Saturday 30 June 2012

AWAL SPRING at PYRAMID

bismillah

Mengawali musim semi “spring” tahun ini, aku dan kawan-kawan satu marhalah mengadakan acara pembubaran panitia MFD (Marhalah Family Day) -yang diadakan khusus keluarga besar masisir Madinah Al Buust Al Islamiyah (The Islamic Mission City)- di komplek wisata Pyramid, Giza.




Keluar dari asrama, sembari membawa bekal, bersama-sama kami berjalan menuju stasiun bawah tanah yang terhitung masih “baru”. Yup, Aboul Basha, Abbasea.
Lumayan sepi, selain karena baru, mungkin juga karena kami datang lebih pagi. Nampak sekali perbedaan yang mencolok antara “bawah tanah” yang bersih, tertata dan “kinclong” dengan suasana perkotaan di atasnya. Saya membayangkan bahwa lalu lintas bawah tanah itu seperti kota modern, begitu masuk, suasananya benar-benar seperti di luar negri deh, hihi…
Kapan ya, Jakarta bisa seperti ini… Salut deh, buat Mesir yang lebih bisa mengoptimalkan penggunaan bawah tanah.
Oya, untuk yang pertama kali naik kereta bawah tanah, atau Metro, jangan kaget ya, jika tiket yang di masukkan di slop mesin entry tiba-tiba tertarik dan muncul di seberang. Hoho…
Setelah transit di Ataba, lalu melanjutkan perjalanan bawah tanah menuju Giza, melewati sekitar 8 setasiun. Wuusss….
sawah bo...
Sampai di stasiun Univ Cairo, selanjutnya keluar dan naik Tramco menuju komplek Pyramid…
Di sebuah pertigaan, kami turun dan berjalan beberapa ratus meter untuk membeli tiket masuk. Sepanjang perjalanan, tertata bunga-bunga yang bermekaran, melepas kepergian dingin di ujung winter, dan menyambut datangnya sejuk musim semi. Spring!
anak kecil, udah jadi kusir
Entah jenis bunga apa yang tertata apik di taman kecil tengah-tengah pertigaan jalan. Juga kami melewati tengah jalan dengan rerumputan dan macam-macam bunga di atas pembatas jalan. Beberapa petak sawah di seberang jalan, membuat kami berdecak kagum, sekaligus mengobati kangen tanah air. Secara, kita kan di gurun…
Sampai di loket pembelian karcis, kami keluarkan senjata pamungkas, eng ing eng… “Kerneh” atau kartu mahasiswa Al Azhar As Syarif. Hehe, buat apalagi kalau bukan buat… (tahu kan?)   (^_*)V
Sempat bersitegang dengan petugas gara-gara banner marhalah yang kami bawa, akhirnya salah seorang kawan nekat membawa masuk komplek tanpa sepengetahuan petugas. Tapi naas, saat sebagian kami telah masuk, petugas yang tadi memeriksa banner cukup tanggap dan melarang kami –yang masih di luar- untuk masuk, sampai banner dibawa keluar. Akhirnya seorang kawan keluar diseret petugas sambil bawa banner. Duh-duh, kasihan deh pokoknya. Seperti anak kecil yang dijewer sama bapaknya gara-gara nakal… hihi. Atau seperti maling yang kepergok petugas ronda. wkwk
Alhamdulillah, setelah beberapa bulan menginjakkan kaki di bumi kinanah, akhirnya aku bisa melihat, meraba, dan berfoto secara langsung dengan pyramid, yang merupakan ikon Negara Mesir!
Selanjutnya, kami sholat Dhuhur berjamaah, acara pembubaran panitia, lalu makan siang, yummy…menu sambel anak Minang, terasa mantap!
ini ngambil fotonya diam2 lho.. ketahuan, bayar 5 LE
Lalu, intinya keliling komplek pyramid sampai sore!
Aku tidak akan menjelaskan detil sejarah Pyramid, karena terus terang, pasti akan bertele-tele dan kurang menarik. Tapi aku mencoba mendeskripsikan sesuai yang kulihat.
ini jalan masuk dalam pyramid lho
Awalnya, ku pikir komplek pyramid itu panas. Soalnya daerah gurun. Ho, ternyata aku harus memegang erat jaket yang kupakai, karena angin yang berhembus cukup dingin dan kencang. Mungkin karena letaknya yang lebih tinggi di banding sekitar, juga masih ada sisa-sisa “winter”.
