Saturday 6 December 2014

Tahun Ketiga

bismillah

5 Desember 2014
Di suatu petang. Mahattah Asyir.
Aku menikmati langit Kairo yang semakin kelam di antara bising klakson yang bersahutan. Dengan nafas sepenggal-sepenggal pasca mengejar bus 80 yang akhirnya tak dapat ku jangkau. Dingin menyusup sedikit-sedikit lewat jaket tipis dan beberapa lapis baju. Dalam kondisi begini aku telah bersiap untuk bertarung dengan kemungkinan terburuk atas waktu. Durasi kedatangan bus berikutnya tidak akan sebentar. Dan ini mahattah. Puluhan mikrobus nongkrong tak beraturan. Begitu pula jalanan menuju Hay Sabi. Suq Sayyarat.
Aku punya beberapa kenangan buruk dengan terminal (mahattah). Baik di Indonesia maupun di Mesir. Terminal adalah rimba yang terkonsep secara modern. Terutama di kota-kota besar. Lihat saja, manusia berlimpah ruah. Berjejalan. Tapi tak satupun acuh kecuali untuk dirinya sendiri. Masing-masing sibuk mengejar kepentingan, hal yang tak sulit kita baca lewat mimik wajah yang berkerut-kerut. Juga kecepatan jalan mereka. Lalu umpatan-umpatan dan juga potensi kejahatan yang ada. Ditambah cahaya lampu yang-sudah redup- terhalangi beberapa kios pedagang asongan. Ku putuskan menunggu berdiri, setelah memilih tempat yang dapat ku belakangi 90 derajat. Setidaknya aku mengurangi potensi tindakan kriminal dengan pengawasan 270 derajat. takut? Manusiawi. Dan aku memperbanyak dzikir.
Untunglah, masih sempat ku lihat langit. Ternyata aku tidak sendiri. Calon purnama menemaniku dengan cahaya putihnya yang belum sempurna. Lalu aku teringat, bahwa malam ini adalah tepat malam terakhir untuk tahun ketigaku di bumi Kinanah. 6 Desember 2011. Tiga tahun? Cepat sekali.
Awal tahun kedatanganku di Kairo. Boleh dibilang beruntung, bisa juga tidak. Beruntung, karena biidznillah (benar-benar dengan izin Allah SWT) akhirnya aku menapakkan kaki di negeri para Nabi. Meski saat itu rasanya berat sekali, tidak seorangpun dari keluarga inti yang melepas kepergianku di bandara. Pun Abi masih dalam masa pemulihan pasca kecelakaan. Ditambah penerbangan pertamaku pakai transit di Kuwait, dan tidak ada satu kawan atau kenalanpun yang menemani di pesawat. Aih, ndak usah didramatisir! Kurasa hampir setiap orang yang pernah pergi ke luar negeri pernah merasakan hal yang sama.
Sampai di asrama Buus, barulah aku tahu. Ternyata kawan-kawan satu marhalah sudah menempuh banyak ijroat (administrasi). Nasibku yang datang paling akhir, seorang diri dan tidak punya banyak kenalan se-almamater pula. Untungnya ada senior asrama yang masih bersedia bantu-bantu, seorang senior yang membantu urusan tiket-lah yang berjasa besar membantu ijroatku. Bulan-bulan awal ku lewati tanpa ada arahan senior, yang mengajariku untuk beradaptasi adalah kawan-kawan satu marhalah. Merekalah yang kuanggap senior dan mampu membimbingku saat itu. meski akhirnya kewalahan juga, sampai-sampai ijroat saya di asrama, baru kelar setelah 4 bulan.
Setelah itu aku mulai meraba-raba. Di lingkungan seperti apa hidupku di Mesir ini? Karena Ormaba juga sudah selesai diselenggarakan sebelum aku datang, lama-kelamaan aku mulai dapat membaca. Oh, di Masisir ada hal seperti ini, ada organisasi ini dan itu. Pengurusan terhadap KBRI dengan cara begini, begitu, bla..bla..
Yah, ala kulli hal. Aku ingin bersyukur dengan semua yang telah Allah SWT takdirkan. Meski seringkali aku mendzalimi diri sendiri, bersikap kekanakan terhadap keluarga, teman-teman, senior dan yang lainnya, aku merasa semakin hari semakin banyak belajar dari orang-orang di sekitarku. Walau tidak setiap pelajaran “kedewasaan” itu mampu kucerna lalu ku praktikkan secara langsung.
Terima kasih kepada kakak-kakak, senior, teman, guru, keluarga dan semua orang yang begitu sabar menghadapi sifat dan sikapku. Aku akan terus belajar menjadi lebih baik.


Doakan.

