Tuesday 24 July 2012

Malam kedua

bismillah

Malam kedua dan ketiga, saya memilih untuk sholat tarawih di masjid Ma’shorowi. Tidak terlalu jauh dari rumah memang. Tapi entah kenapa, di hari kedua saya dan seorang kawan tidak menemukan satu bus pun yang beroperasi. Hanya satu minibus yang baru dating. Berjalan hingga pasar Tabbah pun, tidak satupun tramco yang bisa dinaiki. Penuh.
Akhirnya, sembari menunggu taksi lewat –barangkali ada- kami berjalan. Alhamdulillah jalanan tidak terlalu becek (heran deh, bagaimana sih sanitasinya, masak musim panas begini, bisa-bisanya becek?) saying beribu saying, mau naik taksi, lampu hijau yang menghiasi menara masjid sudah terlihat. Paling 100 meter di depan. Yup, akhirnya jalan deh.
Sampai di tempat sayyidat, alhamdulilllah masih kebagian tempat. Kami sholat Isya (telat euy). Seperti biasa, sholat tarawih, total delapan rekaat, empat kali sholat, masing-masing dua reka’at. Selesai rekaat keempat, diisi khutbah, dan berakhir dengan witir dan qunut.
Ada beberapa yang beda di masjid sekaligus Markas Hifdzul Quran al Ma’shorowi ini, dari delapan reka’at itu, sholat isya dan empat reka’at pertama di imami seorang syeh dan rekaat selanjutnya plus witir di imami oleh syekh yang berbeda. Juga witir di sana tidak langsung 3 reka’at melainkan 2 rekaat lalu 1 reka’at. Tempat sayyidat pun jauh lebih luas di banding masjid-masjid di perkampungan (iyalah!)
Sang khatib mengulas satu ayat. Ayat ke 31 dari surat Al-a’raf. Tentang berpakaian, ketika menuju masjid beserta adab-adabnya. Beliau juga menceritakan bagaimana Imam Malik saat mengajar, di mana beliau memakai pakaian yang bersih dan terpilih. Tidak lain karena sikap hormatnya kepada hadist-hadist Rosululloh shallallohu alaihi wa sallam. Khotib juga mengingatkan untuk tidak israf, atau berlebih-lebihan dalam memenuhi perut. Karena tidak ada wadah dalam keturunan Adam yang paling buruk kecuali perutnya. Dan beliau juga menyitir hadist Rosululloh shallallohu alaihi wa sallam. Agar manusia membagi ruang diperutnya untuk 3 hal. Makanan, minuman dan udara.
 Beliau juga menyampaikan bahwa seorang mukmin makan dengan satu lambung sementara orang kafir makan dengan tujuh lambung, saking tingginya hasrat mereka terhadap makanan. Dan terakhir, beliau menasehatkan agar tidak terlalu banyak makan, sehingga memberatkan kita dalam melaksanakan ibadah-ibadah.
Sholat selesai kurang lebih pukul setengah sebelas. Kami pun pulang, setelah sebelumnya, kawan saya itu ‘tepar’. Katanya, “baru kali ini aku sholat tarawih lamanya begini”. Hehe, ini sih biasa di pondok saya, Mbak…

Monday 23 July 2012

ZIDAAAN

bismillah
spupuku imyuuut kali...



