Tuesday 7 April 2015

Dari Gerbang Kampus (1)

bismillah
Pagi ini saya berangkat ke kampus menggunakan jasa bus asrama. Entah ini masih boleh disebut semi atau tidak, cuaca lebih dari cukup dari kata hangat. Belajar dari pengalaman beberapa kali masuk kampus, saya putuskan untuk turun di gerbang Fakultas Farmasi Al Azhar. Nampaknya keputusan saya diikuti beberapa kawan Indonesia. Meski jarak tempuh ke gedung Fakultas Dirasat Islamiyah lebih jauh, kami lebih memilih masuk kampus lewat gerbang ini.
Memang semenjak gejolak politik Mesir-hampir 2 tahun- berlalu, kampus putri tidak pernah sepi dari mahasiswi yang berunjuk rasa. Awalnya cukup mendebarkan, melihat gerombolan massa demonstran yang berkeliling kampus dan meluapkan tuntutan mereka. Terlebih jika mengingat tahun lalu kami-mahasiswa asing- juga turut bermain “petak umpet” dengan gas air mata. namun kini hal itu-demonstrasi- dan segala tindak tanduk massanya menjadi “hidangan” yang setiap hari kami santap.
Dukturah yang mengajar di kelas semakin hari semakin maklum dengan keramaian di kampus. Bila mulai terdengar hiruk pikuk demonstran yang kompak berteriak-teriak, tanpa harus dikomando jendela kelas kami tutup. Tak ada lagi gerutu dan keluhan para dukturah kecuali beberapa pekan lalu. saat Dekan Fakultas melakukan inspeksi mendadak ke kelas kami. Kebetulan terdapat beberapa coretan demonstran pada dinding kelas. tak satupun dari kami yang tahu siapa pelakunya, yang jelas anak kelas Hadis saya lihat semua netral. Tidak mungkin terdapat yang pro maupun kontra dengan aksi demonstran.
Akan tetapi apa mau dikata, pelajaran siroh Nabawiyah kami membeku beberapa menit. Dekan beserta rombongan nampak kalap seraya menanyakan kawan Mesir siapa pelaku yang mengotori dinding kelas kami. Tak ada yang mengaku, tak ada yang tahu. “Ya banat, dzi fauzo!!” ujarnya. Tak lama kemudian beliau keluar dan pelajaran kembali berlanjut.
Sebenarnya tidak hanya di kelas, bahkan di gedung-gedung lain pun masih terdapat coretan pilok maupun spidol para demonstran. Entah sudah berapa kali coretan itu ditutup dengan cat baru, namun sebanyak itu pula coretan itu kembali ditulis. Saya pernah membaca salah satunya,”Imsah! Wa hanaktub tani!” Hapus! Kami akan tulis lagi! Keukeuh dan menggelikan.
Karena hal itu dan banyak hal, akhirnya suasana kampus berubah. Gerbang baja bercat hitam di pasang pada 3 gerbang kampus putri, plus belasan petugas keamanan sewaan yang juga berjas hitam di siagakan. Kini, untuk masuk kampus, kami harus antri dan melewati pemeriksaan sekuriti kampus.
Selanjutnya kami harus maklum dan sadar, bahwa al Azhar ini berada di negara Mesir dengan watak orang Arab yang begitu adanya. Jangan pernah berharap bahwa dengan mengantri anda bisa masuk kampus. Nampaknya kata “antri” sudah terhapus dari kamus hidup mayoritas penduduk negeri ini. bayangkan saja, bagaimana para mahasiswi harus tumpah ruah di gerbang untuk berebut masuk kampus, terlebih pada waktu-waktu menjelang jam aktif pelajaran. Saya yang bertubuh mungil dibanding orang-orang Mesir hanya bisa pasrah dan membiarkan badan terbawa arus desakan hingga terdorong masuk gerbang. terkadang juga tanpa sadar badang saya berputar 180  derajat karena arus desakan massa, pernah juga saya melewati tangga gerbang tanpa melangkahkan kaki, cukup berdiam diri karena tidak ada space untuk melangkah kecuali dorongan dari massa di belakang.
Bagi banyak orang, mungkin hal ini menjadi pemicu amarah dan kekesalan. Bagaimana tidak, waktu yang terbuang untuk berjejal membuat kami terlambat masuk kelas, selain itu tenaga dan kondisi badan yang masih fresh saat masuk kampus telah terkuras oleh desakan di gerbang. tapi bagi saya, ini adalah tantangan. Saya yakin bahwa di setiap masa ada tantangan tersendiri untuk belajar di kampus Al Azhar.

