Wednesday 6 May 2015

Editor Kecil dan Fisika

bismillah


Editor kecil.

Sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Abi seringkali meminta saya menjadi asisten alias sekretarisnya. Terlebih pasca ujiaperubahan gaya gan berartin SLTPN, juga saat LKS buatannya melewati fase pengeditan.

Pasca ujian, dengan dalih “Ow, tulisan kamu sudah seperti tulisan orang dewasa.” Akhirnya saya yang bertugas menulis puluhan rapor siswa-siswi Abi. Mulai dari rata kiri, rata kanan, semua manual dan penuh pengarahan. Sekali tangan menulis, artinya harus selesaikan semua. Karena perpindahan tangan berarti perubahan gaya tulisan. Jadilah saya penulis rapor Abi. Apa rewardnya? Bolpoin.

Iya, bolpoin snowman yang telah digunakan untuk menulis rapor, dihitung sebagai “kompensasi” atas ketelitian saya. Bangga? Iya dong. Terlebih saat tahu bahwa kerapian tulisan dua saudara laki-laki saya benar-benar tak bisa diharapkan. :D

Saya juga menjadi editor Abi ketika LKS (Lembar Kerja Siswa) yang disusunnya telah diketik rapi. Mulai dari Mata Pelajaran Biologi, Fisika hingga Kimia, saya yang edit. Karena saat itu saya masih SD, sedang tulisan yang saya edit merupakan materi siswa SLTP, saya edit semampu saya. Huruf capital, kesalahan-kesalahan teks, keteraturan susunan soal multiple choise, hal itu saja. Soal Bahasa ilmiyah, Abi yang tangani.

Kadang bangga, kadang sebal juga. Karena waktu bermain saya jadi berkurang. Tapi ini resiko anak perempuan yang kerjanya rapi :p

Kalau ingat masa-masa itu, rasanya haru. Lintasan masa kecil selalu beraroma nostalgik yang hm… membahagiakan dan penuh kerinduan. Baru akhir-akhir ini saya sadari, ternyata sebelum saya jadi editor (amatiran) di Terobosan, lebih dari satu dasawarsa lalu, saya telah jadi editor kecil Abi. Yeah!

Meski tidak terlalu dualem menguasai EYD, modal saya hanya teliti, kritis, berani dan ….sok tahu. Hehe. Rasa-rasanya perpaduan itu semua seringkali membuat orang lain terlalu percaya pada saya. Percaya saya bisa, saya mampu, dan menguasai suatu persoalan. Ups… padahal aslinya sih, begini-begini saja.

Ngomong-ngomong soal edit-mengedit. Meski kadang saya sebal karena jadi editor Abi-waktu itu-, tapi saya benar-benar merasa bersalah pernah sebal dengan kerjaan edit-mengedit itu. Tepatnya saat saya kelas VII MTs, sudah mondok.
Ceritanya, saat pelajaran Fisika, guru saya Ustadz Rosyid bertanya pada seisi kelas. Tentang volume dan cara mengukur satuannya. “Volume balok dapat diketahui dengan mengalikan panjang, lebar dan tingginya. Bagaimana dengan… batu. ia tidak memiliki tinggi, lebar dan panjang yang teratur seperti balok. Bagaimana kita mengukur volume-nya?”

Kelas hening.

Tidak seorangpun menyahut.

Akhirnya ada santriwati angkat suara. Tapi berakhir dengan gelengan kepala Ustadz Rosyid.

Entah ilham itu turun dari mana. Tiba-tiba saya angkat tangan.

“Ya, Ainun.” Tunjuk Ustadz yang selalu terlihat kalem itu.

Spontan saja benak saya memutar pola dan gambar-gambar di kertas LKS Abi yang pernah saya edit. Saya tidak pernah mencoba memahami apa yang say abaca, karena focus saya hanya pada teks-teks yang salah. Tapi gambar-gambar peraga di atas kertas itu seperti bercerita dan tersusun kembali di kepala.

Bukan saya mengatakan apa yang pernah saya baca. Tapi lewat gambar-gambar itu saya terinspirasi untuk membuat jawaban sendiri.

“Kita ambil wadah, lalu kita isi air sampai penuh,”
Ustadz Rasyid mengangguk-angguk seolah ingin segera saya selesaikan jawaban.
“Lalu, masukkan batu itu ke sana, Ustadz.”
“Lalu, Nun?” Tanya beliau. Kedua matanya semakin berbinar. Mungkin hanya saya yang merasakan. Cie…

“M… ya air yang tumpah, itu volumenya, Ustadz.” Saya berhenti menjawab.
Ustadz Rasyid menepuk tangan sekali. Menunjuk ke arah saya, dan tanpa kata ia buka pintu kelas.



Telunjuknya mengarah keluar kelas. Oh, tidak!

“Yah…” ujarnya dengan nada kecewa.

“Andai saja..” katanya,”andai saja kantin sudah buka, saya akan belikan makanan apa saja yang kamu mau.”

Seisi kelas gaduh.
Dikiranya saya siswi yang rajin dan jenius di kelas.
Ustadz Rasyid tersenyum bangga.

Saya senyum-senyum saja. Untung saja kawan-kawan saya tidak tahu, bahwa jauh-jauh lalu saya sering mengedit LKS Fisika Abi pada pembahasan yang sama.

Di tambah, pada pekan berikutnya. Seluruh santriwati kelas VII akan ulangan. Kecuali di kelas saya. Karena guru di kelas kami berbeda dengan kelas lainnya. Hanya Ustadz Rasyid yang tidak mengadakan ulangan.

Karena kawan-kawan sekamar saya-yang berbeda kelas- belajar Fisika, saya ikut mereka belajar.

Dan tahukah apa yang terjadi esoknya? Ulangan Fisika!

Ustadz Rasyid bilang,”Ini ulangan mendadak.” Seisi kelas protes. Untung semalam saya ikut belajar dengan teman-teman kamar.

Eng…ing…eng…

Selesai ulangan, Ustadz Rasyid tersenyum melihat hasil ulangan saya. Hoho.. ternyata. Tak seorang pun di kelas yang mendapat nilai 60. Sedangkan saya sendiri… 100! (secara… semalam saya kan belajar. Yang lain tidak.)

Tambahlah kelas dibuat heran. Dikira saya ini santriwati yang rajin dan jenius. Andai saja mereka tahu bahwa semalam saya belajar bersama kawan-kawan kamar. lol

Hwe… ceritanya sedikit nyasar. Tak apa lah. Sedikit nostalgia dengan masa-masa menjelang remaja.

Smoga cerita saya memberi manfaat ^_^.

Dan… selamat ujian. Semangat, Nuuuun!


PMIK, Rabea el Adawea, Cairo
Di Ujung senja


















No comments:

Post a Comment