Thursday 19 July 2012

Malam Pertamaku

bismillah

Mengawali Bulan Ramadhan yang full berkah, sekaligus memanfaatkan peluang “agazah” alias ijin menginap di luar asrama. Saya pergi ke rumah seoraqng senior di kawasan Tabbah, terhitung pinggir Cairo. Dekat terminal akhir minibus dan sejumlah bus besar dengan nomor tertentu. Entah mengapa Mahattah akhir tersebut dinamakan arba’ wan nush (4,5).
Memasuki perkampungan, banyak umbul-umbul terpasang. Warna warni. Seperti menjelang HUT RI lah kalau di Indonesia. Ini sih lebih penting dari pada HUT RI, Ramadhan euy!!!
Masih tanpa info apakah Ramadhan tahun ini dimulai hari Jum’at atau sabtu, yang jelas tidak aka nada polemic seputar penentuannya seperti di Indonesia. Begitu mendapat kabar dari Koran online, bahwa Dar Ifta’ memutuskan bahwa Ramadhan dimulai pada hari Jum’at, segera bakda Isya saya segera menuju masjid terdekat guna mengikuti sholat tarawih.
Kebetulan senior-senior dan seorang kawan di rumah tidak bisa menemani saya yang ingin benar-benar merasakan bagaimana tarawih di Mesir. Maklum lha, ini Ramadhan pertama saya di bumi kinanah. Berhubung adzan Isya telah berkumandang beberapa saat sebelumnya, daripada sholat di rumah, saya putuskan untuk sholat di masjid terdekat. Letaknya hanya beberapa meter dari rumah.
Setelah sholat Isya, sholat tarawih dimulai. Raka’at pertama, mulai dari al Baqarah hingga seperdelapan juz. Lantunan qiroah Hafs dari sang imam, cukup membuat telinga ini nyaman, meski berada dalam ruangan sayyidat yang lumayan sempit. Sholatnya dua reka’at- dua reka’at. Mengikuti hadist Rosululloh Shallallohu alaihi wa as salam, “sholatul laili matsna…matsna”
Setelah mencapai setengah juz, khutbah pun dimulai. Berbeda dengan di Indonesia yang biasanya di adakan setelah reka’at yang kedelapan usai. Sang khatib berkhutbah dengan lantang dan menggebu-gebu. Setidaknya, itu sudah biasa di kalangan masyarakat Mesir.
Khatib sedikit mengingatkan jama’ah mengenai surat Al Baqarah yang tadi dibaca imam. Untuk siapa baqarah itu disembelih! Yang berujung pada anjuran bagi jama’ah untuk terus berusaha dalam mensucikan hati dalam bulan Ramadhan ini. Juga untuk meninggalkan hal yang sia-sia. Seperti meninggalkan ‘musalsal’ dan sejenisnya. (waduuh…(^_^)”??) dan tak lupa, beliau mengingatkan untuk terus mendoakan ikhwah kita yang tengah berjuang melawan kedzoliman, wa bil khusus fi Suriah. Di akhir khutbahnya, ia berdoa untuk kebaikan seluruh ummat Islam dan memohon pertolongan Alloh Ta’ala untuk ikhkwah di Suriah khususnya. Sholat Tarawih berlanjut hingga selesai juz 1. Ditutup witir dengan qunut pada akhir reka’at. Sekali laghi, untuk ikhwah yang di Suriah.
Dan ada hal baru yang saya rasa agar berbeda. Entah apa. Namun memang sepertinya saya tidak sering merasakan sholat tarawih sepanjang satu juz, langsung bakda Isya. Ya, mulai kecil di masyarakat sekitar, belum pernah sholat tarawih di masjid kampung dengan bacaan sepanjang satu juz. Beranjak di pesantren, iya, biasanya satu juz sekali qiyamullail. Di sepertiga malam, bukan langsung bakda Isya. Pun ketika saya masih kelas satu MTs dii pesantren, kami diwajibkan qiyamullail berjamah pada dini hari. Sedang untuk periode selanjutnya, khusus anak kelas satu MTs ada rukhsoh ‘keringanan’ untuk tarawih bakda ISya langsung.
Pun ketika sudah lulus pesantren, biasanya saya ikut I’tikaf, dan tentu qiyamullail dengan satu juz (biasanya) di sepertiga malam. Jadi, kalau untuk tarawih satu juz, bakda sholat Isya langsung, jarang sekali saya rasakan.
Ala kulli hal Alhamdulillah. Semoga malam-malam berikutnya mendapat kesempatan untuk sholat di masjid yang berbeda-beda. Agar merasakan sholat tarawih yang berbeda pula.  Karena bacaan imam satu masjid dengan masjid lainnya berbeda-beda. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Sebagaimana halnya yang saya ikuti di masjid kampung Tabbah tersebut, itu termasuk yang cepat bacaannya, karena jam sebelas sudah selesai.
Sekian dulu sedikit yang saya alami pada malam pertama bulan Ramadhan di Cairo. Semoga disempurnakan pertemuan dengan Ramadhan tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Amin.










