Saturday 31 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN 6

bismillah

“Tidak bisa begitu. Memang terjemah dokumen-dokumen tersebut tidak dibutuhkan dalam pembuatan visa. Namun itu akan dibutuhkan di mesir nanti. Karena Al Azhar tidak mau menerima dokumen-dokumen kamu, kecuali dengan stempel dari kami –baca: Kedubes Mesir-“
Pun ketika aku meminta daftar peserta yang lulus seleksi, supaya bisa menghubungi salah satu di antara mereka. Barangkali bisa berangkat bersama. Terlebih aku sama sekali belum pernah naik pesawat, penerbangan domestik sekalipun. Namun pihak kedubes sengaja merahasiakan nama-nama yang lulus seleksi. Aku husnudzon saja, bukankah jumlah peserta yang lulus 90 orang… setidaknya, pasti ada juga lah yang mengurus visa, jadi bisa berkenalan dan berangkat bersama. namun ternyata aku tidak menemukan seorangpun. Heran. Lantas bagaimana dengan yang lain? Nasib 90 orang itu… apa sudah berangkat semua? Mengingat perkuliahan di Al Azhar sudah dimulai dan awal tahun nanti sudah ujian termin satu. Sesuai saran kakak kelas, aku harus segera mengurus visa. Cepat sampai dan bisa mengejar kuliah.
Petugas wanita itu menyuruh kami untuk datang lagi, dengan dokumen-dokumen yang telah diterjemahkan beserta legalisir dari Kementrian Hukum dan HAM dan Kementrian Luar Negeri.
Keluar dari kedubes, Pakde Paino mengajak kami untuk pergi ke kemenham dan kemenlu. Meminta dan bertanya seputar persyaratan legalisir dokumen. Nampaknya beliau cukup berpengalaman dalam pengurusan visa setelah sebelumnya berkunjung ke Thailand dalam rangka kunjungan kerja.
Akhirnya… kami harus pulang ke Solo dengan tangan hampa. No visa.
Pakde Paino yang baik hati menawarkan bantuan untuk melegalisir di dua kementrian. Jika nanti semua dokumen-dokumen sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, agar kukirim ke Jakarta supaya Pakde yang mengurus legalisir di dua kementrian.
Aku dan ummi mengiyakan. Meski kami berniat nantinya, segala sesuatu akan kami urus sendiri supaya tidak merepotkan pakde.
Malam itu juga aku dan ummi meluncur ke Solo. Kehabisan tiket Jakarta-Solo, agak panik juga. akhirnya kami pun beralih Jakarta-Jogjakarta, tiket terakhir (alhamdulillah bangeet). Sampai di Stasiun Tugu pukul 7 pagi. Kami langsung membeli tiket prameks Jogja-Solo, pagi itu juga.
Sampai di Solo sekitar pukul 9 pagi. Setelah membersihkan diri, aku langsung tancap gas menuju RSUD. Saat itu juga. Untuk kedua kalinya, aku general check up di rumah sakit yang sama. Alhamdulillah, biayanya sedikit lebih murah dibanding saat pertama kali check up. Meski memakan waktu agak lama. Mengingat aku diikutsertakan dengan antrian para dokter. Bahkan seorang pasien di poli mata bertanya padaku, “mbak, dokter juga ya? Kenapa periksa mata, mbak?”
Burung di rumah pakde yg slalu berkicau saat dini hari
Aku tersenyum geli,saya  nampang dokter ya, mas? Untuk kedua kalinya, di tempat yang sama. Aku dikira dokter. Sama seperti saat pertama kali check up. “Mbak ko-as juga ya?” Hehe.

