Monday 13 May 2013

Tak Ingin Kembali

bismillah


Saat ini aku adalah seorang pengecut
Maka maaf.

Aku sedang tak ingin kembali
Bukan semata citaku keliling dunia
Namun semesta kecil di kampung kita,
Aku tak tahu, bisakah aku menghadapinya

Di sini aku membeku
Dalam jumud dan silap duniaku
Seperti pesan hati
Yang benci untuk kembali
Ini aku lagi

Namun aku tetap akan kembali bukan?
Jadi bagaimana?
Di sini, aku mengutuk sepi
Di sini aku rindu berkelana lagi
Bagaimana bisa aku kembali?

Jika kembali, nanti...
Segenggam asamu, aku takut memudar
Harapmu, aku takut mendekat pada lenyap

Aku ingin pergi lagi
Jauh dari mentari di desa kita
Bolehkah?

Aku tak kuat membagi
Antara hati dan fakta yang harus dihadapi

Tidak.
Hari ini saja
Ijinkan aku pergi
Lagi...

*aih, kacau ne...

Saturday 11 May 2013

Ini Suriah, Sepenggal Scene dari Negeri yang Terluka

bismillah

Baru saja telepon dari Negeri Syam itu disudahi. Kini aku tak sabar lagi untuk menceritakan tutur remaja WNI yang masih bertahan kuliah di Damaskus, Ibu kota Suriah yang kini tengah menjadi neraka dunia.
“ini sekitar 3 atau 4 hari lalu.” Ia bertutur melalui “private number” ke nomor Mesirku. Selanjutnya aku bahasakan dengan “aku”.
Malam itu aku dan beberapa kawan tengah menyaksikan rekaman video bersama, di rumah kami. Dan tiba-tiba, BLAMM!!
Jangan berpikir untuk mendengar suara itu, terlebih merasakannya. Karena dentuman itu jauh lebih keras dari suara meriam modern yang biasa kami dengar setiap saat. Ku pikir jantungku sempat terhenti berdetak selama suara itu nyaris memecah gendang telinga.
Tiba-tiba lampu rumah berkedap kedip. Suasana remang mencekam. Tiada seorang mampu berkata. Namun setiap penghuni rumah bergerak tanpa komando.
Klap!
Lampu dimatikan.
Sret! Jendela-jendela ditutup.
Dalam diam kami bersiaga jika tiba-tiba datang pasukan yang mendobrak pintu lantas memaksa kami untuk berkata “laa ila illa ‘Pak Kumis’...”(wa iyyadzubillah) lalu menculik dan menyeret seorang dari kami ke penjara, atau menyiksa dan menembak mati kami di tempat. Bukan hanya kami yang bersiap untuk kemungkinan terburuk, namun nampaknya seluruh penduduk Damaskus melakukan hal serupa.
Mungkinkah dentuman barusan hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami? Aku masih bertanya-tanya. Namun dalam kondisi mencekam seperti ini, yang terbaik adalah selalu bersikap siaga.
Tak lama berselang, kami putuskan untuk melihat keadaan di luar. Malam ini, nyaris seluruh penduduk kota membuka jendela seperti kami. Dan dengan muka penuh tanda tanya, karena tidak terjadi apapun. Ini aneh.
Tiba-tiba, dari gedung yang menghalangi pandanganku, sekilas cahaya muncul. serentak pandangan mata seisi kota menuju ke sana. Aku melihat kilat cahaya merah telah sampai di atas. Ia berasal dari daratan, bukan dari langit. Berarti bukan bom yang dijatuhkan dari langit. Namun ini sama persis dengan yang ku tonton dalam film Hiroshima-Nagasaki. Tapi ini bukan asap cendawan, ini cahaya merah yang menukik ke langit.
Belum lama aku terpana, sebuah angin panas menyeruak. Mendorong dan melibas tubuh-tubuh kami, seisi rumah.
BUG!!
Masing-masing tubuh kami berdentum ke lantai dengan keras. Bersamaan dengan debu pasir dan angin panas yang menyeruak.
“Tutup jendela!!” akhirnya seisi penghuni rumah segera menutup jendela tanpa ada komando lebih.