Yup, ada 3 pyramid inti yang letaknya berdekatan. Sejajar memang, dan dipisahkan sekitar seratus meter antar bangunannya. Yang paling dekat dengan pintu masuk adalah Great Pyramid, itu yang paling besar. Lalu di barat daya nya, ada pyramid yang sedikit lebih kecil, dan di puncaknya terlihat putih, karena bebatuan penyusunnya dibuat rata, disesuaikan dengan bentuknya yang limas segiempat. Sedang Great Pyramid dan pyramid lain di barat daya, permukaan bangunan tetap terlihat bebatuan persegi panjang, meski secara umum berbentuk limas segi empat.
Awalnya, kukira permukaan pyramid itu seperti anak tangga kecil. Sehingga bisa dinaiki hingga puncaknya. Ternyata benar! Permukaannya seperti anak tangga. Tapi satu anak tangga tingginya hampir setinggi kepalaku. Ye.. tak bisa manjat…
 Di bagian utara Great Pyramid, ada pintu masuknya. Terdapat anak tangga yang menuju ke dalamnya. Tapi sayang, turis tidak diperkenankan untuk masuk. Oya, kami –sambil jeprat-jepret ria, berjalan menuju daerah “gurun”. We…. Beberapa bulan di sini tidak pernah melihat gurun yang sesungguhnya.
Nah, daerah gurun itu berada di selatan Great pyramid. Dari sini, bisa mengambil foto dua atau tiga pyramid sekaligus. Juga melewati banyak bangunan yang tertutup pasir gurun. Sebenarnya bangunan-bangunan itu seperti rumah-rumah balok zaman dahulu –kayak di film arab gitu lah- hanya karena tertimbun pasir gurun, setiap pintu masuk, lorong dan gang-gangnya Nampak seperti lubang bawah tanah.
Aku dan seorang kawan, iseng-iseng keluar rombongan dan menelusuri bangunan itu. Ingin rasanya memasuki lobang-lobang itu. Tapi semakin ke dalam semakin gelap, lalu sedikit kami masuk, dan… sampah! Huek!!! Kiraiin… tapi yakin, sebetulnya itu semacam kota yang tertimbun gitu deh…
Begitu keluar, aku mendekati benda putih yang cukup besar. Akhirnya, melihat bentuknya yang begitu, kami saling berpandangan dan…”Tengkorak ontaaa…!!!!” Lari deh, balik ke rombongan.
Menikmati suasana gurun sembari melihat rombongan turis yang memakai kafayeh. setelah puas, kembali deh ke Great Pyramid, namun kali ini ke sebelah tenggara nya. Yap, apalagi kalau bukan…. Spink!
Tapi sebelum itu, sekali lagi, di bagian tempat lain, aku dan kawan yang tadi, kembali iseng melihat-lihat sekaligus menelusuri kawasan bangunan-bangunan kotak yang –kali ini- lebih banyak. Tidak hanya lorong-lorong dan gang-gang yang berbentuk menyerupai labirin. Tetapi di beberapa bagian kami menemukan lobang-lobang. Sebagian dangkal dan banyak yang cukup dalam sehingga ditutup oleh besi yang melintang-lintang. Kami membayangkan bahwa di dalam bangunan-bangunan dan lorong yang tertimbun itu, terdapat rahasia peradaban mesir kuno. Yang belum terjamah tangan-tangan manusia modern.  Uhuy! Pokoke berpetualangan dengan fantasi kita deh.
Lalu di komplek Spink!
Awalnya agak kesal gitu deh. Soalnya, pas masuk, membayangkan bentuk singa berwajah manusia dengan pose aduhai.. ternyata malah masuk ke ruang dengan tiang-tiang besar, agak mirip labirin. Tapi juga seperti panggung coloseum tempat pertarungan gladiator.
Belum lagi beberapa ruangan ditutup, sehingga tidak di setiap ruang bisa dimasuki. Juga terdapat lantai yang dibuat tinggi rendah berbentuk kotak persegi. Entah untuk apa. Selanjutnya, kami menaiki lantai ke atas tanpa anak tangga. Namun terdapat kayu-kayu yang tertata sehingga mempermudah untuk berjalan.
Kembali bertemu dengan cahaya mentari yang sempurna dan…. SPINK!
Meski hidungnya seperti “sule” karena rusak sebagian, dua kaki di depan, ekor yang melingkar di belakangnya… semua dari batu!
Yup…
Itu cerita singkat perjalanan kami ke pyramid. Lebih seru jika anda pergi sendiri ke sana. Maasyi??





