Tuesday 10 December 2013

Berduka untuk Mesir, Sepenggal Cerita di Musim Dingin

bismillah

Winter semakin terasa. Meski begitu pagi ini saya paksakan diri berangkat kuliah lebih awal. Jam pertama dimajukan, untuk mengejar materi sebelum ujian termin dua. Karena di whatsapp tersiar kabar bahwa hari ini akan kembali terjadi demonstrasi. Kabarnya kemarin ada dua mahasiswa yang terbunuh-innalillahi wa inna ilaihi roji’un- di asrama mahasiswa Mesir al-Azhar. Maka pagi ini saya punya harapan lebih, semoga bisa masuk kampus sebelum terjadi kerusuhan.
Namun harapan tinggal harapan, Alloh ta’ala yang menentukan. Bus berputar melalui Anwar Sadat karena jalan menuju Hay Sadis (lokasi asrama mahasiswa Mesir al-Azhar) macet. Saya cukup bersyukur, karena itu berarti bisa langsung turun di depan gerbang masuk kampus tanpa harus berjalan kaki. Sayangnya gerbang utama kampus sudah diblokir massa. Petugas khozinah yang tadi naik minibus bersamaan dengan bus saya, bisa masuk. Namun lebih dahulu mendapat pukulan dari perempuan-perempuan yang berada di dekat gerbang. Entah siapa entah mengapa. Pun nampak beberapa mahasiswi memanjat tembok pagar setinggi 2 meter.
Akhirnya saya bertemu Marwa, teman Mesir yang masih satu kelas. Ia mengajak masuk melalui gerbang lain. Tapi nihil, semua terkunci. Setidaknya selama perjalanan dalam bus tadi, saya sudah melihat bahwa semua gerbang utama telah diblokir.
Seorang ibu-ibu tambun ber-scraf merah tiba-tiba muncul dari kerumunan mahasiswi, seorang laki-laki menuntunnya. Jelas bahwa ia nyaris pingsan. Namun harus menunggu cukup lama hingga ada mobil yang bersedia membawanya pergi dari kerumunan massa. MasyaAlloh.
Bersama kawan lain, saya mengikuti gerombolan mahasiswi yang bertolak menuju gerbang Fakultas Farmasi. Entahlah, hampir setiap orang berjalan tak tentu arah, datang dan pergi begitu saja. Sementara ada teman yang memberitahu bahwa mereka berhasil masuk kampus dengan cara meloncat lewat jendela pos keamanan. Tanpa pikir panjang saya langsung bertekad, apapun yang terjadi, saya tidak akan masuk kampus dengan cara meloncat. Harus dengan sopan dan secara ‘mahasiswa akademis’. Hehe...
Alhamdulillah, gerbang fak. Farmasi telah dibuka. Saya memasukinya tanpa berdesak-desakan. Lancar. Hanya saja masih banyak gerombolan mahasiswa Mesir yang berkerumun di sekitar gerbang. Hingga tidak jauh dari gerbang, seorang mahasiswi Mesir bercelana hitam berteriak, wajahnya ditutup kain hitam sembari mengacungkan tongkat ia nampak kalap dan sedikit menjadi pusat perhatian. Saya agak terkejut, tapi juga sudah mewaspadai akan hal-hal semacam ini. Hanya beberapa detik kemudian ia berlari menuju gerbang. Massa nampak kembali memadati gerbang yang barusan saya lewati. Beberapa tongkat terayun ke atas, dan suana tampak mencekam diiringi teriak histeris dari kerumunan itu. Saya berjalan cepat menjauhi gerbang. Tak begitu lama, sirine ambulan menyala dan perlahan mengecil. Berkali-kali kami istighfar.
Kampus mulai ramai karena gerbang utama telah dibuka. Puluhan massa mengangkat tangan ke atas dengan ibu jari dilipat “Rabea”, bercampur dengan massa pendukung Sisi yang mengacungkan telunjuk dan jari tengah. Saya dan seorang kawan bergegas melewati kerumunan itu dan langsung menuju kelas. Dua jam dari jadwal yang direncanakan, baru kami bisa muhadhoroh dengan dosen. Sungguh sayang karena dua mata kuliah yang seharusnya disampaikan dalam dua jam harus disingkat menjadi tiga puluh menit. Saya kasihan dengan Dukturah Rotibah yang sangat tergesa menyampaikan Takhrij dan Dirasat al-Asanid. Dukturah Azza datang dan terpaksa materi kilat Dukturah Rotibah terpotong.