Cerita di atas sedikit mendeskripsikan apa yang terjadi saat itu. Berdasarkan informaso yang ia peroleh, itu adalah serangan bom kimia dari dua pesawat Israel di sebuah pegunungan di pinggir Dmaksus, sekitar 5 sampai 7 Km dari pusat kota. Tentu akan lebih membuat jantungmu berdegup lebih keras jika kau mengalaminya sendiri. Kita doakan semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindunganNya. Namun yang di atas bukan film atau narasi fiktif. Hal yang benar-benar di alami seorang mahasiswa muslim yang bertahan menuntut ilmu dan membantu rakyat Suriah di sana.
“Ku pikir ini film. Kau tahu, seperti dalam scene bom nuklir yang meledak lalu gelombang ledakannya menjalar ke segala penjuru... Blaaar!!”
Aku hanya membayangkan ekspresi wajahnya di seberang sana. Di negeri yang masih berada dalam kawasan Tiur Tengah. Huh, mereka bilang Arabic Spring yang tak “spring”nya terlalu lama. Tidak seperti di Mesir dengan segala macam pergolakan pasca revolusinya.
Tapi hey, di sini aku tertegun.
Mahasiswa itu juga sama seperti masisir, ujian di depan mata. Namun ia menyaksikan sendiri hiruk pikuk peperangan, meski masih bertahan di daerah yang cukup aman dalam kawasan sang penguasa ‘Pak Kumis’. Jangan kau tanya siapa itu Pak Kumis.. itu kode kami untuk membicarakan penguasa rezim Suriah yang tega melakukan ‘genosida’ pada rakyatnya sendiri.
Damaskus bersalju. a little pic of him ^_^
Bukan karena alasan apa ia bertahan. Namun jiwa nya yang berteriak untuk membantu saudara muslim di sana lebih keras memanggil. Bertahanlah sebagai seorang muslim, kau mampu untuk pergi dengan jiwa nasionalis yang acuh, namun bantulah penduduk negeri ini dengan jiwamu sebagai seorang muslim. Itu suara iman yang mengalahkan apapun.
Aku hanya bisa mendengar kisahmu di sini. Aku pun belum membantu banyak secara langsung. Padahal kita sama-sama tengah belajar. Dan menghadapi ujian yang sudah di depan mata. setidaknya ruh belajarku kembali bergelora. Bukan untuk apa. Namun aku sadar bahwa segala fasilitas yag kini tengah kunikmati, tengah digadaikan oleh kucuran darah saudaraku di negeri-negeri yang terluka. Maka tidak sepantasnya aku berleha. Begitu pun kau!

Wallohu ta’ala a’lam

*jangan lupa juga doakan untuk segera selesainya krisis di Negeri Syam ini. Allohumma amin.


Thursday 9 May 2013

Titisan Hawa...

bismillah
Hanya sebuah curahan hati. Yang jika terus-menerus saya pedam hanya akan bertumpuk seperti gunung berapi bawah laut. Sekali meledak, BUM!!!