SURAT TUK SAHABATKU

bismillah

SURAT TUK SAHABATKU
Kau tahu, sekarang sepi itu benar-benar bertengger tanpa sedikitpun toleransi. Tanpamu. Serius.
Pernah aku merasakan hal itu, berbagi tanpa harus ada yang tersembunyi. Bercerita tanpa harus ada sekat yang membatasi ruang hati kita. Mungkin karena jalan kita searah. Meski berliku tapi sejalur. Hingga tanpa sedikitpun ragu, kita bisa saling membagi.
Atau… itu hanya egoku saja ya?
Kita tertawa, di saat benar-benar hati ingin tertawa. Menangis, menjerit, suka dan duka. Bagaimana bisa semua dalam satu rasa?
Sama, kawan. Kau bercerita dan aku pun jua. Kau mendengar dan di lain waktu aku pun begitu. Setidaknya porsi kita serasa seimbang. Bagaimana bisa aku menemukan sepertimu kembali? Ah, ini kehendak Rabb. Betul?
Aku baru mengerti, mengapa Ia masukkan kriteria “bertemu dan berpisah karena Alloh” itu satu dalam tujuh yang berada dalam naunganNya.
Cukup salah jika kau kira aku jauh mendahuluimu. Bahkan di mataku, kau Nampak semakin jauh melangkah ke depan. Sedang aku?
Ah, masa itu. Aku ingin kembali padanya. Kita kembali bercengkerama, kawan.
Bukan dengan cara bersahabat orang-orang biasa. Persahabatan kita unik. Terlalu unik. Bukan dengan curhat tiada habis berderai air mata. Bukan dengan kue dan lilin saat berulang tahun. Bukan dengan cara biasa…

Bagaimana bisa kita sempat bertemu?
Dengan kilasan waktu tiada sepanjang yang pernah terbersit dalam benakku.
Bisa kau antar aku kembali, kawan?
Bisa kau ajak aku bersama, sobat?
Karena, aku tak pernah lepas lega bertukar pikiran dengan selainmu. Selalu ada sekat. Selalu ada jalan lain yang membentur.
Lantas kawan, bisakah kita kembali?