                                                             Madinatul Buus el Islamiyah, Abbasea, Cairo

                                                             Memasuki awal tahun keempat, 6 Des 2014

Saturday 15 November 2014

Egypt vs Senegal

bismillah
Hari ini saya ke stadion. Nonton bola!
Sesuatu yang tidak pernah saya inginkan sebelumnya, dan ini sedikit di luar rencana. Beberapa hari lalu, iseng-iseng saya minta didaftarkan seorang kawan asrama. Seorang mahasiswi Senegal menawarkan seat supporter negaranya. Saya bukan maniak bola, hanya sesekali pernah nonton di televisi. Itu pun dulu. Dulu sekali. Lalu saya pikir, mumpung di luar negeri, pertandingan internasional, dapat aksesoris plus jemputan, ada kawan, free pula. Boleh deh!
Dalam bus
Sebetulnya dijadwalkan jemputan di asrama pukul 15.00, ternyata jam 14.30 bus sudah stand by. Mungkin karena Kedubes Senegal tak mau ada keterlambatan. Di dalam bus, hanya saya dan seorang kawan yang berkebangsaan Indonesia. Anak Thailand bisa dihitung jari, dua orang Mesir dan sisanya, nona-nona benua coklat-mencontek istilah Arab. Setelah diabsen, kaos dibagikan.
Di atas kaos berwarna latar putih itu ada bendera Senegal; hijau, kuning, merah dan satu bintang kecil di tengah, juga lambang CAF (Confederation of African Football-alias Prancisnya Confederation Africaine de Football). Ada dua kalimat tertulis. Saya tak tahu apa artinya. Bahasa Prancis. Saat tanya petugas, kalimat pertama dia bilang,”kulluna dhidda Ebola” we against Ebola, kita semua lawan Ebola. O, jadi, kampanye lawan Ebola. Wabah ini memang sedang mendera di Afrika. Saya tidak tanya kalimat kedua karena dia kelihatan sibuk. Yang jelas, pertandingan ini merupakan bagian dari rentetan Piala Afrika yang diselenggarakan 2 tahun sekali. Biasanya dihelat pada bulan Januari-Februari. Artinya, acara puncak akan digelar tahun besok. Pantas saja, saya banyak lihat tulisan 2015 di spanduk dan kaos-kaos.
Melihat supporter Senegal
Meskipun kali ini Mesir vs Senegal, saya kira hanya akan sedikit yang menonton. Tapi saat bus perlahan mengitari komplek Cairo International Stadion, antusiasme supporter Mesir tidak main-main. Dalam perjalanan-disebut perjalanan karena, meskipun lokasi stadion dekat dengan asrama, tapi macet plus satu kali putaran hingga melewati komplek Anwar Sadat- setiap kali musyaji’ itu melihat bus kami, mereka akan memutar ibu jari ke arah bumi, sambil meneriakkan yel-yel dan tertawa mengejek, kata mereka,”tiga-kosong!”. Saya sesekali tertawa bersama kawan. Siapapun yang menang kami takkan peduli. Di sela itu saya berimajinasi ringan, seandainya warna hitam dendera dan aksesoris Mesir ini dirobek, jadilah Indonesia. Hm... semoga tidak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kami jadi supporter Senegal. Malu lah. Haha.
Dua kali pemeriksaan dan dua gerbang yang harus diterobos dengan merunduk-saking ketatnya penjagaan oleh sekuriti. And then... ya! Stadion!
Ini pertama kali saya ke stadion yang berisi supporter. Yeah! I feel it!
Ya..ya.. jadi begini toh, rasanya jadi supporter di bangku First Class. Satu tujuan kami menghemat baterai handphone. Selfie dan jeprat jepret sana sini. Ups, hehe.
Saya melihat lautan manusia dalam pekik histeria. Terompet, lukisan bendera di pipi, polisi-polisi, bendera-bendera, teriakan, sorot lampu dan tangan-tangan yang bergerak seirama. Seperti di televisi, tapi tidak seluas yang saya kira. Mungkin karena posisi bangku di tengah, tidak terlalu jauh, lapangan hijau dan kemampuan melihat nomor punggung pemain lapangan. Tapi kata kawan,”oh, ini paling Cuma sepertiga GBK”.
Jumlah supporter Senegal-termasuk saya dan puluhan anak asrama Buuts- tidak sampai sepersepuluh supporter Mesir. Pintar sekali, tidak perlu keluarkan banyak yel, cukup andalkan sound system besar di ujung depan untuk teriakkan rekaman yel-yel.
ambil foto dengan supporter Senegal asal China
Magrib menggema sejak sebelum masuk stadion, puluhan supporter bergantian sholat di belakang bangku. Ada pemandangan yang cukup menarik buat masyarakat Indonesia, andai saja saya punya kamera yang lensanya seharga belasan juta. Tak apalah, mata saya cukup jelas merekam seorang polisi berseragam hitam yang melepas sepatu dan beberapa atribut lalu sholat di tepi-agak tengah- lapangan hijau. Begitu pula setelah Isya, beberapa offisial saya lihat sholat di tepi lapangan, agak ke tengah. Mungkin menghindari keramaian yang amat sangat. Sedangkan kami, sembari menanti antrian sajadah, kawan saya ngobrol sejenak dengan sekuriti Mesir yang cukup ramah. Olala, dia mahasiswa tingkat 3 Azhar Tanta.
Seorang polisi tengah sholat dalam posisi rukuk di lapangan
Pertandingan dimulai. Memasuki menit ke-8. GOAL!
1-0   untuk Senegal!
Teriakan saya kalah dengan histeria puluhan manusia berkulit hitam. Ups, reflek. Pokoknya saya niatkan pengalaman nonton bola “beneran” ini sekali saja. Buat obati rasa penasaran. Sebetulnya saya ada janji silaturahim ke rumah seorang senior yang punya baby. Tapi dengan banyak pertimbangan, rasa-rasanya tak mungkin keluar stadion menuju mahattah seorang diri. Maafkan saya, kakak. (^o^)
Di sini saya-selaku orang yang kuper bola- belajar beberapa hal. Dari injury time, kode wasit pinggir sampai bagaimana cara menggerakkan bendera jumbo oleh supporter. Hehe.
Sampai babak kedua, skor belum berubah. Saya cukup paham bagaimana seorang bapak Mesir yang menonton dari bangku Senegal menepuk pundak anak lelakinya, saat timnas Mesir tak kunjung membalas gol Senegal.


