bismillah
Impian yang Mustahil
Sekitar tahun 2010, mendekati
kelulusan setingkat SMA di Pesantren. Saya mencoba menulis impian-impian yang
ingin dicapai. Ada semacam quote dari salah seorang Ustadz yang cukup menggugah
pola piker saya. Dirimu saat ini (apa yang kamu lakukan, kerjakan, usahakan)
adalah dirimu yang ini juga pada sepuluh tahun lagi. Saya pun mengambil
kesimpulan bahwa semangat saya saat itu, -jika terus konsisten- akan terwujud
di masa depan.
Musim Haji 2019 M |
Ada beberapa impian yang cukup konyol
saya tulis, salah satunya adalah impian untuk pergi ke Dufan. Hehe. Namun ada
beberapa impian yang -dalam pertimbangan saya saat itu- amat sangat mustahil;
salah satunya, Haji sebelum umur 30 tahun. Saya tidak ingin berhaji saat fisik telah lemah dan jadi nenek-nenek.
Ternyata impian yang sangat
mustahil dalam benak saya sepuluh tahun lalu itu, terwujud Sembilan tahun
berikutnya!
Allah memberi jalan yang tiada
pernah saya sangka. Usia saya 27 tahun pada 2019. Saya sudah menikah dan
memiliki seorang putri berusia 2,5 tahun kala itu. Beberapa malam sebelum
pemilihan tenaga musim Haji mahasiswi Indonesia di Mesir, saya terus bermimpi,
mimpi berdiri di pelataran Masjidil Haram sembari melihat Ka’bah!
Ternyata impian saya, Allah SWT
kabulkan Sembilan tahun kemudian. Tak hanya itu, tak hanya sekadar menunaikan
rukun Islam yang kelima, namun ada sebuah rasa yang semakin menggebu ketika
saya tak sekedar mendapatkan kesempatan yang -bagi banyak Ummat Islam- harus
bertahun-tahun menunggunya. Iya, tak hanya untuk diri sendiri, saya menjadi
khadim (pembantu) jamaah Haji!
Sungguh, dua hal itu adalah
kemuliaan yang sungguh sulit untuk diabaikan; Haji sekaligus membantu orang
yang berHaji!
Menjadi Bagian Sektor Khusus
Masjidil Haram
Pertama kali mengetahui bahwa
saya di tempatkan di Sektor Khusus Masjidil Haram, tidak ada rasa khawatir.
Namun semakin kawan-kawan mahasiswa Temus yang membicarakan, terasa itu adalah
pekerjaan yang berat.
Saat Sepi Jamaah, bisa berfoto ria |
Namun begitu bergelut pada fakta
di lapangan, saya memiliki sebuah kesimpulan; berat atau ringan itu relatif.
Benar bahwa baru pada Tahun 2019
lalu, -musim Haji sebelum adanya pandemi Covid-19 yang amat patut saya syukuri
telah diberi kesempatan sebelum musibah itu datang- ada penambahan petugas
wanita dalam sektor Khusus Masjidil Haram. Namun yang cukup berbeda pada sector
khusus ini, dibanding sector-sektor lain, adalah komposisi petugas yang terdiri
dari unsur TNI, Polri, Tenaga Medis dan Mahasiswa maupun mukimin Saudi.
Hal itu karena memang tugas di
lapangan, banyak menuntut pekerjaan fisik dibandingkan lainnya. Jadi bias
dibayangkan, saya yang bertubuh mungil ini tenggelam saat harus berjejer dengan
unsur lain. Hehe.
Sisi Kanan, bangunan baru King Abdullah yang dibuka saat musim Haji |
Jadi, berdasarkan kisah-kisah
mereka yang pernah Temus sebelumnya, menjadi petugas Haji di Sektor Khusus
Masjidil Haram adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan sangat melelahkan.
Kalua mau jujur, memang jika diukur secara fisik, memang berat. Kami harus
menguasai seluruh area Masjid (jangan dibayangkan seperti saat umroh, karena
saat musim Haji, bangunan baru King Abdullah yang memiliki terowongan ke arah
Jarwal, sepenuhnya dibuka), belum lagi jarak antar terminal -di mana jamaah
sering salah terminal- cukup jauh, belum lagi jika jamaahnya butuh didorong
karena memakai kursi roda, dan banyak hal lain yang menuntut kekuatan fisik
untuk melayani jamaah Haji.