Tuesday 20 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...5

bismillah

Dan suatu hari, saat akan pulang ke Solo. Sebuah sms dari ummi mengejutkanku. “Nun, sujud syukur! Kamu diterima beasiswa ke Mesir.”
Allohu akbar!
Tahu apa reaksi pertamaku sebelum sujud syukur?
Menangis.
“Masa sih neng?” tanyaku tak percaya pada sobat karibku, Inayah. Gadis bandung itu meyakinkanku. Meski aku sebetulnya tidak kuasa jika meninggalkannya.
“Neng, aku sudah mulai betah di sini. Ndak mau kita pisah, neng…” sok dramatis. Hehe. Tapi asli, aku menangis lho…
Bayangan negeri Mesir berkelebat. Ya, seperti dalam mimpiku beberapa tahun silam. Tapi rasanya masih kurang percaya. Aku, satu-satunya anak perempuan ummi dan abi. Akan rihlah tholabul ilmi, sejauh itu?
Memang, sengaja aku tidak mengganti nomor telepon. Nomor yang kudaftarkan di kedubes. Karena seperti yang kudengar, bahwa kedubes memberitahu peserta yang lolos seleksi via telepon. Jika ganti nomor, wah… hilang sudah harapan itu. Kedubes mesir tidak akan menelpon keduakali atau mencari tahu di mana alamat anda. Alhamdulillah, selama satu bulan menjadi mahasantri, ku titipkan handphone dan nomorku pada adik tercinta. I love you, Jun!
Begitu pulang, aku segera menelpon kedubes, pada jam kerja. Seorang petugas perempuan –kutahu dari suaranya- menjelaskan persyaratan yang harus kupenuhi untuk mendapat visa pelajar ke mesir. Uang 200 ribu rupiah, paspor, dan pas photo dengan background putih. Dan menyuruhku untuk segera memenuhi persyaratan itu, secepatnya.
Esoknya, ku telpon kedubes. Menanyakan lebih detilnya. Siapa saja yang lulus seleksi, teknis keberangkatan, dan hal-hal penting seputar beasiswa. Tidak seperti yang kuduga. Ternyata untuk tiket keberangkatan, tidak termasuk beasiswa. Awalnya aku bingung. Ini mana beasiswanya? Visa bayar, tiket keberangkatan juga beli sendiri? Dan itu juga yang membuatku nyaris putus asa. Mengingat keterbatasan biaya orang tua. Kulihat motivasi yang diberikan ummi pun menurun. Menurun pula semangatku. Tapi, apa hanya karena motif ekonomi aku akan menyerah? Padahal ini satu-satunya kesempatan…
Entah untuk keberapakalinya ku telpon kedubes. Menanyakan banyak hal. Yang juga berakhir dengan banyak kata, “maaf, kami tidak tahu-menahu soal hal ini, besok saya tanyakan konsuler ya?”.
Dan titik temu itu muncul saat aku mendapat keterangan bahwa beasiswa yang dimaksud adalah beasiswa full setiba di Mesir. Namun untuk keberangkatan memang tidak diberi tiket.
Kujelaskan hal tersebut pada ummi dan abi. Dan Alhamdulillah, mereka sepakat untuk hal ini. “kalau begitu, in syaalloh kita masih mampu. Tapi jika harus dengan  biaya hidup di sana, sepertinya kita belum mampu.” Alhamdulillah ya Rabb…
Kesibukanku selanjutnya adalah menelpon kedubes dan mencari kenalan yang juga mahasiswa di mesir. Alhamdulillah ada beberapa kakak kelas sewaktu di pesantren yang siap membantu mengurus kedatanganku di mesir nantinya. Ya, tak apalah. Meski mereka laki-laki.
Di samping itu, kedubes memberi tambahan persyaratan. SKCK, surat MCU dari RSUD, Akte, Ijazah, semua diterjemahkan ke bahasa Arab. Kata pihak kedubes, dokumen-dokumen tersebut memang tidak dibutuhkan untuk pembuatan visa. Namun dibutuhkan nanti setibanya di Cairo.
Sementara dari keterangan beberapa kakak kelas di Mesir, bahwa menerjemahkan di Mesir lebih murah dan lebih terjamin daripada menerjemahkan dokumen di Indonesia. Berbekal informasi tersebut, aku dan ummi langsung meluncur ke Jakarta. Kedubes Republik Arab Mesir. Dan di Jakarta, kami mendapat sambutan hangat dan tempat menginap di rumah seorang sepupu ummi. Sebut saja Pakde Paino.
Ditemani Pakde, kami menuju kedubes mesir di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Kami sengaja datang untuk mengambil visa. Sedang untuk terjemah dokumen-dokumen lain, akan kulakukan setibaku di mesir, sebagaimana saran kakak kelas yang tinggal di Mesir. Hal itu kujelaskan pada pihak  Kedubes setelah menanti beberapa jam lamanya. Dan, tahu apa jawaban pihak kedubes?

