bismillah
Pagi ini saya
berangkat ke kampus menggunakan jasa bus asrama. Entah ini masih boleh disebut
semi atau tidak, cuaca lebih dari cukup dari kata hangat. Belajar dari
pengalaman beberapa kali masuk kampus, saya putuskan untuk turun di gerbang
Fakultas Farmasi Al Azhar. Nampaknya keputusan saya diikuti beberapa kawan
Indonesia. Meski jarak tempuh ke gedung Fakultas Dirasat Islamiyah lebih jauh,
kami lebih memilih masuk kampus lewat gerbang ini.
Memang
semenjak gejolak politik Mesir-hampir 2 tahun- berlalu, kampus putri tidak
pernah sepi dari mahasiswi yang berunjuk rasa. Awalnya cukup mendebarkan,
melihat gerombolan massa demonstran yang berkeliling kampus dan meluapkan
tuntutan mereka. Terlebih jika mengingat tahun lalu kami-mahasiswa asing- juga
turut bermain “petak umpet” dengan gas air mata. namun kini hal
itu-demonstrasi- dan segala tindak tanduk massanya menjadi “hidangan” yang
setiap hari kami santap.
Dukturah yang
mengajar di kelas semakin hari semakin maklum dengan keramaian di kampus. Bila
mulai terdengar hiruk pikuk demonstran yang kompak berteriak-teriak, tanpa
harus dikomando jendela kelas kami tutup. Tak ada lagi gerutu dan keluhan para
dukturah kecuali beberapa pekan lalu. saat Dekan Fakultas melakukan inspeksi
mendadak ke kelas kami. Kebetulan terdapat beberapa coretan demonstran pada
dinding kelas. tak satupun dari kami yang tahu siapa pelakunya, yang jelas anak
kelas Hadis saya lihat semua netral. Tidak mungkin terdapat yang pro maupun
kontra dengan aksi demonstran.
Akan tetapi
apa mau dikata, pelajaran siroh Nabawiyah kami membeku beberapa menit. Dekan
beserta rombongan nampak kalap seraya menanyakan kawan Mesir siapa pelaku yang
mengotori dinding kelas kami. Tak ada yang mengaku, tak ada yang tahu. “Ya
banat, dzi fauzo!!” ujarnya. Tak lama kemudian beliau keluar dan pelajaran
kembali berlanjut.
Sebenarnya
tidak hanya di kelas, bahkan di gedung-gedung lain pun masih terdapat coretan
pilok maupun spidol para demonstran. Entah sudah berapa kali coretan itu
ditutup dengan cat baru, namun sebanyak itu pula coretan itu kembali ditulis.
Saya pernah membaca salah satunya,”Imsah! Wa hanaktub tani!” Hapus! Kami akan
tulis lagi! Keukeuh dan menggelikan.
Karena hal
itu dan banyak hal, akhirnya suasana kampus berubah. Gerbang baja bercat hitam
di pasang pada 3 gerbang kampus putri, plus belasan petugas keamanan sewaan
yang juga berjas hitam di siagakan. Kini, untuk masuk kampus, kami harus antri
dan melewati pemeriksaan sekuriti kampus.
Selanjutnya
kami harus maklum dan sadar, bahwa al Azhar ini berada di negara Mesir dengan
watak orang Arab yang begitu adanya. Jangan pernah berharap bahwa dengan
mengantri anda bisa masuk kampus. Nampaknya kata “antri” sudah terhapus dari
kamus hidup mayoritas penduduk negeri ini. bayangkan saja, bagaimana para
mahasiswi harus tumpah ruah di gerbang untuk berebut masuk kampus, terlebih
pada waktu-waktu menjelang jam aktif pelajaran. Saya yang bertubuh mungil
dibanding orang-orang Mesir hanya bisa pasrah dan membiarkan badan terbawa arus
desakan hingga terdorong masuk gerbang. terkadang juga tanpa sadar badang saya
berputar 180 derajat karena arus desakan
massa, pernah juga saya melewati tangga gerbang tanpa melangkahkan kaki, cukup
berdiam diri karena tidak ada space untuk melangkah kecuali dorongan dari massa
di belakang.
Bagi banyak
orang, mungkin hal ini menjadi pemicu amarah dan kekesalan. Bagaimana tidak,
waktu yang terbuang untuk berjejal membuat kami terlambat masuk kelas, selain
itu tenaga dan kondisi badan yang masih fresh saat masuk kampus telah terkuras
oleh desakan di gerbang. tapi bagi saya, ini adalah tantangan. Saya yakin bahwa
di setiap masa ada tantangan tersendiri untuk belajar di kampus Al Azhar.
Meski
demikian ada beberapa fakta yang membuat saya merasa miris. Sesuatu yang
belakangan saya sadari bertolak belakang dari apa yang selama ini saya pikir.
Akan saya ceritakan di “coretan” saya berikutnya, biidznillah.