Sunday 19 August 2012

Idul Fitri kali ini....

bismillah

I’dun sa’id!!!
Taqobbalallohu minna wa minkum!!!
Wa ja’alanalloh wa iyyakum minal aidin wal faizin!!!
Kullu ‘aam wa antum bi khoir!!!

Alhamdulillah, itu yang jadi kalimat utama untuk hari ini. Meski lebaran kali ini cukup berbeda dari 20 lebaran sebelumnya. Di hari penuh kemenangan ini, semua terasa ‘bahagia’.
Dan hmm... terdengar cukup childish memang. Tapi saya akui, es krim tetap jadi yang nomor satu buatku di hari raya ini (dan hari-hari biasanya), dan air mata akhirnya tumpah juga mengingat lebaran kali ini tanpa kebersamaan dengan Ummi dan Abi, juga Mas Us dan Jundi.
Ummi , Abi,”besok kita telpon dan puas-puasan ya...”
Mas Us di Suriah, smoga Ied nya lancar-lancar saja meski berada di negri konflik dan dalam keadaan mengungsi. “Mas, aku pengen telpon tapi kok nomermu gak aktif terus ya...?”
Jundi, Ustadz Macho,”Aku kangen dengan keluguan dan joke-joke spontanmu...”
Eyang, Mbah ty... “Maaf, tahun ini gak bisa sungkem... smoga di beri umur panjang, Yang... Mbah...”
Aku kangen suasana silaturrahim di Indonesia...
Kangen dengan liburannya...
Menikmati berbagai air terjun di Tawangmangu. Jumog...Grojogan Sewu dengan ribuan anak tangga dan monyet-monyet kreatifnya... Parang Ijo... brrr.. ku rindukan kesegaran itu...
Menelusuri pantai-pantai di selatan Jogja... Mas Us yang jadi sopir kebanggaan keluarga... Kukup, krakal, Baron... terakhir kita ke sana sebelum perpisahan Mas Us ke Yordan... eh, malah nyasar ke Suriah...
Aku kangen Bulek Ida dan anak-anaknya yang paling imyut sedunia... Muti’ yg kreatif... Fida yang diam-diam cabe rawit... Dina, siluman Tomat (saking pipinya embem)... Syafiq, yang mulai kliatan dewasanya,... Fatan, yang usil tapi nggemesin... en, Zidan... aku baru ketemu kamu di fb... huwaaaa semua imut2.. sholeh n sholehah.. mbak Inun kangeeeen....
Kangen,
Kangen,
Kangen,
Pengen pulaaaaang......
Hiks.
>_<

Saturday 18 August 2012

Aku dan AMAZING (sebuah catatan kecil)

