bismillah
Sederhana dalam berpikir.
Seringkali itu yang diinginkan manusia. Memang enak, tidak perlu ribet2.
Menerima sesuatu yang instan itu seperti orang kelaparan yang disodori mie
instan siap makan. Tidak perlu belajar, menganalisa, berkomparasi dengan
berbagai pemikiran dan pilihan, dan dengan bahasa yang mudah segera mendapat
jawaban. A atau B. Hitam atau Putih. Begitulah berpikir secara sederhana.
Namun saya teringat dengan
nasehat kakak saya kala masih santriwati. Ketika itu saya sedang berkeluh
tentang kejengahan belajar. “Hey, bahkan aku tanya temanku yang paling
jeniuspun,”Ujarnya setengah lantang, “ia juga tidak suka yang namanya belajar.
B.E.L.A.J.A.R!”
Berpikir sederhana memang
berbeda dengan belajar. Belajar itu butuh kesungguhan, ketekunan, pengorbanan!
Jadi, bertanya pada seseorang, “kamu suka belajar?” sama artinya dengan “kamu
suka bekerja?bertekun ria? Berkorban?” siapa yang suka berada di zona nyaman?
Namun betapa keluar dari zona zero itu bisa menghantarkan menjadi hero. Ada
kenyamanan dan kepuasan di akhir, bahkan dalam proses itupun ada kepuasan.
Tapi bukan hal mudah pula
membahasakan apa yang telah dipelajari dengan bahasa sederhana. Walau memang
terlihat indah menggunakan bahasa akademis yang ‘ilmiyah’ atau ‘sok ilmiyah’.
Memang penggunaannya melihat kondisi ‘mukhotob’nya. Tapi jika diberi dua
pilihan seimbang, saya, dengan girang dan riang akan memilih bahasa yang
sederhana. Tidak perlu meliuk-liuk dan berliku seperti labirin yang terlihat
indah dan menantang, namun perlu perjuangan untuk mengetahui makna
sederhananya. Tidak pula harus menyingkat sesuatu yang jika disederhanakan
memang butuh space yang sedikit lebih.
Mengapa?
Menyederhanakan pikiran dengan
bahasa yang sederhana, mudah diterima itu seni tersendiri. Bahasa yang sederhana
tidak hanya untuk orang awam, karena seharusnya kalangan yang gemar berbahasa
‘langit’ itu terkejut sebab bahasa mereka sebenarnya bisa berjalan di ‘bumi’.
Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi rasanya seperti Socrates yang membanting
wilayah falsafat langit itu ke bumi manusia. Bum!
Saya teringat pula saat-saat
mempelajari beragam rumus inti semasa MTs dulu. Kebetulan Om saya yang sangat
jenius itu mengajar di kelas saya. Hampir seluruh rumus inti yang dituntut
kurikulum untuk dihapal, beliau jabarkan dari suatu asal mula yang sederhana.
Kami mendapat suatu pelajaran berharga, ternyata sesuatu yang ‘ribet’ dan
menjadi ‘momok’ itu berawal dari sesuatu yang sederhana. Begitu sederhana
seperti rumus satu ditambah satu sama dengan dua. Dan hanya dengan sedikit
polesan saja, menjadi sesuatu yang menakutkan jika dilihat sekilas. Namun
berkat uraian sederhana yang dijabarkan beliau, kami menjadi terpesona. Bahkan
lucunya, seorang kawan menyebut Om saya itu dengan “Pangeran”. Bukan karena
fisik atau apa (Om saya udah kepala empat e...) tapi mungkin karena beliaulah
ia menjadi suka dengan pelajaran yang sebelumnya begitu ia benci. Matematika.
Begitulah, bahasa yang sederhana
mampu merubah benci menjadi cinta.
Oleh karenanya, saya cinta
dengan kata sederhana. Kata-kata biasa yang mampu menarik hati tanpa
polesan-polesan palsu. Dengan bahasa sederhana semua mampu mengerti dan
memahami. Bukan karena ingin berpikir sederhana. Namun sesuatu bisa disampaikan
secara sederhana tanpa diksi yang berputar-putar, sebuah kerumitan mampu
berkemas sederhana. Indah. Santun. Elegan.
Maturnuwun.
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
― Sapardi Djoko Damono
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
― Sapardi Djoko Damono