Setelah merasakan langsung
bekerja, menjadi khadim di Aera Masjidil Haram, saya memahami beberapa petugas
lain yang mengeluh kecapekan, kelelahan. Namun anehnya, saya tidak merasakan
hal itu sama sekali. Memang ada rasa capek secara fisik. Namun seperti ada
energi lain yang membangkitkan semangat saya untuk terus berkhidmah dalam area
Masjidil Haram. Iya, jujur, saya tidak ada rasa mengeluh atau bahkan menyesal,
telah ditugaskan di area Masjidil Haram.
Karena sungguh kenikmatan tiada
tara, Allah SWT beri kesempatan untuk senantiasa berjumpa dengan masjidil Haram
setiap hari, selama kurang lebih 2 bulan lamanya!
Jamaah Haji dan Kota Mekkah
Kota Mekkah adalah titik poin
yang cukup krusial saat musim haji. Terlebih pada area Masjidil Haram, di mana
saat prosesi inti ibadah haji, seluruh jamaah haji tumpah ruah menjadi satu. Di
satu tempat, satu waktu.
Dan dalam kepadatan prosesi
ibadah Haji, area Masjidil Haram adalah area yang sangat memungkinkan bagi
mayoritas jamaah Haji untuk kelelahan, terpisah rombongan dan tersesat saat
tawaf Ifadhoh, setelah Armuzna .
Oleh karena itu ada tim Khusus
yang “berlari” alias nonstop bertugas di Area Masjidil Haram pada hari-hari
puncak prosesi ibadah haji. Tim itu disebut “Tim Haramain”, dan saya termasuk
di dalamnya.
Mengedukasi Jamaah haji |
Armuzna
Saat jamaah haji bertolak ke
Arafah, Tim Haramain adalah petugas Haji “terakhir” yang menyapu bersih area
Masjidil Haram, memastikan tidak ada jamaah haji yang tercecer maupun
tertinggal rombongan menuju padang Arafah.
Baru setelah itu, kami menyusul
ke Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian, tim kami adalah petugas haji yang
harus stand by pertama, menyambut jamaah haji yang telah bertolak dari Armuzna.
Kami diharuskan menjadi orang Indonesia yang terakhir meninggalkan Masjidil
Haram sebelum Armuzna, dan menjadi orang Indonesia yang pertama kali sampai
Masjidil Haram selepas Armuzna.
Karenanya, selepas Wukuf di
Padang Arafah, kami langsung di antar bus khusus menuju Muzdalifah, di saat
jamaah Haji melakukan mabit, kami harus langsung berjalan kaki menuju mina,
dari Mina melalui beberapa terowongan hingga menuju Jamarat. Sampai Jamarat
kurang lebih tengah malam.
Segera setelah itu, sambal
berjalan cepat, kami berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Sesampai masjidil
Haram, lalu Tawaf Ifadhah dan Sai. Saya selesai sa’I qabla subuh. Jadi, sejak
Maghrib selepas wukuf hingga pagi hari Idul Adha, saya terus berjalan dan tidak
tidur.
Selepas sholat Id, di masjidil
Haram, ternyata tim kami sudah menemukan beberapa jamaah yang tersesat.
Karena tidak ada transportasi
umum maupun bus “Solawat”, dan jalanan macet, serta harga taksi yang melambung
tinggi, kami antarkan jamaah yang tersesat, menuju Kantor Daker Mekkah.
Kondisi jalanan yang macet
mengharuskan kami mencari kursi roda bagi jamaah-jamaah tersebut, kemudian
berjalan kaki dan mendorong melalui beberapa turunan tajam.
Selesai mengantar beberapa Jamaah
Haji tersebut, kami pun tidak punya pilihan kecuali berjalan kaki menuju hotel
kami. Adapun Taksi, bila harga normal 15 Reyal, maka di puncak musim haji
menjadi 300 Reyal, saking macetnya jalanan.
Sesampai hotel, jam menunjukkan
pukul 11.55 siang. Tim kami yang kelelahan, karena belum istirahat sejak Wukuf
di Arafah sepakat untuk memejamkan mata. Namun 5 menit kemudian sebuah pesan
masuk: Kepada Tim Haramain, sudah pukul 12.00 siang, saatnya bertugas di Masjidil
Haram.
لا حول
ولا قوة إلا بالله
Ziarah Masjid Nabawi |
*Mengenang Musim Haji 1440 H/2019 M
No comments:
Post a Comment