bismillah
Ada yang berbeda saat kami belajar bersama di rumah
seorang kawan di bilangan Darrasah. “Teteh” begitu keponakan pertama kawan saya
itu biasa dipanggil.
Diiringi polah tingkah batita (bawah tiga tahun) itu,
kami belajar. Menggelar buku-buku, malzamah dan laptop di lantai kamar. Sesekali
rasa ingin tahu “teteh” mendorongnya untuk “meng-operasi” tempat pensil juga
isi tas saya.
Sambil memasang mata awas, saya perhatikan peralatan
apa saja yang ia gunakan untuk bereksperimen. Mulai dari spidol whiteboard,
pena gel, sticky note sampai fawasil (pembatas halaman).
Setidaknya saya harus punya alasan kuat sekaligus
solusi ketika melarangnya menggunakan sesuatu. Spidol whiteboard misalnya,”Teteh,
spidol ini dipakai di papan tulis. Kalau kena tangan, tangan Teteh jadi hitam.
Pakai pulpen saja,ya.”
Saat ia bereksperimen dengan sticky note,”Teh, note ini
belum Ate (baca: Tante) pakai. Jadi bukan untuk ditempel-tempel. Disimpan ya,
Teteh pakai note yang lain.”
Begitu pula saat seluruh isi tempat pensil berserakan,
mau tak mau harus dengan dorongan persuasif.”Teh, masukin alat-alat ini ke
dalam,yuk!”
Agak memakan waktu memang. Tetapi menyampaikan alasan
yang tepat sesuai logika anak kecil pun bukan perkara remeh. Terbukti saat
kawan saya melarangnya membuka susu kemasan,”Jangan! Teteh nggak suka susu
putih!”. Olala… wajah Teteh membeku seketika. Dengan sorot tajam ia membatu. Bibirnya
terkatup sedikit monyong. Belum saya ajak bicara, ia pergi dengan langkah
kesal. Eh, ngambek. Karena bentakan tantenya tadi.
Kawan saya pun nyeletuk,”Anak kecil, nggak bisa
dimarahin.”
Saya benarkan dalam hati.
“Makanya,” lanjut kawan itu,”orang dewasa yang nggak
bisa dimarahin, seperti anak kecil.” Tegasnya.
Sedetik analogi kawan itu saya cerna. Benar juga.
Selanjutnya ia mensyarah,”Iya kan?” Retoris.
“Meskipun ada beberapa pengecualian. Tapi pada umumnya,
orang yang tidak mau dimarahi, tidak mau dibentak, tidak mau menghadapi hal
yang kasar dan sukar. Seperti layaknya anak kecil.”
“Benar juga.” Ungkap kawan lain. Saya juga mengamini.
Meski saya juga ikut tertohok.
Ada saat di mana kita-atau saya saja deh- tidak ingin mengahadapi suatu kesulitan,
bentakan, cacian. Bukan karena kehalusan hati dan jiwa, tapi ternyata karena
sifat kekanak-kanakan saya. Tidak ingin dan tidak mau menghadapi kondisi sulit
di depan mata.
Nasehat ini lebih ingin saya tujukan untuk pribadi
sendiri. Bahwa kalimat “Aku tuh orangnya nggak bisa dibentak.” dan yang
sejenisnya, masih perlu diselidiki. Apakah itu lahir dari hati yang murni. Atau
karena sifat kekanakan yang tak kunjung beranjak pergi.
Usia kita sejalan dengan waktu. Tidak ada kata untuk
mundur maupun diam di tempat. Menjadi dewasa adalah tuntutan, dan bagi sebagian
adalah keniscayaan. Problematika yang kita hadapi pun semakin beragam dengan
level yang terus beranjak naik. Itu keniscayaan. Itu tuntutan. Dan –tentu saja-
harus dihadapi. Saya pikir, hal demikian adalah konsekuensi dari kedewasaan. Tantangan
kita bukan semata menggapai apa yang kita inginkan, namun benalu dan
permasalahan di sekitar juga harus dilewati, dipikirkan, dicari solusinya,
diselesaikan.
Bukan kabur.
Uushikum wa iyyaya…
Madinatul Buus Al Islamiyah, Abbasea, Cairo
22:33
No comments:
Post a Comment