Saturday 17 November 2012

Ahlan bik, PMIK!

bismillah

Berbeda dengan lingkungan masisir yang lain.
Ketika awal saya bergabung dengan PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo), apa yang saya jumpai sungguh mengejutkan. Mengingatkan saya pada pondok pesantren yang begitu disiplin dalam banyak hal. Baik dari segi ibadah maupun muamalah.

Jika di komunitas lain, masisir membiasakan sholat berjamaah bukan sebagai prioritas utama. Di sini tidak! Biasanya terdapat asap rokok (yang amat sangat saya benci sekali), o... jangan harap anda menemukannya di PMIK. Ya, di sini saya jumpai fenomena lain (kecuali almamater lho ya, alumnus Ngruki orangnya hanif-hanif deh!). sholat di awal waktu, tidak ada bising musik jahiliy, hubungan ikhwan akhwat yang terjaga (meski dalam pandangan saya, hal ini masih terlalu bebas, setidaknya berbeda lah dengan komunitas dan organisasi lainnya), hingga disiplin waktu. Bener-bener deh, pengen rasanya manjat ke lantai lima supaya tiap kumpul bisa on time..
Beberapa pesan senior PMIK saat upgrading kemarin dengan tema,”lintas generasi, lintas kreasi”, untuk benar-benar memanfaatkan segala apa yang ada di PMIK. Baik itu fasilitas maupun komunitas yang ada. Karena tidak setiap anggota PMIK mampu menjadi seorang PMIKers sejati. Hal itu pula yang menjadikan banyak senior yang begitu betah bertahun-tahun bergabung dengan Perpustakaan yang kini berada di bawah naungan Wisma Nusantara.
Jika biasanya orang-orang menggunakan motivasi “keluar dari zona nyaman, dan pergilah ke hataman badai agar menjadi pribadi yang tangguh”, maka pesan senior berdarah Sunda ini justru sedikit berbalik. “Kalau ada fasilitas nyaman yang bisa dimanfaatkan, gunakan saja untuk membentuk pribadi tangguh”. Itu karena fasilitas di PMIK begitu lengkap dan memadai. Mulai dari ruangan berAC hingga peralatan rumah tangga, semua ada.
Satu hal lagi yang saya jumpai di PMIK, yaitu selera humor anggotanya. Sehingga membuat saya yang masih “gress” tidak merasakan suasana yang begitu kaku. Tentu dengan joke-joke ringan bermutu dan tidak over seperti halnya yang sering saya temui di komunitas masisir lain.
Selepas upgrading, saya yang ditugaskan di Binadata (Bidang Pengadaan dan Pendataan Bahan Pustaka) langsung praktek menghadapi pendataan buku-buku yang baru masuk perpustakaan. Mulai dari cara menyetampel buku, menulis no inventaris dan no seri, hingga komputerisasi. Nah, saya dapat bagian mengurusi buku-buku berbahasa Arab bersama seorang mahasiswa Aceh. Sedang dua teman asrama lain dapat bagian buku-buku berbahasa Indonesia dan Inggris serta tesis dan majalah.
Saya di ajak ta’aruf dengan koleksi buku berbahasa Arab yang memiliki 6 rak. Di jelaskan tentang bagian penempatan sampai anjuran mencatat buku yang sering dicari pengunjung, agar nantinya menjadi masukan bagi PMIK untuk membeli buku tersebut ketika ada Pameran Buku.
“Nanti sering-sering aja keliling rak pakai kursi jalan, sambil lihat-lihat letak buku.” Pesan seorang senior Binadata.
‘ala kulli hal, kesan pertama di PMIK begitu menggoda. Selanjutnya...kita lihat saja nanti!
Allohumma inni as-aluka ‘ilman nafi’an.