Sunday 18 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...4

bismillah

Selanjutnya, test lisan yang meliputi hafalan Al Quran dan psikotest. Langsung dengan syekh berkebangsaan Mesir. Seorang murid laki-laki Ustadz Abi membawakan sejumlah map pada kami. Ya, map itu berisi fotokopi ijazah dan KTP yang selasa kemarin kami kirim dari Solo dan telah didaftarkan di kedubes. Ya… walaupun tetap saja, nama kami tidak tertera di daftar “pendaftar” seleksi, yang penting kami bisa ikut ujian. Adapun hasilnya, kami serahkan sepenuhnya pada Alloh.
Selesai test, pukul dua siang, kami diperbolehkan keluar dari kompleks kedubes di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Kami pun langsung menuju Solo. Pulang.
Sepekan kemudian, -berdasar pengalaman murid Ustadz Abi, aku menelpon Kedubes untuk menanyakan hasil seleksi. Namun petugas kedubes sendiri tidak tahu menahu mengenai hal tersebut.
Sepekan berikutnya, ku telpon lagi. Nihil.
Bulan berikutnya, aku masih menggantungkan harap. Ternyata sama, nihil.
Kuputuskan bahwa aku tidak masuk dalam seleksi 90 peserta yang lolos seleksi beasiswa Al Azhar. Ya, meskipun beberapa kali aku bermimpi menginjakkan kaki di bumi kinanah. Nampaknya Alloh belum mengijinkan. Pun seandainya mengikuti seleksi non-beasiswa, orangtuaku kurang menyanggupi, mengingat kakakku –yang jelas-jelas mendapat beasiswa ke timur tengah juga butuh biaya untuk keberangkatannya. Meski tiket berangkat dan segala keperluan sudah dijamin dalam beasiswanya.
Enam bulan berlalu, aku mendaftar di sebuah sekolah tinggi pemikiran Islam, masih di Jawa Tengah. Alhamdulillah diterima. Aku yakin bahwa melanjutkan studi di sini adalah yang terbaik. Mengingat entah berapakali istikhoroh yang kulakukan. meski beberapa Ustadzah ma’had menyayangkan pilihanku. Beliau-beliau menyuruhku untuk melanjutkan studi ke sebuah perguruan tinggi Islam negeri, yang lebih memiliki “prospek” cerah ke depannya.
Sebulan lamanya terlewati. Ya, aku dan seorang sahabat karib dari Bandung, -yang dulunya satu pesantren kembali belajar bersama. Karena sekolah tinggi yang masih menginduk dengan sebuah pesantren tahfidz, kami serasa “nyantri” kembali. Meski lebih bebas dibanding santriwati-santriwati di bawah kami. Tentu saja, kami kan mahasantri. Hehe

