Friday 2 January 2015

Saatnya Kau Pergi, Cinta...

bismillah
Menjelang ujian, saya terbiasa kedatangan tamu dari luar asrama. Biasanya kawan-kawan datang silih berganti untuk belajar dan share hal-hal yang kami belum pahami. Tapi sore ini beda. Ketika turun menemuinya di bawwab, saya tersentak. Mata dan seluruh wajahnya memerah, air matanya deras mengalir, dan isakannya benar-benar seperti seseorang yang meratapi kematian.
Saya ajak masuk ke mushola, beruntung saya sudah buatkan teh hangat untuknya. Untuk seorang kawan yang selama ini begitu bersemangat dan menggebu-gebu, apa yang saya lihat darinya sore ini adalah sisi lain yang begitu berbeda. Saya tahu hari ini ia akan bersedih. Tapi kalau sampai sesegukan begini, itu benar-benar di luar perkiraan saya.
Cinta.


Iya, perasaannya terhadap lawan jenis yang ia sukai ternyata merobek batas akhir sendunya. Mau tak mau ia harus melepaskan kepergian orang yang ia sukai di bandara. Bukan cinta yang berbalas. Itu yang menyakitkan. Terlebih ia beranggapan bahwa perpisahannya di bandara adalah pertemuan terakhir kali dengan lelaki yang ia sukai. Benteng pertahanannya sudah ambruk. Sekalipun ia pernah bercerita beberapa hari sebelumnya,”aku sudah persiapkan untuk hari ini, Nun.”. Nyatanya, hari ini ia baru sadar bahwa di ujung klimaks ia tak sanggup menahannya, sekalipun di hadapan kawan-kawan –yang selama ini ia tutup-tutupi.
Hal seperti ini yang tidak saya suka. Wanita yang berusaha mendapatkan timbal balik perasaannya atas laki-laki. Saya tidak suka bukan berarti hal itu salah. Barangkali saya tidak suka dengan resiko dari sebuah perasaan. Maksud saya begini, kita suka dengan seseorang, tentu menginginkan timbal balik berupa rasa yang sama dari orang tersebut. Namun belum tentu ia membalas perasaan kita. Tidak berbalas, artinya tertolak. Ini yang saya sebut resiko.
Hal tersebut wajar-kata kawan-kawan- dirasakan oleh perempuan. Karena tabiat asal kita memang pemalu, yang lebih banyak “dikejar” daripada “mengejar”. Tapi mungkin sifat dan sikap waspada saya cukup besar, sehingga untuk mengejar sesuatu yang terlalu beresiko menyangkut perasaan, hm.. sudah saya hapus dari kamus hidup. Hehe.
Akibatnya –mungkin-terlihat cukup dramatis. Seorang kawan pernah tunjukkan sebuah buku pada saya. Di situ disebut kriteria “cinta yang manja”. Dapat mencintai jika dicintai terlebih dahulu. Wew… tidak dapat menyukai seseorang kecuali ia lebih dulu suka dengan kita. Its me! Saya pernah katakan ini pada seorang kawan, lalu ia bilang, sikap saya cukup menginspirasi buatnya. Really, Sis?! Tapi saya merasa ini muncul dari sifat asli saya. Iya, sekagum-kagum saya dengan lawan jenis (mau seganteng Brad Pitt atau Lee Min Ho, sepintar Pak Habibi atau sebijak Pak Mario Teguh :p) kalau dia ndak suka sama saya, ya lewat saja. Wuss, ndak ada perasaan apa-apa. Tapi ceritanya bisa berbalik 180 derajat kalau dia punya rasa dengan saya. ejie…cie..cie..
Saya pikir, itulah yang selama ini membuat saya nampak enjoy terhadap perasaan-perasaan yang tidak karuan. Bahkan dari masa puber pun, saya tidak punya permasalahan pelik yang melibatkan perasaan, sebagaimana permasalahan kawan-kawan (begini-begini, saya sering jadi tempat curhat teman-teman lho) Maka saya pernah kelimpungan saat menjawab pertanyaan seorang kawan,”Nun, aku minta doa tolak cinta dong” Gubrak!
Kalau di Indonesia, saya masih bisa curhat ria langsung dengan Ummi. Tapi begitu di Mesir, saya melihat kawan-kawan yang senasib di perantauan. Cerita yang sederhana terkait perasaan mereka sampai yang kompleks terjadi di depan mata saya. Hm… bukan karena idealisme sudah saya hancurkan. Tapi mata saya semakin terbuka melihat beragam hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Lalu saya sempat goyah. Saya sempat “mencoba” bermain dengan rasa.
Untung saja hanya berhenti di situ. Saya rasa Allah cepat sekali menegur ketika saya mencoba menyerempet idealisme yang cukup lama saya bangun. Iya, rasa suka itu fitroh. Namun ketahanan dan kecerdikan kita untuk meluapkannya akan menjadi tolak ukur bagi syahwat. Nampaknya hal itu tidak mudah. Itu yang saya perhatikan. Baik dari perilaku saya maupun kawan-kawan.
Maka saya sebut rasa itu, candu.
Sekali kita mencoba luapkan, kita akan ketagihan. Kita ingin lagi dan lagi. Maka obatnya adalah lari, sebelum level kecanduan mencapai klimaks seperti kawan saya sore tadi.
Di usia yang sedang melewati “masa itu”, memang banyak godaan. Tentu, kita wanita. Terlebih lawan jenis baru sekedar mengenal lewat penampilan luar yang benar-benar tak bisa mewakili sisi lain diri kita. Mereka yang sekedar menggoda lewat sapaan, berPeDeKaTe lewat obrolan hingga berkirim makanan, mereka yang nampak mengejar namun hanya berhenti di mulut, mereka yang berusaha namun cepat sekali menyerah.. hm. Lupakan saja. Tolak dengan halus dan mundurlah secara perlahan, sopan dan anggun.
Wew, awalnya terlihat menyeramkan. Tapi kita benar-benar harus tegas. Terutama pada diri sendiri. Ini hidup kita, Sis. Prinsip yang sudah lama kita bangun terlalu sayang untuk ditukar dengan usaha mereka yang “nggak greget”(pinjam istilah kawan). Ada saatnya kita coba berpaling, kalau tidak dikejar ya… lewatkan saja. Allah akan kirim yang sungguh-sungguh dan tepat untuk kita, Sis. Kita tidak pernah tahu, bisa saja orang yang selama ini kita kagumi, yang selama ini kita hormati dan banggakan, tiba-tiba mengetuk pintu rumah... Ups! (semoga si dia tidak baca tulisan ini)
Ala kulli hal, semoga kawan saya sore tadi, bisa segera move on dan full semangat untuk hadapi imtihan, hadapi kehidupan. Nas-alullah laha attaufiq wannajah, fiddunya wal akhirah…
Eits, ini kan mau imtihan, sempat-sempatnya nulis beginian.
Plak!!!

Back to muqarrar, Sis! *Doakan kami, kawan-kawan.



No comments:

Post a Comment