Bapak dan anak Mesir duduk di bangku Senegal

Hello, ini Mesir lho. Negara dengan rekor terbanyak penyabet juara Piala Afrika sejak 1957. Saya juga tidak heran dengan histeria supporter Mesir mengingat banyak cerita kawan Masisir tentang fanatisme warga terhadap bola dan klub andalan mereka. Cukup jelas tergambar penantian mereka akan gol balasan. Iya, wajah para sekuriti berjas dan berdasi rapi hanya datar namun penuh gelora yang ditahan. Alias geregetan.
Ada satu hal yang patut disayangkan, mendekati akhir babak kedua, sebuah batu melayang ke bangku supporter Senegal. Berasal dari atas. Di mana supporter Mesir berkerumun. Tidak tahu siapa yang berbuat ulah, karena penglihatan kami terhalang oleh beton pembatas tingkat atas. Seorang supporter terluka. Saya sempat melihat, ia dipandu menuju ruang medis, dengan tangan kanan menutup kepala dan tangan kiri menadah darah yang bercucuran. Tak ada penanganan khusus. Kecuali para polisi yang disiagakan di kanan bangku supporter. Itupun tidak mencegah lemparan-lemparan botol, terompet dan sampah dari atas. Hm... saya dan kawan putuskan mundur ke bangku yang agak atas. Di bawah beton. Demi keamanan.
Beberapa supporter wanita menaruh tas di atas kepala menghindari lemparan dari atas
Tuh kan. Saya nggak akan “nonton” bola lagi. Diakidkan oleh kejadian semacam ini. cukup sekali ini sebagai obat penasaran. Ini pun dengan beberapa keluhan sepanjang pertandingan. Mau tahu apa? “Duh, laparnya. Ndak Ada yang jualan kacang ya?” Jadi terbayang obrolan seorang kawan di grup Whatsapp asrama. “Eh, kalau gue jualan kacang di stadion Cairo, laku banyak pasti ya?” Sayang tidak ada yang berani membuktikan.
Begitulah, hingga pukul 10 lewat, akhirnya kami bisa pulang dengan bus yang sama. Namun kali ini lebih padat. Karena banyak mahasiswa asrama yang lebih dulu menyusup dalam bus mahasiswi. Ya sudahlah, berdiripun tak apa. Rasa penasaran sudah terobati, dan untungnya tak ada mahasiswa Indonesia yang melihat kehadiran kami. Saya dan seorang kawan berdiri di bus agak belakang. seorang berwajah Asia memberi kursi untuk mahasiswi Afrika. Saya dan seorang kawan yang melihat mahasiswa Asia berjaket merah itu tertegun. Spontan menahan nafas. Erm... tidak. Tidak apa-apa.

Hanya saja tulisan di belakang jaket pemuda itu membuat kami terkejut. INDONESIA.



*Madinah al Buuts al Islamiyah
Abbasea, Cairo
Dini hari, 3.29

*Sedikit kontemplasi: ada kalanya saya menulis bukan supaya orang memperlakukan saya dengan sikap tertentu. Bukan.
Saya ingin tulisan disikapi sebagai tulisan. bukan sebagai siapa si penulis.
Saya ingin berbagi. Dan berekspresi. Bas!
what about you?






















Friday 14 November 2014

Elegi Cinta

bismillah

Aku sudah kemasi barang dan siap pergi
Tapi, Cinta
Mengapa kau masih di situ?
Tidakkah kau ingin tinggalkan tempat itu?
Tidakkah kau mau hapus elegi itu?

Kita memijak tanah yang sama
Menghirup hawa yang tidak berbeda
Tapi kenapa,
Saat menatap langit,
Purnama kita tak sama?