Tuesday 26 June 2012

REFLEKSI 20 TAHUN -kehidupan yang ku jalani-

bismillah


     Puji syukur atas RahmatNya, saya masih diberi kesempatan untuk berjumpa dengan usia ini. 20 tahun.
     Di momen usia sepertiga Rosululloh Shallallohu alai wa sallam ini, saya kira adalah waktu yang tepat untuk introspeksi diri. Mengevaluasi apa yang selama ini telah saya lakukan. Kelebihan dan kekurangan, utamanya dalam rentang waktu setahun belakangan ini.
     Setidaknya, rasa tidak percaya itu masih terus ada. Seirama dengan kata hati yang bergaung, “Hah, sudah 20 tahun?!”  padahal rasanya baru kemarin lulus SD. Masuk pesantren. Tapi kok, ujug-ujug sudah setua ini ya? Selama ini serasa waktu kurang dioptimalkan. Maka, di penghujung usia ini ternyata prestasi yang dihasilkan sebegitu minimnya. Jauhlah dari cita-cita dan mimpi ketika masih kecil. Astaghfirulloh!
     Kira-kira 6 bulan –lebih sedikit- saya tinggal di Cairo. Mengejar mimpi masa sekolah saya ketika di pesantren. Dalam rentang waktu 6 bulan ini, jika diibaratkan seperti janin dalam kandungan, terhitung premature jika terpaksa keluar dari rahim seorang ibu. Seperti itu pula yang saya rasakan. Jika harus pulang ke tanah air pada liburan summer ini, seperti beberapa kawan, wah bisa mati kutu. Belum punya ilmu apa-apa kecuali secuil –juga selain karena tak ada biaya, hehe-. Beban berat sesungguhnya masih belum terpikul. Perubahan apa yang bisa saya lakukan jika bermodal ilmu yang cethek? Dangkal?
     Masih dalam kurun waktu setengah tahun itu, ada banyak peristiwa terjadi. Pengalaman-pengalaman baru yang penuh suka duka terjalani. Berkenalan dengan kawan-kawan dari berbagai penjuru dunia. Mengenal budaya dan karakter mereka. Juga banyak hal lain yang patut disyukuri, sekaligus direnungi, agar menjadi pelajaran bagi saya dalam rangka perbaikan diri. Dari itu semua, ada beberapa hal yang patut untuk dicatat.
     Pertama, Husnudzon pada Alloh.
     Setahun yang lalu, saat bermuhasabah. Dengan penuh percaya diri, saya menulis kata GAGAL dalam kamus hidup. Tak lepas dari apatisme yang saya ciptakan sendiri. Target untuk menuntut ilmu di bumi kinanah tidak tersampaikan. Membuat saya lumayan frustasi. Setelah perjuangan setahun lebih mencari link beasiswa ke sana kemari. Menunggu hasil test Sifaroh yang terasa nihil. Sampai mimpi berada di Mesir, yang saya pikir adalah manifestasi kuatnya keinginan belajar di sana.
     Semua –saat itu- saya sadari sebagai sebuah kegagalan. Namun saya selalu optimis bahwa bahwa Alloh punya rencana terbaik untuk saya. Selanjutnya, mimpi itu saya kubur sementara. Mungkin Alloh akan ijinkan rihlah menuntut ilmu saya nanti, ketika menempuh Magister (aamiin).
     Dan sekarang saya berpikir, bahwa keberanian memutuskan dan menstigma “gagal” dalam diri itu, bukan sesuatu yang benar, belum berarti bahwa saya telah berkhusnuddzon padaNya. Semua itu terbukti setelah sekian waktu berlalu. Kira-kira 7 bulan sesudahnya, saya de javu dengan keadaan depan asrama internasional Al Azhar. Lho, kok keadaannya seperti yang kuimpikan beberapa bulan lalu ya?!
     Kedua, tempaan kedua orang tua.
     Ummi dan Abi. Mereka adalah sosok yang membuat saya speechless jika harus membicarakan tentangnya. Terlalu banyak hal yang saya dapatkan dari tempaan didikan yang mereka ajarkan buat saya, buat kami, anak-anaknya.
     Banyak hal yang dulunya saya remehkan. Saya anggap sebagai ketidakbebasan. Dan kini saya harus bersujud syukur atas hal itu. Saya belajar bagaimana menyikapi berbagai himpitan hidup agar menjadi lahan kreatifitas dan kenyamanan. Bagaimana untuk selalu berpikir positif dalam menghadapi setiap kesulitan, bagaimana cara memandang dunia dengan tidak menjadikannya sebagai satu-satunya patokan kesuksesan. Juga memahami bahwa menuntut ilmu itu, tidak pandang usia. Long life education!
     Tentang bagaimana mereka menempa kami untuk menjalani hidup, khususnya untuk selalu bersabar. Senada dengan Imam Nawawi saat mengklasifikasi sabar dalam 3 hal dalam Syarah Shohih Muslim. Sabar dalam ketaatan padaNya. Sabar dalam tidak bermaksiyat padaNya. Sabar dalam menghadapi dunia dan segala yang tidak kita sukai.
     Ketiga, upgrade niat.
     Jalan hidup berliku. Tidak semulus dan selurus jalan tol. Selalu ada tantangan dan rintangan. Pasti itu.
     Begitu juga dalam menuntut ilmu. Selalu saja ada hambatan. Entah itu internal, rasa malas, bosan, kehilangan semangat belajar, mood yang tidak mendukung dan futur. ataupun eksternal, cuaca yang tidak selalu mendukung, jadwal dan diktat yang tidak pasti, juga birokrasi yang riweuh.
     Seringkali membuat hati panas dingin. Mood yang fluktuatif. Efeknya, ya belajar jadi aras-arasen. Tidak semangat. Itu tidak hanya berlaku pada diktat kuliah. Tapi di tempat-tempat talaqqi dan hifdzul quran juga nyaris sama. Terlebih di saat-saat seperti ini, kawan-kawan syareah dan lughoh sudah selesai, nah anak-anak ushuluddin masih berkutat dengan ujian. Tidak tanggung-tanggung, jaraknya sepekan!
     Yang lain sudah gempar berbicara liburan, kita harus stay focus, IMTIHAN!
     Maka, upgrade niat itu, perlu!
     Sangat!


