Sunday 15 September 2013

Gom’ah Mubarak... ^_^

bismillah


Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menulis status di facebook perihal hari Jumat. Dimana saya seringkali mencoret besar-besar agenda untuk keluar di hari Jumat karena banyak resiko yang patut dipertimbangkan untuk keluar pada hari libur resmi Mesir ini.
Dan memang beginilah faktanya. Mungkin tidak semua merasakan hal yang sama. Namun bagi kami, mahasiswi yang tinggal di asrama buuts putri, menjadi kendala tersendiri jika harus keluar pada hari Jumat. Ya, semenjak suhu politik di Mesir yang memanas dan sulit untuk diprediksi, hari Jumat adalah momen yang sering digunakan massa untuk berdemonstrasi.
Mulai dari transportasi yang sulit didapat, plus harus merogoh kocek yang lebih..lebih..dalam, hingga aturan asrama yang seringkali berubah mengenai batasan waktu untuk keluar.
Sebetulnya saya masih sedikit mutung alias ngambek gara-gara semalam ada acara di Hay Asyir yang memaksa beberapa dari kami (anak asrama putri buuts) untuk mengikutinya hingga cukup larut. Melanggar aturan jam kembali asrama? O, jelas. Resiko menghadap direktur asrama? Bisa jadi. Terpaksa naik taksi, demi hemat waktu dan karena tidak ada bus yg beroperasi? Saldo beasiswa bukan lagi nol, tapi minus. Hiks! Ini kan belum masuk tengah bulan... /(ToT)”?
Toh, intinya Jumat ini saya harus keluar lagi, karena ada agenda di Wisma Nusantara yang letaknya di kawasan Rabea al Adaweyah. Kawasan yang menjadi saksi terbunuhnya ratusan (ada yang bilang ribuan) nyawa demonstran, dan hingga kini masih dijaga ketat olrh aparat keamanan dan militer Mesir.
Mengetahui ada agenda di hari ini, sebetulnya saya sudah ada feeling agak buruk. Benar saja, aliran air asrama beberapa kali tersendat, selanjutnya ketika ijin keluar. Ammu Wahab yang menjaga gerbang mendelik pada saya,”Ruh fein?!!” Mau ke mana kamu?!!
“Awwil Sabi’,” jawabku lirih. Itu adalah kawasan yg dekat Rabea al Adaweyah.
Namun senior yang bersama saya segera menjawab dengan keras,”Ahmad Said, Ammu..” ini sih nama kawasan yang terdekat dengan asrama. Hoho...
“mau pergi ke mana kamu?!” tanya Ammu Wahab lebih keras.
Sedikit keder terpaksa saya jawab,”Ana ma’aha, ila Ahmad Said..” Maafin saya sekaliiii ini ya Ammu.
Setelah berhasil keluar asrama, barulah saya tahu kalau sebelumnya ada senior yang dibentak dengan keras gara-gara ingin sholat Jumat di Masjid alAzhar. “Teriak-teriak sampai matanya melotot dan kedengaran sampai imarah 3.” Jelasnya. Whuoo.. Imarah 3 kan jaraknya hampir 50 meter dari gerbang...
Kami agak gamang untuk melanjutkan perjalanan, karena harus kembali sebelum dhuhur. Mustahil.tapi ternyata pak Bos nggak memberi ijin untuk membatalkan agenda, malah kami disuruh segera naik taksi. Taksi ...lagi? haha, saya meringis aja deh.
awwal sabi'
Akhirnya ada sopir taksi yang berbaik hati mengantar kami hingga kawasan Rabea al Adaweyah. Ia mengambil jalur arah ke airport, namun ternyata untuk menuju Rabea al Adaweyah tidak mudah. Bebarap kali taksi berputar-putar mencari celah untuk melewati blokade militer dan aparat keamanan, namun hasilnya nihil. Hampir di setiap ruas jalan terdapat tank-tank dan tentara dengan seragam lengkap. Moncong senjatanya itu lho, bikin ketar-ketir.
Terpaksa kami turun di jalan terdekat yang diblokade untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Keluar dari gang kecil dengan beberapa restoran kecil yang baru mulai beroperasi, kami menuju jalan utama yang nampak sepi. Beberapa aparat keamanan berseragam hitam bersiaga di sana. Tidak jauh di belakang, dua tank dan beberapa tentara berseragam lengkap juga menghadang.
Setelah memastikan bahwa masing-masing dari kami berempat telah membawa paspor dan identitas diri, dengan langkah pelan kami mendekati para aparat itu.
“Langsung jalan apa ijin dulu ya?” kami masih ragu. Tapi, daripada resiko nyelonong lalu di-dor, nah lho.. lebih baik ijin lewat.
Saat berjalan mendekat, beberapa dari mereka mengamati kami yang berjalan mendekat.
“Lau samakh, boleh kami lewat..”
