Thursday 27 March 2014

Dari Tepi Kairo

bismillah



Tidak lagi menawan.
source: landtarget.blogspot.com
Apa yang ku lihat setiap hari telah menjadi rutinitas yang tak lagi menggairahkan. Asrama mahasiswi di kawasan Abbaseya yang cukup jauh dari pusat dinamika masisir di Madinah Nasr. Buatku jarak yang hampir sama dengan Solo-Klaten ini sudah tidak lagi jauh. Berbeda dengan mahasiswa di madinah Nasr yang ketika harus ke Abbaseya selalu menggerutu, “Jauhnya...”.
Begitu pula pemandangan yang wajib aku temui setiap hari. Pekuburan Duwaiqah,  Nadi Sikkah, Hay Sadis hingga seterusnya tak ubahnya slide film dokumenter yang setiap hari diputar lewat jendela bus pemerintah. Goresan dan lekukan tak berseni yang menyombongkan ketangguhan setiap mobil di Kairo tak lagi menarik perhatianku. Tidak jauh berbeda dengan papan reklame yang selalu ku tatap dari jarak seratus meter dalam bus, setiap kali melintas di kawasan Hay Sadis.
Di papan reklame itu terlukis dan tertulis suatu paradoks. Senyum polos gembira sengaja disorot close-up dari mimik seorang anak kecil di foto itu. Di bawahnya huruf-huruf berbaris rapi dan bersuara, Undang-Undang Perlindungan Anak. Layar iklan yang warnanya telah usang dan terpojok oleh pohon-pohong menjulang serta keramaian Eltramco itu menertawakan pandanganku.
 Seorang anak yang tak pernah kubayangkan dapat tersenyum ceria seperti yang terpampamg dalam iklan menarik perhatianku, ia naik ke dalam bus dengan bawaan plastik besar yang diseret dua tangan mungilnya. Sementara sang bunda yang bertubuh gempal berusaha duduk di atas kursi yang lebarnya hanya setengah besar tubuhnya. Bahasa tubuh bocah di hadapanku ini dapat jelas diterjemahkan,”Mama, ini berat”
Bus melewati kawasan Hay Tsamin. Siang hari yang menyengat. Masing-masing merayap dalam irama klakson bersahutan. Siapa lagi yang mau peduli? Dengan polusi suara begitu pun tak ada yang mau ambil pusing. Pejalan kaki tetap menyeberang jalan seenaknya. Begitu pula polisi lalu lintas dengan bedak debu mix asap polusi hanya peduli dengan kapan kendaraan harus berhenti atau berjalan. Tugasnya hanya itu.
Bertambah satu anak yang mengalami nasib serupa tadi. Baru saja ia menaiki tangga bus dengan tergopoh-gopoh. Gadis kecil. Ibunya duduk manis dan sibuk berbicara dengan handphone nokia layar kuning yang terselip antara pasmina dan pipinya. Aku tersenyum pada bocah 6 tahunan yang tak berkedip memandangku. Orang asing. Sudah kugeser dan kusisakan space untuknya duduk bersamaku, tapi kepalanya segera menggeleng seperti mesin otomatis.
source: cairogizadailyphoto.blogspot.com
Birrul walidain. Komentar salah seorang kawan suatu ketika. “Makanya, anak kecil harus mengalah demi orang tua.” Lanjutnya. Memang nampak perbedaan yang sangat kontras dengan kultur masyarakat Indonesia. Di Mesir, seorang anak tidak dipandang lemah. Maka orang tua tidak perlu menggendong anak yang masih belajar berjalan dan terseok. Tidak perlu khawatir untuk tidak menggandeng anak kecil di jalanan ramai, meski beresiko tertabrak mobil yang melintas dengan ugal-ugalan. Juga tidak perlu ragu untuk menampar dan memukul kepalanya keras-keras di depan umum saat berbuat salah menurut orang tua. Bagi warga asing di Kairo,terkhusus orang-orang Melayu, tentu mereka menganggap anak-anak Mesir hidup tanpa kasih sayang. Namun mungkin bagi sebagian besar orang Mesir, wafidin yang berkulit sawo matang itulah yang terlalu dimanja sejak kanak-kanaknya.
Handphoneku bergetar. “Kamu sudah sampai mana, ya habibty?” Pertanyaan di seberang membuat ekor mataku menembus jendela.
“Sudah dekat arba’ wannus, ablah.” Jawabku. Mengapa mahattah terakhir di Tabba ini disebut begitu? Empat setengah? Belum tentu setiap penduduk yang lalu lalang di sini tahu jawabannya.
Senyum pasrahku bergelayut. Aku harus merelakan sepatu yang baru kemarin kucuci menapak becek tanah selepas turun bus. Beberapa kali aku harus berjingkat dan mengangkat rok sedikit untuk menghindari beberapa genangan air dan sampah basah yang menebar bau tak sedap.
Ini hanya permulaan! Aku menyemangati diri.
Menjadi relawan di salah satu kawasan pojok Cairo ini sudah menjadi keputusanku. Kalau sudah begitu, artinya tidak boleh ada kata mengeluh. Mengajar anak TK di tempat terpencil, bagi anak-anak yang terlahir dari orang tua kelas bawah. Siapa sudi? Aku sendiri mengiyakan tawaran ini karena ingin meraup pengalaman. Adapun beberapa puluh pounds sebagai gaji setiap bulan, anggap saja menambah uang jajan.
source: greensimon.com
Bila diukur dengan kacamata materi, aku yakin tak kan ada yang bilang sepadan. Terlebih harus melewati jalanan becek tak beraspal, penuh sampah dan anjing-anjing penuh kudis berseliweran. Sesekali menggonggong, berkejaran atau mengais-ngais sampah. Bukan salah penglihatan jika jarang sekali ditemukan orang-orang berpakaian klimis, berjas dan tidak berwajah garang. Tidak heran -entah benar atau tidak- sebagian kawan bilang ini kampungnya para maling dan penjahat. Maka harga sewa syaqqah bisa lebih murah. Meski begitu, tidak sedikit warga asing yang tinggal di Tabba. Indonesia dan China misalnya.
Ablah Gheda menyambutku dengan senyum dan pelukan hangat. Fitri, relawan sepertiku lebih dahulu sampai. Hari  pertama, tentu saja perkenalan.

“Ini Ablah Rani.” Ablah Gheda menunjukku.

bersambung...

NB: dimuat dalam buletin Terobosan edisi 360

2 comments:

  1. Menjadi relawan di salah satu kawasan pojok Cairo ini sudah menjadi keputusanku, siapa sudi? hay hay waiting sambungannya inuuun

    ReplyDelete
  2. satu pertanyaan, siapakah "aku" dsini mba?
    n ditunggu sambungannya ya..

    ReplyDelete