Wednesday 30 December 2015

2015 Tak Boleh Jomblo

bismillah



Besok saya akan menikah-in syaallah.
Setelah melalui proses-proses yang terkadang sangat di luar praduga sekaligus rencana. Yang tak bisa saya tampik, telah membuat saya meninggalkan banyak hal; amanah, tugas, rencana dan beberapa target. Ala kulli hal saya mengakui kekhilafan itu, dan semoga pihak-pihak yang terkait mampu memaafkan keinsafan diri ini (lho, ngarep banget..).

Sejak lama saya ingin menulis dan berbagi isi pikiran. Menyusunnya dalam rangkaian kata ala diri sendiri saat mood itu terbentuk. Tapi hm… akhirnya di hari -1 H, baru jemari saya sembunyi2 menari dalam kamar seorang diri. di tengah kesibukan mempersiapkan esok dan acara selanjutnya, sebenarnya saya ingin berbagi tentang rasa-rasa mengecap udara Indonesia setelah 4 tahun tak bersua. Walau jika menurut hitungan tahun matahari, belum sampai 4 tahun saya merantau di bumi Mesir.

Tapi ternyata, rasa itu bercampur aduk dengan even esok hari-sekali lagi, in syaallah- saya akan menggenapkan separuh dien. Hal ini pula yang ternyata membuat konsep “liburan” yang selama ini saya idam-idamkan sedikit (kalau tak boleh bilang banyak. Hiks)berubah.

Iya, liburan itu bukan dengan arum jeram, naik gunung ataupun snorkling. Melainkan, menjahit baju (apa gaun ya?) beserta beberapa aksesoris pernikahan lain, memasak, melipat dan menyebarkan undangan, souvenir, berberes-beres rumah daaan sebagainya.

Ada suka duka yang berlapis-lapis dan silih berganti. Terkadang air mata bahagia berselingan dengan kekhawatiran dan rasa lelah. Meskipun Ummi adalah yang tersibuk dan pusat segala persiapan nikah, walimah dan penyambutan tamu jauh, beberapa hal cukup menguras tenaga. Abi yang tiba-tiba jatuh sakit dan saudara laki-laki yang jauh ataupun tengah sibuk dengan khidmahnya.

Dengan begitu, bagi saya, tidak ada istilah anak laki-laki atau perempuan. Saya adalah keduanya. Mulai dari urusan dapur, pakaian, memasang lampu, angkat galon, hingga mengantar kasur, harus saya kerjakan.  Dengan kata lain pula, tidak ada istilah “dipingit”.

Yang patut saya syukuri dari hal itu, adalah kebiasaan saya yang tidak membedakan apakah sesuatu itu pekerjaan laki-laki atau perempuan. Selama itu mampu saya lakukan, maka akan saya lakukan. Sebenarnya ada hal yang cukup menarik buat saya; ketika mas saya pulang, ada bangkai cicak di dekat rak buku. Begitu abi perintahkan mas buat membuangnya, ia justru beringsut dan memohon pada saya untuk mengambilnya. Kalau boleh saya terjemahkan mimik wajahnya, “Plis, Nun. Tolong buangin cicak itu… aku jijik bangeeeet.”

Lho.. malah crita itu tho…

Pada awalnya saya ingin fokus pada bagaimana perasaan menjelang hari H. satu pertanyaan,”Deg-degan gak sih?” tentu jawabnya iya. Masalahnya adalah waktu, kapan itu dag dig dug nya? Pertama, ketika saya masih di Kairo dan si dia melamar ke rumah di Solo. Selepas itu kok ya… biasa saja ya. Hehe. Bahkan saat beberapa kawan menanyakan,”H min berapa Nun dari sekarang?” nah, saya malah hitung jari sambil mikir. Benar-benar ndak ingat. Bukan karena apa, tapi ya itu lho, namanya persiapan pulang itu ternyata banyak yang harus dipikir dan dijalankan. Kemudian ijroat dan bermacam persiapan juga menguras tenaga dan pikiran hingga masalah hati kadang terlupakan (kadang aja lho ya, deg2an ndak dipungkiri, meski itu kecil sekali).

Namun di awal kepulangan, saya sempat agak stress juga. Antara bingung, tidak yakin dan keragu-raguan yang kadang menyusup itu ada. kenapa harus dia apakah keputusan di saat ini telah tepat? Apakah saya sudah siap? Dan banyaaak lagi. Hal yang seringkali juga diceritakan beberapa teman yang pernah mengalami. Imbasnya memang tidak hanyak ke psikis, tapi ke fisik juga. Saya lho, yang selama 4 tahun di Kairo hanya sekali kena sariawan, begitu pulang langsung panen. (hehe). Belum pula batuk yang hingga sebulan tidak sembuh2.

Lho, nyasar lagi tulisan ini. deg-deg an yang kedua saya rasakan kemarin. Jika selama ini bayangan si dia hanya ada dalam fantasi dan memori berbulan-bulan silam, tiba-tiba malam kemarin fantasi itu hilang dan terganti dengan sebuah kenyataan; iya Nun. Dia dan keluarganya telah tiba di sini, di Solo, di rumahmu! Iya, yang kau lihat dengan sekilas-sekilas dan kau hindari tatapan matanya itu ada di depanmu! Itu calon suamimu!

DUAARR!!!

Hehe. Lebay sedikit tak apa ya…

Bismillah, besok saya akan menikah, tidak jomblo lagi tahun 2015 ini.
Semoga niatan kami ini adalah niatan untuk beribadah. Amin. Doanya ya….



                                                                                             Solo, 9 jam menuju Akad

Monday 13 July 2015

Mengenang Almarhumah

bismillah
Setahun telah berlalu, tepat dengan kepergian kakak, teman, sahabat, uni kami di Buuts. Almh. Gusti.

Tepat selepas banat Indonesia di Buuts mengkhatamkan tasmi’ alquran 30 juz selama Ramadhan- yang dibagi 10 juz tiap pekan, diadakan khataman sekaligus doa bersama khususnya bagi almarhumah.

Terlepas dari kelanjutan proses hukum atas darah almarhumah yang kini tak lagi terdengar, mengenang dan mendoakan beliau menjadi hikmah yang tiada tara bagi kita semua.

 




Setelah doa dan usapan air mata, ada satu rasa yang mengharu biru.
"Indah sekali jika kita memiliki kawan yang tak hanya berbagi suka duka di dunia, tapi juga selalu mendoakan meski kita telah tiada."

Semoga kita dikaruniakan sahabat dan kawan yang selalu mendoakan kita.

Semoga Uni bahagia di sana, semoga Uni berada dalam ridhoNya.
Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fuanha.




