Thursday 30 January 2014

Qa..na..tir..

bismillah
Qanatir,
Mendengar cerita dari orang-orang yang pernah berwisata ke daerah itu, rata-rata komentar mereka bernada penyesalan. Jelek, kotor dan yang cukup parah, “Di sana cuman ada tai kuda!
Kesan miring saya terhadap daerah wisata tersebut bertambah manakala mendengar pengalaman senior yang ‘terjebak’ oleh sarana transportasi air yang menghubungkan antara Tahrir dan Qanatir. So, mungkin bisa dibilang wajar kalau niat saya ke sana ogah-ogahan. Namun demi kawan-kawan marhalah, ngikut aja lah.
Bisa dibilang marhalah Amazing kami ini yang paling sering kumpul-kumpul di banding marhalah lain. Baik itu dalam rangka refreshing bersama pasca ujian, atau karena momen-momen tertentu, seperti ulang tahun marhalah. Mungkin karena sesama anggota yang sudah seperti keluarga. Ceile.. dan juga jumlah anggota yang bisa dibilang proporsional. Tidak banyak dan tidak terlalu sedikit untuk mengadakan acara bersama.
Pukul 10.00 pagi kami bertolak dari asrama menuju Tahrir dengan Metro. Dengan sekali transit di Atabah, lalu berjalan menuju terminal Abdul Mun’in Riyadh. Dari sana naik tramco menuju Qanatir. Perjalanan darat ini memakan waktu sekitar 40 menit. Memakan waktu yang tidak jauh berbeda dengan perahu, kata guide amatir kami, hehe.
Turun di dekat jembatan, dalam hati saya membenarkan kata guide yang tak lebih kawan sendiri itu. Dinamakan Qanatir (Jembatan-jembatan) karena di daerah ini terdapat seperti bendungan (lebih tepatnya pintu air) yang membendung air sungai Nil dengan jumlahnya yang banyak. Di bangun oleh Inggris dengan corak arsitek Eropa (saya lihat salah satu mesin di pintu air, memang tertulis buatan London).
Perjalanan selanjutnya menuju salah satu hadiqah dengan berjalan kaki. Akses jalan dua arah (di Cairo rata-rata akses jalan satu arah) yang bisa dibilang cukup sempit dengan lalu lalang truk, mobil dan sepeda motor mengejutkan saya yang menyebrang dengan pertimbangan satu arah. Alhamdulillah masih bisa menghirup nafas hingga detik ini.
Setelah melepas lelah, karena kami berjalan cukup jauh sejak keberangkatan tadi, selanjutnya diadakan perlombaan memancing. Terdapat anak sungi kecil di dalam hadiqah, sehingga kami bisa menyewa alat pancing beserta umpan cacingnya (huhu... geli banget lihat si dudah ni kloget-kloget ><) setiap grup beranggotakan dua orang dengan satu pancing. Biarpun nggak menang, saya cukup puas lah dengan mendapatkan satu ikan berukuran mini. Wkwk
Dua kawan anggota Wihdah, pulang terlebih dahulu karena ada agenda. (belum merasakan serunya khusnul khotimahnya lah. Kasihan deh.. :p)
Tidak terlalu puas di hadiqah, kami putuskan untuk menyewa sepeda, berkeliling daerah Qanatir. Berhubung sepeda-sepeda sewaan kurang match dengan kostum kaum hawa, kami putuskan untuk naik delman saja. Sedang mayoritas kawan laki-laki memilih untuk bersepeda.
Setelah menunggu pak Kusir yang sholat Ashar, perjalanan dengan seekor kuda, (namanya Bussy ^_^) dimulai. Sebetulnya kasihan juga dengan si Bussy yang menarik 7 orang dalam kereta kuda. Tapi ya...  maafin kita ya, Bussy... ><
Melewati Istana Raja Faruq, kediaman Muhammad Ali Pasha, dan sejenak berhenti di depan pohon beringin besar. Kusir kami mengatakan bahwa pohon tersebut telah berusia 220 tahun. (hoho, kalau di Indonesia mungkin sudah dikeramatkan, seperti beringin di alun-alun Jogja dan Solo. Dan tambah seru kalau ada mbak Kunti yang action)