Saturday 17 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...3

bismillah

Ya, ternyata ada email ralat dari kedubes. Jadi persyaratan yang kemarin dikirim lewat email itu, bukan syarat pendaftaran, melainkan persyaratan bagi yang telah lulus seleksi beasiswa. Ya Rabb… ah tidak mengapa!
Ya, hari pertama seleksi di kedubes sudah terlewat. Masih tersisa 6 hari.
Sementara dalam email ralat persyaratan pendaftaran, di sebutkan bahwa kami cukup membawa fotokopi KTP dan Ijazah. Wealaah…
Tapi ternyata kami harus mendaftar dahulu, barulah setelah itu kedubes memberitahu kapan waktu seleksinya. padahal sisa waktu pendaftaran hampir habis.
Kebetulan ada teman Ustadz Rizal yang juga membantu murid-murid aliyah-nya untuk ikut seleksi di kedubes Mesir. Sebut saja namanya Ustadz Abi.  Bersama beliau dan 4 muridnya, kami saling membantu dan bekerjasama untuk mengikuti seleksi di Jakarta.
Berhubung waktu pendaftaran semakin tipis, kami memutuskan untuk mengirim fotokopi persyaratan ke teman Ustadz Abi di Jakarta, agar didaftarkan seleksi beasiswa di kedubes.
Selasa dokumen dikirim. Rabu sampai. Kamis di daftarkan. Dan Jum’at kami berangkat ke Jakarta. Aku, seorang kawan, Ustadz Abi dan keempat muridnya. Ustadz Rizal mendoakan sebelum kami berangkat dan meminta maaf karena tidak bisa mengantar sampai Jakarta. Kami pun meminta maaf dan berterima kasih atas bantuan Ustadz hingga sejauh ini.
Sampai di Kedubes, pukul 6 pagi. Setelah MCK dan sarapan di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta. Kami menuju Kedubes Arab Mesir yang tak jauh dari Masjid. Di depan Kedubes, bersama ratusan peserta seleksi lainnya, kami menunggu hingga pukul sepuluh.
Di depan pos satpam, ditempel nama-nama pendaftar yang akan mengikuti seleksi hari itu. Hari Jum’at. Hari terakhir seleksi.
Mencari nama-nama kami ber-enam, tak satu pun yang tertera!! Artinya, kami belum terdaftar sebagai peserta test seleksi beasiswa Al Azhar. Tubuhku melemas. Padahal ini hari terakhir seleksi. Padahal aku mendapat info waktu seleksi jauh-jauh hari sebelumnya. Aku membayangkan bahwa penantianku yang nyaris satu tahun ini sia-sia.
Pintu gerbang kedubes dibuka. Seluruh peserta yang namanya terdaftar di depan pos satpam disuruh untuk masuk dalam gedung kedubes. Ustadz Abi menyuruh kami supaya ikut masuk.
Dan setelah kebingungan mencocokkan jumlah peserta dengan daftar yang ada, petugas –yang berkebangsaan Mesir itu akhirnya menyuruh kami semua untuk memasuki ruang seleksi. Di dalam, di sela-sela ujian tulis, kami disuruh menulis nama dan nomor telepon. Aku tertawa dalam hati. Jadi ceritanya, pendaftaran peserta di dalam ruang ujian... Ala kulli hal Alhamdulillah.

Friday 16 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...2

bismillah

Dan setelah berdiskusi dengan Ustadzah mila, beliau sarankan saya supaya langsung berhubungan dengan Ustadz yang bekerja sebagai biro travel tersebut. Sebut saja Ustadz Rizal.
Setelah silaturrahim ke rumah beliau, barulah jelas urusannya. Bahwa aku tidak bisa berangkat tahun ini. Ya, istilahnya berangkat dengan “terjun bebas” tidak memungkinkan. Beliau menawarkan opsi untuk mengikuti ujian beasiswa di bulan Maret tahun 2011. Dan sebagai persiapan ujian, beliau menawarkan bimbingan belajar untukku, lebih bersyukur lagi jika bisa mengajak teman lain.
Ya, mendekati bulan Maret, aku rutin belajar ke rumah Ustadz Rizal, mengajak dua orang teman yang jauh tinggalnya. Temanggung. Subhanalloh, aku salut dengan himmah mereka! Sepekan sekali naik motor ke Solo demi belajar! Lebih tepatnya, kami lebih banyak setoran tahfidz ke beliau. Karena, kata beliau, Al Azhar itu mengutamakan hafalan Al Quran sebagai tolak ukur mahasiswanya.
Sampai bulan Maret, kami mendapat kabar dari Ustadz, bahwa tepatnya ujian beasiswa Al Azhar, biasanya di adakan di sifaroh/kedubes Mesir di Jakarta, setiap tahun, selepas diadakannya Ujian Nasional (UN).
Itu artinya, bukan bulan Maret, tapi bulan Mei.
Begitu datang bulan Mei, saya terus berburu informasi lewat internet. Ya, setiap hari –kendati saat itu aku tengah menghadapi ujian juga di ma’had, aku selalu surfing di internet lewat handphone mengenai test seleksi Beasiswa Al Azhar.
Sepekan berlalu, dan hasilnya selalu sama, nihil.
Hingga suatu hari, situs depag mengabarkan mengenai pendaftaran test beasiswa. Hari itu juga, selepas ujian di ma’had, saya meluncur ke rumah Ustadz Rizal. Kawan saya yang dari Temanggung juga datang. Segera setelah mendapat kabar, Ustadz rizal menelpon kedubes mesir. Sebagaimana keterangan dari situs Depag.
Setelah berbagi email, esoknya, Ustadz segera mem-forward email dari kedubes, yang berisi persyaratan pendaftaran ujian. Rasanya memang cukup ganjil. Waktu seleksi yang diadakan kedubes berkisar satu pekan lamanya. Tetapi persyaratan untuk mengikuti seleksi saja sudah cukup “ribet”, seperti surat Medical check Up dari RS Daerah, Surat Keterangan Catatan Kepolisian, ijazah Aliyah, dan semua harus sudah diterjemahkan ke bahasa Arab! Dengan rentang waktu yang demikian sempitnya, sulit rasanya bisa menyelesaikan persyaratan pendaftaran seleksi. Ini hanya pendaftaran lho…
Aku pun bergegas melakukan general check up di RSUD. Dan selanjutnya menuju Poltabes untuk mendapat SKCK, sembari terus mencari penerjemah dokumen-dokumen. Sampai di Poltabes, aku mendapat telepon dari Ustadz Rizal. Persyaratan berubah. Whats?!!!!