                                                       Islamic Mission City for Girls, Abbasea, Cairo

Friday 26 June 2015

23?

bismillah
Iya, tidak terasa waktu begitu cepat saya tercengang saat tahu umur Abi sudah 48 tahun ini. padahal pertama saya hitung, saat itu Abi tercinta masih 35  T0T. begitu pula saya yang 25 Dzulhijjah 1412 lahir ke dunia. Aii.. janganlah pakai kalender Hijriyah, makin tua saya nanti… (^_^)
Satu pertanyaan yang tiba-tiba terngiang, apakah Ainun telah berubah?
Pertanyaannya terlalu mutlaq, butuh di taqyiiid –klo kata anak2 syareah-. Tapi jujur, perubahan-perubahan itu terjadi, dan saya begitu merasakannya. Mulai dari egoisme tingkat dewa beserta keberanian membara sewaktu SD, hal itu semakin pudar seiring berjalannya waktu.
Iya, mau tak mau semua terasa di masa puber, saat saya masuk pesantren dan bertemu plus berinteraksi 24 jam dengan teman-teman dari berbagai pelosok tanah air. Ya. Semakin saya bertemu kawan dan orang-orang dari bermacam suku dan kebangsaan, semakin saya-mau tak mau- berubah.
Mungkin kawan-kawan semasa di pesantren akan terkejut, saya yang dulunya-menurut pengakuan someone- ditakuti (terutama santriwan) sekarang lebih bisa luwes bicara dengan siapa saja (kecuali orang-orang yang terlanjur mendapat stigma “kurang sopan” di mata saya).
Saya yang awalnya merasa dunia ini “satu” mulai melihat ternyata dalam “satu” itu ada ribuan warna. Ai.. terlalu banyak perubahan-perubahan yang telah mengubah pandangan saya. dan semua berintegrasi dalam berbagai hal; selera, kesadaran berpikir, hobi, juga tingkat loyalitas dan stress (lho? Eh, tapi ini jujur kok)
Baru saja saya buka file lama, termasuk 50 impian yang saya tulis sebelum pergi ke bumi Kinanah ini. iya, banyak yang belum terlaksana dan.. entahlah. Setidaknya ada hal lucu yang baru saya sadari; betapa jiwa kekanakan saya nampak jelas. Saya sendiri tak tahu apa yang saat itu ada dalam pikiran saya sehingga menaruh impian untuk mengunjungi piramid dan spink (sudah terlaksana di awal tahun 2012) pada urutan 40. Sementara impian untuk sekedar pergi ke Dufan saya taruh pada urutan ke 19. Hihi. Faktanya hingga saat ini impian no 19 itu belum terlaksana atau justru-kalau boleh- saya ganti dengan Dream Parknya Mesir.
Ala kulli hal, harapan dan impian itu masih ada; -meski saya bukan backpacker sejati- saya ingin keliling dunia, mereguk tiap pesona alam dan mentadaburi ayat Kauniyah Nya.
Sekalipun terlalu banyak impian yang belum terwujud, saya percaya Allah akan beri yang terbaik. Seperti cita-cita besar saya dahulu; kalau nggak jadi ahi nuklir, ya minimal dokter. Hwe.. melenceng ke mana itu, Mbak???
Pun demikian, masih banyak impian yang tidak seutuhnya terpenuhi. Nantinya saya akan coba penuhi itu, mungkin tidak semua sekaligus, tapi satu demi satu. iya, perlahan saja. Sambil dinikmati, sekalipun itu hal yang cukup sulit bagi seorang yang tidak sabaran macam saya. he
Dan kini, saya tengah dihadapkan pada soal-soal yang sulit untuk dijawab. Pertanyaan yang selama ini menunggu jawaban, namun harus saya pending demi sesuatu yang telah setengah saya kultuskan; prinsip. Di antara jawaban itu, tentu ada pahit manisnya. Dan masing-masing membawa konsekwensi yang saya hadapi, juga melibatkan banyak orang.
Iya, sebab di antara jawaban-jawaban itu, terkadang bagi saya cukup jelas, namun ternyata tidak bagi orang lain. ujung-ujungnya, jawaban itu menjadi multitafsir, dan mungkin saja sang penafsir mentakwil sesuka hati. Bukan salah pula hal itu. saya pikir tiap orang punya hak, namun juga dengan konsekwensi yang harus ditanggung.
Pada akhirnya, saya mengakui sekaligus tersadar. Sebuah kesadaran yang telah saya ketahui semenjak Sekolah Dasar dan ingin saya merubahnya. Namun hingga kini hal itu belum bisa terlaksana; satu, tentang rasa percaya diri. Dua, saya bukan orang yang ahli dalam berkomunikasi.
Meski demikian, saya tidak ingin apatis. Meski dalam pikiran-pikiran yang terus menggedor kepala itu ada banyak waktu terbuang, konsentrasi yang terkorupsi dan perasaan tertekan yang seolah tiada jeda. Di depan saya ada tugas-tugas yang –ah, terkadang saya benci kenapa dalam hal tertentu saya menjadi seorang loyalis dan penurut yang baik- harus diselesaikan. Meski yah.. mungkin tidak sesempurna yang diharapkan. Tak apa. bukankah… lebih baik telat daripada telat banget?
Ala kulli hal, jazakumullah khoiro untuk semua doa n ucapan teman2, adek2, kakak2 (ehm), baik via WA, inbox (erm…), maupun status (eh). Maaf juga untuk beberapa yang sudah saya buat sakit hati atau saya kecewakan.

*jika anda bingung dengan tulisan ini, maka high five. Me too!

                                                                                      Cairo, mengawali usia baru, 27 Juni 2015





eits?

Wednesday 10 June 2015

Soal Imtihan Qabul Al Azhar 2010 (part 4)

bismillah
Alhamdulillah, akhirnya ujian termin 2 Fak. Ushuludin, Jurusan Hadis Putri Al Azhar Cairo, sudah selesai kemarin. Semoga ujian kemarin adalah ujian terakhir kami di marhalah License. Dan awal bagi saya untuk dapat melanjutkan ke jenjang Magister di Al Azhar, plus akhir tahun ini bisa pulkam ke Solo, plus….ehm. (doakan yang baik-baik pokoknya). Aamiin.

Ikut do’akan juga ya.. (^_^)

Sesuai janji saya dengan adik-adik almamater Al Mukmin Ngruki Solo, soal-soal imtihan qabul 2010 saya upload. Ada 4 paket soal. Dulunya pernah saya upload di scribd, tapi entah hilang ke mana. He.

