bismillah
Mungkin ini hal yang terbilang
sepele. Tapi buat saya, tidak.
Masih terhitung akhir Ramadhan. Teman-teman
Indonesia yang lulus seleksi beasiswa dan ditempatkan di asrama internasional
Al Azhar, membentuk sebuah wadah di setiap tahun kedatangan. Putra dan putri.
Kami menamainya marhalah AMAZING.
Dengan
harapan masing-masing menjadi pribadi yang ‘amazing’ untuk ummat, bangsa, dan
diri masing-masing. Kalau dikalkulasi, hampir satu tahun marhalah ini
terbentuk. Tentu saya hanya menikmati sekitar 7 atau 8 bulan saja, mengingat
keterlambatan saya dalam mendapat visa ke mesir.
Setahun berlalu. Dan pemilihan
ketua baru untuk putra maupun putri dilangsungkan di rumah salah seorang
anggota putri yang telah berkeluarga di kawasan Tub Romly, Nasr City. Masih
dalam Ramadhan. Berharap seiring dengan masa Ramadhan yang belum berakhir,
turut mendapat suntikan barokah dalam pemilihan ini.
Dari segi kuantitas anggota, memang
tidak mencapai angka yang fantastis. Bahkan terhitung marhalah dengan jumlah
anggota paling sedikit di banding para senior. Namun justru hal itu yang
membuat suasana ‘kekeluargaan’ kami begitu erat. Terlebih anggota putri yang
hanya berjumlah 10 orang.
Dan ada yang terasa cukup
menyesakkan buat saya. Ya, awalnya kandidat utama untuk ketua putri adalah
seorang sahabat karib saya. Namun di tengah pemilihan, secara spontan dan di
luar dugaan saya, ia mengundurkan diri. Bukan tanpa alasan memang, dan
sayangnya, saya paham betul kondisi yang ia alami. Jadi, dengan berat –sangat-
saya dan seorang kawan yang juga menjadi kandidat harus merelakannya
mengundurkan diri.
Pemilihan babak kedua berlanjut. Dan,
ya Rabb. Akhirnya saya yang harus menerima amanah tersebut.
Ya, ini terlihat biasa saja. Bukan sesuatu
yang ‘wah’ buat kebanyakan orang. Tapi sepertinya tidak buat saya. Memang sempat
beberapa kali saya menjadi pemimpin
dalam sebuah organisasi. Tapi rasanya kali ini berbeda.
Tentu saja, yang saya pimpin adalah
orang-orang yang kematangan dan kedewasaannya sama bahkan jauh melampaui saya. Kawan-kawan
masisir, dalam pandangan saya adalah sosok-sosok yang mengagumkan. Bukan saja
dari segi akademis. Namun dari ketekunan dan ijtihad mereka dalam berbagai
lahan yang digeluti. Saya? Bukan apa-apa.
Fenomena itu saya sadari. Dan saya
juga cukup sadar akan kelemahan diri. Terlebih untuk menjadi seorang pemimpin. Satu
kelemahan besar yang saya miliki adalah tidak dapat melakukan pengambilan
keputusan (decision making) dengan cepat.
Ya, seharusnya seorang pemimpin
dituntut untuk intuitif, memiliki rasa peka yang besar dan juga cepat dalam
mengambil keputusan. Tidak perlu jauh-jauh, dari sebuah contoh sehari-hari
saja, bisa menjadi analogi yang tepat. Jika lazimnya seseorang (wanita
khususnya) memasak di dapur selama satu jam. Maka saya menghabiskan waktu satu
setengah jam, bahkan dua jam.
Ya, setengah jam pertama saya
gunakan untuk berpikir keras. Tentang apa
nanti yang pertama kali saya lakukan di dapur. Mana yang seharusnya lebih dulu
saya kerjakan, menyiapkan bahan utama atau bumbunya? Mana yang seharusnya lebih
dahulu untuk dikerjakan agar efektivitas waktu mampu dioptimalkan. Saya selalu
ingin meminimalisir kesalahan, namun itu juga menuntut saya –yang tidak dapat
mengambil keputusan dengan cepat- untuk menghabiskan banyak waktu. Tidak sesuai
dengan tujuan awal.
Dan dari hal-hal seperti itu, saya
membangun karakter diri untuk hal yang lebih besar lagi. Saya tidak tahu,
apakah karakter yang demikian bisa berubah –untuk yang lebih baik- atau itu
memang sesuatu yang melekat dalam diri dan tak dapat dipisahkan.
Saya tahu, bahwa kawan-kawan akan
membantu di perjalanan ini nantinya. Karena kita adalah keluarga. Bersatu dalam
ukhuwah abadi. Ukhuwah Islamiyah.
In syaalloh…
Cairo, akhir Ramadhan 1433 H
No comments:
Post a Comment