bismillah
Tidak lagi
menawan.
source: landtarget.blogspot.com |
Apa yang ku
lihat setiap hari telah menjadi rutinitas yang tak lagi menggairahkan. Asrama
mahasiswi di kawasan Abbaseya yang cukup jauh dari pusat dinamika masisir di
Madinah Nasr. Buatku jarak yang hampir sama dengan Solo-Klaten ini sudah tidak
lagi jauh. Berbeda dengan mahasiswa di madinah Nasr yang ketika harus ke
Abbaseya selalu menggerutu, “Jauhnya...”.
Begitu pula
pemandangan yang wajib aku temui setiap hari. Pekuburan Duwaiqah, Nadi Sikkah, Hay Sadis hingga seterusnya tak
ubahnya slide film dokumenter yang setiap hari diputar lewat jendela bus pemerintah.
Goresan dan lekukan tak berseni yang menyombongkan ketangguhan setiap mobil di Kairo tak lagi menarik perhatianku. Tidak jauh berbeda dengan papan reklame
yang selalu ku tatap dari jarak seratus meter dalam bus, setiap kali melintas
di kawasan Hay Sadis.
Di papan
reklame itu terlukis dan tertulis suatu paradoks. Senyum polos gembira sengaja
disorot close-up dari mimik seorang anak kecil di foto itu. Di bawahnya
huruf-huruf berbaris rapi dan bersuara, Undang-Undang Perlindungan Anak. Layar iklan
yang warnanya telah usang dan terpojok oleh pohon-pohong menjulang serta
keramaian Eltramco itu menertawakan pandanganku.
Seorang anak yang tak pernah kubayangkan dapat
tersenyum ceria seperti yang terpampamg dalam iklan menarik perhatianku, ia
naik ke dalam bus dengan bawaan plastik besar yang diseret dua tangan mungilnya.
Sementara sang bunda yang bertubuh gempal berusaha duduk di atas kursi yang
lebarnya hanya setengah besar tubuhnya. Bahasa tubuh bocah di hadapanku ini
dapat jelas diterjemahkan,”Mama, ini berat”
Bus melewati
kawasan Hay Tsamin. Siang hari yang menyengat. Masing-masing merayap dalam
irama klakson bersahutan. Siapa lagi yang mau peduli? Dengan polusi suara
begitu pun tak ada yang mau ambil pusing. Pejalan kaki tetap menyeberang jalan
seenaknya. Begitu pula polisi lalu lintas dengan bedak debu mix asap
polusi hanya peduli dengan kapan kendaraan harus berhenti atau berjalan.
Tugasnya hanya itu.
Bertambah satu
anak yang mengalami nasib serupa tadi. Baru saja ia menaiki tangga bus dengan
tergopoh-gopoh. Gadis kecil. Ibunya duduk manis dan sibuk berbicara dengan
handphone nokia layar kuning yang terselip antara pasmina dan pipinya. Aku
tersenyum pada bocah 6 tahunan yang tak berkedip memandangku. Orang asing.
Sudah kugeser dan kusisakan space untuknya duduk bersamaku, tapi kepalanya segera
menggeleng seperti mesin otomatis.
source: cairogizadailyphoto.blogspot.com |
Birrul
walidain. Komentar salah seorang kawan suatu ketika. “Makanya, anak kecil
harus mengalah demi orang tua.” Lanjutnya. Memang nampak perbedaan yang sangat
kontras dengan kultur masyarakat Indonesia. Di Mesir, seorang anak tidak
dipandang lemah. Maka orang tua tidak perlu menggendong anak yang masih belajar
berjalan dan terseok. Tidak perlu khawatir untuk tidak menggandeng anak kecil
di jalanan ramai, meski beresiko tertabrak mobil yang melintas dengan
ugal-ugalan. Juga tidak perlu ragu untuk menampar dan memukul kepalanya
keras-keras di depan umum saat berbuat salah menurut orang tua. Bagi warga
asing di Kairo,terkhusus orang-orang Melayu, tentu mereka menganggap anak-anak
Mesir hidup tanpa kasih sayang. Namun mungkin bagi sebagian besar orang Mesir, wafidin
yang berkulit sawo matang itulah yang terlalu dimanja sejak kanak-kanaknya.
Handphoneku bergetar. “Kamu sudah
sampai mana, ya habibty?” Pertanyaan di seberang membuat ekor mataku
menembus jendela.
“Sudah dekat arba’
wannus, ablah.” Jawabku. Mengapa mahattah terakhir di Tabba ini
disebut begitu? Empat setengah? Belum tentu setiap penduduk yang lalu lalang di
sini tahu jawabannya.
Senyum pasrahku
bergelayut. Aku harus merelakan sepatu yang baru kemarin kucuci menapak becek
tanah selepas turun bus. Beberapa kali aku harus berjingkat dan mengangkat rok
sedikit untuk menghindari beberapa genangan air dan sampah basah yang menebar
bau tak sedap.
Ini hanya
permulaan! Aku menyemangati diri.
Menjadi relawan
di salah satu kawasan pojok Cairo ini sudah menjadi keputusanku. Kalau sudah
begitu, artinya tidak boleh ada kata mengeluh. Mengajar anak TK di tempat
terpencil, bagi anak-anak yang terlahir dari orang tua kelas bawah. Siapa sudi?
Aku sendiri mengiyakan tawaran ini karena ingin meraup pengalaman. Adapun
beberapa puluh pounds sebagai gaji setiap bulan, anggap saja menambah uang
jajan.
source: greensimon.com |
Bila diukur
dengan kacamata materi, aku yakin tak kan ada yang bilang sepadan. Terlebih
harus melewati jalanan becek tak beraspal, penuh sampah dan anjing-anjing penuh
kudis berseliweran. Sesekali menggonggong, berkejaran atau mengais-ngais
sampah. Bukan salah penglihatan jika jarang sekali ditemukan orang-orang
berpakaian klimis, berjas dan tidak berwajah garang. Tidak heran -entah benar
atau tidak- sebagian kawan bilang ini kampungnya para maling dan penjahat. Maka
harga sewa syaqqah bisa lebih murah. Meski begitu, tidak sedikit warga
asing yang tinggal di Tabba. Indonesia dan China misalnya.
Ablah Gheda
menyambutku dengan senyum dan pelukan hangat. Fitri, relawan sepertiku lebih
dahulu sampai. Hari pertama, tentu saja
perkenalan.
“Ini Ablah
Rani.” Ablah Gheda menunjukku.
bersambung...
NB: dimuat dalam buletin Terobosan edisi 360