Ala kulli hal, Semoga dapat bermanfaat bagi kawan-kawan yang membutuhkan. Sekali lagi, doakan kami ya (^_^)


Tanpa perpanjang kalam, cekidot, sis, bro…!




SOAL IMTIHAN QABUL AL AZHAR 2010 (Part 3)

bismillah
Setiap tahun, Universitas Al Azhar Mesir melalui Depag, mengadakan ujian seleksi non-beasiswa bagi putra putri Indonesia. Di antara peminat seleksi Al Azhar ini, banyak kawan-kawan yang tidak memiliki gambaran tentang soal ujian, utamanya mereka yang tidak memiliki alumnus dari almamaternya yang belajar di Negeri Kinanah ini.

Meski saya pribadi tidak pernah mengikuti ujian Depag, dan juga soal-soal ujian yang pernah saya kerjakan di Mesir sepertinya cukup berbeda dengan soal Depag.  Karena permintaan beberapa adik kelas dan kerabat, terutama alumnus Pondok Al-Mukmin Ngruki Surakarta. Berikut paket soal imtihan Qabul Al-Azhar yang saya miliki. La’alla nafi’an.


*Afwan, karena file hasil scan terlalu besar, saya perkecil size nya. Kalau ingin yang asli, silakan temui saya di Madinatul Buus lil Banat, Abbasea, Cairo. Ting!





Soal Imtihan Qabul Al Azhar 2010 (part 2)

bismillah


Setiap tahun, Universitas Al Azhar Mesir melalui Depag, mengadakan ujian seleksi non-beasiswa bagi putra putri Indonesia. Di antara peminat seleksi Al Azhar ini, banyak kawan-kawan yang tidak memiliki gambaran tentang soal ujian, utamanya mereka yang tidak memiliki alumnus dari almamaternya yang belajar di Negeri Kinanah ini.

Meski saya pribadi tidak pernah mengikuti ujian Depag, dan juga soal-soal ujian yang pernah saya kerjakan di Mesir sepertinya cukup berbeda dengan soal Depag.  Karena permintaan beberapa adik kelas dan kerabat, terutama alumnus Pondok Al-Mukmin Ngruki Surakarta. Berikut paket soal imtihan Qabul Al-Azhar yang saya miliki. La’alla nafi’an.


*Afwan, karena file hasil scan terlalu besar, saya perkecil size nya. Kalau ingin yang asli, silakan temui saya di Madinatul Buus lil Banat, Abbasea, Cairo. Ting!





SOAL IMTIHAN QABUL AL AZHAR CAIRO 2010

bismillah
Setiap tahun, Universitas Al Azhar Mesir melalui Depag, mengadakan ujian seleksi non-beasiswa bagi putra putri Indonesia. Di antara peminat seleksi Al Azhar ini, banyak kawan-kawan yang tidak memiliki gambaran tentang soal ujian, utamanya mereka yang tidak memiliki alumnus dari almamaternya yang belajar di Negeri Kinanah ini.

Meski saya pribadi tidak pernah mengikuti ujian Depag, dan juga soal-soal ujian yang pernah saya kerjakan di Mesir sepertinya cukup berbeda dengan soal Depag.  Karena permintaan beberapa adik kelas dan kerabat, terutama alumnus Pondok Al-Mukmin Ngruki Surakarta. Berikut paket soal imtihan Qabul Al-Azhar yang saya miliki. La’alla nafi’an.


*Afwan, karena file hasil scan terlalu besar, saya perkecil size nya. Kalau ingin yang asli, silakan temui saya di Madinatul Buus lil Banat, Abbasea, Cairo. Ting!








Tuesday 26 May 2015

Tidak Nyambung

bismillah
“Kamu gaul banget sih…” Ucap Maryam di tangga.
“Asli, Nduk. Aku mau tetanggaan sama kamu…” Canda sekaligus support Mba Anisa di depan mesin cuci.
“Sholihah banget kamu ni…” Kata Kak Tifau saat aku di dapur.
Pertama, karena saya memperbaiki kipas anginnya. Kedua, saat itu saya minta bantuan tenaga kakak kelas untuk memperbaiki mesin cuci yang tersumbat. Ketiga, saat saya perbaiki kompor listrik di dapur. Aih, seandainya tolak ukur ke-shalihah-an wanita adalah keberhasilannya memperbaiki barang elektronik, tentu saya kerjakan semua :D

Sebenarnya skill-atau kalau boleh saya sebut “kemauan”- mengotak atik alat elektronik rumah tangga, tidak sedikit terdapat pada perempuan. Masalahnya adalah ketika hal-hal demikian terlanjur di-judge sebagai wilayah laki-laki. Kau tahu, seringkali kita terlalu lebay berdecak dan heran melihat perempuan melakukan hal-hal –yang sebenarnya- cukup sederhana. Kita bisa melakukannya, Sis!

Bukan. Bukan berarti kita-wanita- semua harus memiliki skill yang selama ini dianggap sebagai milik laki-laki. Justru agar kita sadar bahwa intinya bukan pada “kamu punya skill atau tidak” tetapi “kamu mau mengerjakannya atau tidak”.

Toh, selama ini terkadang saya juga gagal “menghidupkan” kompor kendatipun semua komponen telah tersambung. Saya juga dua kali gagal menganalisa kerusakan motor pengering mesin cuci (hehe, ya iyalah!). Begitu pula dengan setrika Philips yang ternyata juga RIP di tangan seorang mahasiswa Tehnik elektro asal Thailand.

Dan dua hari berturut-turut, saya seolah menjadi muhandis bagi barang-barang elektronik buus banat. “Sebenarnya prinsip saya sederhana saja,” kataku saat memperbaiki kipas angin seorang kawan,”sesuatu yang putus itu masih bisa disambung.”

“Kecuali,” Sahutnya,”mantan.”

Kami tertawa.

“Kamu bisa beginian sejak kapan?” tanya seorang lain. Saya pun memutar memori untuk menjawabnya. Tapi tidak menemukan jawaban itu.

Baru selepas ujian tadi saya mulai berpikir. Semua hal yang saya lakukan dewasa ini tidak terlepas dari pengalaman masa kecil. Baik itu berupa pengalaman maupun cerita ummi abi yang memotivasi.

Saat abi menyambung kabel misalnya, saya suka memperhatikan. Mau tak mau, ingatan itu terekam baik di memori. Namun saking seringnya saya mengutak-atik kabel, nyaris saya lupa bahwa awalnya saya tahu bagaimana memotong karet pembungkus tembaga itu, dari abi. Lalu, ummi juga pernah bilang saat saya masih di bangku SD,”Dulu, yang bisa memperbaiki lampu dan barang-barang elektronik di rumah, bukan Pakdhe, bukan Eyang, Nun. Tapi Umi!”. Hal itu yang membentuk pola pikir saya. elektronik bukan hanya ranah lelaki!