Thursday 12 July 2012

Akankah Ustadz Pergi? (part 2)

bismillah

Aku memutar otak. Memutar kembali slide-slide peristiwa yang ku lalui. Slide berhenti saat Umar menepuk punggungku ketika kami membaca koran. Secara spontan kuraba punggung seragamku. Terasa ada kertas yang menempel di sana. Setelah ku tarik dan, tertulis besar di sana... ”TERORIS”
Ku tempelkan kertas itu di dahi dan menatap Umar yang duduk jauh di bangku belakang, ”Seharusnya kamu tempel di jidatku saja! Aku ingin Amerika menembakku di sini, agar cepat syahid! ” kelakarku.
Ku biarkan teman-teman tertawa sepuasnya karena taK lama kemudian seorang Ustadz datang dan pelajaran pun di mulai.
***
Sabtu pagi ketika lima menit yang lalu bel istirahat berdering. Beberapa santri –termasuk aku- berdiskusi seputar tema yang tak pernah membosankan bagi kami. Terorisme.
Jiwa muda kami terbakar begitu topik diskusi mengenai Ustadz Azzam yang masih di tahan polisi dan tidak satupun keluarga dan kerabat yang boleh menjenguk sehingga tidak ada kabar mengenai keadaan beliau.
Umar yang juga ikut berdiskusi tiba-tiba berjalan ke depan kelas, melepas sepatunya, memindahkan Al Quran yang ada di laci meja terdepan ke meja di belakangnya, lalu mulai menaiki kursi. Kaki kirinya ada di atas kursi dan kaki kanannya di atas meja. Ia melepas ikat pinggang dan mengikatnya di kepala. Gayanya bak pasukan pejuang kemerdekaan yang siap untuk berorasi membakar semangat pejuang lainnya.
Kini satu tangannya terkepal. Aku tak sabar ingin tahu apa yang akan ia katakan ketika bertingkah konyol seperti ini.
”Wahai, Mujahid-mujahid yang berkorban demi tegaknya Islam! Ayo kita lawan mereka yang mengatakan bahwa kita adalah teroris! Allohu akbar!!”
Satu tangannya meninju udara, serentak kami melakukan hal yang sama, ”Allohu akbar!!’
”Allohu ak...” Takbir Umar terputus oleh pintu yang terbuka tiba-tiba.
”Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.”
Ustadz Hafidz!
Umar berusaha secepatnya turun. Ku lihat Ustadz Hafidz hanya menggeleng-gelengkan kepala. Seisi kelas hanya bisa cekikikan.
”Umar bisa malu juga...” bisikku di telinga Jundi. Sesungging senyum segera tampak di wajahnya.
”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Darahku seakan berpacu cepat melalui pembuluh-pembuluh di sekujur tubuhku. Mujahid!
”Iftahuu kitaabakum! Nastamir ilaa darsil jadiid...
Aku segera membuka halaman buku yang telah ku baca semalam. Ustadz Hafidz selalu meminta kami untuk membaca pelajaran yang akan di pelajari esok hari.
”Assalamualaikum!” seorang Ustadz muda tiba-tiba masuk kelas dengan wajah pucat pasi. Ia segera membisikkan beberapa kalimat di telinga Ustadz Hafidz.
”Ya, tunggu sebentar.” Aku hanya sempat mendengar itu dari Ustadz hafidz yang tampak santai saja. ”Mujahid-mujahidku, kalian hafalkan lima ayat yang ada di halaman sepuluh. Afwan, Ustadz pergi dulu, ini sedang ada...” kalimat beliau terputus karena terburu-buru keluar kelas. Sepertinya hal yang sangat penting sekali. Belum pernah beliau meninggalkan kelas dengan cara seperti ini.
Spontan beberapa santri melongo keluar kelas. Aku yang paling depan. Kulihat beberapa polisi menghampiri Ustadz Hafidz dan menunjukkan sebuah kertas putih yang terlipat. Tak sampai satu menit kemudian, tangan Ustadz Hafidz di borgol dan ditarik pergi. Kami yang melihat hal itu secara spontan keluar kelas dan mengejar Ustadz yang tengah digelandang beberapa polisi berbadan besar.
”Heh, mau di bawa ke mana Ustadz kami!” Ku tarik tangan salah seorang polisi yang segera mendorongku. Aku nyaris terjungkal.
