Saturday 23 March 2013

Dari Mulut ke Kritik

bismillah


Kisah ini saya dengar dari Kiai sepuh di pesantren, saat saya berada di kelas 5 KMI. Terlepas dari benar tidaknya kisah yang beliau tuturkan saat taushiyah pekanan di depan masjid ini, Kiai yang acapkali berbicara dengan bahasa Inggris ini ingin menyampaikan sebuah pesan moral,”Mulutmu, harimaumu”
Alkisah seorang pengemudi mobil yang melintas di jalan, tiba-tiba mobilnya di seruduk oleh mobil lain. Segera ia turun dan melihat ada bagian mobilnya yang lecet. Keadaan itu ia manfaatkan untuk memeras Si penabrak, “Hey, kamu harus bayar mahal untuk lecet di mobilku!”
“Saya minta maaf,Pak. Beribu maaf,” Ujar Si penabrak tulus.
Bukannya melunak pengemudi itu semakin memeras Si penabrak,”Maaf..maaf.. harusnya kamu bertanggungjawab, kalau perlu kamu ganti mobilku ini dengan yang baru!”
“Baiklah, mari ikut saya ke bengkel, Pak.” Ujar Si penabrak.
Sampai di bengkel, pengemudi itu masih saja membentak-bentak Si penabrak. Namun ia heran karena para pegawai bengkel begitu hormat dengan Si penabrak. Maka ia bertanya pada salah seorang pegawai bengkel, tentang siapa sebenarnya Si penabrak.
“Maksud anda, orang yang menyuruh kami memperbaiki mobil anda?”
“Ya,” jawab pengemudi tadi.
“Dia adalah bos kami, pemilik bengkel ini, juga pemilik pabrik perusahaan mobil Ford.” Jawab pegawai itu jujur.
Pengemudi itu malu sekali saat Henry Ford muncul, dan meminta maaf atas sikap kasar dan berbalik menghormati pemilik perusahaan mobil Ford itu.
Cerita selesai. Dari kisah itu, Kiai saya mengambil sebuah hikmah yang cukup masyhur, “mulutmu, harimaumu”.
Benar bahwa perkataan yang meluncur dari lisan harus terkontrol, jika tidak ia akan benar-benar menjadi bumerang bagi yang mengatakannya. Di era informasi saat ini, hal itu tidak perlu pembuktian lagi. Kesalahan kata sedikit saja bisa menghantarkan anda ke jeruji besi, lebih lagi jika dikatakan di depan khalayak pers oleh seorang tokoh terkenal.
Jika setiap kata-kata yang keluar dari mulut bersumber dari lisan. Kita posisikan sebagai muqaddimah sughro, dan “mulutmu, harimaumu” sebagai muqoddimah kubro, akan lahir sebuah natijah,”Lisanmu, harimaumu”. Seandainya kita andaikan opini publik sebagai ‘mulut’, dan ‘lisan’nya adalah media, maka kesimpulannya adalah penyamaan antara harimau dan media.
Ya, media sebagai corong opini publik sejatinya berada di posisi yang mengkhawatirkan ini. kesalahan dalam pemberitaan bisa berakibat fatal. Dengan satu artikel, bisa menarik jurnalis ke penjara. Dengan satu paragraf bisa membuat buletin ditarik dari peredaran.
 Karena media tak bisa lepas dari perannya yang menggiring opini masyarakat ke arah tertentu. Tentu ini sudah jadi rahasia umum. Di balik opini dan pemberitaan yang dituangkan sang jurnalis dalam media, tentu bisa sejalan dengan pemikiran oknum tertentu, atau bisa juga berbalik 180 derajat. maka di sini terbuka sebuah jalan bagi oknum yang tidak sepakat untuk membuka arena kritik sebagai balasan.
Kritik dan balasan atas suatu opini yang menyesatkan harus dilancarkan, namun –dalam hemat penulis- dengan cara yang semestinya, tanpa harus ada kedholiman. Perang opini yang sehat akan melahirkan pemikiran-pemikiran segar yang mencerahkan. Bahkan sebuah teori filsafat selalu hadir dari budaya kritik penciptanya. Seperti Anaximandros yang mengkritisi buah pikir gurunya, Thales yang menganggap asal mula segala sesuatu dari air. Selanjutnya Anaximenes mengkritisi dua sesepuhnya. Dan begitu seterusnya hingga munculnya Rene Decartes, John Lock, David Hume. Sebuah teori filsafat baru terdorong lahirnya dari budaya kritik.
Tulisan ini pasti banyak kekurangan di sana sini, namun yang sebenarnya ingin penulis ajak, adalah menghidupkan budaya kritik yang sehat. Utamanya kita sebagai insan akademis, kesadaran untuk mengkritisi itu sudah menjadi hal yang wajib dan lumrah.
Penulis sendiri merasa cukup jauh dari ajakannya. Namun semua tidak akan terjadi jika tidak dimulai dari hal yang paling kecil, dimulai dari diri sendiri dan dimulai sekarang juga!
Mari kita hidupkan budaya kritik yang sehat dan membangun!


                                                                       Madinah Al Buuts Al Islamiyah, 23:32
23/3/2013

4 comments:

  1. jom. buka critical thinking studies..aha

    ReplyDelete
  2. Thesis, antithesis, sintesis -Hegel-

    ReplyDelete
  3. civitas akademika sekaliber itu saja belum siap untuk sebuah budaya kritik. haah,, emang harus bertahap ya, tapi ngomong2 tahapannya apa ya?

    ReplyDelete