Monday 24 March 2014

Memori Ustadz Abu Bakar Baasyir

bismillah
 
Pagi ini, mata kuliah pertama Tafsir Maudhu’i. Dukturah Hindiyah, pernah mengajar kami di tingkat pertama. Kali ini tema yang kami bahas, jihad. Tema yang saya tunggu-tunggu sejak pertama menapak kaki di Al-Azhar. Bagaimana mauqif wasathi yang akan diajarkan, setidaknya itu yang ingin saya bandingkan dari fakta pembelajaran di pesantren dulu.
Why? Ini tema yang cukup sering diperbincangkan dan seringkali terjadi perselisihan dalam cabang dan praktiknya. Setidaknya, pada awal mula lulus pesantren, saya lebih banyak memasang “tameng” untuk menghindari pupusnya semangat dan nilai yang telah ditanamkan sejak di pesantren. Terlebih setelah mendengar pernyataan seorang Ustadz senior di pondok modern kami, “Ngruki terkenal karena akidahnya!”
Maksudnya, rata-rata alumni yang lulus dari pesantren terkenal dengan akidahnya yang kuat, atau bisa dibilang ‘militan’.
Bukan berarti saya fanatik lalu menganggap semua yang berbeda dengan ajaran di pesantren adalah salah. Yang jelas pagi tadi saya dapat beberapa pencerahan ketika mengikuti muhadhoroh Dr. Hindiyah.
Dari keseluruhan pembahasan di kelas, ada satu poin yang membuat saya berkontemplasi sejenak. Tepatnya ketika membahas level pertama-dari empat level- dalam masalah jihad era Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW masih berada di Mekah, di mana perintah jihad belum diturunkan. Sementara beberapa sahabat menginginkan adanya perlawanan balik. Mereka tertindas, mereka dizalimi Quraisy!
Tetapi Rasulullah SAW tidak terburu-buru mengamini keinginan muslimin saat itu, melainkan terus memotivasi sahabat untuk bersabar menghadapi ujian dan siksaan. Sembari menunggu wahyu dari Allah Swt.
Di sini kemudian Sayyid Qutb menjelaskan mengenai sebab-sebab dan hikmah tersembunyi di balik perintah bagi muslimin untuk tetap bersabar. Sebab atau hikmah pertama yang dikutip adalah pembelajaran bagi ummat Islam untuk bersabar. Apakah berhenti pada level ‘sabar’ semata? Tidak!
Di dalam kesabaran itu juga ada yang harus dilakukan, selain pembentukan kepribadian untuk menjadi muslim yang ‘tangguh’ menghadapi bencana, juga ada i’dad alias persiapan. Persiapan di sini lebih terfokus pada individu, personal tiap muslimin. Sungguh terdapat perencanaan besar yang-kalau boleh saya bilang- diprakarsai oleh Rasulullah SAW, untuk masa depan ummat Islam. Kesabaran mereka –radhiallahu ‘anhum- bukan semata diam menunggu tanpa rencana dan target untuk masa yang jauh ke depan.
Lalu hal ini saya kaitkan dengan perjuangan dakwah Ustadz Abu Bakar Baasyir. Dahulu saya sempat bingung. Ketika-misalnya- terlempar tuduhan beliau mendanai pelatihan militer di Aceh. Beliau tidak lantas menyalahkan, memaki dan mencaci mereka. Tetapi sebatas menolak tuduhan pendanaan tersebut dilakukan oleh beliau. Anehnya, beliau juga mengeluarkan statement bahwa tidak ada yang salah dengan i’dad.
Saat itu saya bertanya-tanya, mengapa beliau harus mengeluarkan pernyataan seperti itu? Tidak hanya pada tuduhan ini, namun begitu juga pada kasus-kasus lain yang justru dengan statement tersebut semakin memojokkan posisi beliau-di mata mereka yang telah menjatuhkan stigma teroris pada beliau-?
Di sini saya menyadari, bahwa beliau yang selalu tersenyum ramah meski dituduh dan digempur berbagai fitnah, tidak menyetujui adanya praktik lapangan –saya sebut jihad offensif- di Indonesia. Sudah berkali-kali dalam ceramah dan taushiyah yang beliau sampaikan –dan saya saksikan dengan mata kepala sendiri- beliau katakan bahwa penerapan jihad offensif di Indonesia tidaklah tepat. Mengapa? Indonesia negeri damai, bukan darul harb!
Kendati demikian, beliau mengambil langkah berbeda dengan mereka yang menggunakan segala macam cara untuk menghapus-secara halus- esensi jihad di dalam Islam. Ustadz Abu Bakar Baasyir, tetap berjalan dalam jalur dakwah yang beliau tempuh. Tidak peduli dengan stigma fundamentalis, teroris, Islam garis keras dan sebagainya, yang dialamatkan padanya. Karena,-bagi beliau- apa yang benar harus disampaikan. Apa yang sejatinya merupakan ajaran Islam, tidak akan beliau tutup-tutupi kendati harus dituduh teroris dll. Tentu berbeda dengan ‘mereka’ yang takut mendapat stigma negatif dari ‘luar’, lalu pontang-panting mencari dalil dan berbagai alasan untuk memelintirkan esensi Islam, baik sebagian maupun keseluruhan.
Dan lagi, saya teringat dengan isi taushiyah beliau yang selalu mewanti-wanti kami untuk tidak taklid buta dan wajib mengatakan suatu kebenaran dengan argumen yang kuat, sekalipun terhadap guru kita sendiri. Namun tidak lupa, beliau juga menyuruh untuk berhati-hati,setinggi apapun gelar keilmuwan yang diperoleh, hal itu tidak berarti apa-apa jika tidak diamalkan sesuai ajaran Islam.
Di sini lagi-lagi saya belajar, bahwa kesabaran beliau melihat berbagai penyimpangan, tidak berarti harus diam dan tidak melakukan apa-apa. Keberanian beliau untuk menyampaikan kebenaran adalah sesuatu yang sangat dibenci sekaligus ditakuti oleh musuh.
Saya tidak mengkultuskan Ustadz Abu Bakar Baasyir, meskipun sering bertatap muka dalam kajian-kajian rutin beliau di pesantren. Sebagaimana pesan beliau pula, jika suatu ketika saya mendapati kesalahan dalam diri beliau, tentu saya akan mengatakan bahwa itu salah, dan tidak mencari dan memelintir dalil untuk membenarkannya.
Maka, Ustadz Abu, tetaplah bersabar dalam dakwah yang engkau jalani. Kami, santri-santrimu, akan terus mendukung dan mendoakan kebaikan.
Allohummanshur ikhwanana almuslimin wa almujahidin fi kulli makan. Allohumma Amin.
                                                                                                                Kairo, memasuki awal semi
24 Maret 2014

No comments:

Post a Comment