Saturday 11 May 2013

Ini Suriah, Sepenggal Scene dari Negeri yang Terluka

bismillah

Baru saja telepon dari Negeri Syam itu disudahi. Kini aku tak sabar lagi untuk menceritakan tutur remaja WNI yang masih bertahan kuliah di Damaskus, Ibu kota Suriah yang kini tengah menjadi neraka dunia.
“ini sekitar 3 atau 4 hari lalu.” Ia bertutur melalui “private number” ke nomor Mesirku. Selanjutnya aku bahasakan dengan “aku”.
Malam itu aku dan beberapa kawan tengah menyaksikan rekaman video bersama, di rumah kami. Dan tiba-tiba, BLAMM!!
Jangan berpikir untuk mendengar suara itu, terlebih merasakannya. Karena dentuman itu jauh lebih keras dari suara meriam modern yang biasa kami dengar setiap saat. Ku pikir jantungku sempat terhenti berdetak selama suara itu nyaris memecah gendang telinga.
Tiba-tiba lampu rumah berkedap kedip. Suasana remang mencekam. Tiada seorang mampu berkata. Namun setiap penghuni rumah bergerak tanpa komando.
Klap!
Lampu dimatikan.
Sret! Jendela-jendela ditutup.
Dalam diam kami bersiaga jika tiba-tiba datang pasukan yang mendobrak pintu lantas memaksa kami untuk berkata “laa ila illa ‘Pak Kumis’...”(wa iyyadzubillah) lalu menculik dan menyeret seorang dari kami ke penjara, atau menyiksa dan menembak mati kami di tempat. Bukan hanya kami yang bersiap untuk kemungkinan terburuk, namun nampaknya seluruh penduduk Damaskus melakukan hal serupa.
Mungkinkah dentuman barusan hanya berjarak beberapa meter dari rumah kami? Aku masih bertanya-tanya. Namun dalam kondisi mencekam seperti ini, yang terbaik adalah selalu bersikap siaga.
Tak lama berselang, kami putuskan untuk melihat keadaan di luar. Malam ini, nyaris seluruh penduduk kota membuka jendela seperti kami. Dan dengan muka penuh tanda tanya, karena tidak terjadi apapun. Ini aneh.
Tiba-tiba, dari gedung yang menghalangi pandanganku, sekilas cahaya muncul. serentak pandangan mata seisi kota menuju ke sana. Aku melihat kilat cahaya merah telah sampai di atas. Ia berasal dari daratan, bukan dari langit. Berarti bukan bom yang dijatuhkan dari langit. Namun ini sama persis dengan yang ku tonton dalam film Hiroshima-Nagasaki. Tapi ini bukan asap cendawan, ini cahaya merah yang menukik ke langit.
Belum lama aku terpana, sebuah angin panas menyeruak. Mendorong dan melibas tubuh-tubuh kami, seisi rumah.
BUG!!
Masing-masing tubuh kami berdentum ke lantai dengan keras. Bersamaan dengan debu pasir dan angin panas yang menyeruak.
“Tutup jendela!!” akhirnya seisi penghuni rumah segera menutup jendela tanpa ada komando lebih.

Cerita di atas sedikit mendeskripsikan apa yang terjadi saat itu. Berdasarkan informaso yang ia peroleh, itu adalah serangan bom kimia dari dua pesawat Israel di sebuah pegunungan di pinggir Dmaksus, sekitar 5 sampai 7 Km dari pusat kota. Tentu akan lebih membuat jantungmu berdegup lebih keras jika kau mengalaminya sendiri. Kita doakan semoga mereka baik-baik saja dan selalu dalam lindunganNya. Namun yang di atas bukan film atau narasi fiktif. Hal yang benar-benar di alami seorang mahasiswa muslim yang bertahan menuntut ilmu dan membantu rakyat Suriah di sana.
“Ku pikir ini film. Kau tahu, seperti dalam scene bom nuklir yang meledak lalu gelombang ledakannya menjalar ke segala penjuru... Blaaar!!”
Aku hanya membayangkan ekspresi wajahnya di seberang sana. Di negeri yang masih berada dalam kawasan Tiur Tengah. Huh, mereka bilang Arabic Spring yang tak “spring”nya terlalu lama. Tidak seperti di Mesir dengan segala macam pergolakan pasca revolusinya.
Tapi hey, di sini aku tertegun.
Mahasiswa itu juga sama seperti masisir, ujian di depan mata. Namun ia menyaksikan sendiri hiruk pikuk peperangan, meski masih bertahan di daerah yang cukup aman dalam kawasan sang penguasa ‘Pak Kumis’. Jangan kau tanya siapa itu Pak Kumis.. itu kode kami untuk membicarakan penguasa rezim Suriah yang tega melakukan ‘genosida’ pada rakyatnya sendiri.
Damaskus bersalju. a little pic of him ^_^
Bukan karena alasan apa ia bertahan. Namun jiwa nya yang berteriak untuk membantu saudara muslim di sana lebih keras memanggil. Bertahanlah sebagai seorang muslim, kau mampu untuk pergi dengan jiwa nasionalis yang acuh, namun bantulah penduduk negeri ini dengan jiwamu sebagai seorang muslim. Itu suara iman yang mengalahkan apapun.
Aku hanya bisa mendengar kisahmu di sini. Aku pun belum membantu banyak secara langsung. Padahal kita sama-sama tengah belajar. Dan menghadapi ujian yang sudah di depan mata. setidaknya ruh belajarku kembali bergelora. Bukan untuk apa. Namun aku sadar bahwa segala fasilitas yag kini tengah kunikmati, tengah digadaikan oleh kucuran darah saudaraku di negeri-negeri yang terluka. Maka tidak sepantasnya aku berleha. Begitu pun kau!

Wallohu ta’ala a’lam

*jangan lupa juga doakan untuk segera selesainya krisis di Negeri Syam ini. Allohumma amin.


No comments:

Post a Comment