Saturday 6 December 2014

Tahun Ketiga

bismillah

5 Desember 2014
Di suatu petang. Mahattah Asyir.
Aku menikmati langit Kairo yang semakin kelam di antara bising klakson yang bersahutan. Dengan nafas sepenggal-sepenggal pasca mengejar bus 80 yang akhirnya tak dapat ku jangkau. Dingin menyusup sedikit-sedikit lewat jaket tipis dan beberapa lapis baju. Dalam kondisi begini aku telah bersiap untuk bertarung dengan kemungkinan terburuk atas waktu. Durasi kedatangan bus berikutnya tidak akan sebentar. Dan ini mahattah. Puluhan mikrobus nongkrong tak beraturan. Begitu pula jalanan menuju Hay Sabi. Suq Sayyarat.
Aku punya beberapa kenangan buruk dengan terminal (mahattah). Baik di Indonesia maupun di Mesir. Terminal adalah rimba yang terkonsep secara modern. Terutama di kota-kota besar. Lihat saja, manusia berlimpah ruah. Berjejalan. Tapi tak satupun acuh kecuali untuk dirinya sendiri. Masing-masing sibuk mengejar kepentingan, hal yang tak sulit kita baca lewat mimik wajah yang berkerut-kerut. Juga kecepatan jalan mereka. Lalu umpatan-umpatan dan juga potensi kejahatan yang ada. Ditambah cahaya lampu yang-sudah redup- terhalangi beberapa kios pedagang asongan. Ku putuskan menunggu berdiri, setelah memilih tempat yang dapat ku belakangi 90 derajat. Setidaknya aku mengurangi potensi tindakan kriminal dengan pengawasan 270 derajat. takut? Manusiawi. Dan aku memperbanyak dzikir.
Untunglah, masih sempat ku lihat langit. Ternyata aku tidak sendiri. Calon purnama menemaniku dengan cahaya putihnya yang belum sempurna. Lalu aku teringat, bahwa malam ini adalah tepat malam terakhir untuk tahun ketigaku di bumi Kinanah. 6 Desember 2011. Tiga tahun? Cepat sekali.
Awal tahun kedatanganku di Kairo. Boleh dibilang beruntung, bisa juga tidak. Beruntung, karena biidznillah (benar-benar dengan izin Allah SWT) akhirnya aku menapakkan kaki di negeri para Nabi. Meski saat itu rasanya berat sekali, tidak seorangpun dari keluarga inti yang melepas kepergianku di bandara. Pun Abi masih dalam masa pemulihan pasca kecelakaan. Ditambah penerbangan pertamaku pakai transit di Kuwait, dan tidak ada satu kawan atau kenalanpun yang menemani di pesawat. Aih, ndak usah didramatisir! Kurasa hampir setiap orang yang pernah pergi ke luar negeri pernah merasakan hal yang sama.
Sampai di asrama Buus, barulah aku tahu. Ternyata kawan-kawan satu marhalah sudah menempuh banyak ijroat (administrasi). Nasibku yang datang paling akhir, seorang diri dan tidak punya banyak kenalan se-almamater pula. Untungnya ada senior asrama yang masih bersedia bantu-bantu, seorang senior yang membantu urusan tiket-lah yang berjasa besar membantu ijroatku. Bulan-bulan awal ku lewati tanpa ada arahan senior, yang mengajariku untuk beradaptasi adalah kawan-kawan satu marhalah. Merekalah yang kuanggap senior dan mampu membimbingku saat itu. meski akhirnya kewalahan juga, sampai-sampai ijroat saya di asrama, baru kelar setelah 4 bulan.
Setelah itu aku mulai meraba-raba. Di lingkungan seperti apa hidupku di Mesir ini? Karena Ormaba juga sudah selesai diselenggarakan sebelum aku datang, lama-kelamaan aku mulai dapat membaca. Oh, di Masisir ada hal seperti ini, ada organisasi ini dan itu. Pengurusan terhadap KBRI dengan cara begini, begitu, bla..bla..
Yah, ala kulli hal. Aku ingin bersyukur dengan semua yang telah Allah SWT takdirkan. Meski seringkali aku mendzalimi diri sendiri, bersikap kekanakan terhadap keluarga, teman-teman, senior dan yang lainnya, aku merasa semakin hari semakin banyak belajar dari orang-orang di sekitarku. Walau tidak setiap pelajaran “kedewasaan” itu mampu kucerna lalu ku praktikkan secara langsung.
Terima kasih kepada kakak-kakak, senior, teman, guru, keluarga dan semua orang yang begitu sabar menghadapi sifat dan sikapku. Aku akan terus belajar menjadi lebih baik.


Doakan.

                                                             Madinatul Buus el Islamiyah, Abbasea, Cairo

                                                             Memasuki awal tahun keempat, 6 Des 2014