Mengapa bisa, Cinta
Kita bertemu pada takdir lalu
Di ruang rindu,
Di mana tiada seorangpun berlalu
Pada durasi yang tidak semu
Tanpa janji, tanpa ragu
Pun akhirnya, kita menyapa malu-malu

Selanjutnya kita tahu,
Masing takdir kita telah terlukis
Jika dipadu, hasilkan warna yang ambigu

Cinta,
Mataku tak pernah lama merekam bayangmu
Tapi hati kita sudah lama saling menatap
Tatapan yang dalam,
Diam-diam hati kita saling bicara
Dengan sandi rahasia

Kali ini,
Aku ingin satu hal
Jangan jawab pertanyaan ini,
“Cinta, aku harus bagaimana?”




*Saya bukan penulis yang istiqomah,
Bukan pujangga kawakan,
tapi satu,

saya tak ingin lepas dari dunia itu.




Madinatul Buus al Islamiyah, Abbasea, Cairo
Dalam syahdu Subuh yang mengawali Syita
5.45 CLT
15 November 2014

Wednesday 29 October 2014

Merindukan Teguran

bismillah


Tapi kau tahu,
Ada sekat-sekat egoisme di sini.
Menancap dalam dan telah berakar.
Dan siapa yang mampu mencerabutnya?
Aku?
Yang melihat cermin diri saja masih samar?
Maka,
Katakan bahwa aku tersesat,
Dan berteriaklah bahwa aku salah,
Jangan iyakan setiap yang ku kata

Setiap jiwa ingin tersadar
Tak ada yang tak ingin ia dengar.

Hentikan langkahku saat ku terlena.
Berlarilah dan ajak aku pergi,
Menuju jalan kembali,

Aku tak ingin tersesat lagi.


                              PMIK, 29 Oktober 2014
                              Sore yang.....ugh!

Monday 13 October 2014

Ada Apa di antara Kita?

bismillah



Sejatinya kita takkan pernah menjadi ‘kita’
Kita bukan milik kita
Sekeliling menguasai kita
Sekaligus menaruh harap pada kita

Ingin sebebas apa,
Ada bingkai unik berukir pengabdian,
Loyalitas,
tanggungjawab

Lalu mereka bilang,
“Menyelami kehidupan,
bukan semata perkara cinta,”

dan seperti itulah,
“Diperjuangkan atau...
dikorbankan,"
Terkadang bukan pilihan,
Tapi tuntutan, keterpaksaan

Namun sebelumnya, ini cinta?
Atau sekedar rasa yang menunggu pudar?
Bila cinta, mengapa ia terhenti?
Bila hanya rasa, mengapa ia tak kunjung pergi?

Kau dan aku,
Tak pernah bicara lewat kata
Tapi hati masih saling menyapa,
Sebenarnya, apa yang terjadi antara kita?









                                                               Madinah al Buuts al Islamiyah, Kairo
                                                               Awal winter yang menyisakan ragu, 14 Oktober 2014
                                                              04:50 CLT


Saturday 4 October 2014

Duh, Khutbah Ied yang Mengenaskan

bismillah
Dugaan saya tepat. Selepas imam mengucap salam kedua, seluruh jamaah berdiri tanpa komando. Mengambil sajadah, mengenakan sandal dan sepatu dan melenggang tak beraturan.
Nyaris semua jamaah wanita Mesir ini ngobrol
Sajadah kami terinjak? Ya.
Gaduh? O, tentu.
Hanya kami, orang Asia yang duduk menepi lalu memasang telinga untuk khutbah Idul Adha yang disampaikan. Remaja, anak-anak, ibu-ibu, semua bercengkerama lewat obrolan keras beradu menyaingi suara sang khatib. Hanya nenek-nenek-yang nyaris seluruhnya- bertubuh gempal duduk manis dan mendengarkan khutbah. Warga Mesir mana yang sudi kiranya mendengar ceramah fiqh adzhiyah dan tafsir AlKautsar itu dengan penuh kesadaran?
Iya, hal yang sangat saya rindukan adalah jamaah yang sudi mendengar khutbah Ied sang khatib. Yang tidak bergegas menarik sajadahnya untuk lari dari khutbah yang berdurasi tak lebih dari dua puluh menit.
Kita, orang Asia, orang Indonesia, ternyata lebih mampu mengetahui apa fungsi telinga. Indra pertama yang diciptakan Allah Swt sebelum yang lainnya. mungkin karena itu watak kita turut terbentuk. Watak “pengertian”, yang terkadang menjadi ekstrim dan disematkan pada orang Jawa-apalagi orang Solo dan Jogja-, lalu diterjemahkan menjadi “pekewuh”. Dan jika bergeser ke makna moderat disebut “santun”. Namun tak jarang santun dalam laku ramah itu disalahgunakan sehingga mengorbankan prioritas disiplin waktu. Jam karet.
Nah, saya mulai melantur nggak jelas. Anyway, Happy Ied Adha! Kullu ‘am wa antum bikhoir. ^_^

