bismillah
Winter
semakin terasa. Meski begitu pagi ini saya paksakan diri berangkat kuliah lebih
awal. Jam pertama dimajukan, untuk mengejar materi sebelum ujian termin dua. Karena
di whatsapp tersiar kabar bahwa hari ini akan kembali terjadi demonstrasi. Kabarnya
kemarin ada dua mahasiswa yang terbunuh-innalillahi wa inna ilaihi roji’un- di
asrama mahasiswa Mesir al-Azhar. Maka pagi ini saya punya harapan lebih, semoga
bisa masuk kampus sebelum terjadi kerusuhan.
Namun harapan
tinggal harapan, Alloh ta’ala yang menentukan. Bus berputar melalui Anwar Sadat
karena jalan menuju Hay Sadis (lokasi asrama mahasiswa Mesir al-Azhar) macet. Saya
cukup bersyukur, karena itu berarti bisa langsung turun di depan gerbang masuk
kampus tanpa harus berjalan kaki. Sayangnya gerbang utama kampus sudah diblokir
massa. Petugas khozinah yang tadi naik minibus bersamaan dengan bus
saya, bisa masuk. Namun lebih dahulu mendapat pukulan dari perempuan-perempuan
yang berada di dekat gerbang. Entah siapa entah mengapa. Pun nampak beberapa
mahasiswi memanjat tembok pagar setinggi 2 meter.
Akhirnya saya
bertemu Marwa, teman Mesir yang masih satu kelas. Ia mengajak masuk melalui
gerbang lain. Tapi nihil, semua terkunci. Setidaknya selama perjalanan dalam
bus tadi, saya sudah melihat bahwa semua gerbang utama telah diblokir.
Seorang ibu-ibu
tambun ber-scraf merah tiba-tiba muncul dari kerumunan mahasiswi, seorang
laki-laki menuntunnya. Jelas bahwa ia nyaris pingsan. Namun harus menunggu
cukup lama hingga ada mobil yang bersedia membawanya pergi dari kerumunan
massa. MasyaAlloh.
Bersama kawan
lain, saya mengikuti gerombolan mahasiswi yang bertolak menuju gerbang Fakultas
Farmasi. Entahlah, hampir setiap orang berjalan tak tentu arah, datang dan
pergi begitu saja. Sementara ada teman yang memberitahu bahwa mereka berhasil
masuk kampus dengan cara meloncat lewat jendela pos keamanan. Tanpa pikir
panjang saya langsung bertekad, apapun yang terjadi, saya tidak akan masuk
kampus dengan cara meloncat. Harus dengan sopan dan secara ‘mahasiswa akademis’.
Hehe...
Alhamdulillah,
gerbang fak. Farmasi telah dibuka. Saya memasukinya tanpa berdesak-desakan. Lancar.
Hanya saja masih banyak gerombolan mahasiswa Mesir yang berkerumun di sekitar
gerbang. Hingga tidak jauh dari gerbang, seorang mahasiswi Mesir bercelana
hitam berteriak, wajahnya ditutup kain hitam sembari mengacungkan tongkat ia
nampak kalap dan sedikit menjadi pusat perhatian. Saya agak terkejut, tapi juga
sudah mewaspadai akan hal-hal semacam ini. Hanya beberapa detik kemudian ia
berlari menuju gerbang. Massa nampak kembali memadati gerbang yang barusan saya
lewati. Beberapa tongkat terayun ke atas, dan suana tampak mencekam diiringi
teriak histeris dari kerumunan itu. Saya berjalan cepat menjauhi gerbang. Tak begitu
lama, sirine ambulan menyala dan perlahan mengecil. Berkali-kali kami
istighfar.
Kampus mulai
ramai karena gerbang utama telah dibuka. Puluhan massa mengangkat tangan ke
atas dengan ibu jari dilipat “Rabea”, bercampur dengan massa pendukung Sisi
yang mengacungkan telunjuk dan jari tengah. Saya dan seorang kawan bergegas
melewati kerumunan itu dan langsung menuju kelas. Dua jam dari jadwal yang
direncanakan, baru kami bisa muhadhoroh dengan dosen. Sungguh sayang
karena dua mata kuliah yang seharusnya disampaikan dalam dua jam harus
disingkat menjadi tiga puluh menit. Saya kasihan dengan Dukturah Rotibah yang
sangat tergesa menyampaikan Takhrij dan Dirasat al-Asanid. Dukturah
Azza datang dan terpaksa materi kilat Dukturah Rotibah terpotong.
