Sunday 5 August 2012

Benar, anda Benar?

bismillah

Sepulang buka bersama marhalah kekeluargaan di Hay Asyir, Mutsallas.
Ketua kekeluargaan berbaik hati mengantar saya dan seorang kawan kembali ke asrama. Malam memang, sekitar pukul setengah sepuluh. Meski di jam itu jalanan Cairo masih ramai, karena di musim panas, masyarakat Mesir banyak menghabiskan waktu malam untuk beraktifitas sebagai ‘balas dendam’ atas teriknya siang hari.
Cairo seperti kota yang nyaris 24 jam berdenyut. Terlebih Ramadhan ini, di mana masjid-masjid selalu ramai dengan tarawih dan berlanjut dengan qiyamullail hingga dini hari. Bus besar yang dikelola pemerintah Mesir, beroperasi mulai sekitar jam 6 pagi hingga pukul 12 malam. Sementara minibus dan tramco, nyaris selalu ada. 24 jam. Berbeda dengan di Indonesia, khususnya kota Solo, kampung halaman saya. Bus dan angkot sudah nyaris tidak ada jika lewat jam 5 sore hari. Saya melihat bahwasanya tenaga dan spirit orang Arab –mesir khususnya- cukup berjarak jauh dengan orang Indonesia. Meski begitu, orientasi mereka bukan ‘uang’ semata. Itu yang saya lihat selama ini.
Kembali pada senior yang mengantar kami berdua pulang. Karena jam sepuluh adalah batas akhir kami keluar asrama –jika tidak ingin menandatangani buku hitam, maka Mas Hasan –sebut saja begitu- menyetop taksi. Saya dan kawan berpandangan dengan bahasa tanpa kata, “wah, mahal nih. Gimana dong?!”
Untuk kalangan masisir, taksi adalah transportasi yang cukup jarang kami gunakan. Lebih baik naik bus, yang ongkosnya tidak bikin kantong tipis. Tapi Mas Hasan segera menangkap isi kepala kami, “Biar cepet, naik taksi aja ya?”. Bisa saya bilang, bahwa beliau sangat mengkhawatirkan keselamatan kami. Intinya, terharu deh. Baru kali ini menemukan senior yang benar-benar perhatian dan merasa bertanggung jawab atas anggotanya.
Beliau adalah kakak kelas kawan saya. Jadi wajar saja sangat perhatian dengan kami berdua –kan ada adik almamaternya. Di sepanjang perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 40 menit itu, terjadi perbincangan dua arah antara beliau dan kawan saya. Sementara saya lebih memilih untuk diam dan mendengar alunan Musyari Rasyid dari MP3 di balik jilbab. Inti dari yang saya dengar, beliau memberi paparan seputar dunia masisir. Tentang fenomena globalisasi yang berujung pada aktifitas masisir, di mana geliat intelektualitas semakin lesu, terkalahkan oleh hasrat finansial yang menandalkan profit semata. Cukup panjang beliau bercerita, dan sesekali kawan saya turut berargumen. Sampai air matanya menitik. terharu dengan perhatian kakak almamaternya.
Saya iri? Iya. Ternyata memang kita tidak bisa menilai penampilan seseorang. Orang yang kesehariannya memakai celana jins, penampilan yang agak jauh dari kesan islami, bahkan terkadang merokok. Ternyata memiliki perhatian jauh dengan fenomena lingkungan di sekitarnya, tentang pengabdian dan sumbangsih terhadap ummat Islam. Yah, meski juga bukan jaminan bahwa seluruhnya bisa dibenarkan.
Suasana menjadi tenang. Mereka terdiam, saya kecilkan alunan murottal. Dan Mas Hasan mengajak saya bicara, “Ainun dari Ngruki kan ya?” saya mengamini. “Bisa bahasa Jawa kan?” kembali saya amini. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa kenalan dan adik kelasnya yang sempat belajar di Ngruki juga, sesekali dengan bahasa Jawa.
Dengan bahasa yang tidak to the point beliau memberi wejangan. Cukup membuat saya tahu tentang anak Ngruki di matanya. “Kita harus menerapkan apa yang dipelajari. Katanya, innamal mukminuna ikhwah. Ya harus di terapkan, jangan kok mengurung diri, belajar sendiri. Harus sosialisasi kan? Itu bukti “ikhwah”nya.
Di satu sisi saya merasa tersindir. Soalnya, hehe, saya rasa itu ada benarnya –buat saya lho, bukan buat senior dan alumnus Ngruki lainnya. Namun di sisi lain saya tidak setuju. Terlebih ketika dia berkata,”Jangan merasa benar, bla bla bla...”
Karena buat saya, kita memang harus selalu menjadi yang “benar”. Dalam arti, tidak mengakui sesuatu yang jelas-jelas itu salah dan menyimpang. Okelah, sebagai insan akademisi tidak berarti mengakui segala sesuatu sebagai “kebenaran”. Harus ada prinsip dan idealisme yang harus tertancap kokoh. Misalnya saja, ada 2 pendapat yang berlawanan, kontradiksi. Tidak bisa kita membenarkan keduanya, juga tidak bisa menyalahkan keduanya. Kita harus berdiri di salah satunya. Sesuai prinsip kita. Ya, kalau dalam ilmu mantiq “annaqidhoni la yajtamiani”. Anda melihat sebuah benda bergerak, sementara ada orang lain melihat benda tersebut diam. Berdiri sebagai akademisi, tidak bisa kita mengatakan “o, benda itu bergerak tapi juga diam” nah lho.. yang benar hanya satu. Satu.
Karena menurut saya, merasa “benar” itu harus. Bukan berarti tanpa ilmu. Namun sejauh mana kebenaran yang kita peroleh dari apa yang dipelajari, harus diterapkan dan dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Jika toh, ternyata seiring berjalannya waktu, kita tahu hal itu menyimpang, ya harus siap banting setir.
Dalam melihat permasalahan, bolehlah melihat berbagai pendapat. Namun berdiri di salah satunya, bukan berarti menafikan yang lain. Tapi itu adalah idealisme.
Wallohu ta’ala a’lam


No comments:

Post a Comment