Karenanya, perempuan yang bisa skill-yang seringkali dianggap kasar- bukan berarti tomboy. Saya lho, selepas memakai inai di kuku, lalu perbaiki kompor. Hehe

Lalu hmm.. apa lagi... Menjahit!

Meski bukan pro, dan masih banyak kekurangan di sana sini. Saya juga bisa menjahit. Sekali lagi, buat saya segala sesuatu tidak diukur dengan “punya skill atau tidak” tapi “mau kerjakan atau tidak”. Eh, kecuali dunia tarik suara, saya angkat bendera putih tinggi-tinggi!

Saat putar memori, ternyata pertama kali saya pegang jarum dan benang itu… saat masih di Wonogiri, berarti saat saya TK atau kelas 1 SD. Iya. Saya lupa menjahit apa, yang jelas ummi hanya izinkan saya menggunakan alat jahit sederhana itu. dan untuk mesin jahit, karena keluarga kami baru memilikinya saat saya kelas 3 atau 4 SD, abi lah yang pertama kali menyuruh kami (termasuk mas n adek) untuk belajar mengayuh mesin. Abi lho. Bukan ummi.

Ya, ternyata semua kembali pada orang tua. Saat abi dan ummi mengizinkan anak-anaknya untuk belajar atau bahkan sekedar melihat pekerjaan rumah tangga mereka, ternyata melahirkan pola pikir yang berpengaruh besar dalam masa depan anak-anaknya.

Hal ini semakin saya sadari saat seorang kakak kelas bercerita. Sejak kecil, saat ayahnya memperbaiki alat-alat misalnya, ia hanya diminta untuk membuat teh, dan pekerjaan lain yang bersifat “keibuan”. Oleh karenanya saat ini ia begitu keibuan. Sangat.

Begitulah, tanpa kita sadari, hal-hal kecil yang orang tua kerjakan ternyata berpengaruh besar pada diri kita dewasa ini.

Okay, kembali lagi.

(maaf loncat-loncat)

Yang jelas bagi saya, terlalu banyak hal-hal sederhana yang sebenarnya dapat kita kerjakan (baca: mandiri). Namun karena mindset “ini ranah lelaki” terlanjur berkuasa, akhirnya kita merasa tak bisa mengerjakan hal-hal tersebut.

Tadinya saya ingin mengobrak-abrik pikiran seseorang. Iya, seseorang yang membuat hati saya bergemuruh karena pesan yang ia tujukan pada saya, “kau bukanlah orang yang sempurna diennya karena kau wanita…”

Membacanya, mata saya terbelalak. WHUOOO… ini fatwa gender dari mana, berroooo?! Hmm, saya justru takut, apakah pikiran semacam itu tertanam dalam benak setiap laki-laki ya? Entahlah.

Eh, tapi kenapa justru celotehan di atas yang keluar ya? Hihi. Nggak nyambung.

Meski beda pembahasan, yah… biarlah. Tidak nyambung? Yah.. biarlah. Yang penting, meski cuacanya ujian, uneg-uneg yang entah di mana benang merahnya ini bisa keluar. Weeee :p

Madinatul Buuts al-Islamiyah lil Banat, Abbasea, Cairo

27 Mei 2015, 00:46

Monday 11 May 2015

Belajar dari Teteh

bismillah
Ada yang berbeda saat kami belajar bersama di rumah seorang kawan di bilangan Darrasah. “Teteh” begitu keponakan pertama kawan saya itu biasa dipanggil.
Diiringi polah tingkah batita (bawah tiga tahun) itu, kami belajar. Menggelar buku-buku, malzamah dan laptop di lantai kamar. Sesekali rasa ingin tahu “teteh” mendorongnya untuk “meng-operasi” tempat pensil juga isi tas saya.
Sambil memasang mata awas, saya perhatikan peralatan apa saja yang ia gunakan untuk bereksperimen. Mulai dari spidol whiteboard, pena gel, sticky note sampai fawasil (pembatas halaman).
Setidaknya saya harus punya alasan kuat sekaligus solusi ketika melarangnya menggunakan sesuatu. Spidol whiteboard misalnya,”Teteh, spidol ini dipakai di papan tulis. Kalau kena tangan, tangan Teteh jadi hitam. Pakai pulpen saja,ya.”
Saat ia bereksperimen dengan sticky note,”Teh, note ini belum Ate (baca: Tante) pakai. Jadi bukan untuk ditempel-tempel. Disimpan ya, Teteh pakai note yang lain.”
Begitu pula saat seluruh isi tempat pensil berserakan, mau tak mau harus dengan dorongan persuasif.”Teh, masukin alat-alat ini ke dalam,yuk!”
Agak memakan waktu memang. Tetapi menyampaikan alasan yang tepat sesuai logika anak kecil pun bukan perkara remeh. Terbukti saat kawan saya melarangnya membuka susu kemasan,”Jangan! Teteh nggak suka susu putih!”. Olala… wajah Teteh membeku seketika. Dengan sorot tajam ia membatu. Bibirnya terkatup sedikit monyong. Belum saya ajak bicara, ia pergi dengan langkah kesal. Eh, ngambek. Karena bentakan tantenya tadi.
Kawan saya pun nyeletuk,”Anak kecil, nggak bisa dimarahin.”
Saya benarkan dalam hati.
“Makanya,” lanjut kawan itu,”orang dewasa yang nggak bisa dimarahin, seperti anak kecil.” Tegasnya.
Sedetik analogi kawan itu saya cerna. Benar juga.
Selanjutnya ia mensyarah,”Iya kan?” Retoris.
“Meskipun ada beberapa pengecualian. Tapi pada umumnya, orang yang tidak mau dimarahi, tidak mau dibentak, tidak mau menghadapi hal yang kasar dan sukar. Seperti layaknya anak kecil.”
“Benar juga.” Ungkap kawan lain. Saya juga mengamini. Meski saya juga ikut tertohok.
Ada saat di mana kita-atau saya saja deh-  tidak ingin mengahadapi suatu kesulitan, bentakan, cacian. Bukan karena kehalusan hati dan jiwa, tapi ternyata karena sifat kekanak-kanakan saya. Tidak ingin dan tidak mau menghadapi kondisi sulit di depan mata.
Nasehat ini lebih ingin saya tujukan untuk pribadi sendiri. Bahwa kalimat “Aku tuh orangnya nggak bisa dibentak.” dan yang sejenisnya, masih perlu diselidiki. Apakah itu lahir dari hati yang murni. Atau karena sifat kekanakan yang tak kunjung beranjak pergi.
Usia kita sejalan dengan waktu. Tidak ada kata untuk mundur maupun diam di tempat. Menjadi dewasa adalah tuntutan, dan bagi sebagian adalah keniscayaan. Problematika yang kita hadapi pun semakin beragam dengan level yang terus beranjak naik. Itu keniscayaan. Itu tuntutan. Dan –tentu saja- harus dihadapi. Saya pikir, hal demikian adalah konsekuensi dari kedewasaan. Tantangan kita bukan semata menggapai apa yang kita inginkan, namun benalu dan permasalahan di sekitar juga harus dilewati, dipikirkan, dicari solusinya, diselesaikan.