Selepas kelas
berakhir, seorang kawan Mesir maju ke depan. Di belakang meja dosen yang dibuat
lebih tinggi dari lantai kelas. Ia mengajak semua orang untuk berpartisipasi
dalam hamlah. Dengan berisghtifar seribu kali dalam sehari,”Apakah ini
berat untuk kalian?” tanyanya. Kami hanya tersenyum sembari mengiyakan. Juga sholat
fajar setiap qobla Shubuh, tahajud dan meminta pada Alloh ta’ala agar rof’ul
bala’ atas apa yang kini tengah terjadi. Juga agar satu sama lain memiliki
nomor telepon agar dapat saling mengingatkan.
Sebelum semua
beranjak pergi, Hagar-seorang kawan Mesir menghimbau semua untuk segera pulang
dan menghindari Madinah alias asrama mahasiswa Mesir al-Azhar karena
tengah terjadi demonstrasi di sana. Secepat mungkin kami pergi meninggalkan
kampus, beberapa pergi dengan setengah panik.
Cukup lama
hingga kami mendapat bus ke arah Darrasah. Sementara jalur bus ke arah itu
tentu harus melintasi tepat di depan gerbang Madinah. Sekitar dua ratus
meter dari gerbang asrama, jalanan menyepi. Mobil-mobil berputar haluan menuju
jalur lain. Beberapa mahasiswa meloncati tembok pagar asrama untuk dapat
keluar. Sementara banyak juga yang berada dalam asrama dan menatap jalanan dari
jendela kamar mereka. Semakin mendekati gerbang asrama, sopir bus beberapa kali
berteriak,”Tutup jendela! Akan ada gas air mata!” oenumoang yang berjejal dalam
bus menurut. Seratus meter dari gerbang asrama, tercium aroma aneh-saya belum
(semoga tidak pernah) mencium atau terkena gas air mata- udara nampak berkabut
putih, nampak pagar paku telah dipasang dan jalan berdebu, juga berserakan
pasir batu. Menunjukkan bekas adanya kerusuhan.
Bus terpaksa berputar
haluan. Kembali menuju kampus putri al-Azhar. Melewati ACC (al-Azhar Conference
Center), nampak ratusan demonstran telah memadati jalanan depan Majma
al-Buhuts. Kemacetan tak terhindarkan. Mustasyfa Ta’min dan sekitarnya mulai
macet total. Namun bus kami menuju Anwar Sadat. Alhamdulillah perjalanan lancar
hingga asrama Madinah al-Buuts al-Islamiyah, alias asrama mahasiswa
asing al-Azhar yang kami tempati.
Kira-kira
begitulah gambaran situasi Cairo saat ini, khususnya asrama dan kampus
mahasiswa al-Azhar. Hal ini patut disayangkan karena semua itu mengganggu
aktifitas perkuliahan, terlebih di saat menjelang ujian termin pertama yang
sebentar lagi digelar.
Kita sebagai
mahasiswa asing yang ‘bertamu’ dan ‘menumpang’ memang memiliki kewajiban utama
belajar, terlepas dari berbagai macam situasi politik yang memanas. Siapapun yang
memimpin negeri Kinanah, bagaimanapun kebijakan dalam dan luar negeri, hingga
perekonomiannya tidak perlu kita turut campur tangan. Tugas kita hanya satu,
belajar!
Benarkah itu
sikap seorang akademis sejati? Sesungguhnya saya cukup miris jika mendengar
komentar, “terserah mau bagaimana yang terjadi, yang penting kita-mahasiswa
asing- belajar saja!” Sejatinya kita tidak hanya melihat permasalahan dari
luarnya saja. Tidak ada musabbab kecuali didahului sebab.
Benar, tugas
utama sebagai mahasiswa adalah belajar, mengkaji, berdiskusi, talaqqi dan
bebagai aktifitas akademis lainnya. namun saya tidak akan mengesampingkan sikap
saya sebagai seorang Muslim, atau minimal sebagai seorang ‘manusia’ lah. Anda boleh
berpendapat lain, tetapi buat saya, tidak sepantasnya kita bersikap acuh dan
beranggapan bahwa ‘tidak terjadi apa-apa’, hanya karena status kita sebagai
mahasiswa. Padahal secara dengan mata kepala kita tahu ada banyak korban
berguguran, fasilitas dihancurkan dan kedzaliman dikukuhkan.
Lalu, selain
berdoa-yang merupakan senjata seorang muslim- apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan
itu adalah PR yang harus dijawab dengan bijak dan tidak tergesa-gesa. Selamat menjawabnya...
ادْخُلُوا مِصْرَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ (Yusuf:
99)
Cairo,
10 Desember 2013, 18:27 CLT