Monday 11 May 2015

Belajar dari Teteh

bismillah
Ada yang berbeda saat kami belajar bersama di rumah seorang kawan di bilangan Darrasah. “Teteh” begitu keponakan pertama kawan saya itu biasa dipanggil.
Diiringi polah tingkah batita (bawah tiga tahun) itu, kami belajar. Menggelar buku-buku, malzamah dan laptop di lantai kamar. Sesekali rasa ingin tahu “teteh” mendorongnya untuk “meng-operasi” tempat pensil juga isi tas saya.
Sambil memasang mata awas, saya perhatikan peralatan apa saja yang ia gunakan untuk bereksperimen. Mulai dari spidol whiteboard, pena gel, sticky note sampai fawasil (pembatas halaman).
Setidaknya saya harus punya alasan kuat sekaligus solusi ketika melarangnya menggunakan sesuatu. Spidol whiteboard misalnya,”Teteh, spidol ini dipakai di papan tulis. Kalau kena tangan, tangan Teteh jadi hitam. Pakai pulpen saja,ya.”
Saat ia bereksperimen dengan sticky note,”Teh, note ini belum Ate (baca: Tante) pakai. Jadi bukan untuk ditempel-tempel. Disimpan ya, Teteh pakai note yang lain.”
Begitu pula saat seluruh isi tempat pensil berserakan, mau tak mau harus dengan dorongan persuasif.”Teh, masukin alat-alat ini ke dalam,yuk!”
Agak memakan waktu memang. Tetapi menyampaikan alasan yang tepat sesuai logika anak kecil pun bukan perkara remeh. Terbukti saat kawan saya melarangnya membuka susu kemasan,”Jangan! Teteh nggak suka susu putih!”. Olala… wajah Teteh membeku seketika. Dengan sorot tajam ia membatu. Bibirnya terkatup sedikit monyong. Belum saya ajak bicara, ia pergi dengan langkah kesal. Eh, ngambek. Karena bentakan tantenya tadi.
Kawan saya pun nyeletuk,”Anak kecil, nggak bisa dimarahin.”
Saya benarkan dalam hati.
“Makanya,” lanjut kawan itu,”orang dewasa yang nggak bisa dimarahin, seperti anak kecil.” Tegasnya.
Sedetik analogi kawan itu saya cerna. Benar juga.
Selanjutnya ia mensyarah,”Iya kan?” Retoris.
“Meskipun ada beberapa pengecualian. Tapi pada umumnya, orang yang tidak mau dimarahi, tidak mau dibentak, tidak mau menghadapi hal yang kasar dan sukar. Seperti layaknya anak kecil.”
“Benar juga.” Ungkap kawan lain. Saya juga mengamini. Meski saya juga ikut tertohok.
Ada saat di mana kita-atau saya saja deh-  tidak ingin mengahadapi suatu kesulitan, bentakan, cacian. Bukan karena kehalusan hati dan jiwa, tapi ternyata karena sifat kekanak-kanakan saya. Tidak ingin dan tidak mau menghadapi kondisi sulit di depan mata.
Nasehat ini lebih ingin saya tujukan untuk pribadi sendiri. Bahwa kalimat “Aku tuh orangnya nggak bisa dibentak.” dan yang sejenisnya, masih perlu diselidiki. Apakah itu lahir dari hati yang murni. Atau karena sifat kekanakan yang tak kunjung beranjak pergi.
Usia kita sejalan dengan waktu. Tidak ada kata untuk mundur maupun diam di tempat. Menjadi dewasa adalah tuntutan, dan bagi sebagian adalah keniscayaan. Problematika yang kita hadapi pun semakin beragam dengan level yang terus beranjak naik. Itu keniscayaan. Itu tuntutan. Dan –tentu saja- harus dihadapi. Saya pikir, hal demikian adalah konsekuensi dari kedewasaan. Tantangan kita bukan semata menggapai apa yang kita inginkan, namun benalu dan permasalahan di sekitar juga harus dilewati, dipikirkan, dicari solusinya, diselesaikan.

Bukan kabur.


Uushikum wa iyyaya…


Madinatul Buus Al Islamiyah, Abbasea, Cairo
22:33

No comments:

Post a Comment