bismillah
Dugaan saya
tepat. Selepas imam mengucap salam kedua, seluruh jamaah berdiri tanpa komando.
Mengambil sajadah, mengenakan sandal dan sepatu dan melenggang tak beraturan.
Nyaris semua jamaah wanita Mesir ini ngobrol |
Sajadah kami
terinjak? Ya.
Gaduh? O,
tentu.
Hanya kami,
orang Asia yang duduk menepi lalu memasang telinga untuk khutbah Idul Adha yang
disampaikan. Remaja, anak-anak, ibu-ibu, semua bercengkerama lewat obrolan
keras beradu menyaingi suara sang khatib. Hanya nenek-nenek-yang nyaris
seluruhnya- bertubuh gempal duduk manis dan mendengarkan khutbah. Warga Mesir
mana yang sudi kiranya mendengar ceramah fiqh adzhiyah dan tafsir AlKautsar itu
dengan penuh kesadaran?
Iya, hal yang
sangat saya rindukan adalah jamaah yang sudi mendengar khutbah Ied sang khatib.
Yang tidak bergegas menarik sajadahnya untuk lari dari khutbah yang berdurasi tak
lebih dari dua puluh menit.
Kita, orang
Asia, orang Indonesia, ternyata lebih mampu mengetahui apa fungsi telinga. Indra
pertama yang diciptakan Allah Swt sebelum yang lainnya. mungkin karena itu
watak kita turut terbentuk. Watak “pengertian”, yang terkadang menjadi ekstrim dan
disematkan pada orang Jawa-apalagi orang Solo dan Jogja-, lalu diterjemahkan
menjadi “pekewuh”. Dan jika bergeser ke makna moderat disebut “santun”. Namun
tak jarang santun dalam laku ramah itu disalahgunakan sehingga mengorbankan
prioritas disiplin waktu. Jam karet.
Nah, saya
mulai melantur nggak jelas. Anyway, Happy Ied Adha! Kullu ‘am wa
antum bikhoir. ^_^
Masjid
ArRahman ArRahim, Cairo, Iedul Adha 1435 H
Yang duduk adalah mahasiswi Asia, Indonesia |
Jamaah wanita Mesir yang berlalu lalang ketika khutbah |
Hanya nenek-nenek Mesir yang mau mendengarkan khutbah Ied |
No comments:
Post a Comment