                                                             Masjid ArRahman ArRahim, Cairo, Iedul Adha 1435 H


Yang duduk adalah mahasiswi Asia, Indonesia

Jamaah wanita Mesir yang berlalu lalang ketika khutbah

Hanya nenek-nenek Mesir yang mau mendengarkan khutbah Ied

Thursday 2 October 2014

Curahan Hati PMIKwati

bismillah

Kamis.
Sepi kan...
Seperti biasa, setiap jatahku shift PMIK di hari ini, sepi. Ada beberapa tugas menumpuk sebetulnya. Tapi, rehat dulu lah. Dan tahu tidak, di atas PMIK, alias di sutuh ini, muncul suara gedebak-gedebuk. Berisik? Iya. But, no problem. Aku pernah tanya salah seorang yang ‘gedebak-gedebuk’ itu, kata mas-nya, setiap Sabtu dan Kamis, mereka latihan wingchun. Padahal seingatku, wingchun itu kan seni beladiri yang diciptakan buat wanita. Karena jurus dan gerakan-gerakannya yang gesit namun tidak membutuhkan banyak tenaga. Hihi, kenapa yang latihan akhi-akhi ya?

Baru saja selesai mengklasifikasi 20 buku baru. Hey, ini bukan perkara mudah. Bermodalkan “kitab suci” PMIK, keterbatasan ingatan dan mengkaitkan judul plus konten dengan klasifikasi turunan Dewey. Ugh, terkadang menemukan buku yang untuk memberi nomor penempatan itu sampai makan seperempat jam. Well, tapi aku menikmatinya.

Rak bahasa Arab di PMIK
Selanjutnya mendata buletin-buletin Masisir yang masuk PMIK. Menyetempel yang belum distempel, komputerisasi lalu manyun karena “ini buletin kok gak ada edisinya sih!”. Aha, di sini aku paham bahwa layouter media cetak itu penting. Juga inkonsistensi layout itu sangat mengganggu pendataan dan dokumentasi.

Tugas dari buletin juga baru saja masuk inbox. Tapi... sudahlah. Akan ku kerjakan nanti malam saja di asrama.

Hari Batik kan ya.. 
Sekarang rileks dulu. Menulis uneg-uneg di hari ini. iya hari Batik Nasional 2 Oktober. Ada yang spesial?/ iya. Aku pakai baju batik ungu yang kujahit sendiri. Meski tidak 100% jahit mesin. Tapi oke punya lho. Lumayan lah. Baju Ied kemarin. Inginnya sih selfie, karena jiwa narsis-ku selalu bersemi, tapi kalau buat konsumsi publik ya... pikir-pikir dulu lah. Bukan Ainun kalau suka pajang-pajang foto selfie dan dinikmati banyak orang. Ups!

Oya, tadinya mau nulis macam-macam. Sebab sudah lama tidak posting di blog ini. bukan karena tidak ada inspirasi. (btw, manusia bisa kehabisan inspirasi ya?) tapi ya, karena beberapa alasan, nggak berani sembarang posting lah. Kalau dihitung-hitung, setiap bulan (sedikit sekali ya) aku selalu membuat folder baru untuk coretan-coretanku.

Nah lho... sudah nyasar ke mana lagi ini? begini lah kalau menulis tanpa mind maping. Karena biasanya-minimal aku membuat peta pikiran atau kerangka sebelum menuliskannya. Bukan Cuma untuk tulisan-tulisan berat. Tapi tulisan ringan pun begitu. Kalaupun tidak ditulis tangan, aku menuliskannya di pikiran.

di sini aku shift. Sepi. Asli. Tpi enak sih, buat ngerjain tugas-tugas. haha
Seringkali kawan-kawan bilang bahwa aku ini lumayan mumpuni dalam menulis. Tapi wew, no.no.no. aku-terkadang masih terikat mood. Bahkan, seniorku mengaku bahwa ia mulai menulis sejak 4 tahun terakhir. Tulisannya bagus. Logikanya dapat. Dan cukup expert lah. Tapi wait! Aku lho... sudah suka nulis fiksi sejak akhir SD, tapi sampai sekarang masih acak-adul. Seringkali logika ndak dapat, diksi kurang greget, satu paragraf dengan paragraf lain tidak koheren. Aiih, rasanya pengen pijetin ini otak!

Tapi lama-kelamaan aku berpikir, bahwa semua ini kujalani dan bisa kulakukan karena (biidznillah tentu), juga karena aku mau. Sungguh salah kalau aku dibilang memiliki bakat. Karena semua yang kulakukan, asasnya ya itu. Kemauan. Asal aja tulis. Mengikuti kata hati. Kalau dibac ulang terkadang,”wew, bagus juga”. Tapi tak jarang,”idih, apaan nih?” lalu ‘delete’. Hoho

Kalau sudah begitu, aku paling malas mengulang. Makanya paling gatel dengan kata “revisi”.