Wanita, wani ing tata.
“kerata basa” atau “jarawa dhosok” di atas adalah salah satu yang masih melekat dalam ikatan saya sedari SD dalam pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa. Kurang lebih berarti: wanita itu berani dalam menata. Dengan kata lain, wanita itu lebih berani dan tertuntut dalam hal manajemen. Mengatur segala keperluan hidup, terutama dalam berumah tangga. Mulai dari keuangan, tata letak hingga kebersihan rumah dan keluarga.di sini wanita lebih “berani” alias lebih “menguasai” dibanding –siapa lagi kalau bukan- pria.
Di sini saya tidak ingin menggebyah uyah(generalisir), namun hanya sedikit berbicara mengenai apa yang selama ini coba saya petik dari pengalaman dan lingkungan sekitar. Ya, mengenai wanita. Banyak yang bilang kalau kaum hawa adalah mahluk yang unik, terkadang saya heran juga, kaum adam juga punya keunikan dalam banyak hal kok (hihi). Namun lihat saja di deretan rak toko buku, biasanya terdapat rak khusus berisi buku-buku tentang wanita. Namun hampir tidak pernah saya jumpai rak buku “khusus pria”, padahal bukan berarti buku-buku selain “wanita” itu tertuju untuk kaum adam saja lho. aha! Entahlah, membahas wanita memang selalu menarik karena akan selalu ditemukan sisi unik yang tidak terduga, bahkan terkadang oleh wanita itu sendiri.
Sedari kecil saya selalu bermain dengan kedua saudara lelaki saya. Bahkan satu-satunya teman bermain adalah tetangga kami, lelaki anak Lurah di pelosok desa Wonogiri. Secara tidak sadar, itu cukup berpengaruh pada kepribadian saya. Pertama kali terasa ketika nilai bermain “pasaran” saya nol besar dibanding teman-teman perempuan lain. Rasa iri itu selalu hadir. Terutama ketika melihat kawan-kawan perempuan bermain loncat tali dan membongkar pasang gambar boneka beserta aksesoris baju, tas dan segala tetek bengeknya. saya hanya bisa menonton. Bahkan berkomentar pun segan.
Lho.. kok malah ngelantur ke sini ya?
Intinya bahwa seiring berjalannya waktu, naluri “wanita” itu tidak akan pernah meninggalkan diri anda, selama anda adalah seorang wanita. Betapapun seringnya saya terkungkung oleh permainan anak laki-laki, toh melihat kawan perempuan menjadikan saya “iri”. Begitu pula saat menginjak masa-masa puber dengan berpikir bahwa menjadi cewek ‘tomboy’ itu ‘keren’, ternyata hm.. no..no..no.. semakin saya beranjak dewasa, semakin saya menyadari betapa indah dan mulianya menjadi seorang wanita muslimah.
Meski seringkali naluri-naluri itu tumbuh dengan lambat dan diiringi keterpaksaan, bahkan cemoohan. Bukan berarti bahwa saya sok’nyewek’ begitu. Tapi yakin sajalah, semua bisa dipelajari dan diterapkan seiring proses kedewasaan itu dijalani.
Masih sangat segar dalam ingatan. Ketika itu, di pesantren. Ummi menjenguk saya di kamar bersama seorang tetangga saya, ibu-ibu paruh baya dengan latar belakang keluarga Nasrani. Saya adalah ketua kamar sekaligus pemimpin Rayon asrama kompek I. saya akui memang, kamar kami lebih sering berantakan dibanding ‘rapi’nya (tapi bukan jorok lho ya). Hari itu saya menemui mereka di kamar depan, tepatnya ruang sidang. Jika biasanya tiap malam kami menyidang adik-adik, hari itu serasa saya yang disidang oleh Ummi dan tetangga saya.
“Bagaimana bisa santriwati kamarnya berantakan begini?” wew, Ibu itu memang wataknya tidak suka basa-basi,”Kamu tahu, Nun... Di asrama suster-suster gereja yang seringkali aku datangi, kamar mereka bersih-bersiiiiiih semua. Rapi!”
Hari itu rasanya bukan oksigen yang saya hirup, melainkan ribuan jarum yang menancap dan mencabik hati nurani saya.
Saya juga ingat betul  setiap kali menuruni tangga sekolah pesantren, ada khot berwarna biru langit yang tertulis pada dinding bercat hijau toska, tepat di atas taman dengan rerumputan hijau muda, “Innalloha jamilun yuhibbul jamaal”. Itu yang menjadi motivasi dan tuntutan bagi saya untuk selalu menjaga kebersihan, keindahan dan kerapian.
Mungkin bukan hal yang ‘waw’ bagi banyak orang, bahkan “itu sih sudah lazimnya begitu”. Namun di sini saya melihat bahwa salah satu naluri saya sebagai seorang wanita yang “wani ing tata” itu muncul dengan proses. Bukan bawaan atau ‘bakat’ tertentu. Yang mana proses itu ditempa dengan kebiasaan. Dari kebiasaan itu melahirkan sebuah karakter yang tanpa sadar mendorong kita kembali menyadari akan ‘naluri’ yang –sebenarnya- tidak pernah meninggalkan kita.
Maka jika ada yang sesekali berkomentar bahwa “kamu tuh, nyewek banget sih!” ketika seorang wanita bersikap lembut, rapi, bersih dan gemulai (tapi bukan dandan menor lho ya..)Oh...no! itu fitrah! Jangan heran jika kaum hawa ini seringkali membawa tisu, mengelap tempat duduk sebelum memakainya, begidik melihat penampilan pria yang ‘acak-acakan’ bahkan sensitif pada bau asap “ahlul hisap” (ha.. yang terakhir ini semoga bukan saya aja ya..).