”Ustadz!” aku berusaha sekali lagi mencegah polisi itu membawa Ustadz favoritku di bantu beberapa santri lainnya. Tapi usaha kami sia-sia. Beberapa polisi berpakaian preman lainnya segera datang dan menghalangi kami dari Ustadz Hafidz.
”Ustadz Hafidz!!” Aku berteriak meski hal itu tidak akan mengembalikan Ustadz Hafidz pada kami.
”Innalloha ma’anaa!! Allohu akbar!” itu kalimat yang terakhir ku dengar dari beliau sebelum akhirnya di paksa masuk dalam sebuah mobil kijang.
”Allohu akbar!!” Sambutan takbir di teriakkan oleh kami semua. Mengiringi kepergian Ustadz kami tercinta.
Tak lama kemudian, beberapa Ustadz menyuruh kami memasuki kelas.
Umar berdiri dengan tangan terkepal, dua mata elangnya menatap ke depan penuh amarah. Aku belum pernah melihatnya seserius ini. ”Apa yang mereka inginkan, hah?! Siapa yang akan mengajar kita di kelas ini? Siapa? Siapa?!” dua kristal bening menetes di wajahnya. Kelas hening berkutat dengan pikiran masing-masing. Apa yang kami pikirkan tetap sama. Ustadz Hafidz. Rasanya benar-benar memuakkan!!
Aku maju ke depan kelas. Menatap setiap pasang mata yang balas menatap ke arahku.
”Kita tahu bahwa Ustadz Hafidz adalah ustadz yang baik dan tidak mungkin melakukan tindak kriminal. Terlebih terorisme, betul?”
Secara kompak dan bersemangat, semua menjawab,”Betul!”
”Kemarin, sebelum apel pagi di mulai beliau menasehati beberapa santri yang masih ku ingat apa isi nasehat itu. Tugas utama kita di sini adalah belajar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kita pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidz yang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa! Allohu akbar!!”
”Allohu akbar!” seisi kelas menyambut.
”Kita laksanakan apa yang beliau perintahkan pada kita tadi.”
Aku kembali ke bangkuku. Dan mulai menghafalkan lima ayat yang beliau perintahkan. Jundi mengikutiku. Juga Umar, lalu Adi, lalu Ridwan, Hadi, dan semuanya. Satu persatu kami hafalkan ayat itu...
”Yaa ayyuhalladzinaamanusta’iinubisshobriwassholah, innalloha ma’asshoobiriin...
Bibirku terasa bergetar...
”Walaataquuluulimanyuqtalufiisabiilillahiamwat,bal ahyaauwwalaakin laatasy’uruun....
Bola mataku terasa basah...
”Walanabluwannakum bisyaiim minnal khoufi wal juu’i wannaqsil amwaali wal anfusi wastsamaroot, wabasysyirisshobiriin...
Aku tak lagi sanggup membendungnya....
”Alladziina idzaa ashoobathummusiibah, qooluu innalillahi wa innalillahi rooji’uun...
Apakah seorang mujahid tak boleh menangis?
”Ulaaika ’alaihim sholawaatum min robbihii wa rohmah, ulaaikahumul muhtaduun...
Kepada siapa akan ku setorkan hafalan tahfidku ini?
Aku tak sanggup menatap ke meja ustadz. Karena ku tahu, Ustadz Hafidz tidak duduk di sana untuk menyimak hafalan surat Al Baqoroh ini.....
Ketua
Tukang tidur
Kata kerja
Halaman empat
Apa yang terjadi?
Melebihi mata kaki
Jamak dari ustadz
Sesungguhnya Alloh bersama kita
 Buka buku kalian! Kita lanjutkan ke pelajaran baru
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 153)
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Alloh, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al Baqoroh : 154)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaankepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar(Al Baqoroh : 155)
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan : ”Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun” (Al Baqoroh : 156)
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al Baqoroh : 157)