bismillah

Mungkin ini hal yang terbilang sepele. Tapi buat saya, tidak.
Masih terhitung akhir Ramadhan. Teman-teman Indonesia yang lulus seleksi beasiswa dan ditempatkan di asrama internasional Al Azhar, membentuk sebuah wadah di setiap tahun kedatangan. Putra dan putri.
Kami menamainya marhalah AMAZING. 
Dengan harapan masing-masing menjadi pribadi yang ‘amazing’ untuk ummat, bangsa, dan diri masing-masing. Kalau dikalkulasi, hampir satu tahun marhalah ini terbentuk. Tentu saya hanya menikmati sekitar 7 atau 8 bulan saja, mengingat keterlambatan saya dalam mendapat visa ke mesir.
Setahun berlalu. Dan pemilihan ketua baru untuk putra maupun putri dilangsungkan di rumah salah seorang anggota putri yang telah berkeluarga di kawasan Tub Romly, Nasr City. Masih dalam Ramadhan. Berharap seiring dengan masa Ramadhan yang belum berakhir, turut mendapat suntikan barokah dalam pemilihan ini.
Dari segi kuantitas anggota, memang tidak mencapai angka yang fantastis. Bahkan terhitung marhalah dengan jumlah anggota paling sedikit di banding para senior. Namun justru hal itu yang membuat suasana ‘kekeluargaan’ kami begitu erat. Terlebih anggota putri yang hanya berjumlah 10 orang.
Dan ada yang terasa cukup menyesakkan buat saya. Ya, awalnya kandidat utama untuk ketua putri adalah seorang sahabat karib saya. Namun di tengah pemilihan, secara spontan dan di luar dugaan saya, ia mengundurkan diri. Bukan tanpa alasan memang, dan sayangnya, saya paham betul kondisi yang ia alami. Jadi, dengan berat –sangat- saya dan seorang kawan yang juga menjadi kandidat harus merelakannya mengundurkan diri.
Pemilihan babak kedua berlanjut. Dan, ya Rabb. Akhirnya saya yang harus menerima amanah tersebut.
Ya, ini terlihat biasa saja. Bukan sesuatu yang ‘wah’ buat kebanyakan orang. Tapi sepertinya tidak buat saya. Memang sempat  beberapa kali saya menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi. Tapi rasanya kali ini berbeda.
Tentu saja, yang saya pimpin adalah orang-orang yang kematangan dan kedewasaannya sama bahkan jauh melampaui saya. Kawan-kawan masisir, dalam pandangan saya adalah sosok-sosok yang mengagumkan. Bukan saja dari segi akademis. Namun dari ketekunan dan ijtihad mereka dalam berbagai lahan yang digeluti. Saya? Bukan apa-apa.
Fenomena itu saya sadari. Dan saya juga cukup sadar akan kelemahan diri. Terlebih untuk menjadi seorang pemimpin. Satu kelemahan besar yang saya miliki adalah tidak dapat melakukan pengambilan keputusan (decision making) dengan cepat.
Ya, seharusnya seorang pemimpin dituntut untuk intuitif, memiliki rasa peka yang besar dan juga cepat dalam mengambil keputusan. Tidak perlu jauh-jauh, dari sebuah contoh sehari-hari saja, bisa menjadi analogi yang tepat. Jika lazimnya seseorang (wanita khususnya) memasak di dapur selama satu jam. Maka saya menghabiskan waktu satu setengah jam, bahkan dua jam.
Ya, setengah jam pertama saya gunakan untuk berpikir keras.  Tentang apa nanti yang pertama kali saya lakukan di dapur. Mana yang seharusnya lebih dulu saya kerjakan, menyiapkan bahan utama atau bumbunya? Mana yang seharusnya lebih dahulu untuk dikerjakan agar efektivitas waktu mampu dioptimalkan. Saya selalu ingin meminimalisir kesalahan, namun itu juga menuntut saya –yang tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat- untuk menghabiskan banyak waktu. Tidak sesuai dengan tujuan awal.
Dan dari hal-hal seperti itu, saya membangun karakter diri untuk hal yang lebih besar lagi. Saya tidak tahu, apakah karakter yang demikian bisa berubah –untuk yang lebih baik- atau itu memang sesuatu yang melekat dalam diri dan tak dapat dipisahkan.
Saya tahu, bahwa kawan-kawan akan membantu di perjalanan ini nantinya. Karena kita adalah keluarga. Bersatu dalam ukhuwah abadi. Ukhuwah Islamiyah.
In syaalloh…


Cairo, akhir Ramadhan 1433 H


Sunday 5 August 2012

Benar, anda Benar?