Okay, sepertinya bisa nyasar ke mana-mana kalau uneg-uneg ini dilanjutkan. Ala kulli hal, “Ainun, keep your writing spirit!”

Syukran, sudah mau baca uneg-uneg di sore ini. oya, besok puasa Arafah yuk!







                              PMIK "Krik...krik...krik..", Wisma Nusantara,Cairo, 2 OKtober 2014


Friday 1 August 2014

Jilbab, Adik-adikku... ^_^

bismillah
Tulisan ini saya tujukan, terutama buat adik-adik muslimah. Entah adik sepupu (karena adik kandung saya laki-laki), adik kelas, well, siapapun yang muslimah dan berusaha istiqomah di jalanNya. Bukan berarti saya sempurna, karena cucu dari mbah Sampoerna. Hehe. Ala kulli hal, la’alla nafi’an!
Jilbab, kerudung, dan hijab.saya tidak ingin berpanjang lebar mengupas sisi bahasa dari tiga kata itu. kesemuanya saya sebut jilbab. Begitu saja. Okay?


Ceritanya, sewaktu kecil –kira-kira kelas 3 SD- Ummi bercerita tentang anak temannya yang berkomitmen memakai jilbab setiap hari (kecuali di dalam rumah atau dengan mahrom tentunya). Padahal Si anak juga seumuran saya. mulai dari situ, saya iri. Iya, iri!
Sementara saya, meski pakai jilbab, tapi kalau merasa panas, ya lepas. Jadi, kalau anak teman ummi saja bisa, saya juga bisa dong. Maka saya putuskan komitmen pakai jilbab. Awalnya yang penting pakai kerudung. Meski pakai celana tiga perempat dan kaos berlengan pendek. Kalau diingat, lucu deh. culun.
Namun semua berjalan lewat proses. Yang intinya tidak ada paksaan dari ummi atau abi supaya saya berkomitmen menutup aurat. Seperti masalah kaos kaki, tidak berjabat tangan/salaman dengan non-mahrom. Semua keputusan saya. selain juga karena iri melihat ummi dan teman-temannya begitu. Yang saat itu (masih SD lho ya) dalam pikiran saya, muslimah dewasa ya yang berkomitmen menjaga dan menutup aurat. Tapi tetap saja, dengan motivasi seorang anak kecil: iri dan sok jadi orang dewasa!