     Keempat, banyak hal yang harus diperbaiki.
     Dalam hal finansial misalnya. Baru sekarang saya sadar. Ternyata mengelola keuangan itu, lawan terberatnya adalah hawa nafsu. Saat uang beasiswa cair, wah pikirannya sudah ke sana kemari, ingin ini ingin itu. Meski kalau dicermati, saya termasuk yang paling hemat di antara kawan-kawan. Mungkin kebiasaan dari kecil yang membuat saya tidak terlalu boros. Sengaja orang tua tidak memberi uang saku sejak kecil.      Jadi, kami tidak terbiasa “harus” jajan. Juga saat ikut orang tua berbelanja ke supermarket, ada aturan tidak tertulis yang selalu melekat di benak kami, “Dilarang merengek dan minta jajan!”
     Dan, wow. Peraturan itu serasa masih melekat sampai sekarang!
     Seperti yang sebelumnya saya katakan, sampai saat ini, ilmu yang saya dapatkan masih sangat minim. Padahal kalau mau serius, juga dengan strategi yang benar, seharusnya saya bisa dapat lebih. Seharusnya. Tapi begitulah manusia dan egoismenya, cenderung berpikir apa yang bisa saya lakukan, sedangkan orang lain melihat apa yang telah dilakukannya.
     Wawasan yang minim. Terlalu banyak “memikirkan” daripada take action! Akibatnya, ya begitulah.
Terkadang rasa iri itu bercokol. Melihat teman-teman semasa di pesantren yang cepat berkembang pemikirannya. Sukses dengan lahan dakwah yang mereka geluti. Sukses dengan rumahtangganya (eit, yang ini belum bikin iri kok). Semua terus berpacu. Melangkah maju. Tapi rasanya saya masih jalan di tempat. Minat baca yang berkurang membuat saya jadi kurang percaya diri saat ingin menyampaikan argumen, pendapat dan saran dalam banyak hal dan kesempatan.
     Namun itu semua membuat saya sadar, bahwa menjadi manusia sempurna yang saya cita-citakan saat kecil itu tidaklah mungkin terjadi. Bukan berarti bersikap apatis dan mudah putus asa. Tapi satu hal yang patut untuk dicatat, bahwa tidak sepantasnya kita mendewakan usaha. Manusia berusaha, tapi Alloh sebagai pengatur hasil akhir.
     Juga setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Itu pula yang membuat saya sadar, bahwa tolak ukur diri bukan dari orang lain. Tapi diri sendiri. Bukan mengungguli orang lain. Tapi berperang melawan hawa nafsu. Barangkali itu yang membuat seorang tabiin berkata, bahwa sekarang kita berpindah pada jihad yang besar, melawan hawa nafsu.
     Emosi yang masih labil. Cukup saya sadari. Masa muda yang ingin menang sendiri. Sedikit demi sedikit saya memahami corak pemikiran kawan-kawan.Ternyata berbeda. Ada yang jauh, ada yang hampir sama, kalau tak ingin dikatakan nyerempet-nyerempet. Memahaminya, bukan lantas mudah menyikapi.
     Seringkali terlibat debat kusir yang ingin saya menangkan, padahal untuk meninggalkannya bukan berarti saya kalah, dan salah. Terlalu cepat bertindak tanpa pemikiran yang matang. Juga ketidak mampuan menyikapi watak dan karakter orang lain. Masih banyak hal yang harus saya pelajari. Saya cermati. Menentukan kapan waktunya bersabar dengan mengalah atau harus bertindak tegas dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar ,  di mana spirit untuk itu semakin terasa gersang. Allohummaghfirli…
     Entahlah, mungkin nantinya aka nada komentar, “Nun, kamu berubah”. Setelah berbagai peristiwa yang saya alami dan jalani di negri ini sepanjang perjalanan saya menuntut ilmu. Terlepas dari hal itu, buat saya, keragaman cara berpikir tidak sepatutnya menjadikan kita merasa berada di kubu paling benar.
Menyitir perkataan Imam As Syafi’i,
قولى صحيح محتمل الخطاء و غيرى خطاء محتمل الصحيح
     Masih di awal usia menuju 21 tahun, saya mencoba untuk terus-dan terus perbaiki diri. Setidaknya dalam kurun waktu 4 tahun ke depan, dengan waktu sesempit itu, dasar-dasar ulumuddien harus saya raih dengan maksimal. To be better, in syaalloh, biidznillah…