Selepas kelas berakhir, seorang kawan Mesir maju ke depan. Di belakang meja dosen yang dibuat lebih tinggi dari lantai kelas. Ia mengajak semua orang untuk berpartisipasi dalam hamlah. Dengan berisghtifar seribu kali dalam sehari,”Apakah ini berat untuk kalian?” tanyanya. Kami hanya tersenyum sembari mengiyakan. Juga sholat fajar setiap qobla Shubuh, tahajud dan meminta pada Alloh ta’ala agar rof’ul bala’ atas apa yang kini tengah terjadi. Juga agar satu sama lain memiliki nomor telepon agar dapat saling mengingatkan.
Sebelum semua beranjak pergi, Hagar-seorang kawan Mesir menghimbau semua untuk segera pulang dan menghindari Madinah alias asrama mahasiswa Mesir al-Azhar karena tengah terjadi demonstrasi di sana. Secepat mungkin kami pergi meninggalkan kampus, beberapa pergi dengan setengah panik.
Cukup lama hingga kami mendapat bus ke arah Darrasah. Sementara jalur bus ke arah itu tentu harus melintasi tepat di depan gerbang Madinah. Sekitar dua ratus meter dari gerbang asrama, jalanan menyepi. Mobil-mobil berputar haluan menuju jalur lain. Beberapa mahasiswa meloncati tembok pagar asrama untuk dapat keluar. Sementara banyak juga yang berada dalam asrama dan menatap jalanan dari jendela kamar mereka. Semakin mendekati gerbang asrama, sopir bus beberapa kali berteriak,”Tutup jendela! Akan ada gas air mata!” oenumoang yang berjejal dalam bus menurut. Seratus meter dari gerbang asrama, tercium aroma aneh-saya belum (semoga tidak pernah) mencium atau terkena gas air mata- udara nampak berkabut putih, nampak pagar paku telah dipasang dan jalan berdebu, juga berserakan pasir batu. Menunjukkan bekas adanya kerusuhan.
Bus terpaksa berputar haluan. Kembali menuju kampus putri al-Azhar. Melewati ACC (al-Azhar Conference Center), nampak ratusan demonstran telah memadati jalanan depan Majma al-Buhuts. Kemacetan tak terhindarkan. Mustasyfa Ta’min dan sekitarnya mulai macet total. Namun bus kami menuju Anwar Sadat. Alhamdulillah perjalanan lancar hingga asrama Madinah al-Buuts al-Islamiyah, alias asrama mahasiswa asing al-Azhar yang kami tempati.
Kira-kira begitulah gambaran situasi Cairo saat ini, khususnya asrama dan kampus mahasiswa al-Azhar. Hal ini patut disayangkan karena semua itu mengganggu aktifitas perkuliahan, terlebih di saat menjelang ujian termin pertama yang sebentar lagi digelar.
Kita sebagai mahasiswa asing yang ‘bertamu’ dan ‘menumpang’ memang memiliki kewajiban utama belajar, terlepas dari berbagai macam situasi politik yang memanas. Siapapun yang memimpin negeri Kinanah, bagaimanapun kebijakan dalam dan luar negeri, hingga perekonomiannya tidak perlu kita turut campur tangan. Tugas kita hanya satu, belajar!
Benarkah itu sikap seorang akademis sejati? Sesungguhnya saya cukup miris jika mendengar komentar, “terserah mau bagaimana yang terjadi, yang penting kita-mahasiswa asing- belajar saja!” Sejatinya kita tidak hanya melihat permasalahan dari luarnya saja. Tidak ada musabbab kecuali didahului sebab.
Benar, tugas utama sebagai mahasiswa adalah belajar, mengkaji, berdiskusi, talaqqi dan bebagai aktifitas akademis lainnya. namun saya tidak akan mengesampingkan sikap saya sebagai seorang Muslim, atau minimal sebagai seorang ‘manusia’ lah. Anda boleh berpendapat lain, tetapi buat saya, tidak sepantasnya kita bersikap acuh dan beranggapan bahwa ‘tidak terjadi apa-apa’, hanya karena status kita sebagai mahasiswa. Padahal secara dengan mata kepala kita tahu ada banyak korban berguguran, fasilitas dihancurkan dan kedzaliman dikukuhkan.
Lalu, selain berdoa-yang merupakan senjata seorang muslim- apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan itu adalah PR yang harus dijawab dengan bijak dan tidak tergesa-gesa. Selamat menjawabnya...

ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (Yusuf: 99)

Cairo, 10 Desember 2013, 18:27 CLT