bismillah
Sejujurnya, ada beberapa keresahan yang beberapa waktu ini
menghantui pikiran saya. Langsung saja. Ini soal “kepedulian” yang rasa-rasanya
luntur dari lingkungan sekitar saya. Sebagai bagian dari Masisir, saya merasa
ada yang janggal setiap kali terjadi peristiwa atau isu yang memanas, baik
dalam skala nasional maupun internasional. Ya, saya melihat lambannya respon
yang dilakukan oleh Masisir.
Untuk peristiwa berskala nasional misalnya, ketika Indonesia
menjadi tuan rumah Miss World, kita (terutama masisirwati) diam saja. Meskipun pada
akhirnya-kalau tak mau disebut terlambat- Wihdah bekerjasama dengan beberapa
organisasi keputrian mendeklarasikan penyataan sikap yang menolak diadakannya
kontes kecantikan tersebut. Berikutnya, ketika berhembus isu pelarangan jilbab
untuk siswi muslimah di Bali pada awal tahun 2014. Beberapa bulan berikutnya, barulah
seorang anggota Wihdah menyebar selebaran dari PPMI, berisi petisi yang menolak
larangan jilbab. Celakanya ada beberapa kawan yang bertanya,”Petisi itu apa?”
Hm, saya sendiri bertanya-tanya,”Kenapa baru sekarang? Isunya sudah
hampir tiga bulan berlangsung”. Tapi ya, lebih baik telat daripada telat
bangeet.
Dan sekarang agresi Israel ke Gaza. Empat hari sudah lewat. Kita mungkin
telah merespon dengan memasukkan peristiwa ini dalam obrolan buka puasa, status
facebook dan twitter atau men-share segala bentuk kabar terkait Gaza dan
Palestina melalui grup-grup whatsapp atau yang sejenisnya. Tapi belum ada
tindakan nyata yang mempresentasikan respon Masisir terkait peristiwa ini.
Dua hari yang lalu saya tanyakan pada seorang pegiat organisasi
Masisir,”Gaza diserang, mau adakan penggalangan dana/pernyataan sikap tidak?” Syukurnya,
beberapa saat lalu saya lihat pamflet aksi solidaritas kemanusiaan diposting di
grup facebook PPMI Mesir. Aksi tersebut direncanakan pada hari Ahad, dua hari
lagi. Berarti 5 hari pasca agresi Israel ke Gaza. Padahal di tanah air, aksi
semacam ini sudah lebih dahulu digelar oleh ormas-ormas, organisasi dan berbagai
elemen masyarakat di berbagai daerah, begitu pula dengan penggalangan dana
untuk rakyat Palestina. Bolehlah organisasi induk kita diapresiasi. Masih belum
terlalu terlambat.
pic: dailymail.co.uk |
Hanya saja, rasanya agak malu. Kita yang secara geografis lebih
dekat dengan Palestina, ternyata kalah cepat dalam merespon tragedi kemanusiaan
ini dibanding masyarakat Indonesia.
Ya, kita tahu Israel bukan hanya sekali ini “kalap”. Tahun 2008-2009,
November 2012, lalu serangan terhadap Mavy Marmara dan masih banyak rentetan
kezaliman dalam kurun waktu puluhan tahun yang dilakukan Israel terkait
Palestina. Agresi militer yang lebih pantas disebut genosida yang terjadi saat ini
mungkin akan berhenti sementara waktu. Tapi kita saksikan hal semacam ini terus
berulang, perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang digelar terus
dilanggar, sementara tekanan masyarakat internasional kepada Israel seperti butiran
debu yang menantang angin.
Sudah wajar kita mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina terhadap
kependudukan (baca: penjajahan) Israel di tanah mereka. Hal ini jelas
bertentangan dengan bunyi Pembukaan UUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan. Meskipun lewat sejarah kita tahu bahwa PBB mandul, jalur
diplomasi pun tak memberi harapan yang pasti. Namun sepertinya ada jalur
perjuangan untuk membantu saudara di Palestina yang selama ini kita sepelekan.
Boikot.
Seruan boikot yang juga pernah dikampanyekan DR. Yusuf Qardhawi ini,
kurang berjalan dengan sistematis dan kontinyu. Buktinya, kampanye boikot terhadap
produk-produk Israel dan pendukungnya ini hanya santer saat berita penyerangan
Israel ke Palestina memanas. Selepas itu meredup lalu hilang, dan baru akan
muncul setelah isu pembantaian terhadap rakyat Palestina mencuat lagi.
Kampanye boikot ini adalah salah satu usaha yang paling
memungkinkan untuk kita lakukan. Ya, kita setiap individu. Sebagaimana yang
pernah disampaikan DR Yusuf Qardhawi dalam khutbah Jumatnya, tahun 2002 silam, “ كل ما له بديل يجب أن
يقاطع” Setiap produk yang ada gantinya, wajib diboikot.
Namun kampanye boikot ini akan
lebih berpengaruh jika terorganisir secara kontinyu dan sistematis. Kalau dalam
lingkup Masisir, sepertinya PPMI dan Wihdah lah yang paling tepat untuk
mengorganisirnya. Begitu pula dengan penggalangan dana dari Masisir, tentu
lebih terasa manfaatnya bila diorganisir secara terpusat dan kotinyu. Sehingga tidak
harus menunggu momentum tertentu, untuk menggalang dana secara massal dari
Masisir.
Usaha di atas tentu diringi dengan doa. Kita berharap di bulan suci
Ramadan ini, seluruh muslimin di penjuru dunia dapat melaksanakan ibadah puasa
dengan tenang dan aman. Tanpa harus dibayang-bayangi oleh serangan bom,
pembantaian massal dan segala bentuk kezaliman.
Wal akhir, yang saya sampaikan
adalah uneg-uneg sederhana, dengan harapan supaya Masisir (juga saya sendiri) lebih
peka terhadap peristiwa dan isu-isu global yang kerap terjadi. Sehingga tenaga
dan respon yang kita keluarkan lebih mendatangkan manfaat, tidak hanya terbuang
sia-sia untuk perseteruan dan debat kusir tiada putus, yang justru tidak
membawa dampak apapun kecuali menyalakan api permusuhan.
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahuinya.” (QS Yusuf:21)
Wallahu ta’ala a’lam
No comments:
Post a Comment