bismillah
Hanya sebuah curahan hati. Yang
jika terus-menerus saya pedam hanya akan bertumpuk seperti gunung berapi bawah
laut. Sekali meledak, BUM!!!
Wanita, wani ing tata.
“kerata basa” atau “jarawa
dhosok” di atas adalah salah satu yang masih melekat dalam ikatan saya sedari
SD dalam pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa. Kurang lebih berarti: wanita itu
berani dalam menata. Dengan kata lain, wanita itu lebih berani dan tertuntut
dalam hal manajemen. Mengatur segala keperluan hidup, terutama dalam berumah
tangga. Mulai dari keuangan, tata letak hingga kebersihan rumah dan keluarga.di
sini wanita lebih “berani” alias lebih “menguasai” dibanding –siapa lagi kalau
bukan- pria.
Di sini saya tidak ingin menggebyah
uyah(generalisir), namun hanya sedikit berbicara mengenai apa yang selama
ini coba saya petik dari pengalaman dan lingkungan sekitar. Ya, mengenai
wanita. Banyak yang bilang kalau kaum hawa adalah mahluk yang unik, terkadang
saya heran juga, kaum adam juga punya keunikan dalam banyak hal kok (hihi).
Namun lihat saja di deretan rak toko buku, biasanya terdapat rak khusus berisi
buku-buku tentang wanita. Namun hampir tidak pernah saya jumpai rak buku
“khusus pria”, padahal bukan berarti buku-buku selain “wanita” itu tertuju
untuk kaum adam saja lho. aha! Entahlah, membahas wanita memang selalu menarik
karena akan selalu ditemukan sisi unik yang tidak terduga, bahkan terkadang
oleh wanita itu sendiri.
Sedari kecil saya selalu bermain
dengan kedua saudara lelaki saya. Bahkan satu-satunya teman bermain adalah
tetangga kami, lelaki anak Lurah di pelosok desa Wonogiri. Secara tidak sadar,
itu cukup berpengaruh pada kepribadian saya. Pertama kali terasa ketika nilai
bermain “pasaran” saya nol besar dibanding teman-teman perempuan lain.
Rasa iri itu selalu hadir. Terutama ketika melihat kawan-kawan perempuan bermain
loncat tali dan membongkar pasang gambar boneka beserta aksesoris baju, tas dan
segala tetek bengeknya. saya hanya bisa menonton. Bahkan berkomentar pun segan.
Lho.. kok malah ngelantur ke
sini ya?
Intinya bahwa seiring
berjalannya waktu, naluri “wanita” itu tidak akan pernah meninggalkan diri
anda, selama anda adalah seorang wanita. Betapapun seringnya saya terkungkung
oleh permainan anak laki-laki, toh melihat kawan perempuan menjadikan saya
“iri”. Begitu pula saat menginjak masa-masa puber dengan berpikir bahwa menjadi
cewek ‘tomboy’ itu ‘keren’, ternyata hm.. no..no..no.. semakin saya beranjak
dewasa, semakin saya menyadari betapa indah dan mulianya menjadi seorang wanita
muslimah.
Meski seringkali naluri-naluri
itu tumbuh dengan lambat dan diiringi keterpaksaan, bahkan cemoohan. Bukan
berarti bahwa saya sok’nyewek’ begitu. Tapi yakin sajalah, semua bisa
dipelajari dan diterapkan seiring proses kedewasaan itu dijalani.
Masih sangat segar dalam
ingatan. Ketika itu, di pesantren. Ummi menjenguk saya di kamar bersama seorang
tetangga saya, ibu-ibu paruh baya dengan latar belakang keluarga Nasrani. Saya
adalah ketua kamar sekaligus pemimpin Rayon asrama kompek I. saya akui memang,
kamar kami lebih sering berantakan dibanding ‘rapi’nya (tapi bukan jorok lho
ya). Hari itu saya menemui mereka di kamar depan, tepatnya ruang sidang. Jika
biasanya tiap malam kami menyidang adik-adik, hari itu serasa saya yang
disidang oleh Ummi dan tetangga saya.
“Bagaimana bisa santriwati
kamarnya berantakan begini?” wew, Ibu itu memang wataknya tidak suka
basa-basi,”Kamu tahu, Nun... Di asrama suster-suster gereja yang seringkali aku
datangi, kamar mereka bersih-bersiiiiiih semua. Rapi!”
Hari itu rasanya bukan oksigen
yang saya hirup, melainkan ribuan jarum yang menancap dan mencabik hati nurani
saya.