Lalu masuk pesantren, awalnya sukarela memakai jilbab lebar. Hm, meski kata lebar itu relatif, buat saya bisa disebut lebar kalau batas minimal samping jilbab adalah siku tangan. Kalau di atas siku ya, buat saya belum lebar. Pokoknya saya pakai jilbab lebar karena dua hal. Pertama, peraturan. Kedua, meniru ustadzah. Kebetulan tahun awal di pesantren kami ditempatkan di komplek khusus. Sehingga-seperti lazimnya anak baru, semua taat peraturan.
Namun sesekali melihat kakak kelas dari komplek lain pesantren, jilbab mereka kecil. Di atas siku. Meski banyak juga yang berjilbab lebar, bahkan bercadar. Namun tetap saja, kesannya kakak kelas yang berkerudung kecil itu lebih gaul, lebih keren, lebih berani. Cool deh. dari situ terbersit di pikiran saya, nanti kalau naik kelas dan tinggal satu kompleks dengan kakak kelas, saya akan pakai jilbab kecil.
Sungguh Alloh Maha Penyayang. Beberapa bulan di kompleks asrama pesantren yang baru, saya mengamati seorang kakak kelas. sebut saja namanya Rani. Kak Rani ini berkerudung lebar, lalu setamat MTs melanjutkan sekolah di luar pesantren. Namun ketika berkunjung ke pesantren, kak Rani masih berkomitmen dengan jilbab lebarnya.
Hal itu yang membuat cara pandang saya berubah drastis. Muslimah keren itu bukan karena ‘nakal’ atau yang kecil jilbabnya. Tapi mereka yang mampu istiqomah dengan pilihan terbaiknya. Dari situ saya berpikir bahwa peraturan ‘jilbab lebar’ dari pesantren (walaupun hal ini berkali-kali disampaikan oleh asatidzah di pesantren) bukan sekedar aturan biasa, namun ini aturan yang syar’i.
jika di pesantren saya berani pakai jilbab lebar, kenapa di luar pesantren tidak? Buat saya ini berasa munafik. Dan juga pecundang. Saya ingin buktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mamakai jilbab lebar bukan karena aturan dari orang lain. Ini pilihan saya, dan saya bangga sekaligus percaya diri memakainya.
Iya, menurut saya, santriwati-santriwati yang ketika di pesantren taat peraturan (meski terpaksa) namun ketika liburan atau selepas lulus pesantren tidak berkomitmen dengan pakaiannya, itu nggak keren. Apalagi yang pada akhirnya memilih bercelana ketat dan berkerudung pendek dan tipis. Enggak banget!
Yang saya ingat dari pelajaran kewanitaan di awal masa mondok, di antara fungsi pakaian muslimah adalah sebagai pelindung dan identitas muslimah. Pelindung; melindungi dari godaan mata lelaki nakal. Dan identitas bahwa pemakainya adalah seorang muslimah yang memiliki kehormatan dan harga diri. wew, ini keren banget,nget!
Awalnya saya ragu untuk terus berkomitmen dengan jilbab lebar, tapi keraguan saya tidak pernah didukung dengan fakta yang saya hadapi. Hal ini saya buktikan di luar pesantren. Ketika berkumpul dengan sanak saudara di keluarga besar, juga di lingkungan kuliah dan sekitar. Hm, tidak ada masalah kok. Meski kadang di jalan juga dipandang aneh, tapi so what gitu?! Kalau wanita yang berbusana tidak pantas saja berani tampil PeDe, maka kita, yang berusaha menjaga harga diri, why not?!
Pun ketika merantau di negeri Piramida. Saya sudah aware dengan perkara ini. saya tahu, bahwa saya akan menemui dunia yang lebih luas. Orang-orang, lingkungan dan pemikiran. Namun saya coba jalani saja. Awalnya kaku juga. hm, di sini saya tidak memandang orang lain di bawah saya lho. Buat saya, kerudung lebar versi saya bukan suatu kewajiban buat orang lain. Tentu masing-masing punya standar tersendiri sebagai patokan.
Iya, awalnya saya takut akan berubah. Karena lingkungan yang saya jalani berisi muslim-muslimah dengan ragam berbeda. Namun ternyata ketakutan saya tidak terbukti. Saya merasa kawan-kawan, baik senior maupun junior, tidak terlalu mempermasalahkan pakaian saya. tentu pernah sesekali terlontar pertanyaan,”enggak panas apa?”. Tapi saya yang menjalani, dan ini nyaman. Saya jawab begitu.
Bahkan, pada beberapa komunitas yang doyan colak-colek antara laki-laki dan wanita-nya. Saya tetap bisa berkomunikasi, dan saya merasa lebih dihargai. Intinya tidak ada yang berani macam-macam. Hehe. Rasanya jadi benteng berjalan. Saya bebas berkomunikasi, mengeluarkan isi pikiran, tapi tetap aman dan dihargai.
Namun menurut saya, poinnya bukan sekedar di pakaian (jilbab lebar). Dari yang selama ini saya jalani, di mana pun kita berada, orang akan memperlakukan kita berdasarkan dua hal. Satu, sikap, akhlaq dan perilaku. Dua, ilmu dan wawasan.
Jadi, adik-adikku, jangan pernah minder dengan busana kalian yang sudah syar’i. tidak perlu ikut-ikutan ber’hijab’ ala hijabers yang pasmina-nya melingkar-lingkar dan butuh puluhan tusuk jarum buat memasangnya, hanya sekedar terlihat gaul.
Tidak perlu foto selfie dengan pose monyong-monyong dan sok kiyut (pinjam bahasa ust Felix Siauw), karena itu tidak membuat kita semakin lucu dan imut seperti yang kamu bayangkan. Terkadang kita harus membedakan mana yang “be my self” dengan mana yang “menuruti hawa nafsu”. Saya pun tidak sempurna, namun saya yakin, kita semua ingin merasa aman, dihargai, dihormati. Sebagai muslimah. Ya, muslimah!
Smoga kita makin lebih baik!


*semua gambar/foto ngacak di google.com

                                                                                         Cairo, 1 Agustus 2014

Thursday 31 July 2014

Anak-anak adalah Anugrah

bismillah
Hai anak-anak,
Terima kasih telah tumbuh dengan baik. Lihat betapa Allah Maha Penyayang. Kalian tidak semalang kakak-kakak kalian. Mereka lahir dari seorang ibu yang baik, lembut, sopan dan tentu berbeda dari ibu-ibu lain. Ketika lewat beberapa pekan dari kelahiran kakak-kakak kalian, bahkan mata kecil mereka pun belum sempat melihat kerasnya dunia. Mereka harus terpisah dari sang ibu. Terbuang di tepi jalan oleh orang yang hatinya telah membeku. Hanya tersisa satu yang mampu kami selamatkan. Maka ia bernama Ichi.
Ibu anak2 n Ichi, yg diracun ablah T_T