Mengitari komplek istana dengan beberapa bangunan berbata merah dan dibingkai cat krem polos di tiap tepinya, khas istana Faruq. Coraknya sama dengan istana Faruq yang pernah saya kunjungi di Alexandria. Begitu pula corak taman istana yang hijau luas dengan beragam pepohonan dan tanaman. Berbelok ke kiri, kawan-kawan yang bersepeda bergabung dengan perjalanan kami. Di sisi kiri terdapat tembok sekitar 3 meter, masih dengan gaya bata merah dan cat kremnya.
Di ujung jalan, kami menuju arah kiri, melewati satu gerbang yang hampir sama bentuknya dengan beberapa gerbang di beberapa jalan lain. Sampai di awal jembatan kami berbelok ke kanan. Si Bussy mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik kereta kami di atas jalanan yang tak lagi mulus. Jembatan (sekaligus pintu air) tadi, adalah jembatan Muhammad Ali Pasha, terang Pak Kusir. Sekali lagi, khas Faruq dengan bata merah  yang menyusun tiap lengkung jembatan dan warna krem polos pelengkap di tiap tepinya. Dari setiap jembatan yang saya temui, yang paling panjang dan banyak pintu airnya adalah jembatan pertama dari arah pemberhentian awal tramco tadi, ada 51 pintu air dengan mesin buatan London yang awalnya kami kira adalah kereta.
Subhanalloh, sebelah kiri kami anak sungai Nil, dan kanan kami adalah pertanian dengan beragam tanaman dan bunga. Dari warna warni bunga dalam pot-pot kecil, saya hanya mengenali beberapa. Yasmin dan lavender, ada juga pohon pinus kecil yang kata teman saya mirip pohon Gharqat (wkwk).
Dan... TARAA!
Kami berhenti di tepi sungai yang airnya mengalir cukup jernih. Tidak seperti sungai nil yang selama ini saya jumpai, anak sungai ini cukup berbatu. Seperti “kali” kalau di ndeso-ndeso itu lah. Makanya kami exited banget. Alhamdulillah Ya Allah... masih bisa merasakan indahnya alam seperti ini. Di tambah beberapa bangau berdiri angkuh pada beberapa bebatuan dengan bulu putih dan kakinya yang kurus seperti lidi yang menyangga kelapa (eh.. pas nggak sih majas-nya)
Lumayan lupa waktu saking senangnya, apalagi ada yang yang tak boleh terlewatkan, narsis ria...
Ala kulli hal, suasana yang saya dapatkan seperti di Tawangmangu. Hua.... daerah wisata yang tidak hanya memamerkan keindahan dan kesejukan, namun sangat kuat menyimpan kenangan bersama keluarga, sanak saudara dan kawan-kawan. Rindu saya sedikit terobati di sini. Di tengah rasa ‘ingin pulang’ yang belum dapat terwujudkan, di dalam puncak pertahanan untuk tidak bersua keluarga dan kawan-kawan lama, dalam kesabaran untuk sesuatu yang disebut jarak. Di negeri yang jauhnya lintas benua ini. Alhamdulillah...
Saya pun baru ingat bahwa selepas ujian termin di musim dingin ini, belum sempat mengambil jeda refreshing. Kecuali jika keliling International Bookfair masuk dalam kategori refreshing (T_T). Dan yang tak kalah penting, kesan miring terhadap Qanatir telah saya hapus. Semoga di lain waktu, saya bisa mampir ke ‘kali’ itu lagi. Terima kasih, jazakumulloh khoiron untuk kawan2 semua, sekaligus maaf telah menyebabkan sedikit ‘diskusi’ dengan pak Kusir tadi _/\_
Dan kini, kegiatan mulai merayap padat,  saatnya kembali pada tugas yang menanti untuk diselesaikan. Ditemani segelas Nescafe Milk racikan tangan saya. Selamat beraktifitas!

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(3:190)
                                                              Madinah alBuuts,

Cairo, 30 Januari 2014