Sunday 3 March 2013

Kakek Renta dalam Bus 65


bismillah


Suatu siang di tengah perjalanan menuju Hay-Asyir. Begitu keluar asrama aku dan seorang kawan langsung bertemu bus yang cukup legendaris. Bukan /80. Tapi bus ini lebih jarang, bahkan aku cukup jarang menemukan versi merahnya yang megah dan elegan. Lebih sering lagi kutemui versi hijau, yang meski sudah tua renta, penuh goresan di sana sini dan melaju dengan napas tersendat, bahkan si Rois –yang juga sudah sepuh- harus menyalakan mesin tiap melaju pelan, namun satu hal yang menurutku cukup menakjubkan. Automatic door yang masih berfungsi baik. Wow, subhanalloh! Ini lah bus 65 yang sangat antik!
Tapi terik siang itu mengantarkan takdirku untuk bertemu 65 dengan versi merahnya. Sebetulnya ini adalah kesempatan yang jarang terjadi. Bus ini seperti seorang borjuis yang memendam gengsi lebih dari liang kuburnya sendiri. Orang biasa bilang, “saat dinanti tak mau kemari, saat tak diminati ia pamer diri”. Dan siang itu aku adalah orang paling pantas untuk mengucapkannya.
Beberapa bulan terakhir, aku memang meluangkan banyak waktu untuk pergi ke Wisma Nusantara di kawasan Rob’ah. Tak hanya kesibukan di PMIK, tapi markas lama buletin Terobosan kembali aktif digunakan atau terancam digusur dengan paksa. Jadilah jadwal kunjunganku ke Wisma lebih padat di banding sebelumnya. Memang agak dekat dengan kuliah, namun jika pergi dari asrama atau dari Hay Asyir menuju Rob’ah, tentu dibutuhkan kocek lebih, bahkan dua kali lipat biasanya. Bukan karena letaknya dua kali lipat jauh dari jarak rata-rata. Tapi karena jangkauan sarana transportasi dengan harga mahasiswa yang cukup jarang. Terlebih ketika waktu beranjak petang, semakin lah rasa letih dan was-was menerbu. Bus dan tramco semakin jarang! Sebetulnya ada satu solusi yang paling jitu, tapi untuk mendapatkannya juga harus berjudi dengan takdir dan waktu. Apa itu? Bus 65!
Kembali pada siang itu. Bus sampai kawasan Maulin. Seorang kakek renta dengan dua mata tertutup –yang nampaknya sangat sulit dibuka- dituntun seorang pria paruh baya. Bus 65 berhenti untuk waktu yang tidak singkat. Ya, untuk menaiki 3 anak tangga itu, tentu kakek itu membutuhkan waktu dan tenaga lebih dari pemuda biasa. Mataku mengikutinya dari balik jendela dalam perut bus yang cukup sesak. Hingga akhirnya ia menghilang tertutup pintu bus dan penumpang yag berdesakan. Ekor mataku masih menelisik, selanjutnya aku mencoba menerka. Di antara sekian penumpang, laki-laki, perempuan, tua, paruh baya dan usia muda. Mana di antara mereka yang lebih dulu meninggalkan kursinya untuk mempersilakan kakek tua itu untuk duduk.
Sekian menit berlalu. Kakek itu tiba-tiba berada satu setengah meter dari tempat berdiriku. Satu tangannya memegang erat besi pegangan bus. Nampaknya aku salah menyimpulkan bahwa semua penumpang yang berwajah Arab itu telah kehilangan nuraninya. Kakek itu berjalan, dengan pegangan yang semakin erat. Dengan sangat lambat, amat sangat. Ia mengganti pegangan bus, dari satu kursi ke kursi yang lain. Itu adalah pertarungan antara keseimbangan dan sisa tenaga di pucuk usianya, dengan hentakan bus yang terus terjadi sesuai arah jalan dan kepadatan pengguna jalan.
Aku baru sadar ternyata kakek itu membawa segenggam kutaib yang memiliki judul sama. Surat Yasin. Kebanyakan orang bilang, yang seperti itu adalah pengemis. Tapi bagiku tidak, ini adalah satu hal yang perlu dicatat dengan tinta hitam pekat dalam setiap kamus hidup setiap bangsa. Bahkan di usia senjanya, ia tak mau sekadar meminta.
Aku semakin takjub manakala kakek itu membuang keras logam senilai satu Pound dari tangannya yang diberikan seorang pemuda, karena ia tidak mengambil “surat Yasin” dari tangannya. “Ambil ini...hei.. ambil ini!” Ujarnya dengan keras sebelum akhirnya logam itu terpental nyaring di atas lantai bus 65. Seorang pemuda bergegas mengambilnya dan menyerahkan lagi pada kakek itu, kali ini ia mengambil surat Yasin itu. Tahukah, ia adalah seorang kakek yang tak mau disebut sebagai pengemis. Karena ia bukan pengemis, mungkin lebih tepat pedagang, karena ia tidak mau sekadar menerima pemberian orang yang mengkasihaninya, tanpa ada yang harus merasakan manfaat dari kehadirannya.
Dan sebaiknya anda tahu, perbandingan harga diri seorang kakek renta yang tak mau sekedar “take” tanpa “give” dengan pejabat koruptor di negeri kita, lebih lagi, bisa kah membandingkannya dengan diri kita?
Mari muhasabah diri.
                                                                             Wisma Nusantara, 5th floor
                                                                             Cairo, 03/03/13

1 comment:

  1. tulisan yang caem. sa elingku nomer 65 kan emang warna merah kinclong ternyata dah jarang yah yang versi jadul. bisnya mahasiswa kaya. 50p dulu entah berapa sekarang. sip mbak nun. lanjut nulisnya.

    ReplyDelete