Harus PeDe

bismillah

Hari itu aku begitu bangga. Ya, biasanya saat muhadhoroh[1] di Al Azhar terjadi tanya jawab dan diskusi interaktif antara Duktur atau Dukturoh[2] dengan mahasiswi. Teman-teman Mesir memang memiliki rasa percaya diri dan keberanian yang tinggi. Tidak jarang mereka bertanya dan mendebat argumen Duktur. Di sisi lain juga, mereka memang terbiasa adu mulut terhadap persoalan-persoalan kecil. Agak sulit mengalah. Begitulah watak unik mereka.
Tentu berbalik seratus delapan puluh derajat dengan wafidat[3] khususnya yang berasal dari Asia. Lebih khusus lagi Asia Tenggara. Karena rata-rata mahasiswi berasal dari Malaysia, Indonesia, Thailand dan sekitarnya. Selain karena watak asli orang Asia yang pemalu dan lebih memilih tunduk dan sendiko dawuh daripada berdebat. Meski tidak semua begitu. Sejauh yang saya amati, ada beberapa wafidat Asia yang cukup berani, entah itu dari Singapura, Indonesia atau sekitarnya.
Jangankan mendebat argumen Duktur. Untuk bertanya hal yang tidak diketahui, atau memohon Duktur agar menerangkan dengan bahasa fusha[4] saja, terkadang meminta bantuan orang Mesir agar mereka yang sampaikan ke Duktur. Pun Barisan bangku awal selalu terisi mahasiswi Mesir. Entah karena malu, atau tidak percaya diri atau dua-duanya.
Hari itu, muhadhoroh al Nudzum al Islamiyah. Duktur Ahmad menerangkan tentang salah satu asas Undang-undang Islam, yaitu kebebasan. Yang saya cerna dari setiap pelajaran, tampaknya beliau orang Ikhwanul Muslimin (IM). Terlihat jelas dari setiap yang beliau terangkan, mengarah pada perpolitikan dan pujian terhadap gerakan ini.
Di awal beliau jelaskan mengenai perbudakan yang merupakan natijah atau akibat dari peperangan. Di mana hal itu merupakan sesuatu yang telah terjadi sebelum munculnya Islam di Jazirah. Setelah beberapa kali pemaparan, beliau bertanya pada semua mahasiswi. Saat itu semua wafidat diharuskan duduk di tiga baris dari depan. Saya memilih duduk di baris kedua, tepat lurus dengan Duktur. Karena kelas kami di mudarraj[5]. Di kananku Orang Maldaves, kiri orang Singapura, Depan orang Amerika. “Islam melarang adanya perbudakan. Akan tetapi mengapa tidak ada dalil yang secara jelas menyatakan akan pelarangannya?”, tanya Duktur.
Seorang mahasiswi Mesir yang dudukjauh di atasku menjawab. Duktur menggeleng, “Hadza ghoitu shohih...”[6]
Aku angkat tangan. Mencoba asal jawab berdasar  kesimpulan yang kutarik sendiri dari perkataan Duktur sebelumnya. “Perbudakan adalah natijah dari peperangan. Sedang peperangan itu akan terus terjadi hingga hari Kiamat.” Begitu jawabku, singkat.
“Mumtaz!” kata Duktur.
Cess... tanganku langsung bergetar (kebiasaan kalau grogi).
Orang Singapura di sampingku sampai terbengong-bengong, “Wah... subhanalloh. Anti hebat sekali..”. saya sendiri tidak pernah menemukan seorang wafidat yang bisa menjawab dengan benar. Sementara teman-teman Mesir saja tidak satupun yang bisa menjawab dengan benar. Rasanya bangga bercampur gembira! Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku bisa menjawab pertanyaan duktur dan di jawab,”Mumtaz”.
Mungkin ini hal sepele dan wajar. Bahkan mungkin banyak juga wafidat yang mengalaminya. Namun saya mengambil sebuah pelajaran berharga, bahwa kita Ummat Islam harus PeDe. Harus berani! Kalau kata Ustadz saya di Pesantren dulu, “Salah itu nomer pitu likur![7] yang penting adalah keberanian untuk mencoba dan percaya diri. Karena dengan kepercayaan diri dan keberanian Islam pernah mengayomi lebih dari duapertiga dunia!
Seperti Umar bin Khothtob di awal keislamannya,”Ya Rosululloh, a lasnaa ‘ala haqq?!”[8]
Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi saya, dan pembaca sekalian. Wallohu ta’ala a’lam.


[1] Sebutan untuk kelas perkuliahan
[2]Kebiasaan untuk memanggil Dosen.  Karena semua pengajar di Al Azhar telah menyelesaikan doktoral.
[3] Sebutan untuk mahasiswi berkewarganegaraan selain Mesir.
[4] Rata-rata bahasa pengantar kuliah adalah bahasa Ammiyah.
[5] Kelas dengan susunan bangku memanjang dan bertingkat.
[6] Jawabanmu tidak benar.
[7] Salah itu nomor dua puluh tujuh.

[8] Wahai Rosululloh, bukankah kita di atas kebenaran?!