bismillah

Sepulang buka bersama marhalah kekeluargaan di Hay Asyir, Mutsallas.
Ketua kekeluargaan berbaik hati mengantar saya dan seorang kawan kembali ke asrama. Malam memang, sekitar pukul setengah sepuluh. Meski di jam itu jalanan Cairo masih ramai, karena di musim panas, masyarakat Mesir banyak menghabiskan waktu malam untuk beraktifitas sebagai ‘balas dendam’ atas teriknya siang hari.
Cairo seperti kota yang nyaris 24 jam berdenyut. Terlebih Ramadhan ini, di mana masjid-masjid selalu ramai dengan tarawih dan berlanjut dengan qiyamullail hingga dini hari. Bus besar yang dikelola pemerintah Mesir, beroperasi mulai sekitar jam 6 pagi hingga pukul 12 malam. Sementara minibus dan tramco, nyaris selalu ada. 24 jam. Berbeda dengan di Indonesia, khususnya kota Solo, kampung halaman saya. Bus dan angkot sudah nyaris tidak ada jika lewat jam 5 sore hari. Saya melihat bahwasanya tenaga dan spirit orang Arab –mesir khususnya- cukup berjarak jauh dengan orang Indonesia. Meski begitu, orientasi mereka bukan ‘uang’ semata. Itu yang saya lihat selama ini.
Kembali pada senior yang mengantar kami berdua pulang. Karena jam sepuluh adalah batas akhir kami keluar asrama –jika tidak ingin menandatangani buku hitam, maka Mas Hasan –sebut saja begitu- menyetop taksi. Saya dan kawan berpandangan dengan bahasa tanpa kata, “wah, mahal nih. Gimana dong?!”
Untuk kalangan masisir, taksi adalah transportasi yang cukup jarang kami gunakan. Lebih baik naik bus, yang ongkosnya tidak bikin kantong tipis. Tapi Mas Hasan segera menangkap isi kepala kami, “Biar cepet, naik taksi aja ya?”. Bisa saya bilang, bahwa beliau sangat mengkhawatirkan keselamatan kami. Intinya, terharu deh. Baru kali ini menemukan senior yang benar-benar perhatian dan merasa bertanggung jawab atas anggotanya.
Beliau adalah kakak kelas kawan saya. Jadi wajar saja sangat perhatian dengan kami berdua –kan ada adik almamaternya. Di sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 40 menit itu, terjadi perbincangan dua arah antara beliau dan kawan saya. Sementara saya lebih memilih untuk diam dan mendengar alunan Musyari Rasyid dari MP3 di balik jilbab. Inti dari yang saya dengar, beliau memberi paparan seputar dunia masisir. Tentang fenomena globalisasi yang berujung pada aktifitas masisir, di mana geliat intelektualitas semakin lesu, terkalahkan oleh hasrat finansial yang menandalkan profit semata. Cukup panjang beliau bercerita, dan sesekali kawan saya turut berargumen. Sampai air matanya menitik. terharu dengan perhatian kakak almamaternya.
Saya iri? Iya. Ternyata memang kita tidak bisa menilai penampilan seseorang. Orang yang kesehariannya memakai celana jins, penampilan yang agak jauh dari kesan islami, bahkan terkadang merokok. Ternyata memiliki perhatian jauh dengan fenomena lingkungan di sekitarnya, tentang pengabdian dan sumbangsih terhadap ummat Islam. Yah, meski juga bukan jaminan bahwa seluruhnya bisa dibenarkan.
Suasana menjadi tenang. Mereka terdiam, saya kecilkan alunan murottal. Dan Mas Hasan mengajak saya bicara, “Ainun dari Ngruki kan ya?” saya mengamini. “Bisa bahasa Jawa kan?” kembali saya amini. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa kenalan dan adik kelasnya yang sempat belajar di Ngruki juga, sesekali dengan bahasa Jawa.
Dengan bahasa yang tidak to the point beliau memberi wejangan. Cukup membuat saya tahu tentang anak Ngruki di matanya. “Kita harus menerapkan apa yang dipelajari. Katanya, innamal mukminuna ikhwah. Ya harus di terapkan, jangan kok mengurung diri, belajar sendiri. Harus sosialisasi kan? Itu bukti “ikhwah”nya.
Di satu sisi saya merasa tersindir. Soalnya, hehe, saya rasa itu ada benarnya –buat saya lho, bukan buat senior dan alumnus Ngruki lainnya. Namun di sisi lain saya tidak setuju. Terlebih ketika dia berkata,”Jangan merasa benar, bla bla bla...”
Karena buat saya, kita memang harus selalu menjadi yang “benar”. Dalam arti, tidak mengakui sesuatu yang jelas-jelas itu salah dan menyimpang. Okelah, sebagai insan akademisi tidak berarti mengakui segala sesuatu sebagai “kebenaran”. Harus ada prinsip dan idealisme yang harus tertancap kokoh. Misalnya saja, ada 2 pendapat yang berlawanan, kontradiksi. Tidak bisa kita membenarkan keduanya, juga tidak bisa menyalahkan keduanya. Kita harus berdiri di salah satunya. Sesuai prinsip kita. Ya, kalau dalam ilmu mantiq “annaqidhoni la yajtamiani”. Anda melihat sebuah benda bergerak, sementara ada orang lain melihat benda tersebut diam. Berdiri sebagai akademisi, tidak bisa kita mengatakan “o, benda itu bergerak tapi juga diam” nah lho.. yang benar hanya satu. Satu.
Karena menurut saya, merasa “benar” itu harus. Bukan berarti tanpa ilmu. Namun sejauh mana kebenaran yang kita peroleh dari apa yang dipelajari, harus diterapkan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Jika toh, ternyata seiring berjalannya waktu, kita tahu hal itu menyimpang, ya harus siap banting setir.
Dalam melihat permasalahan, bolehlah melihat berbagai pendapat. Namun berdiri di salah satunya, bukan berarti menafikan yang lain. Tapi itu adalah idealisme.
Wallohu ta’ala a’lam