“silakan...” jawab beberapa dari mereka. Phuft...
Kami pun berbelok ke kanan dan...
“WHUAAAH...”
Hihi, akhirnya keinginan saya untuk melihat Maidan Rabea al Adaweyah tercapai! Saya benar-benar penasaran ingin melihat langsung masjid Rabea al Adaweyah yang sempat hangus, serta kawasan pusat yang sempat jadi ‘neraka’ di Bumi Kinanah itu.
Yap, dengan jalanan lebar dan berpusat di bundaran yang cukup besar namun sepi dan lenggang. Dulunya kawasan ini tak pernah sepi dari orang dan kendaraan. Tapi kali ini sepii.. tidak satupun kendaraan bisa lewat. Dan blokade yang cukup luas sehingga seperti taman yang sepi dan dikelilingi apartemen dan bangunan yang cukup lenggang.
Memang sudah tidak ada sisa hangus dan trotoar nampak telah diperbaiki dan ruas jalan telah dicat kembali. Tapi kami juga buru-buru istighfar, membayangkan bahwa di setiap bangunan yang mengelilingi kami terdapat sniper yang sewaktu-waktu mengincar kepala kami. Tentu saja cukup mudah bagi mereka, demonstran bertumpuk di jalanan seperti lapangan yang dikepung gedung-gedung di berbagai sisi. Para sniper sangat mudah memburu mangsanya.
Sedikit konyol kami berlari kecil dengan menunduk, membayangkan bagaimana situasi saat penyerbuan dan mengevakuasi para korban sembari menyelamatkan diri dari sniper yang mengincar kami. Haha..
Sampai di Wisma Nusantara, tentu saja kami datang telat. Ho
Meskipun hanya mengikuti briefing beberapa puluh menit, adzan berkumandang. Dan selesai. Agak canggung juga, karena kami harus segera kembali, sementara kawan-kawan yang tinggal di luar asrama Buuts harus mengikuti rapat hingga akhir.
Saya sih, tidak berpikir ‘dapat apa’ dari agenda siang itu. Yang penting setor muka saja dan kembali ke asrama sebelum kami di marahi oleh Ammu Wahab. Ini sudah jam 1 lebih, padahal kami berjanji untuk pulang sebelum Dhuhur. Punteeen, Ammu...
Cerita pulang tidak jauh berbeda dengan perjalanan berangkat. Kami harus berputar-putar dengan taksi, demi keluar dari kawasan Rabea al Adaweyah. Jika tadi kami bingung mencari jalan masuk, kini harus pusing mencari jalan keluar.
Sopir taksi akhirnya bertanya pada seorang tentara,”Ya basya... ada jalan keluar nggak?” sebab di setiap ruas jalan dan gang-gang telah diblokade oleh tank-tank dengan amunisi penuh.
“Gak ada, kullu thori muta-affil” ia juga mengatakan akan adanya kemungkinan demonstrasi, jadi setiap akses jalan memang diblokade. Whehe... sudah berputar-putar ndak jelas, akhirnya kami mencoba lewat jalan ke Anwar Sadat. Di tengah jalan yang lenggang, tiba-tiba seorang sopir taksi yang berjalan berlawan arah dari kami berteriak kencang,”IRJI’!!!”
Nadanya itu lho... “Ooii, BALIK! Jangan lewat sana!!”
Wuiih, saya meringis, seolah di depan sana sedang terjadi baku tembak. Haha, ternyata masing-masing dari kami berpikir sama.
Meskipun kembali ke tempat semula, akhirnya kami menemukan jalan keluar dari kawasan itu. Kami putuskan untuk turun dan naik bus menuju Nadi Sikkah. Dari sana oper tramco ke Duwai-ah, lalu sambung ke asrama Buuts.
Di dalam tramco kami masih berpikir bagaimana membuat alasan untuk Ammu Wahab. Kami tidak ingin berbohong, namun entah apa jadinya kalau mengaku bahwa kami pergi ke kawasan Rabea al Adaweyah. Habis lah...
Gerbang asrama telah ditutup karena waktu keluar telah habis, kami berdiri di luar dan saling bersembunyi di balik punggung satu sama lain. Akhirnya salah seorang memberanikan diri membuka gerbang, seorang Ammu bawwab berseragan putih ‘askari tersenyum melihat ketakutan di wajah kami.
“Buruan masuk..”katanya. kami mengawasi sekitar dan bertanya, di mana Ammu Wahab. Ternyata beliau sedang di kamar mandi. Serentak kami bersorak gembira dan segera menulis tanda bahwa kami telah kembali. Ammu itu hanya tersenyum geli melihat tingkah kami. Semua beres, dan kami amat sangat berterima kasih pada Ammu itu, “Mutasyakir awi... syukran..syukran Ammu...”
Tiba-tiba seorang dari kami melihat Ammu Wahab keluar, “Ada Ammu Wahab! Larii....!!”


PS: maaph, mau foto2 di TKP tapi takut di-dor. hehe
*huhu... alhamdulillah ala kulli hal ^_^