Monday 6 April 2015

Menghargai diri [?]

bismillah
Biasanya aku menulis dengan topik atau tema yang sudah saya petakan di kepala. Tapi untuk kali ini, mari biarkan ia mengalir.
Karena ini permintaan yang dirubah menjadi sebuah “usul” kata seseorang yang gusar dengan sepinya blog ini. ya, dengan begitu aku relakan untuk menulis apa saja. Ayyi hagah kata orang Mesir. Biar perut mual, biar raga masih lelah dan pikiran suntuk merajai.


Beberapa waktu ini ada ketakutan dan kecemasan menyelimuti. Hal-hal yang sejatinya mampu kuperkirakan akan datangnya, akhirnya nampak gejalanya. Di samping itu, amanah-amanah lain tidak berhenti. Ada semacam kekalutan yang terus mencecar di benak. Ada saat-saat di mana terjadi pergulatan batin. Di situ ada rahasia yang tak sanggup untuk saya rahasiakan. Di situ ada perasaan dan kesalahpahaman yang berbenturan. Baik dalam diri maupun dengan orang lain. Bagi kebanyakan orang, mungkin masalah terbesar adalah perselisihan dengan orang lain. namun bagiku, hal terberat adalah ketidakseimbangan antara “idealita” dan cita-cita.
Ketika ku putuskan untuk merenung. Barulah aku rasakan perkataan seorang kawan, “later means never”. Waktu banyak tersia untuk pikiran-pikiran yang tidak –atau belum- produktif. Bahkan aku menjadi seorang yang sangat menyebalkan; phobia dengan handphone. Seringkali alat komunikasi itu ku buat “silent”. Supaya pekerjaan dan amanahku tidak bertambah. Bahkan untuk membuka isi gadget itu aku ketakutan; takut ia berbunyi, mendapat pesan, lalu harus menjawabnya.
Aku takut menjalani kewajiban.
Apa ini pengecut? Buatku, iya.
Lalu bertambahlah list pertarungan idealita-ku. Bertambah pula kalutku.
Dan di saat seperti inilah, waktu terasa menghimpit. Ada selaksa berkah yang tercerabut. Aku bertambah yakin bahwa ini karena dosa dan nafsu yang kubiarkan.
Namun, ada satu hal. Hal yang sangat sulit ku pungkiri.
Aku punya komunitas, kawan serta guru di sini. Mereka adalah inspirasi sekaligus penyemangat bagiku untuk terus bergerak. Meski terseok. Meski banyak cacat dan sering ku berbuat yang tak layak, ada satu motivasi yang tak ingin ku buat surut.
Mungkin aku sedang inferior. Aku sedang menjadi seorang pesakitan yang pemalas. Tapi setidaknya aku harus menghargai diri sendiri sebelum orang lain menilai lebih tinggi dari espektasi mereka terhadapku.
Menghargai diri sendiri artinya mempersiapkan. Ya, tidak harus matang dan seperti idealisme yang kaku. Sedikit demi sedikit. Apa yang untuk-Nya tak sepantasnya disebut letih dan lelah.
Sedalam apa pikiran-pikiran itu merampas waktuku, sedalam apa kekalutan itu menyelam jiwaku, aku tak pernah sendiri.

Terima kasih dan maaf. Ini bukan tulisan untuk #purnama.


No comments:

Post a Comment