Bukan kabur.


Uushikum wa iyyaya…


Madinatul Buus Al Islamiyah, Abbasea, Cairo
22:33

Wednesday 6 May 2015

Editor Kecil dan Fisika

bismillah


Editor kecil.

Sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Abi seringkali meminta saya menjadi asisten alias sekretarisnya. Terlebih pasca ujiaperubahan gaya gan berartin SLTPN, juga saat LKS buatannya melewati fase pengeditan.

Pasca ujian, dengan dalih “Ow, tulisan kamu sudah seperti tulisan orang dewasa.” Akhirnya saya yang bertugas menulis puluhan rapor siswa-siswi Abi. Mulai dari rata kiri, rata kanan, semua manual dan penuh pengarahan. Sekali tangan menulis, artinya harus selesaikan semua. Karena perpindahan tangan berarti perubahan gaya tulisan. Jadilah saya penulis rapor Abi. Apa rewardnya? Bolpoin.

Iya, bolpoin snowman yang telah digunakan untuk menulis rapor, dihitung sebagai “kompensasi” atas ketelitian saya. Bangga? Iya dong. Terlebih saat tahu bahwa kerapian tulisan dua saudara laki-laki saya benar-benar tak bisa diharapkan. :D

Saya juga menjadi editor Abi ketika LKS (Lembar Kerja Siswa) yang disusunnya telah diketik rapi. Mulai dari Mata Pelajaran Biologi, Fisika hingga Kimia, saya yang edit. Karena saat itu saya masih SD, sedang tulisan yang saya edit merupakan materi siswa SLTP, saya edit semampu saya. Huruf capital, kesalahan-kesalahan teks, keteraturan susunan soal multiple choise, hal itu saja. Soal Bahasa ilmiyah, Abi yang tangani.

Kadang bangga, kadang sebal juga. Karena waktu bermain saya jadi berkurang. Tapi ini resiko anak perempuan yang kerjanya rapi :p

Kalau ingat masa-masa itu, rasanya haru. Lintasan masa kecil selalu beraroma nostalgik yang hm… membahagiakan dan penuh kerinduan. Baru akhir-akhir ini saya sadari, ternyata sebelum saya jadi editor (amatiran) di Terobosan, lebih dari satu dasawarsa lalu, saya telah jadi editor kecil Abi. Yeah!

Meski tidak terlalu dualem menguasai EYD, modal saya hanya teliti, kritis, berani dan ….sok tahu. Hehe. Rasa-rasanya perpaduan itu semua seringkali membuat orang lain terlalu percaya pada saya. Percaya saya bisa, saya mampu, dan menguasai suatu persoalan. Ups… padahal aslinya sih, begini-begini saja.

Ngomong-ngomong soal edit-mengedit. Meski kadang saya sebal karena jadi editor Abi-waktu itu-, tapi saya benar-benar merasa bersalah pernah sebal dengan kerjaan edit-mengedit itu. Tepatnya saat saya kelas VII MTs, sudah mondok.
Ceritanya, saat pelajaran Fisika, guru saya Ustadz Rosyid bertanya pada seisi kelas. Tentang volume dan cara mengukur satuannya. “Volume balok dapat diketahui dengan mengalikan panjang, lebar dan tingginya. Bagaimana dengan… batu. ia tidak memiliki tinggi, lebar dan panjang yang teratur seperti balok. Bagaimana kita mengukur volume-nya?”

Kelas hening.

Tidak seorangpun menyahut.

Akhirnya ada santriwati angkat suara. Tapi berakhir dengan gelengan kepala Ustadz Rosyid.

Entah ilham itu turun dari mana. Tiba-tiba saya angkat tangan.

“Ya, Ainun.” Tunjuk Ustadz yang selalu terlihat kalem itu.

Spontan saja benak saya memutar pola dan gambar-gambar di kertas LKS Abi yang pernah saya edit. Saya tidak pernah mencoba memahami apa yang say abaca, karena focus saya hanya pada teks-teks yang salah. Tapi gambar-gambar peraga di atas kertas itu seperti bercerita dan tersusun kembali di kepala.

Bukan saya mengatakan apa yang pernah saya baca. Tapi lewat gambar-gambar itu saya terinspirasi untuk membuat jawaban sendiri.

“Kita ambil wadah, lalu kita isi air sampai penuh,”
Ustadz Rasyid mengangguk-angguk seolah ingin segera saya selesaikan jawaban.
“Lalu, masukkan batu itu ke sana, Ustadz.”
“Lalu, Nun?” Tanya beliau. Kedua matanya semakin berbinar. Mungkin hanya saya yang merasakan. Cie…

“M… ya air yang tumpah, itu volumenya, Ustadz.” Saya berhenti menjawab.
Ustadz Rasyid menepuk tangan sekali. Menunjuk ke arah saya, dan tanpa kata ia buka pintu kelas.



Telunjuknya mengarah keluar kelas. Oh, tidak!

“Yah…” ujarnya dengan nada kecewa.

“Andai saja..” katanya,”andai saja kantin sudah buka, saya akan belikan makanan apa saja yang kamu mau.”

Seisi kelas gaduh.
Dikiranya saya siswi yang rajin dan jenius di kelas.
Ustadz Rasyid tersenyum bangga.

Saya senyum-senyum saja. Untung saja kawan-kawan saya tidak tahu, bahwa jauh-jauh lalu saya sering mengedit LKS Fisika Abi pada pembahasan yang sama.

Di tambah, pada pekan berikutnya. Seluruh santriwati kelas VII akan ulangan. Kecuali di kelas saya. Karena guru di kelas kami berbeda dengan kelas lainnya. Hanya Ustadz Rasyid yang tidak mengadakan ulangan.

Karena kawan-kawan sekamar saya-yang berbeda kelas- belajar Fisika, saya ikut mereka belajar.

Dan tahukah apa yang terjadi esoknya? Ulangan Fisika!

