bismillah
Beberapa waktu yang lalu, saya
pernah menulis status di facebook perihal hari Jumat. Dimana saya seringkali
mencoret besar-besar agenda untuk keluar di hari Jumat karena banyak resiko
yang patut dipertimbangkan untuk keluar pada hari libur resmi Mesir ini.
Dan memang beginilah faktanya.
Mungkin tidak semua merasakan hal yang sama. Namun bagi kami, mahasiswi yang
tinggal di asrama buuts putri, menjadi kendala tersendiri jika harus keluar
pada hari Jumat. Ya, semenjak suhu politik di Mesir yang memanas dan sulit
untuk diprediksi, hari Jumat adalah momen yang sering digunakan massa untuk
berdemonstrasi.
Mulai dari transportasi yang sulit
didapat, plus harus merogoh kocek yang lebih..lebih..dalam, hingga aturan
asrama yang seringkali berubah mengenai batasan waktu untuk keluar.
Sebetulnya saya masih sedikit mutung
alias ngambek gara-gara semalam ada acara di Hay Asyir yang memaksa
beberapa dari kami (anak asrama putri buuts) untuk mengikutinya hingga cukup
larut. Melanggar aturan jam kembali asrama? O, jelas. Resiko menghadap direktur
asrama? Bisa jadi. Terpaksa naik taksi, demi hemat waktu dan karena tidak ada
bus yg beroperasi? Saldo beasiswa bukan lagi nol, tapi minus. Hiks! Ini kan
belum masuk tengah bulan... /(ToT)”?
Toh, intinya Jumat ini saya harus
keluar lagi, karena ada agenda di Wisma Nusantara yang letaknya di kawasan
Rabea al Adaweyah. Kawasan yang menjadi saksi terbunuhnya ratusan (ada yang
bilang ribuan) nyawa demonstran, dan hingga kini masih dijaga ketat olrh aparat
keamanan dan militer Mesir.
Mengetahui ada agenda di hari ini,
sebetulnya saya sudah ada feeling agak buruk. Benar saja, aliran air
asrama beberapa kali tersendat, selanjutnya ketika ijin keluar. Ammu Wahab yang
menjaga gerbang mendelik pada saya,”Ruh fein?!!” Mau ke mana kamu?!!
“Awwil Sabi’,” jawabku lirih. Itu
adalah kawasan yg dekat Rabea al Adaweyah.
Namun senior yang bersama saya
segera menjawab dengan keras,”Ahmad Said, Ammu..” ini sih nama kawasan
yang terdekat dengan asrama. Hoho...
“mau pergi ke mana kamu?!” tanya
Ammu Wahab lebih keras.
Sedikit keder terpaksa saya
jawab,”Ana ma’aha, ila Ahmad Said..” Maafin saya sekaliiii ini ya Ammu.
Setelah berhasil keluar asrama,
barulah saya tahu kalau sebelumnya ada senior yang dibentak dengan keras
gara-gara ingin sholat Jumat di Masjid alAzhar. “Teriak-teriak sampai matanya
melotot dan kedengaran sampai imarah 3.” Jelasnya. Whuoo.. Imarah 3 kan
jaraknya hampir 50 meter dari gerbang...
Kami agak gamang untuk melanjutkan
perjalanan, karena harus kembali sebelum dhuhur. Mustahil.tapi ternyata
pak Bos nggak memberi ijin untuk membatalkan agenda, malah kami disuruh
segera naik taksi. Taksi ...lagi? haha, saya meringis aja deh.
Akhirnya ada sopir taksi yang
berbaik hati mengantar kami hingga kawasan Rabea al Adaweyah. Ia mengambil
jalur arah ke airport, namun ternyata untuk menuju Rabea al Adaweyah
tidak mudah. Bebarap kali taksi berputar-putar mencari celah untuk melewati
blokade militer dan aparat keamanan, namun hasilnya nihil. Hampir di setiap
ruas jalan terdapat tank-tank dan tentara dengan seragam lengkap. Moncong
senjatanya itu lho, bikin ketar-ketir.
Terpaksa kami turun di jalan
terdekat yang diblokade untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki. Keluar dari gang kecil dengan beberapa restoran kecil yang baru
mulai beroperasi, kami menuju jalan utama yang nampak sepi. Beberapa aparat
keamanan berseragam hitam bersiaga di sana. Tidak jauh di belakang, dua tank
dan beberapa tentara berseragam lengkap juga menghadang.
Setelah memastikan bahwa
masing-masing dari kami berempat telah membawa paspor dan identitas diri,
dengan langkah pelan kami mendekati para aparat itu.
“Langsung jalan apa ijin dulu ya?”
kami masih ragu. Tapi, daripada resiko nyelonong lalu di-dor, nah lho..
lebih baik ijin lewat.
Saat berjalan mendekat, beberapa
dari mereka mengamati kami yang berjalan mendekat.
“Lau samakh, boleh kami lewat..”
“silakan...” jawab beberapa dari
mereka. Phuft...
Kami pun berbelok ke kanan dan...