Wednesday 11 July 2012

Akankah Ustadz Pergi?Akankah Ustadz Pergi? (part 1)


“Assalamualaikum waraohmatullohi wa barokatuh!”
            Pintu kelas terbuka dan seperti biasa, pada jam pelajaran ke lima setelah istirahat di hari Sabtu, selalu terdengar salam khas dari ustadz favoritku.
            Suara beliau tidak terlalu menggelegar, kurasa. Tapi menurutku, yang membuat serentak seisi kelas hening tanpa suara, adalah wibawa beliau. Ustadz yang bijaksana, ramah dan paling penyabar bila kami-para santri – belepotan ketika menyetorkan hafalan.
            Aku menoleh ke barisan bangku belakang, Umar ”and The Gank” yang baru saja membuat suasana kelas tak ubahnya seperti pasar, kini duduk manis di kursi masing-masing. Anehnya, tak satupun penghuni kelasku yang protes pada rois kelas jika mereka membuat kegaduhan. Bukan karena takut pada bocah-bocah konyol itu. Tapi, kami menikmatinya. Ya, menikmati joke-joke segar mereka, walau terkadang sedikit keterlaluan.
            Tidak semua yang gaduh adalah pertengkaran atau kerusuhan, tapi bisa jadi tingkah konyol yang menggila sehingga membuat perut terasa sakit akibat tertawa terpingkal pingkal. Dan itulah yang di lakukan Umar ”and The Gank”, di kelas.
            Baru saja mereka berbuat usil dengan Hadi. Ketika istirahat, Hadi yang memang memiliki julukan Abu Naum itu terlelap di atas meja dengan dua lengannya sebagai sandaran kepala. Umar cs segera beraksi begitu Hadi benar-benar terlelap. Dua orang mengambil karet gelang dan mulai mengucir kecil-kecil rambut Hadi yang mulai gondrong di bagian depannya. Sementara seorang mengambil spidol yang tintanya mudah luntur dan bergerak melukis selengkung garis di antara mulut dan hidung Hadi. Seorang lagi mengikat tali sepatu Hadi di kaki kursi. Dan setelah semua selesai, Umar menutup dua lubang hidung Hadi dengan sobekan besar kertas dari buku tulisnya yang telah ia remas seukuran kelereng dan menyelotip mulutnya .
            Namun yang membuat alisku berkerut adalah, Hadi tidak bereaksi hingga sekitar satu menit kemudian! Hm, aku tidak pernah merasa bersalah jika memanggilnya Abu Naum.
            Selang satu menit dari kejadian itu... kurasa kalian bisa menebak apa yang terjadi.
            Hadi terbangun setelah oksigen benar-benar tidak bisa masuk melalui saluran napasnya. Yang pertama ia lakukan ialah melepas selotip dari mulutnya lalu mengeluarkan sobekan besar kertas dari lubang hidungnya. Ia mencoba menghampiri Umar yang tak perlu sangsi ia yakini sebagai biang kerok dari semua ini. Namun,
            BUG!
            ”Auugh!!” dua lututnya terburu mencium lantai. Mana mungkin Hadi sadar dengan apa yang terjadi pada tali sepatunya.
            Terdengar gelegar tawa membahana. Nyaris seisi kelas menekan perut menahan tawa.  Bagaimana tidak tertawa melihat rambutnya yang seperti anak perempuan di taman kanak-kanak, juga wajahnya yang kucel sehabis tidur! Hadi tidak marah, mungkin karena ia sudah terbiasa mendapat perlakuan itu oleh Umar. Belum sempat ia menghampiri Umar, dan terdengarlah salam dari Ustadz Hafidz.
            Sandiwara selesai.
            Segera setelah melepas beberapa karet gelang yang mengucir rambutnya, hadi izin keluar kelas dengan menutup mulutnya.
            Ustad Hafidz hanya tersenyum kecil seperti melihat kenakalan anak kecil.
