bismillah
Qanatir,
Mendengar
cerita dari orang-orang yang pernah berwisata ke daerah itu, rata-rata komentar
mereka bernada penyesalan. Jelek, kotor dan yang cukup parah, “Di sana cuman
ada tai kuda!”
Kesan miring
saya terhadap daerah wisata tersebut bertambah manakala mendengar pengalaman
senior yang ‘terjebak’ oleh sarana transportasi air yang menghubungkan antara
Tahrir dan Qanatir. So, mungkin bisa dibilang wajar kalau niat saya ke sana ogah-ogahan.
Namun demi kawan-kawan marhalah, ngikut aja lah.
Bisa dibilang
marhalah Amazing kami ini yang paling sering kumpul-kumpul di banding marhalah
lain. Baik itu dalam rangka refreshing bersama pasca ujian, atau karena
momen-momen tertentu, seperti ulang tahun marhalah. Mungkin karena sesama anggota
yang sudah seperti keluarga. Ceile.. dan juga jumlah anggota yang bisa
dibilang proporsional. Tidak banyak dan tidak terlalu sedikit untuk mengadakan
acara bersama.
Pukul 10.00
pagi kami bertolak dari asrama menuju Tahrir dengan Metro. Dengan sekali
transit di Atabah, lalu berjalan menuju terminal Abdul Mun’in Riyadh. Dari sana
naik tramco menuju Qanatir. Perjalanan darat ini memakan waktu sekitar 40
menit. Memakan waktu yang tidak jauh berbeda dengan perahu, kata guide amatir
kami, hehe.
Turun di dekat
jembatan, dalam hati saya membenarkan kata guide yang tak lebih kawan sendiri
itu. Dinamakan Qanatir (Jembatan-jembatan) karena di daerah ini terdapat
seperti bendungan (lebih tepatnya pintu air) yang membendung air sungai Nil
dengan jumlahnya yang banyak. Di bangun oleh Inggris dengan corak arsitek Eropa
(saya lihat salah satu mesin di pintu air, memang tertulis buatan London).
Perjalanan selanjutnya
menuju salah satu hadiqah dengan berjalan kaki. Akses jalan dua arah (di Cairo
rata-rata akses jalan satu arah) yang bisa dibilang cukup sempit dengan lalu
lalang truk, mobil dan sepeda motor mengejutkan saya yang menyebrang dengan
pertimbangan satu arah. Alhamdulillah masih bisa menghirup nafas hingga
detik ini.
Setelah melepas
lelah, karena kami berjalan cukup jauh sejak keberangkatan tadi, selanjutnya
diadakan perlombaan memancing. Terdapat anak sungi kecil di dalam hadiqah,
sehingga kami bisa menyewa alat pancing beserta umpan cacingnya (huhu...
geli banget lihat si dudah ni kloget-kloget ><) setiap grup beranggotakan
dua orang dengan satu pancing. Biarpun nggak menang, saya cukup puas lah
dengan mendapatkan satu ikan berukuran mini. Wkwk
Dua kawan
anggota Wihdah, pulang terlebih dahulu karena ada agenda. (belum merasakan
serunya khusnul khotimahnya lah. Kasihan deh.. :p)
Tidak terlalu
puas di hadiqah, kami putuskan untuk menyewa sepeda, berkeliling daerah
Qanatir. Berhubung sepeda-sepeda sewaan kurang match dengan kostum kaum
hawa, kami putuskan untuk naik delman saja. Sedang mayoritas kawan laki-laki
memilih untuk bersepeda.