                                                                                       Islamic Mission City for Girls, Abbasea
                                                                                         Cairo,26 Juni 2012

                                                                                          Ainun Mardiyah

Thursday 7 June 2012

Sesekali terjebak...

bismillah

Adakalanya, kita (atau hanya saya saja ya?) terjebak dalam suasana yang melankolis. Suatu perkara kecil menjadi “wah” dan “ehm” karena didramatisir.
Terkadang tersadar dan segera bertindak. Namun seringnya sadar tapi no respond. Membiarkannya begitu saja. Tanpa ada keinginan dan kesadaran untuk segera bangkit dan menyadari akan hakikat yang sebenarnya.
Sesekali terjebak di dalamnya, tak apa. wajar. Fitroh. Manusiawi.
Namun yang lebih penting, bahwa kita berada di alam nyata. Harus bertindak sesuai fakta!
Tindakan-tindakan yang lebih real, itu yang dibutuhkan!
Dan membangunkannya dari diri sendiri bukanlah perkara mudah. Ya, terkadang kita butuh motivasi dari luar.
Apakah harus dari teman? Orang lain?
Saya kira, tak hanya sebatas itu. Ada banyak sarana penunjang untuk bangkit. Memotivasi diri.
Dari buku-buku.
Biografi tokoh yang kita anggap “subhanalloh”!, de el el.
Tentu lain lagi ceritanya, jika berurusan dengan hal-hal yang membutuhkan imajinasi. Fiksi. Membuat cerpen, puisi, dan karya fiksi lain yang menuntut pendalaman rasa.
Kalau buat saya sih, juga mungkin buat mereka-mereka yang “traumatis”, terjebak dalam suasana melankolis itu… sebuah cobaan besar. Seperti penjara. Seperti candu.
Anda ingin keluar, tapi sulit. Sedang di sisi lain anda “kecanduan” di dalamnya.
Akibatnya, saat mengingat sedikit saja dari apa yang pernah di alami –saat terjebak dalam suasana mellow- waduh… sulitnya untuk bangkit dan pergi. Terjebak dalam fantasi sendiri sekaligus perasaan tersiksa itu tak jua lenyap.
Saya beri contoh dari yang pernah saya alami ya…
Misalnya, pernah suatu hari. Tanpa sengaja saya menginjak –entah hewan lunak apa itu- yang bentuknya mirip bekicot tanpa cangkang. Dan… KYAAAA!!! Entah berapa jam saya harus guling-guling di atas kursi sambil bulu kuduk yang terus berdiri. Sambil terus-terusan mengelus kaki dan perut mual. Kejadiannya sudah sekitar 3-4 tahun lalu. Tapi -bahkan- saat menulis ini, bulu kuduk berdiri. Hueeek!
Ya, kejadian-kejadian sepele lain juga tak bisa lekang dari benak sampai saat ini.
Saat SD, pernah menyeberang jalan, e… dari belakang ada orang naik sepeda yang nyaris menabrak saya. Kena semprot deh. Iya sih, saya yang salah, tidak tengok kanan kiri sebelum nyebrang. Sampai sekarang masih malu kalau mengingatnya.
Pernah lagi, tanya pangkalan bus Purwokerto di terminal Tirtonadi. E… malah di sindir,”wu… neng terminal kok ra mudeng! Takon-takon tak blusukke mengko!!”
wu… dasar! Di terminal kok tidak tahu! Tanya-tanya aku tipu nanti!!”
Grrr…  pengen marah tapi malu juga…
Wuaaah… banyak hal deh!!!
Apalagi kalau dibentak-bentak. Dimarahin. Apalagi yang sifatnya mempermalukan. Mungkin itu sebabnya, saya lebih senang menghindari yang namanya “permusuhan” (pleghmatis cinta damai euy).
Saya pikir tidak selamanya itu menjadi sikap terbaik. Karena yang saya rasakan, bersikap seperti itu, serasa menjadi orang munafik. Inginnya moderat. Tapi pada hakikatnya “laa ila haaulaai wa ila haaulaai”. naudzubillahi min dzalik.