            ”Ya, ayyuhal mujaahiduun...”
Ustadz Hafidz selalu membuka pelajaran dengan panggilan itu, ”yaa,, ayyuhal mujaahiduun..”, panggilan yang amat sangat ku suka.
Mujaahiduun...
Aku termasuk mujahid. Mujahid!!
”Secara terminologi, mujahid berasal dari fi’il, jahada yajhadu. Yang artinya bersungguh-sungguh. Akan tetapi secara etimologi arti mujahid adalah seseorang yang mempertahankan atau berjuang demi agama Islam.”
Aku teringat jawaban Ustadz hafidz ketika suatu ketika ku tanya tentang arti mujahid.
Hm, bila aku mujahid, maka berarti aku seperti Khalid bin Walid, atau Umar bin Khathab, atau Usamah bin Zaid. Ugh, betapa hebatnya...
”Zaid! Lanjutkan!”
”Ha?!”
Aku tergagap. Celaka! Pelajaran telah dimulai dan aku justru melamun.
”Sampai mana tadi?” Setengah berbisik ku senggol lengan Jundi yang duduk di sampingku.
”Shofhah robiah.” jawab Jundi setengah berbisik.
Aku segera membuka buku arab gundul halaman empat. Sementara Ustadz Hafidz tersenyum kecil melihatku yang membuka buku dengan tangan bergetar.
***
”Zaid, Zaid!” Jundi berlari ke arahku dengan napas memburu.
”Madzaa hadatsa?” tanyaku.
”Hh...hh..” Rupanya nafas Jundi masih tersenggal-senggal. ”Us..Ustadz Azzam, ustadz Azzam!”
”Ada apa dengan Ustadz Azzam?” tanyaku panik.
”Ustadz Azzam di tangkap polisi semalam!”
”Hah?!” mulutku menganga seolah tak percaya. Setahuku beliau adalah Ustadz yang baik. Dan bukan tipe pelaku kriminal. Aku yakin penangkapan ini berkaitan dengan fitnah seputar teroris.
Pagi hari sebelum apel dimulai. Aku dan beberapa santri mengerubungi Ustadz Hafidz yang kebetulan tengah duduk-duduk depan kantor.
”Ustadz Azzam ditangkap polisi ya, Tadz?”
”Kenapa?”
”Apa karena tuduhan teroris?’
Kami memberondong beliau dengan beberapa pertanyaan. Namun jawaban pertama beliau adalah segaris senyum bijak yang sulit untuk kami tafsirkan.
Setelah mengusap rambut dan pundak beberapa dari kami beliau baru berkata, ”Benar Ustadz Azzam semalam ditangkap polisi.”
Kami tidak lagi menyela beliau dengan beberapa pertanyaan karena tahu, beliau akan segera menjelaskan yang sebenarnya terjadi tanpa kami minta.
”Beliau ditangkap atas tuduhan dugaan terlibat dengan jaringan terorisme.” Ustadz Hafidz menghela napas. Seperti ada beban berat di sana.
Hati kami serasa mendidih. Ugh! Andai saja aku bersama Ustadz Azzam saat terjadi penangkapan, tentu aku akan berjuang mati-matian untuk melindungi beliau agar tidak ditangkap polisi! Aku tidak akan percaya bila beliau di tuduh sebagai teroris! Aku tahu benar bagaimana baik dan ramahnya Ustadz Azzam.
”Kita do’akan saja agar tuduhan itu tidak terbukti.” Ujar Ustadz Hafidz bijak. Namun hatiku semakin panas ingin melawan polisi yang telah menangkap Ustadz kami. Ini tidak mungkin. Apa karena beliau berjenggot lebat, memakai celana tidak isbal dan selalu memakai peci?!
”Ustadz, ayo kita datang ke kantor polisi dan kita beri pelajaran pada polisi itu! Seenaknya saja menangkap ustadz kita!!” Ujarku membara.
Santri lain segera bersorak mendukungku. Tapi Ustadz Hafidz justru terkekeh.
”Kalian tidak usah berpikir macam-macam. Nanti justru ikut ditangkap oleh polisi.” beliau tersenyum geli.
”Lho, kita harus bela Ustadz kita yang tidak bersalah, tadz!”
Ustadz tersenyum sekali lagi lalu menepuk-nepuk bahuku, ”Kalian ini masih muda, semangat begitu meledak-ledak.”