Meski demikian ada beberapa fakta yang membuat saya merasa miris. Sesuatu yang belakangan saya sadari bertolak belakang dari apa yang selama ini saya pikir. Akan saya ceritakan di “coretan” saya berikutnya, biidznillah.



Monday 6 April 2015

Menghargai diri [?]

bismillah
Biasanya aku menulis dengan topik atau tema yang sudah saya petakan di kepala. Tapi untuk kali ini, mari biarkan ia mengalir.
Karena ini permintaan yang dirubah menjadi sebuah “usul” kata seseorang yang gusar dengan sepinya blog ini. ya, dengan begitu aku relakan untuk menulis apa saja. Ayyi hagah kata orang Mesir. Biar perut mual, biar raga masih lelah dan pikiran suntuk merajai.


Beberapa waktu ini ada ketakutan dan kecemasan menyelimuti. Hal-hal yang sejatinya mampu kuperkirakan akan datangnya, akhirnya nampak gejalanya. Di samping itu, amanah-amanah lain tidak berhenti. Ada semacam kekalutan yang terus mencecar di benak. Ada saat-saat di mana terjadi pergulatan batin. Di situ ada rahasia yang tak sanggup untuk saya rahasiakan. Di situ ada perasaan dan kesalahpahaman yang berbenturan. Baik dalam diri maupun dengan orang lain. Bagi kebanyakan orang, mungkin masalah terbesar adalah perselisihan dengan orang lain. namun bagiku, hal terberat adalah ketidakseimbangan antara “idealita” dan cita-cita.
Ketika ku putuskan untuk merenung. Barulah aku rasakan perkataan seorang kawan, “later means never”. Waktu banyak tersia untuk pikiran-pikiran yang tidak –atau belum- produktif. Bahkan aku menjadi seorang yang sangat menyebalkan; phobia dengan handphone. Seringkali alat komunikasi itu ku buat “silent”. Supaya pekerjaan dan amanahku tidak bertambah. Bahkan untuk membuka isi gadget itu aku ketakutan; takut ia berbunyi, mendapat pesan, lalu harus menjawabnya.
Aku takut menjalani kewajiban.
Apa ini pengecut? Buatku, iya.
Lalu bertambahlah list pertarungan idealita-ku. Bertambah pula kalutku.
Dan di saat seperti inilah, waktu terasa menghimpit. Ada selaksa berkah yang tercerabut. Aku bertambah yakin bahwa ini karena dosa dan nafsu yang kubiarkan.
Namun, ada satu hal. Hal yang sangat sulit ku pungkiri.
Aku punya komunitas, kawan serta guru di sini. Mereka adalah inspirasi sekaligus penyemangat bagiku untuk terus bergerak. Meski terseok. Meski banyak cacat dan sering ku berbuat yang tak layak, ada satu motivasi yang tak ingin ku buat surut.
Mungkin aku sedang inferior. Aku sedang menjadi seorang pesakitan yang pemalas. Tapi setidaknya aku harus menghargai diri sendiri sebelum orang lain menilai lebih tinggi dari espektasi mereka terhadapku.
Menghargai diri sendiri artinya mempersiapkan. Ya, tidak harus matang dan seperti idealisme yang kaku. Sedikit demi sedikit. Apa yang untuk-Nya tak sepantasnya disebut letih dan lelah.
Sedalam apa pikiran-pikiran itu merampas waktuku, sedalam apa kekalutan itu menyelam jiwaku, aku tak pernah sendiri.

Terima kasih dan maaf. Ini bukan tulisan untuk #purnama.