Ustadz Rasyid bilang,”Ini ulangan mendadak.” Seisi kelas protes. Untung semalam saya ikut belajar dengan teman-teman kamar.

Eng…ing…eng…

Selesai ulangan, Ustadz Rasyid tersenyum melihat hasil ulangan saya. Hoho.. ternyata. Tak seorang pun di kelas yang mendapat nilai 60. Sedangkan saya sendiri… 100! (secara… semalam saya kan belajar. Yang lain tidak.)

Tambahlah kelas dibuat heran. Dikira saya ini santriwati yang rajin dan jenius. Andai saja mereka tahu bahwa semalam saya belajar bersama kawan-kawan kamar. lol

Hwe… ceritanya sedikit nyasar. Tak apa lah. Sedikit nostalgia dengan masa-masa menjelang remaja.

Smoga cerita saya memberi manfaat ^_^.

Dan… selamat ujian. Semangat, Nuuuun!


PMIK, Rabea el Adawea, Cairo
Di Ujung senja


















Tuesday 7 April 2015

Dari Gerbang Kampus (1)

bismillah
Pagi ini saya berangkat ke kampus menggunakan jasa bus asrama. Entah ini masih boleh disebut semi atau tidak, cuaca lebih dari cukup dari kata hangat. Belajar dari pengalaman beberapa kali masuk kampus, saya putuskan untuk turun di gerbang Fakultas Farmasi Al Azhar. Nampaknya keputusan saya diikuti beberapa kawan Indonesia. Meski jarak tempuh ke gedung Fakultas Dirasat Islamiyah lebih jauh, kami lebih memilih masuk kampus lewat gerbang ini.
Memang semenjak gejolak politik Mesir-hampir 2 tahun- berlalu, kampus putri tidak pernah sepi dari mahasiswi yang berunjuk rasa. Awalnya cukup mendebarkan, melihat gerombolan massa demonstran yang berkeliling kampus dan meluapkan tuntutan mereka. Terlebih jika mengingat tahun lalu kami-mahasiswa asing- juga turut bermain “petak umpet” dengan gas air mata. namun kini hal itu-demonstrasi- dan segala tindak tanduk massanya menjadi “hidangan” yang setiap hari kami santap.
Dukturah yang mengajar di kelas semakin hari semakin maklum dengan keramaian di kampus. Bila mulai terdengar hiruk pikuk demonstran yang kompak berteriak-teriak, tanpa harus dikomando jendela kelas kami tutup. Tak ada lagi gerutu dan keluhan para dukturah kecuali beberapa pekan lalu. saat Dekan Fakultas melakukan inspeksi mendadak ke kelas kami. Kebetulan terdapat beberapa coretan demonstran pada dinding kelas. tak satupun dari kami yang tahu siapa pelakunya, yang jelas anak kelas Hadis saya lihat semua netral. Tidak mungkin terdapat yang pro maupun kontra dengan aksi demonstran.
Akan tetapi apa mau dikata, pelajaran siroh Nabawiyah kami membeku beberapa menit. Dekan beserta rombongan nampak kalap seraya menanyakan kawan Mesir siapa pelaku yang mengotori dinding kelas kami. Tak ada yang mengaku, tak ada yang tahu. “Ya banat, dzi fauzo!!” ujarnya. Tak lama kemudian beliau keluar dan pelajaran kembali berlanjut.
Sebenarnya tidak hanya di kelas, bahkan di gedung-gedung lain pun masih terdapat coretan pilok maupun spidol para demonstran. Entah sudah berapa kali coretan itu ditutup dengan cat baru, namun sebanyak itu pula coretan itu kembali ditulis. Saya pernah membaca salah satunya,”Imsah! Wa hanaktub tani!” Hapus! Kami akan tulis lagi! Keukeuh dan menggelikan.
Karena hal itu dan banyak hal, akhirnya suasana kampus berubah. Gerbang baja bercat hitam di pasang pada 3 gerbang kampus putri, plus belasan petugas keamanan sewaan yang juga berjas hitam di siagakan. Kini, untuk masuk kampus, kami harus antri dan melewati pemeriksaan sekuriti kampus.
Selanjutnya kami harus maklum dan sadar, bahwa al Azhar ini berada di negara Mesir dengan watak orang Arab yang begitu adanya. Jangan pernah berharap bahwa dengan mengantri anda bisa masuk kampus. Nampaknya kata “antri” sudah terhapus dari kamus hidup mayoritas penduduk negeri ini. bayangkan saja, bagaimana para mahasiswi harus tumpah ruah di gerbang untuk berebut masuk kampus, terlebih pada waktu-waktu menjelang jam aktif pelajaran. Saya yang bertubuh mungil dibanding orang-orang Mesir hanya bisa pasrah dan membiarkan badan terbawa arus desakan hingga terdorong masuk gerbang. terkadang juga tanpa sadar badang saya berputar 180  derajat karena arus desakan massa, pernah juga saya melewati tangga gerbang tanpa melangkahkan kaki, cukup berdiam diri karena tidak ada space untuk melangkah kecuali dorongan dari massa di belakang.
Bagi banyak orang, mungkin hal ini menjadi pemicu amarah dan kekesalan. Bagaimana tidak, waktu yang terbuang untuk berjejal membuat kami terlambat masuk kelas, selain itu tenaga dan kondisi badan yang masih fresh saat masuk kampus telah terkuras oleh desakan di gerbang. tapi bagi saya, ini adalah tantangan. Saya yakin bahwa di setiap masa ada tantangan tersendiri untuk belajar di kampus Al Azhar.

Meski demikian ada beberapa fakta yang membuat saya merasa miris. Sesuatu yang belakangan saya sadari bertolak belakang dari apa yang selama ini saya pikir. Akan saya ceritakan di “coretan” saya berikutnya, biidznillah.



Monday 6 April 2015

Menghargai diri [?]

bismillah
Biasanya aku menulis dengan topik atau tema yang sudah saya petakan di kepala. Tapi untuk kali ini, mari biarkan ia mengalir.
Karena ini permintaan yang dirubah menjadi sebuah “usul” kata seseorang yang gusar dengan sepinya blog ini. ya, dengan begitu aku relakan untuk menulis apa saja. Ayyi hagah kata orang Mesir. Biar perut mual, biar raga masih lelah dan pikiran suntuk merajai.


