bismillah
Hari itu aku begitu bangga. Ya,
biasanya saat muhadhoroh[1]
di Al Azhar terjadi tanya jawab dan diskusi interaktif antara Duktur atau
Dukturoh[2]
dengan mahasiswi. Teman-teman Mesir memang memiliki rasa percaya diri dan
keberanian yang tinggi. Tidak jarang mereka bertanya dan mendebat argumen
Duktur. Di sisi lain juga, mereka memang terbiasa adu mulut terhadap
persoalan-persoalan kecil. Agak sulit mengalah. Begitulah watak unik mereka.
Tentu berbalik seratus delapan
puluh derajat dengan wafidat[3]
khususnya yang berasal dari Asia. Lebih khusus lagi Asia Tenggara. Karena
rata-rata mahasiswi berasal dari Malaysia, Indonesia, Thailand dan sekitarnya.
Selain karena watak asli orang Asia yang pemalu dan lebih memilih tunduk dan
sendiko dawuh daripada berdebat. Meski tidak semua begitu. Sejauh yang
saya amati, ada beberapa wafidat Asia yang cukup berani, entah itu dari
Singapura, Indonesia atau sekitarnya.
Jangankan mendebat argumen Duktur.
Untuk bertanya hal yang tidak diketahui, atau memohon Duktur agar menerangkan
dengan bahasa fusha[4]
saja, terkadang meminta bantuan orang Mesir agar mereka yang sampaikan ke
Duktur. Pun Barisan bangku awal selalu terisi mahasiswi Mesir. Entah karena
malu, atau tidak percaya diri atau dua-duanya.
Hari itu, muhadhoroh al Nudzum
al Islamiyah. Duktur Ahmad menerangkan tentang salah satu asas Undang-undang
Islam, yaitu kebebasan. Yang saya cerna dari setiap pelajaran, tampaknya beliau
orang Ikhwanul Muslimin (IM). Terlihat jelas dari setiap yang beliau terangkan,
mengarah pada perpolitikan dan pujian terhadap gerakan ini.
Di awal beliau jelaskan mengenai
perbudakan yang merupakan natijah atau akibat dari peperangan. Di mana
hal itu merupakan sesuatu yang telah terjadi sebelum munculnya Islam di
Jazirah. Setelah beberapa kali pemaparan, beliau bertanya pada semua mahasiswi.
Saat itu semua wafidat diharuskan duduk di tiga baris dari depan. Saya memilih
duduk di baris kedua, tepat lurus dengan Duktur. Karena kelas kami di mudarraj[5].
Di kananku Orang Maldaves, kiri orang Singapura, Depan orang Amerika. “Islam
melarang adanya perbudakan. Akan tetapi mengapa tidak ada dalil yang secara
jelas menyatakan akan pelarangannya?”, tanya Duktur.
Seorang mahasiswi Mesir yang
dudukjauh di atasku menjawab. Duktur menggeleng, “Hadza ghoitu shohih...”[6]
Aku angkat tangan. Mencoba asal jawab
berdasar kesimpulan yang kutarik sendiri
dari perkataan Duktur sebelumnya. “Perbudakan adalah natijah dari peperangan.
Sedang peperangan itu akan terus terjadi hingga hari Kiamat.” Begitu jawabku,
singkat.
“Mumtaz!” kata Duktur.
Cess... tanganku langsung bergetar
(kebiasaan kalau grogi).
Orang Singapura di sampingku sampai
terbengong-bengong, “Wah... subhanalloh. Anti hebat sekali..”. saya sendiri
tidak pernah menemukan seorang wafidat yang bisa menjawab dengan benar.
Sementara teman-teman Mesir saja tidak satupun yang bisa menjawab dengan benar.
Rasanya bangga bercampur gembira! Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku
bisa menjawab pertanyaan duktur dan di jawab,”Mumtaz”.
Mungkin ini hal sepele dan wajar. Bahkan
mungkin banyak juga wafidat yang mengalaminya. Namun saya mengambil sebuah
pelajaran berharga, bahwa kita Ummat Islam harus PeDe. Harus berani! Kalau kata
Ustadz saya di Pesantren dulu, “Salah itu nomer pitu likur!”[7]
yang penting adalah keberanian untuk mencoba dan percaya diri. Karena dengan
kepercayaan diri dan keberanian Islam pernah mengayomi lebih dari duapertiga
dunia!
Seperti Umar bin Khothtob di awal
keislamannya,”Ya Rosululloh, a lasnaa ‘ala haqq?!”[8]
Semoga tulisan ini bisa menjadi
motivasi bagi saya, dan pembaca sekalian. Wallohu ta’ala a’lam.
[1]
Sebutan untuk kelas perkuliahan
[2]Kebiasaan
untuk memanggil Dosen. Karena semua
pengajar di Al Azhar telah menyelesaikan doktoral.
[3]
Sebutan untuk mahasiswi berkewarganegaraan selain Mesir.
[4]
Rata-rata bahasa pengantar kuliah adalah bahasa Ammiyah.
[5]
Kelas dengan susunan bangku memanjang dan bertingkat.
[6]
Jawabanmu tidak benar.
[7]
Salah itu nomor dua puluh tujuh.
[8]
Wahai Rosululloh, bukankah kita di atas kebenaran?!
No comments:
Post a Comment