Friday 26 July 2013

Sederhana

bismillah





Sederhana dalam berpikir. Seringkali itu yang diinginkan manusia. Memang enak, tidak perlu ribet2. Menerima sesuatu yang instan itu seperti orang kelaparan yang disodori mie instan siap makan. Tidak perlu belajar, menganalisa, berkomparasi dengan berbagai pemikiran dan pilihan, dan dengan bahasa yang mudah segera mendapat jawaban. A atau B. Hitam atau Putih. Begitulah berpikir secara sederhana.
Namun saya teringat dengan nasehat kakak saya kala masih santriwati. Ketika itu saya sedang berkeluh tentang kejengahan belajar. “Hey, bahkan aku tanya temanku yang paling jeniuspun,”Ujarnya setengah lantang, “ia juga tidak suka yang namanya belajar. B.E.L.A.J.A.R!”
Berpikir sederhana memang berbeda dengan belajar. Belajar itu butuh kesungguhan, ketekunan, pengorbanan! Jadi, bertanya pada seseorang, “kamu suka belajar?” sama artinya dengan “kamu suka bekerja?bertekun ria? Berkorban?” siapa yang suka berada di zona nyaman? Namun betapa keluar dari zona zero itu bisa menghantarkan menjadi hero. Ada kenyamanan dan kepuasan di akhir, bahkan dalam proses itupun ada kepuasan.
Tapi bukan hal mudah pula membahasakan apa yang telah dipelajari dengan bahasa sederhana. Walau memang terlihat indah menggunakan bahasa akademis yang ‘ilmiyah’ atau ‘sok ilmiyah’. Memang penggunaannya melihat kondisi ‘mukhotob’nya. Tapi jika diberi dua pilihan seimbang, saya, dengan girang dan riang akan memilih bahasa yang sederhana. Tidak perlu meliuk-liuk dan berliku seperti labirin yang terlihat indah dan menantang, namun perlu perjuangan untuk mengetahui makna sederhananya. Tidak pula harus menyingkat sesuatu yang jika disederhanakan memang butuh space yang sedikit lebih.
Mengapa?
Menyederhanakan pikiran dengan bahasa yang sederhana, mudah diterima itu seni tersendiri. Bahasa yang sederhana tidak hanya untuk orang awam, karena seharusnya kalangan yang gemar berbahasa ‘langit’ itu terkejut sebab bahasa mereka sebenarnya bisa berjalan di ‘bumi’. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi rasanya seperti Socrates yang membanting wilayah falsafat langit itu ke bumi manusia. Bum!
Saya teringat pula saat-saat mempelajari beragam rumus inti semasa MTs dulu. Kebetulan Om saya yang sangat jenius itu mengajar di kelas saya. Hampir seluruh rumus inti yang dituntut kurikulum untuk dihapal, beliau jabarkan dari suatu asal mula yang sederhana. Kami mendapat suatu pelajaran berharga, ternyata sesuatu yang ‘ribet’ dan menjadi ‘momok’ itu berawal dari sesuatu yang sederhana. Begitu sederhana seperti rumus satu ditambah satu sama dengan dua. Dan hanya dengan sedikit polesan saja, menjadi sesuatu yang menakutkan jika dilihat sekilas. Namun berkat uraian sederhana yang dijabarkan beliau, kami menjadi terpesona. Bahkan lucunya, seorang kawan menyebut Om saya itu dengan “Pangeran”. Bukan karena fisik atau apa (Om saya udah kepala empat e...) tapi mungkin karena beliaulah ia menjadi suka dengan pelajaran yang sebelumnya begitu ia benci. Matematika.
Begitulah, bahasa yang sederhana mampu merubah benci menjadi cinta.
Oleh karenanya, saya cinta dengan kata sederhana. Kata-kata biasa yang mampu menarik hati tanpa polesan-polesan palsu. Dengan bahasa sederhana semua mampu mengerti dan memahami. Bukan karena ingin berpikir sederhana. Namun sesuatu bisa disampaikan secara sederhana tanpa diksi yang berputar-putar, sebuah kerumitan mampu berkemas sederhana. Indah. Santun. Elegan.
Maturnuwun.

“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
― Sapardi Djoko Damono