Thursday 15 March 2012

MENITI AWAL PERJALANAN...

bismillah

Aku ingin bercerita, mengenai sekelumit perjalanan hidup. Oh, bukan. Lebih tepatnya berbagi pengalaman, sekaligus meluapkan isi hati. Mengharap semoga tulisan yang sengaja ku niatkan sejak awal untuk menulisnya secara acak dan tidak terarah, dapat bermanfaat bagi yang membaca. Barangkali juga bermanfaat bagi yang ingin tahu info seputar perjalanan birokrasi beasiswa Al Azhar As Syarif. Selamat menyimak, semoga berfanfaat.
Terhitung sebelum lulus dari pesantren, di awal tahun 2010. Aku mencari seputar info beasiswa kuliah di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Ya, saat itu, cita-citaku, rihlah tholabul ilmi. Di mulai dengan bertanya kepada salah seorang Ustadzku, beliau alumni Al Azhar. Dari beliau, aku mendapat alamat website www.ditpertais.net walau sebetulnya aku sudah beberapa kali mengunjungi situs itu, sejak berburu beasiswa ke Mesir via internet.
Tak puas sampai di situ, aku mengajak seorang kawan untuk pergi ke kantor Departemen Agama Kabupaten. Setelah bertanya-tanya pada petugas yang lumayan “kurang ramah”, kami mendapat info bahwa sama sekali tidak ada beasiswa ke Mesir. Petugas itu justru menunjukkan berkas penerimaan beasiswa ke Syria. Itupun sudah beberapa bulan yang lalu seleksinya. Tidak mengapa.
Hingga masa ujian akhir panjang di pesantren aku lalui. Sembari terus menggali info seputar beasiswa Al Azhar. Melalui asatidzah, kawan dan rekan orang tua, dan berakhir dengan satu kata, “Alhamdulillah” meski tanpa hasil.
Aku pun lulus pesantren, impian ke negeri pyramid ku buang sejauh-jauhnya. Ku putuskan melanjutkan study di sebuah pesantren di pelosok Magetan, Jawa Timur. Baru esok akan mendaftar, aku dan ummi bertemu Ustadz dan ustadzah dalam sebuah kajian. Mereka menyarankan aku untuk melanjutkan studi ke Mesir, atau LIPIA. Namun pendaftaran ke LIPIA sudah tutup. Sedang untuk ke Mesir, ustadzah –yang juga alumni Al Azhar-tersebut berusaha mencari info. Untuk mengisi kekosongan, Ustadz tersebut menyarankanku untuk belajar di Ma’had bahasa arab, setingkat kelas I’dad di LIPIA.
Selepas test pendaftaran, Alhamdulillah, dengan izin Alloh, aku bisa loncat ke semester 3. Jadi cukup setahun, sampai semester 4, aku sudah bisa lulus D2 di situ.
Masih di semester 3 ma’had tersebut, Ustadzah yang membantu mencari info tadi, sebut saja Ustadzah Mila. Beliau memiliki teman alumni Al Azhar yang berkerja sebagai biro travel yang sanggup membantu keberangkatanku. Cukup siapkan 3 juta rupiah dan paspor sebagai awal persiapan. Berangkat bulan itu juga. Wew!
Mendapat info mengenai lokasi kantor Imigrasi, aku segera meluncur ke sana. Dengan izin orang tua tentunya. Sampai di sana, -yang ini cukup berkesan- seorang pegawai melihatku dari balik kaca pembatas sambil bertanya jenaka, “Adek umurnya berapa? Kalau mau bikin paspor, besok ke sini sama orang tua yach?” jiaaaah… di anggapnya saya anak SD apa ya?. Padahal saya sudah bersikeras sambil menunjukkan kartu mahasiswi saya lho…
Yap, setelah proses selama satu pecan, saya punya paspor!  Alhamdulillah.