Wednesday 14 November 2012

Aktif Sabar... hohoho (^_^)"?

bismillah

Malam ini aku jadi penanggung jawab pelatihan baca koran arab dari kekeluargaan. Tempatnya di Hay Tsamin. Selepas maghrib kita berangkat bersama dari sekretariat kekeluargaan. Di tengah-tengah pelatihan, handphone ku bergetar dalam kondisi “silent”. Niatku supaya tidak mengganggu konsentrasi saat materi di sampaikan.
Tapi di sela-sela pelatihan akhirnya tetap ku buka juga, tuntutan penasaran. Hehe.
Dan ternyata... nomor Indonesia! Nomor abi! Kayaknya aku dapat telephon dari Indonesia itu setahun yang lalu. Ketika aku baru sampai di bumi Kinanah. Selebihnya aku biasanya yang menelpon ke Indonesia setiap bulan. Karena biaya telepon lewat internet di sini relatif lebih murah.
Huwa.. rasanya pengen nangis deh... tadi telepon itu nggak aku angkat. Hiks. Sedih pokoknya deh...
Setelah itu pulang ke asrama. Sambil menunggu bus 80 coret, aku teringat mafrum alias daging giling calon pentol bakso di freezer. Waduh, di dapur nggak ada merica. Jadilah aku menyeberang jalan yang terpisah rel tua menuju athoroh yang menjual obat-obatan dan bumbu dapur.
Ini pentol bakso yg akhirnya berhasil saya buat d bantu seorang teman. dengan mengandalkan resep dari seorang senior masisir. edisi perdana bs di bilang "mumtaz" lho... ^_^

Jam setengah sembilan tepat, akhirnya kami dapat bus. Berharap dapat sampai asrama tepat pukul sembilan, sehingga tidak terlambat. Ternyata takdir berkata lain. Sedikit kemacetan, dan kami sampai asrama pukul 9 lebih 20. Karena security asrama saat itu orangnya disiplin, kami masuk daftar terlambat deh. Hiks.
Melihat Aula kecil asrama, aku teringat ujian Dauroh LUghoh yang ku lewatkan. Padahal sebelum libur Idul Adha, semua acara aku cancel demi ikut dauroh ini lho. Sampai-sampai tadi sore teman dari Belgica menelponku dan bertanya alasan absenku. Hiks lagi deh
Naik tangga ke lantai tiga, menoleh ke kanan, lihat Mesin cuci. Teringat cucian baju yang menumpuk. Kapan ada waktu sela untuk mencuci ya? Hiks
Menoleh ke kiri, melihat dapur. Ingat mafrum lagi. Kapan ya, ada waktu buat bikin baksonya? Hiks
Sampai di kamar, buka pintu. Teman sekamarku sudah tidur. Aku melihat netbook merah kesayanganku di bawah. Teringat tugas buletin yang belum ku kerjakan. Deadline nya besok. O..ow! alamat begadang nih. Hiks
Sekilas melihat notebook kertas berisi jadwal kegiatan harianku, seharusnya malam ini belajar untuk pelajaran esok hari. Harus dikorbankan deh. hiks.
Teringat esok hari –seharusnya- mulai setor tahfidz bersama teman. Tapi malam ini tak bisa murojaah. Aduh... hiks
Akhirnya ngelembur tugas buletin. E... ketiduran. Bangun-bangun meggigil kedinginan karena mulai masuk musim dingin. Brr... selepas sholat, melihat jam. Masih tersisa 40 menit sebelum adzan shubuh. Kuputuskan untuk masak sahur. Lumayan lah, ada ayam dan sayuran, bisa dibuat sop.
Sambil merebus air di hitter. Kayaknya dari kemarin aku sedikit banget minum air putih... nyambi selesaikan tugas buletin juga. Sambil bolak-balik kamar-dapur, akhirnya sup untuk sahur selesai juga. Tara!
Aku kembali melihat jam di handphone, kyaaaa!
Dua menit lagi adzan!
Aku coba makan kilat, sambil kepanasan karena kuah sop yang panas. Huaaah...
“Allohu akbar-Allohu akbar!...”
Yah.. lumayanlah tiga sendok sahur. Lha... minumnya? Hadoh, lupa deh. seret. Padahal dari semalam, cita-citaku adalah minum air putih. Hiks
Selamat datang pagi.. kita mulai aktifitas lagi!
Ala kulli hal, alhamdulillah! Betul2?