Wah-wah… tulisan ini sulit di pahami ya. Meloncat-loncat tidak karuan.
Bahkan mungkin sudah beda topic. Tak apa lah. Biar saya yang menikmati. Hehe

Monday 4 June 2012

Meniti Awal Perjalanan 12

bismillah

Aku dan adikku kembali ke rumah pakde di wilayah Utan Kayu. Akhirnya kami mulai mengerti cara-cara menggunakan busway, yang tidak jauh berbeda dengan “transjogja”.
Alhamdulillah. Visa turun! Aku hanya memandang stiker visa yang tertempel di pasporku. Sulitnya mendapatkanmu… hmm…
Setelah memesan tiket Jakarta-Cairo lewat kakak kelas di Mesir, kebetulan yang tercepat adalah awal bulan Desember. Masih beberapa hari lagi. Ya, akhirnya… kepastian itu datang juga… Hamdan lillah!
Merasa tidak ada kegiatan di rumah Pakde, kuputuskan untuk silaturrahim ke LIPIA. Kebetulan ada banyak kawan yang kuliah dan tinggal di asrama. Sementara adikku harus segera kembali ke Solo. Dia sudah cuti dari mengajar sejak abi sakit. aku kasihan jika dia harus menemaniku hingga keberangkatan beberapa hari lagi.
Ya, terakhir kali kami bertemu, di shelter busway Manggarai. Ia mengantarkanku ke LIPIA. Un  tuk terakhir kalinya, kami berpisah. Mungkin tidak akan bertemu lagi kecuali empat tahun lagi…
Ma’assalamah, jun…
Setelah menginap di asrama LIPIA semalam, esoknya, saat teman-teman kuliah. Seorang kawan yang sudah menikah, sengaja datang ke LIPIA. Menemuiku. Mengucap kata perpisahan. Juga seorang kawan di Magetan, via telepon. Masih jelas apa yang ia katakan saat aku meminta kata terakhir, “Ihfadzillah, yahfadzka…”
kenang2an dari Naylin dan Apik
Sore itu, aku kembali ke rumah pakde.  Setelah berpeluk mesra dengan kawan-kawan LIPIA. Marhamah, Fua’ah dan Nisaul…Mereka mengantarku hingga shelter Maggarai. Uhibbukunna fillah, ya akhowati…
Esoknya, Naylin dan Apik menyanggupi mengantarku hingga ke airport. Mereka sengaja datang dari Bogor dan Bekasi ke rumah pakdeku. Ya, malam nanti, aku akan take off dari Soekarno-Hatta Airport menuju Cairo, dengan transit di Kuwait.
Naylin memberiku “les singkat” tentang tata cara di bandara. Sementara dari kawan-kawan Mesir, aku bahkan sampai bertanya pada 3 orang berbeda tentang tata cara transit. Ya, maklumlah. It’s my first flight. Penerbangan pertama, pakai transit, internasional pula. Kan kalau nyasar, tidak bisa disamakan dengan nyasar di terminal Jakarta…
Pakde Anto dari Purwokerto datang, mewakili keluarga intiku, yang tak satupun bisa hadir (hiks). Juga beberapa Om dari adik nenek di Lampung yang tinggal di Jakarta, ikut mengucap salam perpisahan sebelum akhirnya aku, dua pakde, bude serta Naylian dan Apik pergi ke bandara. Dengan mobil Pakde, kami langsung menuju airport… Ya Rabb, aku akan meninggalkan Indonesia…