bismillah
Menjelang
ujian, saya terbiasa kedatangan tamu dari luar asrama. Biasanya kawan-kawan
datang silih berganti untuk belajar dan share hal-hal yang kami belum pahami.
Tapi sore ini beda. Ketika turun menemuinya di bawwab, saya tersentak. Mata dan
seluruh wajahnya memerah, air matanya deras mengalir, dan isakannya benar-benar
seperti seseorang yang meratapi kematian.
Saya ajak
masuk ke mushola, beruntung saya sudah buatkan teh hangat untuknya. Untuk
seorang kawan yang selama ini begitu bersemangat dan menggebu-gebu, apa yang
saya lihat darinya sore ini adalah sisi lain yang begitu berbeda. Saya tahu
hari ini ia akan bersedih. Tapi kalau sampai sesegukan begini, itu benar-benar
di luar perkiraan saya.
Cinta.
Iya,
perasaannya terhadap lawan jenis yang ia sukai ternyata merobek batas akhir
sendunya. Mau tak mau ia harus melepaskan kepergian orang yang ia sukai di
bandara. Bukan cinta yang berbalas. Itu yang menyakitkan. Terlebih ia
beranggapan bahwa perpisahannya di bandara adalah pertemuan terakhir kali dengan
lelaki yang ia sukai. Benteng pertahanannya sudah ambruk. Sekalipun ia pernah
bercerita beberapa hari sebelumnya,”aku sudah persiapkan untuk hari ini, Nun.”.
Nyatanya, hari ini ia baru sadar bahwa di ujung klimaks ia tak sanggup
menahannya, sekalipun di hadapan kawan-kawan –yang selama ini ia tutup-tutupi.
Hal seperti
ini yang tidak saya suka. Wanita yang berusaha mendapatkan timbal balik
perasaannya atas laki-laki. Saya tidak suka bukan berarti hal itu salah.
Barangkali saya tidak suka dengan resiko dari sebuah perasaan. Maksud saya
begini, kita suka dengan seseorang, tentu menginginkan timbal balik berupa rasa
yang sama dari orang tersebut. Namun belum tentu ia membalas perasaan kita.
Tidak berbalas, artinya tertolak. Ini yang saya sebut resiko.
Hal tersebut
wajar-kata kawan-kawan- dirasakan oleh perempuan. Karena tabiat asal kita
memang pemalu, yang lebih banyak “dikejar” daripada “mengejar”. Tapi mungkin
sifat dan sikap waspada saya cukup besar, sehingga untuk mengejar sesuatu yang
terlalu beresiko menyangkut perasaan, hm.. sudah saya hapus dari kamus hidup.
Hehe.
Akibatnya
–mungkin-terlihat cukup dramatis. Seorang kawan pernah tunjukkan sebuah buku
pada saya. Di situ disebut kriteria “cinta yang manja”. Dapat mencintai jika
dicintai terlebih dahulu. Wew… tidak dapat menyukai seseorang kecuali ia lebih
dulu suka dengan kita. Its me! Saya pernah katakan ini pada seorang
kawan, lalu ia bilang, sikap saya cukup menginspirasi buatnya. Really, Sis?!
Tapi saya merasa ini muncul dari sifat asli saya. Iya, sekagum-kagum saya
dengan lawan jenis (mau seganteng Brad Pitt atau Lee Min Ho, sepintar Pak Habibi
atau sebijak Pak Mario Teguh :p) kalau dia ndak suka sama saya, ya lewat saja.
Wuss, ndak ada perasaan apa-apa. Tapi ceritanya bisa berbalik 180 derajat kalau
dia punya rasa dengan saya. ejie…cie..cie..
Saya pikir,
itulah yang selama ini membuat saya nampak enjoy terhadap perasaan-perasaan
yang tidak karuan. Bahkan dari masa puber pun, saya tidak punya permasalahan
pelik yang melibatkan perasaan, sebagaimana permasalahan kawan-kawan
(begini-begini, saya sering jadi tempat curhat teman-teman lho) Maka saya
pernah kelimpungan saat menjawab pertanyaan seorang kawan,”Nun, aku minta doa
tolak cinta dong” Gubrak!
Kalau di
Indonesia, saya masih bisa curhat ria langsung dengan Ummi. Tapi begitu di
Mesir, saya melihat kawan-kawan yang senasib di perantauan. Cerita yang
sederhana terkait perasaan mereka sampai yang kompleks terjadi di depan mata
saya. Hm… bukan karena idealisme sudah saya hancurkan. Tapi mata saya semakin
terbuka melihat beragam hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Lalu
saya sempat goyah. Saya sempat “mencoba” bermain dengan rasa.
Untung saja
hanya berhenti di situ. Saya rasa Allah cepat sekali menegur ketika saya
mencoba menyerempet idealisme yang cukup lama saya bangun. Iya, rasa suka itu
fitroh. Namun ketahanan dan kecerdikan kita untuk meluapkannya akan menjadi
tolak ukur bagi syahwat. Nampaknya hal itu tidak mudah. Itu yang saya
perhatikan. Baik dari perilaku saya maupun kawan-kawan.
Maka saya
sebut rasa itu, candu.
Sekali kita
mencoba luapkan, kita akan ketagihan. Kita ingin lagi dan lagi. Maka obatnya
adalah lari, sebelum level kecanduan mencapai klimaks seperti kawan saya sore
tadi.
Di usia yang
sedang melewati “masa itu”, memang banyak godaan. Tentu, kita wanita. Terlebih
lawan jenis baru sekedar mengenal lewat penampilan luar yang benar-benar tak
bisa mewakili sisi lain diri kita. Mereka yang sekedar menggoda lewat sapaan,
berPeDeKaTe lewat obrolan hingga berkirim makanan, mereka yang nampak mengejar
namun hanya berhenti di mulut, mereka yang berusaha namun cepat sekali menyerah..
hm. Lupakan saja. Tolak dengan halus dan mundurlah secara perlahan, sopan dan
anggun.
Wew, awalnya terlihat
menyeramkan. Tapi kita benar-benar harus tegas. Terutama pada diri sendiri. Ini
hidup kita, Sis. Prinsip yang sudah lama kita bangun terlalu sayang untuk
ditukar dengan usaha mereka yang “nggak greget”(pinjam istilah kawan). Ada
saatnya kita coba berpaling, kalau tidak dikejar ya… lewatkan saja. Allah akan
kirim yang sungguh-sungguh dan tepat untuk kita, Sis. Kita tidak pernah tahu,
bisa saja orang yang selama ini kita kagumi, yang selama ini kita hormati dan
banggakan, tiba-tiba mengetuk pintu rumah... Ups! (semoga si dia tidak baca
tulisan ini)
Ala kulli
hal, semoga kawan saya sore tadi, bisa segera move on dan full semangat untuk
hadapi imtihan, hadapi kehidupan. Nas-alullah laha attaufiq wannajah, fiddunya
wal akhirah…
Eits, ini kan
mau imtihan, sempat-sempatnya nulis beginian.
Plak!!!
Back to
muqarrar, Sis! *Doakan kami, kawan-kawan.
No comments:
Post a Comment