“WHUAAAH...”
Hihi, akhirnya keinginan saya
untuk melihat Maidan Rabea al Adaweyah tercapai! Saya benar-benar penasaran
ingin melihat langsung masjid Rabea al Adaweyah yang sempat hangus, serta
kawasan pusat yang sempat jadi ‘neraka’ di Bumi Kinanah itu.
Yap, dengan jalanan lebar dan
berpusat di bundaran yang cukup besar namun sepi dan lenggang. Dulunya kawasan
ini tak pernah sepi dari orang dan kendaraan. Tapi kali ini sepii.. tidak
satupun kendaraan bisa lewat. Dan blokade yang cukup luas sehingga seperti
taman yang sepi dan dikelilingi apartemen dan bangunan yang cukup lenggang.
Memang sudah tidak ada sisa hangus
dan trotoar nampak telah diperbaiki dan ruas jalan telah dicat kembali. Tapi
kami juga buru-buru istighfar, membayangkan bahwa di setiap bangunan yang
mengelilingi kami terdapat sniper yang sewaktu-waktu mengincar kepala kami.
Tentu saja cukup mudah bagi mereka, demonstran bertumpuk di jalanan seperti
lapangan yang dikepung gedung-gedung di berbagai sisi. Para sniper sangat mudah
memburu mangsanya.
Sedikit konyol kami berlari kecil
dengan menunduk, membayangkan bagaimana situasi saat penyerbuan dan
mengevakuasi para korban sembari menyelamatkan diri dari sniper yang mengincar
kami. Haha..
Sampai di Wisma Nusantara, tentu
saja kami datang telat. Ho
Meskipun hanya mengikuti briefing
beberapa puluh menit, adzan berkumandang. Dan selesai. Agak canggung juga,
karena kami harus segera kembali, sementara kawan-kawan yang tinggal di luar
asrama Buuts harus mengikuti rapat hingga akhir.
Saya sih, tidak berpikir ‘dapat
apa’ dari agenda siang itu. Yang penting setor muka saja dan kembali ke asrama sebelum
kami di marahi oleh Ammu Wahab. Ini sudah jam 1 lebih, padahal kami berjanji
untuk pulang sebelum Dhuhur. Punteeen, Ammu...
Cerita pulang tidak jauh berbeda
dengan perjalanan berangkat. Kami harus berputar-putar dengan taksi, demi
keluar dari kawasan Rabea al Adaweyah. Jika tadi kami bingung mencari jalan
masuk, kini harus pusing mencari jalan keluar.
Sopir taksi akhirnya bertanya pada
seorang tentara,”Ya basya... ada jalan keluar nggak?” sebab di setiap ruas
jalan dan gang-gang telah diblokade oleh tank-tank dengan amunisi penuh.
“Gak ada, kullu thori muta-affil”
ia juga mengatakan akan adanya kemungkinan demonstrasi, jadi setiap akses jalan
memang diblokade. Whehe... sudah berputar-putar ndak jelas, akhirnya kami
mencoba lewat jalan ke Anwar Sadat. Di tengah jalan yang lenggang, tiba-tiba
seorang sopir taksi yang berjalan berlawan arah dari kami berteriak
kencang,”IRJI’!!!”
Nadanya itu lho... “Ooii, BALIK!
Jangan lewat sana!!”
Wuiih, saya meringis, seolah di
depan sana sedang terjadi baku tembak. Haha, ternyata masing-masing dari kami
berpikir sama.
Meskipun kembali ke tempat semula,
akhirnya kami menemukan jalan keluar dari kawasan itu. Kami putuskan untuk
turun dan naik bus menuju Nadi Sikkah. Dari sana oper tramco ke Duwai-ah, lalu
sambung ke asrama Buuts.
Di dalam tramco kami masih
berpikir bagaimana membuat alasan untuk Ammu Wahab. Kami tidak ingin berbohong,
namun entah apa jadinya kalau mengaku bahwa kami pergi ke kawasan Rabea al
Adaweyah. Habis lah...
Gerbang asrama telah ditutup
karena waktu keluar telah habis, kami berdiri di luar dan saling bersembunyi di
balik punggung satu sama lain. Akhirnya salah seorang memberanikan diri membuka
gerbang, seorang Ammu bawwab berseragan putih ‘askari tersenyum melihat
ketakutan di wajah kami.
“Buruan masuk..”katanya. kami
mengawasi sekitar dan bertanya, di mana Ammu Wahab. Ternyata beliau sedang di
kamar mandi. Serentak kami bersorak gembira dan segera menulis tanda bahwa kami
telah kembali. Ammu itu hanya tersenyum geli melihat tingkah kami. Semua beres,
dan kami amat sangat berterima kasih pada Ammu itu, “Mutasyakir awi...
syukran..syukran Ammu...”
Tiba-tiba seorang dari kami
melihat Ammu Wahab keluar, “Ada Ammu Wahab! Larii....!!”
PS: maaph, mau foto2 di TKP tapi
takut di-dor. hehe
*huhu... alhamdulillah ala kulli
hal ^_^