bismillah
Baru saja telepon dari Negeri Syam
itu disudahi. Kini aku tak sabar lagi untuk menceritakan tutur remaja WNI yang
masih bertahan kuliah di Damaskus, Ibu kota Suriah yang kini tengah menjadi
neraka dunia.
“ini sekitar 3 atau 4 hari lalu.” Ia
bertutur melalui “private number” ke nomor Mesirku. Selanjutnya aku bahasakan
dengan “aku”.
Malam itu aku dan beberapa kawan
tengah menyaksikan rekaman video bersama, di rumah kami. Dan tiba-tiba, BLAMM!!
Jangan berpikir untuk mendengar
suara itu, terlebih merasakannya. Karena dentuman itu jauh lebih keras dari
suara meriam modern yang biasa kami dengar setiap saat. Ku pikir jantungku
sempat terhenti berdetak selama suara itu nyaris memecah gendang telinga.
Tiba-tiba lampu rumah berkedap
kedip. Suasana remang mencekam. Tiada seorang mampu berkata. Namun setiap
penghuni rumah bergerak tanpa komando.
Klap!
Lampu dimatikan.
Sret! Jendela-jendela ditutup.
Dalam diam kami bersiaga jika
tiba-tiba datang pasukan yang mendobrak pintu lantas memaksa kami untuk berkata
“laa ila illa ‘Pak Kumis’...”(wa iyyadzubillah) lalu menculik dan menyeret
seorang dari kami ke penjara, atau menyiksa dan menembak mati kami di tempat. Bukan
hanya kami yang bersiap untuk kemungkinan terburuk, namun nampaknya seluruh
penduduk Damaskus melakukan hal serupa.
Mungkinkah dentuman barusan hanya
berjarak beberapa meter dari rumah kami? Aku masih bertanya-tanya. Namun dalam
kondisi mencekam seperti ini, yang terbaik adalah selalu bersikap siaga.
Tak lama berselang, kami putuskan
untuk melihat keadaan di luar. Malam ini, nyaris seluruh penduduk kota membuka
jendela seperti kami. Dan dengan muka penuh tanda tanya, karena tidak terjadi
apapun. Ini aneh.
Tiba-tiba, dari gedung yang
menghalangi pandanganku, sekilas cahaya muncul. serentak pandangan mata seisi
kota menuju ke sana. Aku melihat kilat cahaya merah telah sampai di atas. Ia berasal
dari daratan, bukan dari langit. Berarti bukan bom yang dijatuhkan dari langit.
Namun ini sama persis dengan yang ku tonton dalam film Hiroshima-Nagasaki. Tapi
ini bukan asap cendawan, ini cahaya merah yang menukik ke langit.
Belum lama aku terpana, sebuah
angin panas menyeruak. Mendorong dan melibas tubuh-tubuh kami, seisi rumah.
BUG!!
Masing-masing tubuh kami berdentum
ke lantai dengan keras. Bersamaan dengan debu pasir dan angin panas yang
menyeruak.
“Tutup jendela!!” akhirnya seisi
penghuni rumah segera menutup jendela tanpa ada komando lebih.
Cerita di atas sedikit
mendeskripsikan apa yang terjadi saat itu. Berdasarkan informaso yang ia
peroleh, itu adalah serangan bom kimia dari dua pesawat Israel di sebuah
pegunungan di pinggir Dmaksus, sekitar 5 sampai 7 Km dari pusat kota. Tentu akan
lebih membuat jantungmu berdegup lebih keras jika kau mengalaminya sendiri. Kita
doakan semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindunganNya. Namun yang
di atas bukan film atau narasi fiktif. Hal yang benar-benar di alami seorang
mahasiswa muslim yang bertahan menuntut ilmu dan membantu rakyat Suriah di
sana.
“Ku pikir ini film. Kau tahu,
seperti dalam scene bom nuklir yang meledak lalu gelombang ledakannya menjalar
ke segala penjuru... Blaaar!!”
Aku hanya membayangkan ekspresi
wajahnya di seberang sana. Di negeri yang masih berada dalam kawasan Tiur
Tengah. Huh, mereka bilang Arabic Spring yang tak “spring”nya terlalu lama.
Tidak seperti di Mesir dengan segala macam pergolakan pasca revolusinya.
Tapi hey, di sini aku tertegun.
Mahasiswa itu juga sama seperti
masisir, ujian di depan mata. Namun ia menyaksikan sendiri hiruk pikuk
peperangan, meski masih bertahan di daerah yang cukup aman dalam kawasan sang
penguasa ‘Pak Kumis’. Jangan kau tanya siapa itu Pak Kumis.. itu kode kami
untuk membicarakan penguasa rezim Suriah yang tega melakukan ‘genosida’ pada
rakyatnya sendiri.
Damaskus bersalju. a little pic of him ^_^ |
Bukan karena alasan apa ia
bertahan. Namun jiwa nya yang berteriak untuk membantu saudara muslim di sana
lebih keras memanggil. Bertahanlah sebagai seorang muslim, kau mampu untuk
pergi dengan jiwa nasionalis yang acuh, namun bantulah penduduk negeri ini dengan
jiwamu sebagai seorang muslim. Itu suara iman yang mengalahkan apapun.
Aku hanya bisa mendengar kisahmu
di sini. Aku pun belum membantu banyak secara langsung. Padahal kita sama-sama
tengah belajar. Dan menghadapi ujian yang sudah di depan mata. setidaknya ruh
belajarku kembali bergelora. Bukan untuk apa. Namun aku sadar bahwa segala
fasilitas yag kini tengah kunikmati, tengah digadaikan oleh kucuran darah
saudaraku di negeri-negeri yang terluka. Maka tidak sepantasnya aku berleha. Begitu
pun kau!
Wallohu ta’ala a’lam
*jangan lupa juga doakan untuk
segera selesainya krisis di Negeri Syam ini. Allohumma amin.
No comments:
Post a Comment