ibu anak2

ichi


Kami tak pernah berharap akan hadirnya kalian, anak-anak. Namun hadirnya kalian adalah suatu anugrah yang tak pernah kami bayangkan. Mungkin kakak semata wayang kalian, Ichi, lebih beruntung. Selama beberapa bulan ia bisa bergeliat dan bermanja sepuas hati bersama ibu, meski kamipun masih tak terlalu tahu siapa ayahnya.
Namun tidak bagi kalian, ya, kalian berenam yang kini tersisa lima. Kami tak tahu, tak mau tahu dan tidak berharap tahu siapa ayah kalian. Ketahuilah bahwa ibu kalian bergitu cantik. Begitu anggun. Begitu sopan. Hingga kami tak tega kalian terpisah darinya. Tak terlalu banyak yang bisa kami bantu dalam persalinan kalian di hangatnya summer ini. tapi tahukah kalian, dari beberapa kali bahaya dari orang-orang yang telah hilang rasa kasih sayangnya itu, kalian adalah yang beruntung. Yang dijaga olehNya. Bersyukurlah wahai anak-anak!
Maafkan kami, anak-anak. Ketika ibu kalian sadar akan panggilanNya, ia menjauh dari kalian yang bahkan belum dapat membuka mata. takdir dan kebusukan hati manusia yang membawa ibu kalian pergi. Maaf kami tak bisa membawanya kembali untuk merawat kalian.
Tahukah betapa bingungnya kami, setiap kali mendengar tangis kalian yang merengek minta susu? Sungguh begitu pilu. Bagaimana bisa kami makan dengan tenang sementara ratapan tangis kalian begitu menusuk relung hati kami. Maaf kami tak bisa mengerti bahasa tangis kalian. Jeritan kepedihan anak-anak yang ditinggal pergi ibunya dalam usia yang sangat dini. Apa yang bisa kami perbuat, anak-anak?!
Hari pertama, kami coba berikan susu asrama yang juga minuman keseharian kami. Kalian mencicipnya sedikit melalui sedotan yang ujungnya tajam, lalu menolak. Tahukah,, hati kami tersayat melihat kalian kelaparan menjilat tangan kami yang basah dengan sisa air susu sapi. Berikutnya kami belikan kalian dot susu. Syukurlah! Kalian mulai dapat beradaptasi.
Kami sangat bahagia, anak-anak. Meski masih tersebit tanya, sampai kapan kalian bisa bertahan?
Setiap terdengar tangis kalian, kami berikan dot susu. Bergilir. Bergantian, sembari sahur atau di siang dan malam hari. Kawan-kawan Thailand juga membantu. Bersyukurlah. Setelah kalian puas minum lalu tertidur, barulah kami dapat makan dengan tenang. dan setiap subuh mulai lewat, kami sembunyikan kalian dengan berjingkat agar tak ada petugas asrama yang membuang kalian. Menjelang agak siang, kalian terbangun, dan kami harus bergantian memberi 5 lidah yang kehausan. Setelah itu, beberapa kami harus mengelap pantat kalian dengan tisu agar kalian dapat buang air kecil atau besar.
Hingga makin hari kami menyadari, kalian tumbuh, membuka mata, berjalan dan bermain dengan kami! Terima kasih, anak-anak, kami sadar, merawat kalian dengan kesabaran adalah anugrah yang melahirkan senyuman tatkala kami penat dengan ricuhnya dunia. Terima kasih kalian tumbuh dengan kaki-kaki yang semakin hari semakin kuat menopang perut buncit kalian yang menggemaskan. Terima kasih telah mampu berlari dan bekejaran di lorong asrama kami. Meski kami harus rela mematikan lampu lorong tatkala kalian tertidur lelap, dan menutup pintu agar kalian tak terjatuh di anak-anak tangga asrama.

wajah2 kelaparan
Dae Gu, Gembrot, Snow White, Ji Gook dan Goro. Kini kalian mulai tumbuh dan menggemaskan. Hingga tak jarang kami, tanpa sadar berbicara dan cerewet seperti ibu pada anaknya,”jangan lari-lari anak2!”, “ayo tidur, waktunya istirahat, Goro!”,”Dae Gu nggak boleh lari-lari terus!”

mungkin kalian lupa nantinya, betapa kalian senang membuat kami kalang kabut. Kalian mengejar-ngejar kami yang sedang tak ingin diajak bermain. Bahkan akhirnya kami terpingkal-pingkal mengetahui betapa pintarnya kalian. Bergabung bersama mendorong botol yang kami gunakan sebagai penghalang pintu.
Anak-anak, saat ini kami ikut berduka akan Dae Gu. Dae Gu yang semangat dan hiperaktif kini berbaring dan jarang minum susu. Dua kaki belakangnya tanpa sengaja terjepit pintu. Dae Gu, semoga engkau cepat sembuh. Kami tak tega melihat tubuhmu semakin kurus. Segeralah sembuh dan bermain-main dengan Snow white, Goro, Gembrot dan Ji gook. Terima kasih juga, Ichi, kau mau menerima dan bermain dengan adik-adik tirimu, menggantikan ibu yang sudah tiada.
Cepat sembuh ya Dae Gu.
Anak-anak yang menggemaskan, tumbuh dan bermainlah. Kalian adalah anugrah! Terima kasih telah memberi kami senyuman, dalam dunia kami yang penuh kericuhan.
*pada akhirnya Dae Gu meninggal pada malam 28 Ramadhan 1435 H, semoga ia lebih tenang, dan yg ditinggalkan menggenggam ketabahan.

  



anak2 mainan ma kk tirinya, Ichi