Saya juga ingat betul setiap kali menuruni tangga sekolah
pesantren, ada khot berwarna biru langit yang tertulis pada dinding bercat
hijau toska, tepat di atas taman dengan rerumputan hijau muda, “Innalloha jamilun
yuhibbul jamaal”. Itu yang menjadi motivasi dan tuntutan bagi saya untuk selalu
menjaga kebersihan, keindahan dan kerapian.
Mungkin bukan hal yang ‘waw’
bagi banyak orang, bahkan “itu sih sudah lazimnya begitu”. Namun di sini saya
melihat bahwa salah satu naluri saya sebagai seorang wanita yang “wani ing
tata” itu muncul dengan proses. Bukan bawaan atau ‘bakat’ tertentu. Yang mana
proses itu ditempa dengan kebiasaan. Dari kebiasaan itu melahirkan sebuah
karakter yang tanpa sadar mendorong kita kembali menyadari akan ‘naluri’ yang
–sebenarnya- tidak pernah meninggalkan kita.
Maka jika ada yang sesekali
berkomentar bahwa “kamu tuh, nyewek banget sih!” ketika seorang wanita bersikap
lembut, rapi, bersih dan gemulai (tapi bukan dandan menor lho ya..)Oh...no! itu
fitrah! Jangan heran jika kaum hawa ini seringkali membawa tisu, mengelap
tempat duduk sebelum memakainya, begidik melihat penampilan pria yang
‘acak-acakan’ bahkan sensitif pada bau asap “ahlul hisap” (ha.. yang terakhir
ini semoga bukan saya aja ya..).
Barangkali tidak semua wanita
begitu. Hal yang tidak bisa saya sangkal. Meski sifat dan naluri yang ‘keibuan’
itu –sekali lagi- tidak akan meninggalkannya. Naluri itu hanya menunggu waktu
di saat yang tepat untuk dapat dilihat dan dirasakan eksistensinya. Saya
percaya itu.
Maka berteman dan berinteraksi
dengan kawan yang sedikit jauh dari ‘naluri’nya, bagi sebagian mungkin menjadi
beban. Terlebih jika kawan itu adalah rekan kerja atau orang yang mau tak mau
harus menjadi partner sehari-hari. Yah, dalam sebuah kebersamaan, bagi wanita
dengan naluri kebersihan dan kerapian yang lebih tinggi akan dirugikan. Memang
hanya kawan anda yang terkadang hmm, berantakan. Tapi toh ternyata anda kena
impasnya bukan?
Hal yang pernah saya alami,
(atau jangan-jangan kawan saya alami?! Hadeuh...maaf deh) dan itu mnjadi sebuah
beban yang terlihat sepele, namun menyesakkan. Sampai seringkali saya berpikir
bahwa otak kanan kawan saya dulu itu lebih dominan, sedang saya lebih pada otak
kiri. Di mana menginginkan segala sesuatu ‘kembali’ ke tempat asalnya dengan
tertib, rapi dan indah. Tentu berbeda dengannya yang ‘asal’ taruh dan inginnya
bergerak cepat. Sedang saya lebih sering berpikir lebih lama agar pekerjaan
penataan lebih ‘perfect’.
Sering sangat saya harus menghela
napas, mengurut kesabaran dan mencoba berpikir bahwa ini merupakan masalah
sepele karena perbedaan cara berpikir saja. Lalu, Bagaimana pula jika kelak,
ternyata pasangan hidup saya (ehe.. uhuk!) memiliki pola pikir sepertinya
–kontras dengan saya-. Itu yang selama ini menjadi benteng saya untuk bersabar,
meski ternyata pada suatu waktu. Saya tidak tersadar bahwa semuanya tiba-tiba
menjadi titik klimaks yang ugh.. saya harus menyesal karena menangis
sesenggukan seperti anak kecil (asli.. seperti anak TK yang tak tahu malu...)
(nah lho,,, ngelantur lagi sih?)
Sebetulnya ini melenceng dari
apa yang tadinya ingin saya tulis. Namun sepertinya saya memang lebih sering
terjajah oleh plot dalam pikiran saya. Jadi... ya sudahlah. Setidaknya satu
titik beban berhasil saya buang dari hati ini. Semoga tidak lagi menjadi
ganjalan dan bermanfaat untuk kita semua. Selamat imtihan termin II, bit taufiq
wan najah... ^_^
Madinah AlBuuts AlIslamiyah,
Cairo, 10/5/2013