bismillah
“Kamu gaul banget sih…” Ucap
Maryam di tangga.
“Asli, Nduk. Aku mau
tetanggaan sama kamu…” Canda sekaligus support Mba Anisa di depan mesin cuci.
“Sholihah banget kamu ni…”
Kata Kak Tifau saat aku di dapur.
Pertama, karena saya memperbaiki kipas anginnya. Kedua,
saat itu saya minta bantuan tenaga kakak kelas untuk memperbaiki mesin cuci
yang tersumbat. Ketiga, saat saya perbaiki kompor listrik di dapur. Aih, seandainya
tolak ukur ke-shalihah-an wanita adalah keberhasilannya memperbaiki barang
elektronik, tentu saya kerjakan semua :D
Sebenarnya skill-atau kalau boleh saya sebut “kemauan”-
mengotak atik alat elektronik rumah tangga, tidak sedikit terdapat pada
perempuan. Masalahnya adalah ketika hal-hal demikian terlanjur di-judge sebagai
wilayah laki-laki. Kau tahu, seringkali kita terlalu lebay berdecak dan heran
melihat perempuan melakukan hal-hal –yang sebenarnya- cukup sederhana. Kita bisa
melakukannya, Sis!
Bukan. Bukan berarti kita-wanita- semua harus memiliki
skill yang selama ini dianggap sebagai milik laki-laki. Justru agar kita sadar
bahwa intinya bukan pada “kamu punya skill atau tidak” tetapi “kamu mau
mengerjakannya atau tidak”.
Toh, selama ini terkadang saya juga gagal “menghidupkan”
kompor kendatipun semua komponen telah tersambung. Saya juga dua kali gagal
menganalisa kerusakan motor pengering mesin cuci (hehe, ya iyalah!). Begitu
pula dengan setrika Philips yang ternyata juga RIP di tangan seorang mahasiswa
Tehnik elektro asal Thailand.
Dan dua hari berturut-turut, saya seolah menjadi
muhandis bagi barang-barang elektronik buus banat. “Sebenarnya prinsip saya
sederhana saja,” kataku saat memperbaiki kipas angin seorang kawan,”sesuatu
yang putus itu masih bisa disambung.”
“Kecuali,” Sahutnya,”mantan.”
Kami tertawa.
“Kamu bisa beginian sejak kapan?” tanya seorang lain. Saya
pun memutar memori untuk menjawabnya. Tapi tidak menemukan jawaban itu.
Baru selepas ujian tadi saya mulai berpikir. Semua hal
yang saya lakukan dewasa ini tidak terlepas dari pengalaman masa kecil. Baik itu
berupa pengalaman maupun cerita ummi abi yang memotivasi.
Saat abi menyambung kabel misalnya, saya suka
memperhatikan. Mau tak mau, ingatan itu terekam baik di memori. Namun saking
seringnya saya mengutak-atik kabel, nyaris saya lupa bahwa awalnya saya tahu
bagaimana memotong karet pembungkus tembaga itu, dari abi. Lalu, ummi juga
pernah bilang saat saya masih di bangku SD,”Dulu, yang bisa memperbaiki lampu
dan barang-barang elektronik di rumah, bukan Pakdhe, bukan Eyang, Nun. Tapi
Umi!”. Hal itu yang membentuk pola pikir saya. elektronik bukan hanya ranah
lelaki!
Karenanya, perempuan yang bisa skill-yang seringkali
dianggap kasar- bukan berarti tomboy. Saya lho, selepas memakai inai di kuku,
lalu perbaiki kompor. Hehe
Lalu hmm.. apa lagi... Menjahit!
Meski bukan pro, dan masih banyak kekurangan di sana
sini. Saya juga bisa menjahit. Sekali lagi, buat saya segala sesuatu tidak
diukur dengan “punya skill atau tidak” tapi “mau kerjakan atau tidak”. Eh,
kecuali dunia tarik suara, saya angkat bendera putih tinggi-tinggi!
Saat putar memori, ternyata pertama kali saya pegang
jarum dan benang itu… saat masih di Wonogiri, berarti saat saya TK atau kelas 1
SD. Iya. Saya lupa menjahit apa, yang jelas ummi hanya izinkan saya menggunakan
alat jahit sederhana itu. dan untuk mesin jahit, karena keluarga kami baru
memilikinya saat saya kelas 3 atau 4 SD, abi lah yang pertama kali menyuruh
kami (termasuk mas n adek) untuk belajar mengayuh mesin. Abi lho. Bukan ummi.
Ya, ternyata semua kembali pada orang tua. Saat abi dan
ummi mengizinkan anak-anaknya untuk belajar atau bahkan sekedar melihat
pekerjaan rumah tangga mereka, ternyata melahirkan pola pikir yang berpengaruh
besar dalam masa depan anak-anaknya.
Hal ini semakin saya sadari saat seorang kakak kelas
bercerita. Sejak kecil, saat ayahnya memperbaiki alat-alat misalnya, ia hanya
diminta untuk membuat teh, dan pekerjaan lain yang bersifat “keibuan”. Oleh karenanya
saat ini ia begitu keibuan. Sangat.
Begitulah, tanpa kita sadari, hal-hal kecil yang orang
tua kerjakan ternyata berpengaruh besar pada diri kita dewasa ini.
Okay, kembali lagi.
(maaf loncat-loncat)
Yang jelas bagi saya, terlalu banyak hal-hal sederhana
yang sebenarnya dapat kita kerjakan (baca: mandiri). Namun karena mindset “ini
ranah lelaki” terlanjur berkuasa, akhirnya kita merasa tak bisa mengerjakan
hal-hal tersebut.
Tadinya saya ingin mengobrak-abrik pikiran seseorang. Iya,
seseorang yang membuat hati saya bergemuruh karena pesan yang ia tujukan pada
saya, “kau bukanlah orang yang sempurna diennya karena kau wanita…”
Membacanya, mata saya terbelalak. WHUOOO… ini fatwa
gender dari mana, berroooo?! Hmm, saya justru takut, apakah pikiran semacam
itu tertanam dalam benak setiap laki-laki ya? Entahlah.
Eh, tapi kenapa justru celotehan di atas yang keluar
ya? Hihi. Nggak nyambung.
Meski beda pembahasan, yah… biarlah. Tidak nyambung? Yah..
biarlah. Yang penting, meski cuacanya ujian, uneg-uneg yang entah di mana
benang merahnya ini bisa keluar. Weeee :p
Madinatul Buuts al-Islamiyah lil Banat, Abbasea, Cairo
27 Mei 2015, 00:46