Monday 27 July 2020

Diary Petugas Haji: Menangani Jamaah Pertama

Bismillahirrahmanirrahim


Sebelum jamaah haji tiba, sebagai orang yang baru pertama kali tiba di kota Mekkah, saya dibayangi rasa was-was. Jika untuk diri sendiri saja masih belum menguasai area Masjidil Haram yang sangat luas itu, bagaimana nantinya saya melaksanakan tugas; melayani, melindungi dan membimbing para jamaah haji?
Namun semua petugas “senior” yang pernah bertugas sebelumnya, selalu memiliki jawaban yang sama,”Nanti kalau sudah terjun di lapangan juga tahu sendiri, Mbak”. Dan saya hanya bisa nyengir untuk merespos jawaban semacam ini.

Petugas Haji Mengarahkan Jamaah


Saat belum ada jamaah yang datang, saya sudah melaksanakan umroh untuk haji Tamattu. Dari situ saya benar-benar memahami kenapa jamaah tersesat itu hal biasa. Pertama kali saya umroh, bahkan untuk mencari “pilar hijau” tanda permulaan tawaf saja, saya kebingungan. Saya sempat salah mengira bahwa Rukun Yamani adalah Hajar Aswad. Bagaimana dengan jamaah yang sudah sepuh dan terpisah rombongan? Hm…

Jamaah Pertama
Hari pertama bertugas dalam area Masjidil Haram, saya dapat tugas selama 12 jam untuk stand by di pos-pos tertentu dalam area Masjid. Sudah menjelang selesai bertugas, seorang petugas wanita dari unsur Polisi membawa seorang jamaah laki-laki yang masih muda. Saya perkirakan berumur 40an tahun. Ia mendatangi kami yang berjaga di pos Marwa sembari memberi isyarat mata, bahwa jamaah tersebut mentalnya terganggu.
Walau sudah pernah diberitahu bahwa kemungkinan adanya jamaah haji yang “disorientasi” itu ada, dan bagi yang bertugas di Sektor Masjidil Haram, pasti pernah menghadapinya. Namun saya agak terkejut, karena jamaah haji yang satu ini terbilang cukup muda. Biasanya gangguan mental ataupun disorientasi lebih banyak dialami jamaah haji yang sudah sepuh.
Dari penjelasan petugas tadi, ternyata jamaah tersebut terpisah rombongan, tersesat, sedikit mengalami gangguan mental dan juga memiliki riwayat jantung serta -ia sudah tawaf namun belum melaksanakan Sa’i!
Mas'aa lantai 2 saat sepi jamaah
Saya pun menawarkan diri untuk membantu sang jamaah untuk Sa’i, karena itu memang bagian dari tugas kami sebagai petugas haji. Saya berjalan bersama jamaah tersebut menuju area mas’aa. Sembari saya ajak berkomunikasi, dan mengedukasi seputar tata cara dan tuntunan melaksanakan sa’i.
“Bapak sanggup Sa’I sendiri kan ya ,Pak. Saya tunggu di sini ya (bukit Marwa)” Ujar saya.
Bapak itu tersenyum sembari dua matanya menyipit,”Jangan, Mbak. Saya ada sakit jantung nih”.
Akhirnya saya temani Bapak itu melaksanakan Sa’i. Karena kami masuk dari bukit Marwa, artinya Sa’I baru dimulai setelah kami sampai di bukit Safa. Lumayan lah jaraknya, 450 meter. Kalau plus Sa’i, total 3,5 KM. huhu
Inilah kenapa muncul anekdot di antara para petugas Seksus (Sektor Khusus) Masjidil Haram, “Andai ada namanya {Sa’i Sunnah} sebagaimana tawaf sunnah”. Itu karena seringnya kami terpaksa ikut Sa’i ketika jamaah ingin ditemani. Padahal sekali Sa’I, dengan jalan normal, tanpa istirahat, bisa makan waktu 30 menit-an.
Pintu Keluar Marwa lantai 1, titik poin jamaah selesai Sa'i

