulangan, Ustadz Rasyid tersenyum melihat hasil ulangan saya. Hoho.. ternyata. Tak seorang pun di kelas yang mendapat nilai 60. Sedangkan saya sendiri… 100! (secara… semalam saya kan belajar. Yang lain tidak.)

Tambahlah kelas dibuat heran. Dikira saya ini santriwati yang rajin dan jenius. Andai saja mereka tahu bahwa semalam saya belajar bersama kawan-kawan kamar. lol

Hwe… ceritanya sedikit nyasar. Tak apa lah. Sedikit nostalgia dengan masa-masa menjelang remaja.

Smoga cerita saya memberi manfaat ^_^.

Dan… selamat ujian. Semangat, Nuuuun!


PMIK, Rabea el Adawea, Cairo
Di Ujung senja