bismillah
5 Desember
2014
Di suatu
petang. Mahattah Asyir.
Aku menikmati
langit Kairo yang semakin kelam di antara bising klakson yang bersahutan.
Dengan nafas sepenggal-sepenggal pasca mengejar bus 80 yang akhirnya tak dapat
ku jangkau. Dingin menyusup sedikit-sedikit lewat jaket tipis dan beberapa
lapis baju. Dalam kondisi begini aku telah bersiap untuk bertarung dengan
kemungkinan terburuk atas waktu. Durasi kedatangan bus berikutnya tidak akan
sebentar. Dan ini mahattah. Puluhan mikrobus nongkrong tak beraturan. Begitu
pula jalanan menuju Hay Sabi. Suq Sayyarat.
Aku punya
beberapa kenangan buruk dengan terminal (mahattah). Baik di Indonesia maupun di
Mesir. Terminal adalah rimba yang terkonsep secara modern. Terutama di
kota-kota besar. Lihat saja, manusia berlimpah ruah. Berjejalan. Tapi tak
satupun acuh kecuali untuk dirinya sendiri. Masing-masing sibuk mengejar
kepentingan, hal yang tak sulit kita baca lewat mimik wajah yang berkerut-kerut.
Juga kecepatan jalan mereka. Lalu umpatan-umpatan dan juga potensi kejahatan
yang ada. Ditambah cahaya lampu yang-sudah redup- terhalangi beberapa kios
pedagang asongan. Ku putuskan menunggu berdiri, setelah memilih tempat yang
dapat ku belakangi 90 derajat. Setidaknya aku mengurangi potensi tindakan
kriminal dengan pengawasan 270 derajat. takut? Manusiawi. Dan aku memperbanyak
dzikir.
Untunglah,
masih sempat ku lihat langit. Ternyata aku tidak sendiri. Calon purnama
menemaniku dengan cahaya putihnya yang belum sempurna. Lalu aku teringat, bahwa
malam ini adalah tepat malam terakhir untuk tahun ketigaku di bumi Kinanah. 6
Desember 2011. Tiga tahun? Cepat sekali.
Awal tahun
kedatanganku di Kairo. Boleh dibilang beruntung, bisa juga tidak. Beruntung,
karena biidznillah (benar-benar dengan izin Allah SWT) akhirnya aku menapakkan
kaki di negeri para Nabi. Meski saat itu rasanya berat sekali, tidak seorangpun
dari keluarga inti yang melepas kepergianku di bandara. Pun Abi masih dalam
masa pemulihan pasca kecelakaan. Ditambah penerbangan pertamaku pakai transit
di Kuwait, dan tidak ada satu kawan atau kenalanpun yang menemani di pesawat. Aih,
ndak usah didramatisir! Kurasa hampir setiap orang yang pernah pergi ke luar
negeri pernah merasakan hal yang sama.
Sampai di
asrama Buus, barulah aku tahu. Ternyata kawan-kawan satu marhalah sudah
menempuh banyak ijroat (administrasi). Nasibku yang datang paling akhir, seorang
diri dan tidak punya banyak kenalan se-almamater pula. Untungnya ada senior
asrama yang masih bersedia bantu-bantu, seorang senior yang membantu urusan
tiket-lah yang berjasa besar membantu ijroatku. Bulan-bulan awal ku lewati
tanpa ada arahan senior, yang mengajariku untuk beradaptasi adalah kawan-kawan
satu marhalah. Merekalah yang kuanggap senior dan mampu membimbingku saat itu.
meski akhirnya kewalahan juga, sampai-sampai ijroat saya di asrama, baru kelar
setelah 4 bulan.
Setelah itu
aku mulai meraba-raba. Di lingkungan seperti apa hidupku di Mesir ini? Karena
Ormaba juga sudah selesai diselenggarakan sebelum aku datang, lama-kelamaan aku
mulai dapat membaca. Oh, di Masisir ada hal seperti ini, ada organisasi ini dan
itu. Pengurusan terhadap KBRI dengan cara begini, begitu, bla..bla..
Yah, ala
kulli hal. Aku ingin bersyukur dengan semua yang telah Allah SWT takdirkan. Meski
seringkali aku mendzalimi diri sendiri, bersikap kekanakan terhadap keluarga, teman-teman,
senior dan yang lainnya, aku merasa semakin hari semakin banyak belajar dari
orang-orang di sekitarku. Walau tidak setiap pelajaran “kedewasaan” itu mampu
kucerna lalu ku praktikkan secara langsung.
Terima kasih
kepada kakak-kakak, senior, teman, guru, keluarga dan semua orang yang begitu
sabar menghadapi sifat dan sikapku. Aku akan terus belajar menjadi lebih baik.
Doakan.
Madinatul
Buus el Islamiyah, Abbasea, Cairo
Memasuki
awal tahun keempat, 6 Des 2014