Masalah Rumah Tangga
Sembari berjalan menuju Safa, saya ajak mengobrol. Ternyata beliau orang Aceh, istrinya orang Bekasi. Sudah lama menetap di Bekasi. Saya pun bilang, “Oh, suami lon ureng Aceh. Lon Ureung Solo”. Beliau pun ajak saya bicara bahasa Aceh. Dan saya hanya bisa tersenyum sambil bilang,”Lon hanjeut basa Aceh.” Saya nggak bisa bahasa Aceh.
Bapak itu bercerita pada saya, bahwa ia sedang ada masalah rumah tangga. Saat ini ia dan istrinya sedang tidak akur dan berencana untuk cerai. Ia bercerita panjang lebar soal rasa kesalnya dengan sang istri. Lah… malah curhat! Saya hanya menanggapi, “sabar ya, Pak, semoga masalahnya tuntas.”
Setelah beberapa kali bolak balik Safa Marwa, ia nampak menguasai area Mas’aa. “Bapak, Sa’I sendiri sanggup ya pak, saya tunggu di Marwa. Kalau sudah selesai nanti tahalul.”. Alhamdulillah beliau mau Sa’i sendiri.
Saat itu, tiba-tiba seorang jamaah wanita Indonesia mendekati kami, tiba-tiba ia merangkul Bapak tersebut, setelah melihat saya yang berseragam petugas, ia pun menertawakan Bapak itu. “Haha.. kamu nyasar ya…”.
Saya sedikit terhenyak. Mungkinkah itu istri dari jamaah yang saya bimbing sa’i?
“Bu, Bapaknya belum selesai Sa’I, baru 3 kali.” Kata saya.
“Oh, Ya. Lanjut dulu Sa’I nya ya…”
Tak lama berselang, beberapa jamaah mendatangi saya. Setelah bapak itu melanjutkan Sa’I sendiri, beberapa jamaah laki-laki dan perempuan yang ternyata satu rombongan dengan Bapak itu bilang,”Bapak tadi suaminya Ibu itu,” sembari menunjuk jamaah wanita yang tadi menertawakan sang Bapak. “Orangnya agak sakit (mental) memang, tadi terpisah rombongan kami.”
Sembari menunggu Bapak tadi selesai Sa’i, saya mencoba mencerna apa yang terjadi. Justru seperti ada rasa bersalah telah mempertemukan Bapak itu dengan rombongan. Karena rupanya sang Istri ada dalam rombongan tersebut. Sebelumnya saya kira Istrinya tidak ikut Haji. Dan melihat respon sang istri ketika tahu suaminya tersesat, justru ditertawakan. Hmm…
Akhirnya Bapak itu selesai melaksanakan Sa’I dan Tahalul, alhamdulillah rombongannya pun mau menunggunya sehingga bisa pulang ke hotel dengan rombongan utuh seperti semula.
Jamaah Haji Indonesia keluar dari pintu Marwa Lantai 1
Saya dan rombongan itu akhirnya keluar dari pintu Marwa. Masing-masing mengeluarkan sandal maupun sepatu yang dibawa. Bapak itu tiba-tiba mendekati saya, tangannya terulur mencoba memberikan sesuatu untuk saya. Dalam genggamannya ada beberapa lembar Rupiah berwarna biru yang sengaja dilipat.
“Oh, nggak perlu, Pak. Ini sudah tugas saya.” Saya mencoba menolak secara halus.
Jamaah lain ikut berkomentar,”Nggak apa, Mbak, ambil saja.”
“Saya sudah ada yang gaji loh, Pak. Nggak perlu, buat infaq ke yang lain saja.” Saya keukeuh menolak.
Akhirnya ia mengembalikan Rupiah itu ke sakunya, sambil berjalan menuju terminal Ajyad, rombongan itu pamit dan berterima kasih pada saya.
Dalam hati saya berdoa agar Bapak itu lekas sembuh dan permasalahan rumah tangganya terselesaikan.
Amin.

*Mengenang Musim Haji 1440 H / 2019 M

No comments:

Post a Comment