Setelah
menunggu pak Kusir yang sholat Ashar, perjalanan dengan seekor kuda, (namanya
Bussy ^_^) dimulai. Sebetulnya kasihan juga dengan si Bussy yang menarik 7
orang dalam kereta kuda. Tapi ya... maafin
kita ya, Bussy... ><
Melewati Istana
Raja Faruq, kediaman Muhammad Ali Pasha, dan sejenak berhenti di depan pohon
beringin besar. Kusir kami mengatakan bahwa pohon tersebut telah berusia 220
tahun. (hoho, kalau di Indonesia mungkin sudah dikeramatkan, seperti beringin
di alun-alun Jogja dan Solo. Dan tambah seru kalau ada mbak Kunti yang action)
Mengitari komplek
istana dengan beberapa bangunan berbata merah dan dibingkai cat krem polos di
tiap tepinya, khas istana Faruq. Coraknya sama dengan istana Faruq yang pernah
saya kunjungi di Alexandria. Begitu pula corak taman istana yang hijau luas
dengan beragam pepohonan dan tanaman. Berbelok ke kiri, kawan-kawan yang
bersepeda bergabung dengan perjalanan kami. Di sisi kiri terdapat tembok
sekitar 3 meter, masih dengan gaya bata merah dan cat kremnya.
Di ujung jalan,
kami menuju arah kiri, melewati satu gerbang yang hampir sama bentuknya dengan
beberapa gerbang di beberapa jalan lain. Sampai di awal jembatan kami berbelok
ke kanan. Si Bussy mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik kereta kami di atas
jalanan yang tak lagi mulus. Jembatan (sekaligus pintu air) tadi, adalah
jembatan Muhammad Ali Pasha, terang Pak Kusir. Sekali lagi, khas Faruq dengan
bata merah yang menyusun tiap lengkung
jembatan dan warna krem polos pelengkap di tiap tepinya. Dari setiap jembatan
yang saya temui, yang paling panjang dan banyak pintu airnya adalah jembatan
pertama dari arah pemberhentian awal tramco tadi, ada 51 pintu air dengan mesin
buatan London yang awalnya kami kira adalah kereta.
Subhanalloh,
sebelah kiri kami anak sungai Nil, dan kanan kami adalah pertanian dengan
beragam tanaman dan bunga. Dari warna warni bunga dalam pot-pot kecil, saya
hanya mengenali beberapa. Yasmin dan lavender, ada juga pohon pinus kecil yang
kata teman saya mirip pohon Gharqat (wkwk).
Dan... TARAA!
Kami berhenti
di tepi sungai yang airnya mengalir cukup jernih. Tidak seperti sungai nil yang
selama ini saya jumpai, anak sungai ini cukup berbatu. Seperti “kali” kalau di ndeso-ndeso
itu lah. Makanya kami exited banget. Alhamdulillah Ya Allah... masih
bisa merasakan indahnya alam seperti ini. Di tambah beberapa bangau berdiri
angkuh pada beberapa bebatuan dengan bulu putih dan kakinya yang kurus seperti
lidi yang menyangga kelapa (eh.. pas nggak sih majas-nya)
Lumayan lupa
waktu saking senangnya, apalagi ada yang yang tak boleh terlewatkan, narsis
ria...
Ala kulli hal,
suasana yang saya dapatkan seperti di Tawangmangu. Hua.... daerah wisata yang
tidak hanya memamerkan keindahan dan kesejukan, namun sangat kuat menyimpan
kenangan bersama keluarga, sanak saudara dan kawan-kawan. Rindu saya sedikit
terobati di sini. Di tengah rasa ‘ingin pulang’ yang belum dapat terwujudkan, di
dalam puncak pertahanan untuk tidak bersua keluarga dan kawan-kawan lama, dalam
kesabaran untuk sesuatu yang disebut jarak. Di negeri yang jauhnya lintas benua
ini. Alhamdulillah...
Saya pun baru
ingat bahwa selepas ujian termin di musim dingin ini, belum sempat mengambil
jeda refreshing. Kecuali jika keliling International Bookfair masuk dalam
kategori refreshing (T_T). Dan yang tak kalah penting, kesan miring terhadap
Qanatir telah saya hapus. Semoga di lain waktu, saya bisa mampir ke ‘kali’ itu
lagi. Terima kasih, jazakumulloh khoiron untuk kawan2 semua, sekaligus maaf
telah menyebabkan sedikit ‘diskusi’ dengan pak Kusir tadi _/\_
Dan kini, kegiatan
mulai merayap padat, saatnya kembali
pada tugas yang menanti untuk diselesaikan. Ditemani segelas Nescafe Milk
racikan tangan saya. Selamat beraktifitas!
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(3:190)
Madinah alBuuts,
Cairo, 30 Januari 2014