Beberapa waktu ini ada ketakutan dan kecemasan menyelimuti. Hal-hal yang sejatinya mampu kuperkirakan akan datangnya, akhirnya nampak gejalanya. Di samping itu, amanah-amanah lain tidak berhenti. Ada semacam kekalutan yang terus mencecar di benak. Ada saat-saat di mana terjadi pergulatan batin. Di situ ada rahasia yang tak sanggup untuk saya rahasiakan. Di situ ada perasaan dan kesalahpahaman yang berbenturan. Baik dalam diri maupun dengan orang lain. Bagi kebanyakan orang, mungkin masalah terbesar adalah perselisihan dengan orang lain. namun bagiku, hal terberat adalah ketidakseimbangan antara “idealita” dan cita-cita.
Ketika ku putuskan untuk merenung. Barulah aku rasakan perkataan seorang kawan, “later means never”. Waktu banyak tersia untuk pikiran-pikiran yang tidak –atau belum- produktif. Bahkan aku menjadi seorang yang sangat menyebalkan; phobia dengan handphone. Seringkali alat komunikasi itu ku buat “silent”. Supaya pekerjaan dan amanahku tidak bertambah. Bahkan untuk membuka isi gadget itu aku ketakutan; takut ia berbunyi, mendapat pesan, lalu harus menjawabnya.
Aku takut menjalani kewajiban.
Apa ini pengecut? Buatku, iya.
Lalu bertambahlah list pertarungan idealita-ku. Bertambah pula kalutku.
Dan di saat seperti inilah, waktu terasa menghimpit. Ada selaksa berkah yang tercerabut. Aku bertambah yakin bahwa ini karena dosa dan nafsu yang kubiarkan.
Namun, ada satu hal. Hal yang sangat sulit ku pungkiri.
Aku punya komunitas, kawan serta guru di sini. Mereka adalah inspirasi sekaligus penyemangat bagiku untuk terus bergerak. Meski terseok. Meski banyak cacat dan sering ku berbuat yang tak layak, ada satu motivasi yang tak ingin ku buat surut.
Mungkin aku sedang inferior. Aku sedang menjadi seorang pesakitan yang pemalas. Tapi setidaknya aku harus menghargai diri sendiri sebelum orang lain menilai lebih tinggi dari espektasi mereka terhadapku.
Menghargai diri sendiri artinya mempersiapkan. Ya, tidak harus matang dan seperti idealisme yang kaku. Sedikit demi sedikit. Apa yang untuk-Nya tak sepantasnya disebut letih dan lelah.
Sedalam apa pikiran-pikiran itu merampas waktuku, sedalam apa kekalutan itu menyelam jiwaku, aku tak pernah sendiri.

Terima kasih dan maaf. Ini bukan tulisan untuk #purnama.


Thursday 8 January 2015

Merelakan Kau Pergi

bismillah

Belum sempat kusapa, purnama sudah lewat. Ujian Termin 1 yang memaksaku. Maka di sisa “sempurna”nya aku ingin bercerita. Ada beberapa, tapi aku tak tahu bagaimana merangkainya. Kekesalan atas beberapa masalah, kegalauan beberapa kawan di tengah ujian, kematian Snowwhite? Ah, tepat di kalimat ini, aku menitikkan air mata. Barusaja aku diberitahu, Goro meninggal. Kucing menggemaskan yang paling penurut itu… Innalillah.



Beberapa hari lalu keduanya nampak sakit. Hanya meringkuk, tak mau makan, minum susu pun harus kami paksa pakai dot bayi. Tak lama kemudian Snowwhite mati. Selepas kepergiannya, aku berharap Goro mengalami nasib lain. Kembali sehat. Apalagi ia nampak semakin bugar. Pun pagi tadi ia mau minum susu yang diberi kawan Thailand. Beberapa hari ini ia tidur meringkuk di depan kamarku. Aku pun harus relameminjam sandal kawan, karena punyaku ia tindih untuk hangatkan badan. Terkadang Gembrot dan saudara tirinya, Ichi datang menjenguk. Mengajak bermain atau sekedar tempelkan badan dan tidur bersama saling menghangatkan.
Tadi, sebelum aku berangkat ujian, Goro nampak kedinginan, maka kuberi alas kardus dan kuselimuti ia dengan kain. Ia nampak baik-baik saja. Ah, tidak. Ia nampak lebih sehat dari kemarin. Bahkan ia sempat meloncat ke bawah ranjang, lalu ku keluarkan,”Anak sholeh, keluar yah… kamu sedang sakit, bukan di sini tempatnya,”
Mungkin ada yang berpikir aku setengah sinting. Tapi aku suka berbicara bahkan mengobrol lama dengan kucing-kucing di lorong kami. Tapi untuk Goro, nyatanya hari ini Allah beri takdir lain.
Goro…
Tiba-tiba aku rindu sambutan hangatmu saat aku dating. Di ujung tangga menuju lorong kau biasa berjingkat dan berlarian mengejarku. Saat ku buka pintu dapur, kau satu-satunya yang menelusup cepat lalu berkelendot manja di kakiku. Tepat saat kau tahu bahwa aku akan membuka kulkas.
Goro, aku rindu kau berebut makanan dengan kawan-kawanmu. Saat kau begitu semangat berdiri dengan dua kaki, tak sabar menanti remah keju yang sedang kubuka. Aku rindu dengan cakar mungilmu yang tak sengaja menembus baju dan membuatku tersentak. Kau yang penurut saat ku mainkan bagai boneka, kupeluk dan ku goda saat tidurpun, kau diam saja.
Ah, apa kau ingat bagaimana kau bertahan hidup di musim panas kemarin? Bagaimana kami sengaja membagi susu asrama saat sahur demi kalian yang piatu? Juga saat kami rela kekurangan penerangan dan menjaga suara agar tidak mengganggu tidur nyenyak kalian?
Goro, Snowwhite, 7  purnama bersama kalian adalah hari-hari yang tak mudah kami lupakan. Maaf, aku tidak selalu peduli saat kalian merengek kelaparan. Maaf, aku pernah membentak kasar saat kalian mengacak-acak kamar yang baru saja ku rapikan. Maaf, sempat mendorong kasar saat kalian melompat ke atas meja dapur. Maaf, karena baru sekarang aku sadar, betapa kalian adalah bagian dari hari-hariku di Kairo.
Aku berduka atas kepergian kalian, namun terima kasih. Setidaknya untuk satu hal. Sesuatu terasa berharga saat kita kehilangannya.
Goro, Snowwhite, aku akan ikhlaskan kalian.
Aku ucapkan, selamat jalan…

                                                             Puncak Winter (feel 2 Derajat)
               Kairo, 8 Jan 2015

Friday 2 January 2015

Saatnya Kau Pergi, Cinta...

bismillah
Menjelang ujian, saya terbiasa kedatangan tamu dari luar asrama. Biasanya kawan-kawan datang silih berganti untuk belajar dan share hal-hal yang kami belum pahami. Tapi sore ini beda. Ketika turun menemuinya di bawwab, saya tersentak. Mata dan seluruh wajahnya memerah, air matanya deras mengalir, dan isakannya benar-benar seperti seseorang yang meratapi kematian.
Saya ajak masuk ke mushola, beruntung saya sudah buatkan teh hangat untuknya. Untuk seorang kawan yang selama ini begitu bersemangat dan menggebu-gebu, apa yang saya lihat darinya sore ini adalah sisi lain yang begitu berbeda. Saya tahu hari ini ia akan bersedih. Tapi kalau sampai sesegukan begini, itu benar-benar di luar perkiraan saya.
Cinta.