Barangkali tidak semua wanita begitu. Hal yang tidak bisa saya sangkal. Meski sifat dan naluri yang ‘keibuan’ itu –sekali lagi- tidak akan meninggalkannya. Naluri itu hanya menunggu waktu di saat yang tepat untuk dapat dilihat dan dirasakan eksistensinya. Saya percaya itu.
Maka berteman dan berinteraksi dengan kawan yang sedikit jauh dari ‘naluri’nya, bagi sebagian mungkin menjadi beban. Terlebih jika kawan itu adalah rekan kerja atau orang yang mau tak mau harus menjadi partner sehari-hari. Yah, dalam sebuah kebersamaan, bagi wanita dengan naluri kebersihan dan kerapian yang lebih tinggi akan dirugikan. Memang hanya kawan anda yang terkadang hmm, berantakan. Tapi toh ternyata anda kena impasnya bukan?
Hal yang pernah saya alami, (atau jangan-jangan kawan saya alami?! Hadeuh...maaf deh) dan itu mnjadi sebuah beban yang terlihat sepele, namun menyesakkan. Sampai seringkali saya berpikir bahwa otak kanan kawan saya dulu itu lebih dominan, sedang saya lebih pada otak kiri. Di mana menginginkan segala sesuatu ‘kembali’ ke tempat asalnya dengan tertib, rapi dan indah. Tentu berbeda dengannya yang ‘asal’ taruh dan inginnya bergerak cepat. Sedang saya lebih sering berpikir lebih lama agar pekerjaan penataan lebih ‘perfect’.
Sering sangat saya harus menghela napas, mengurut kesabaran dan mencoba berpikir bahwa ini merupakan masalah sepele karena perbedaan cara berpikir saja. Lalu, Bagaimana pula jika kelak, ternyata pasangan hidup saya (ehe.. uhuk!) memiliki pola pikir sepertinya –kontras dengan saya-. Itu yang selama ini menjadi benteng saya untuk bersabar, meski ternyata pada suatu waktu. Saya tidak tersadar bahwa semuanya tiba-tiba menjadi titik klimaks yang ugh.. saya harus menyesal karena menangis sesenggukan seperti anak kecil (asli.. seperti anak TK yang tak tahu malu...)
(nah lho,,, ngelantur lagi sih?)
Sebetulnya ini melenceng dari apa yang tadinya ingin saya tulis. Namun sepertinya saya memang lebih sering terjajah oleh plot dalam pikiran saya. Jadi... ya sudahlah. Setidaknya satu titik beban berhasil saya buang dari hati ini. Semoga tidak lagi menjadi ganjalan dan bermanfaat untuk kita semua. Selamat imtihan termin II, bit taufiq wan najah... ^_^

Madinah AlBuuts AlIslamiyah,
Cairo, 10/5/2013