”Bukan begitu caranya, Zaid. Apa dengan melawan polisi lantas Ustadz Azzam di bebaskan dan semua beres?” Retoris.
”Sudah-sudah, kita do’akan saja agar Ustadz Azzam secepatnya dibebaskan. Tugas kalian di pesantren ini adalah untuk belajar.”
”Tapi kita kan di ajarkan untuk membela saudara kita yang tidak bersalah!” Protesku.
”Ya, benar. Tapi tugas utama kalian di sini tetap belajar. Ingat, be-la-jar. Itu amanah yang di titipkan orangtua kalian pada pesantren. Masalah-masalah seperti ini biarkan asatidzyang mengurusi. Jangan khawatir, selama kita berada dalam kebenaran, maka itu yang harus kita perjuangkan. Biarlah dengan itu kita di fitnah, di tangkap, di siksa. Yakinlah bahwa Innalloha ma’anaa.
Bel berdering dua kali. Saatnya untuk apel pagi. Sepuluh menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi, para santri di wajibkan mengikuti apel pagi, setiap hari. Selain bertujuan untuk mendisiplinkan santri, apel di isi pula dengan do’a-do’a supaya kami dipermudah Alloh dalam menuntut ilmu. Dengan sendirinya kami membubarkan diri.
Selesai apel, aku berjalan menuju papan pengumumam yang biasa digunakan untuk memajang koran. Di pesantrenku, media terbaik untuk mendapat informasi seputar dunia luar pesantren adalah koran. Tidak ada televisi, tidak ada radio atau barang elektronik lainnya. Terkadang bila ada berita heboh, ustadz-ustadz segera browsing berita di internet, lalu memajang print outnya di papan pengumuman, berjejer dengan koran-koran.
Aku benar-benar tidak ingin sekalipun melewatkan membaca berita di papan pengumuman. Harus terus mengikuti perkembangan. Karena yang kurasa, nyaris setiap hari ada saja berita baru yang menghebohkan.
Yang pertama kali ku baca adalah headline yang selalu terpajang di halaman depan. Hm, ternyata topiknya masih sama dengan kemarin. Terorisme.
Huh, memang terorisme harus dihentikan. Tapi bukan terorisme seperti yang dikumandangan Amerika. Karena aku tahu, perang melawan terorisme yang pertama kali di serukan mantan presiden Amerika Serikat, George Walker Bush seolah di nisbatkan kepada Islam, agamaku. Aku tidak bisa menerima ini. Islam adalah agama perdamaian. Islam sendiri, secara terminologi berarti perdamaian. Aku lebih tidak menerima bila simbol-simbol Islam turut pula dicap sebagai simbol terorisme. Hatiku serasa mendidih saat membaca berita-berita yang memojokkan Islam. Islam tidak pernah menyerukan tindakan teror kecuali bila umat Islam diteror terlebih dahulu. Bukankah kini fakta berbalik arah, umat Islam yang memakai simbol-simbol Islam justru dikucilkan, bahkan dicurigai sebagai teroris. Aku heran, siapakah yang sebenarnya lebih layak mendapat gelar teroris?
Kurasakan tepukan keras di belakang punggungku,”Apa berita terbarunya, Zaid?”
Rupanya Umar. Aku hanya menunjuk halaman headline dan membiarkannya membaca sendiri. Bel pelajaran pertama berdering. Ustadz Hafidz keluar kantor dan menyuruh kami meninggalkan papan pengumuman.
”Ayo, Zaid, membaca koran bisa kamu lanjutkan saat istirahat nanti.” Seperti biasa, aku yang terakhir kali meninggalkan papan pengumuman.
Saat memasuki kelas, aku mendengar beberapa santri cekikikan di belakangku. Sepertinya menertawakanku. Aku menoleh, mereka justru tertawa. Mungkin ada yang salah dengan penampilanku? Entahlah. Lebih baik bersikap masa bodoh.