Iya, perasaannya terhadap lawan jenis yang ia sukai ternyata merobek batas akhir sendunya. Mau tak mau ia harus melepaskan kepergian orang yang ia sukai di bandara. Bukan cinta yang berbalas. Itu yang menyakitkan. Terlebih ia beranggapan bahwa perpisahannya di bandara adalah pertemuan terakhir kali dengan lelaki yang ia sukai. Benteng pertahanannya sudah ambruk. Sekalipun ia pernah bercerita beberapa hari sebelumnya,”aku sudah persiapkan untuk hari ini, Nun.”. Nyatanya, hari ini ia baru sadar bahwa di ujung klimaks ia tak sanggup menahannya, sekalipun di hadapan kawan-kawan –yang selama ini ia tutup-tutupi.
Hal seperti ini yang tidak saya suka. Wanita yang berusaha mendapatkan timbal balik perasaannya atas laki-laki. Saya tidak suka bukan berarti hal itu salah. Barangkali saya tidak suka dengan resiko dari sebuah perasaan. Maksud saya begini, kita suka dengan seseorang, tentu menginginkan timbal balik berupa rasa yang sama dari orang tersebut. Namun belum tentu ia membalas perasaan kita. Tidak berbalas, artinya tertolak. Ini yang saya sebut resiko.
Hal tersebut wajar-kata kawan-kawan- dirasakan oleh perempuan. Karena tabiat asal kita memang pemalu, yang lebih banyak “dikejar” daripada “mengejar”. Tapi mungkin sifat dan sikap waspada saya cukup besar, sehingga untuk mengejar sesuatu yang terlalu beresiko menyangkut perasaan, hm.. sudah saya hapus dari kamus hidup. Hehe.
Akibatnya –mungkin-terlihat cukup dramatis. Seorang kawan pernah tunjukkan sebuah buku pada saya. Di situ disebut kriteria “cinta yang manja”. Dapat mencintai jika dicintai terlebih dahulu. Wew… tidak dapat menyukai seseorang kecuali ia lebih dulu suka dengan kita. Its me! Saya pernah katakan ini pada seorang kawan, lalu ia bilang, sikap saya cukup menginspirasi buatnya. Really, Sis?! Tapi saya merasa ini muncul dari sifat asli saya. Iya, sekagum-kagum saya dengan lawan jenis (mau seganteng Brad Pitt atau Lee Min Ho, sepintar Pak Habibi atau sebijak Pak Mario Teguh :p) kalau dia ndak suka sama saya, ya lewat saja. Wuss, ndak ada perasaan apa-apa. Tapi ceritanya bisa berbalik 180 derajat kalau dia punya rasa dengan saya. ejie…cie..cie..
Saya pikir, itulah yang selama ini membuat saya nampak enjoy terhadap perasaan-perasaan yang tidak karuan. Bahkan dari masa puber pun, saya tidak punya permasalahan pelik yang melibatkan perasaan, sebagaimana permasalahan kawan-kawan (begini-begini, saya sering jadi tempat curhat teman-teman lho) Maka saya pernah kelimpungan saat menjawab pertanyaan seorang kawan,”Nun, aku minta doa tolak cinta dong” Gubrak!
Kalau di Indonesia, saya masih bisa curhat ria langsung dengan Ummi. Tapi begitu di Mesir, saya melihat kawan-kawan yang senasib di perantauan. Cerita yang sederhana terkait perasaan mereka sampai yang kompleks terjadi di depan mata saya. Hm… bukan karena idealisme sudah saya hancurkan. Tapi mata saya semakin terbuka melihat beragam hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Lalu saya sempat goyah. Saya sempat “mencoba” bermain dengan rasa.
Untung saja hanya berhenti di situ. Saya rasa Allah cepat sekali menegur ketika saya mencoba menyerempet idealisme yang cukup lama saya bangun. Iya, rasa suka itu fitroh. Namun ketahanan dan kecerdikan kita untuk meluapkannya akan menjadi tolak ukur bagi syahwat. Nampaknya hal itu tidak mudah. Itu yang saya perhatikan. Baik dari perilaku saya maupun kawan-kawan.
Maka saya sebut rasa itu, candu.
Sekali kita mencoba luapkan, kita akan ketagihan. Kita ingin lagi dan lagi. Maka obatnya adalah lari, sebelum level kecanduan mencapai klimaks seperti kawan saya sore tadi.
Di usia yang sedang melewati “masa itu”, memang banyak godaan. Tentu, kita wanita. Terlebih lawan jenis baru sekedar mengenal lewat penampilan luar yang benar-benar tak bisa mewakili sisi lain diri kita. Mereka yang sekedar menggoda lewat sapaan, berPeDeKaTe lewat obrolan hingga berkirim makanan, mereka yang nampak mengejar namun hanya berhenti di mulut, mereka yang berusaha namun cepat sekali menyerah.. hm. Lupakan saja. Tolak dengan halus dan mundurlah secara perlahan, sopan dan anggun.
Wew, awalnya terlihat menyeramkan. Tapi kita benar-benar harus tegas. Terutama pada diri sendiri. Ini hidup kita, Sis. Prinsip yang sudah lama kita bangun terlalu sayang untuk ditukar dengan usaha mereka yang “nggak greget”(pinjam istilah kawan). Ada saatnya kita coba berpaling, kalau tidak dikejar ya… lewatkan saja. Allah akan kirim yang sungguh-sungguh dan tepat untuk kita, Sis. Kita tidak pernah tahu, bisa saja orang yang selama ini kita kagumi, yang selama ini kita hormati dan banggakan, tiba-tiba mengetuk pintu rumah... Ups! (semoga si dia tidak baca tulisan ini)
Ala kulli hal, semoga kawan saya sore tadi, bisa segera move on dan full semangat untuk hadapi imtihan, hadapi kehidupan. Nas-alullah laha attaufiq wannajah, fiddunya wal akhirah…
Eits, ini kan mau imtihan, sempat-sempatnya nulis beginian.
Plak!!!

Back to muqarrar, Sis! *Doakan kami, kawan-kawan.