Tuesday 6 March 2012

INDONESIA vs BELGICA, NEPAL and NIGERIA

bismillah

Mulanya, anak berkebangsaan Nepal yang juga tetangga kamarku itu menemuiku saat memasak di dapur jenah. Ia menyodorkan sebuah kertas kecil. Jadwal talaqqi di Masjid Huda.
Masjid itu terletak di kawasan Maidan Jaisy, Abbasiyah. Kira-kira 700an kilometer dari asrama kami. “Datang ya…” kira-kira begitu yang ia katakan setelah menjelaskan beberapa materi talaqqi beserta hari dan waktunya.
Murid Tsanawiyah (setingkat Aliyah di Indonesia) di Ma’had yang keturunan Nepal-India itu nampak  puas setelah menyampaikan hal itu. Dan sebelum berlalu pergi, ia berpesan, “jangan lupa beritahu kawan-kawan yang lain, oke?”
Aku pun memberitahu perihal jadwal talaqqi tersebut kepada beberapa teman Indonesia saja. Mengingat beberapa telah senior, dan memiliki jam terbang tinggi dalam organisasi masisir (mahasiswa mesir). Namun faktanya, hanya aku seorang diri, dari puluhan mahasiswi Indonesia di asrama yang mengikuti talaqqi. Mungkin yang lain punya kesibukan yang tak bisa ditinggalkan.
Ammu Bawabah mengijinkan kami  keluar komplek sekitar pukul 06:30 WK (Waktu Kairo). Sedang untuk talaqqi pagi, dimulai jam 06:30. Jadi kami meminta kelonggaran pada Ammu untuk keluar sedikit lebih awal. Itupun harus dengan langkah cepat. Mengingat perjalanan memakan waktu sekitar 15-20 menit. By foot, tentu saja.
Aku berangkat bersama kawan Nepal, Nigeria, dan Belgica. Di sepanjang jalan, kawan Nepal itu terus saja mengulang kata yang sama, dengan telapak tangan terangkat,, khas India, “Ya banat! Imsyi bissur’ah!”
Memang langkah kakinya lebih lebar dan cepat dibanding kami bertiga. Di pagi buta begini, dengan udara dingin musim peralihan winter-spring, tidak menyurutkan semangat nya. Kawan Nigeria yang tubuhnya cukup tambun, nampaknya tak mau kalah. Ia menyusun langkah cepat hingga mengimbangi gadis Nepal di depan kami beberapa meter.
Aku sedikit tertawa melihat cara berjalan gadis Nigeria yang terlihat kewalahan itu.
“ya Ain, kau ingin melangkah lebih cepat?” Tanya gadis Nepal itu,”Gunakan pakaian yang lebar,, agar langkahmu lebih besar..” ia tunjukkan langkahnya yang lebar.
Teman Belgica tertawa. Aku meringis saja. Ini bajuku yang paling lebar, ahaha.
“Kau tahu,” kata kawan Belgica yang berjalan di sampingku. “ ini seperti musabaqoh dauliyah (perlombaan Internasional). Di posisi terdepan ada Nepal dan Nigeria yang tengah bersaing sengit!”
Kami tertawa kecil. Betul, betul, betul!
“Ayo Indonesia, kenapa langkahmu lambat sekali?” katanya. Memang aku sudah cukup lelah melangkah cepat, padahal Nepal dan Nigeria sudah cukup jauh meninggalkan kami. kupikir, “perlombaan internasional” ini cukup menggambarkan bagaimana watak masing-masing.
Ya, Nepal dan Nigeria yang tangguh. Juga Belgica, cukup mewakili orang-orang eropa yang juga tangkas. Dan Indonesia yang cukup lambat, hehehe. In syaalloh, di lain waktu, Indonesia tidak akan tertinggal kok.