”Zaid, cepat atau lambat kamu akan ditangkap Amerika!” Jundi tertawa begitu aku duduk di kursiku.

*ku tulis sekitar 3 tahun lalu

Thursday 5 July 2012

Hasil Membolos : KItab Tafsir

bismillah

Seperti biasa, dini hari saya bangun. Setelah qiyamul lail, mata dan badan tak bisa diajak kompromi. Tepar.
Hingga shubuh menjelang. Selepas sholat, saya kembali ke tempat tidur. Tak lama berselang, pintu kamarku diketuk gadis Nepal.
“Afwan, aku nggak berangkat pagi ini. Lagi capeeek…” jawabku tanpa membuka pintu. Selimutpun makin rapat. Ugh, pagi yang mengigil. Padahal beberapa hari kemarin temperatur sudah mulai naik. Hari ini dingin kembali.
Ya, memasuki musim semi, cuaca naik turun. Beberapa hari lalu, saya benar-benar merasakan udara “Indonesia”, dan pagi ini serasa memasuki winter lagi.
Kemarin, bersama teman-teman marhalah asrama, kami mengadakan pembubaran panitia MFD di kawasan wisata Piramid, Giza. Setelah berkeliling Great Pyramid, lalu menuju kawasan gurun, komplek Spink, semua memakan waktu dari pagi hingga Maghrib. Tentu badan pegal dan capek. Hasilnya, kajian Tafsir pagi hari ini terpaksa izin, kalau tidak mau dibilang bolos. Hehe
Bukan semata kecapekan. Mengingat untuk menuju tempat talaqqi, harus berjalan kaki sekitar setengah jam. Untuk pulang pergi total satu jam. wuaah…
Daripada mendzolimi tubuh, lalu jatuh sakit. Pikir saya.
Pukul setengah delapan, saya dan kawan-kawan asrama lain, seperti biasa. Pergi kuliah menggunakan bus asrama. Menjelang dhuhur, seorang kakak almamater meminta saya untuk menemani ke airport. Bakda dhuhur hingga ashar.
Selepas kuliah, saya meluncur ke hay 7. Dan saya lupa, bahwa warga Indonesia itu punya satu hal yang tak bisa terlepas, jam karet.
Lama menunggu, akhirnya kami berangkat ke airport. Pulangnya saya diantar hingga asrama.
Memasuki jenah kamar, gadis Nepal itu tengah sibuk dengan bambu-bambu dan kertas karton putih.
“Petamu sudah jadi?” Tanyaku. Ia hanya tersenyum.
“wow, hadza jayyid jiddan…” pujiku, melihat peta buatannya yang akan dilombakan di ma’had.
“Oya, sebentar.” Tiba-tiba ia masuk kamar dan keluar dengan sebuah buku tebal.
“Tadi pagi Ustadzah menanyakan ketidakhadiranmu.”
Ups! Ternyata ustadzah perhatian denganku! Padahal seringkali kawan-kawan lain bolos, tapi tidak ketahuan…Apalagi sampai ditanya mengapa tidak hadir.
“Hiya turidu an tahdhuri daaiman…” Lanjutnya. Beliau menginginkanmu untuk selalu hadir.
Selanjutnya, Ia sodorkan sebuah kitab setebal hampir 2000 halaman.
“Ini dari Ustadzah, untukmu.” Ha?! Kitab itu kini berpindah ke tanganku. Aisarut tafaasiir.
“Oh, ya. Syukron.” Jawabku.
Kitab itu masih terbungkus plastik. Baru.
Saya tahu betul bahwa Ustadzah tidak pernah memberi kitab pada murid-murid yang –saat itu- tidak hadir. Tapi kali ini, seorang teman bahkan membawakannya untuk saya. Tebal pula.
Maaf Ustadzah, lain kali saya tidak akan bolos. In syaalloh.

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (ar Rahman:13)


                                                                    Cairo, menjelang musim semi 2012