Sunday 26 July 2020

PENGALAMAN JADI PETUGAS HAJI

bismillah


Impian yang Mustahil

Sekitar tahun 2010, mendekati kelulusan setingkat SMA di Pesantren. Saya mencoba menulis impian-impian yang ingin dicapai. Ada semacam quote dari salah seorang Ustadz yang cukup menggugah pola piker saya. Dirimu saat ini (apa yang kamu lakukan, kerjakan, usahakan) adalah dirimu yang ini juga pada sepuluh tahun lagi. Saya pun mengambil kesimpulan bahwa semangat saya saat itu, -jika terus konsisten- akan terwujud di masa depan.
Musim Haji 2019 M
Ada beberapa impian yang cukup konyol saya tulis, salah satunya adalah impian untuk pergi ke Dufan. Hehe. Namun ada beberapa impian yang -dalam pertimbangan saya saat itu- amat sangat mustahil; salah satunya, Haji sebelum umur 30 tahun. Saya tidak ingin berhaji saat fisik telah lemah dan jadi nenek-nenek.
Ternyata impian yang sangat mustahil dalam benak saya sepuluh tahun lalu itu, terwujud Sembilan tahun berikutnya!
Allah memberi jalan yang tiada pernah saya sangka. Usia saya 27 tahun pada 2019. Saya sudah menikah dan memiliki seorang putri berusia 2,5 tahun kala itu. Beberapa malam sebelum pemilihan tenaga musim Haji mahasiswi Indonesia di Mesir, saya terus bermimpi, mimpi berdiri di pelataran Masjidil Haram sembari melihat Ka’bah!
Ternyata impian saya, Allah SWT kabulkan Sembilan tahun kemudian. Tak hanya itu, tak hanya sekadar menunaikan rukun Islam yang kelima, namun ada sebuah rasa yang semakin menggebu ketika saya tak sekedar mendapatkan kesempatan yang -bagi banyak Ummat Islam- harus bertahun-tahun menunggunya. Iya, tak hanya untuk diri sendiri, saya menjadi khadim (pembantu) jamaah Haji!
Sungguh, dua hal itu adalah kemuliaan yang sungguh sulit untuk diabaikan; Haji sekaligus membantu orang yang berHaji!

Menjadi Bagian Sektor Khusus Masjidil Haram
Pertama kali mengetahui bahwa saya di tempatkan di Sektor Khusus Masjidil Haram, tidak ada rasa khawatir. Namun semakin kawan-kawan mahasiswa Temus yang membicarakan, terasa itu adalah pekerjaan yang berat.

Saat Sepi Jamaah, bisa berfoto ria



Namun begitu bergelut pada fakta di lapangan, saya memiliki sebuah kesimpulan; berat atau ringan itu relatif.
Benar bahwa baru pada Tahun 2019 lalu, -musim Haji sebelum adanya pandemi Covid-19 yang amat patut saya syukuri telah diberi kesempatan sebelum musibah itu datang- ada penambahan petugas wanita dalam sektor Khusus Masjidil Haram. Namun yang cukup berbeda pada sector khusus ini, dibanding sector-sektor lain, adalah komposisi petugas yang terdiri dari unsur TNI, Polri, Tenaga Medis dan Mahasiswa maupun mukimin Saudi.
Hal itu karena memang tugas di lapangan, banyak menuntut pekerjaan fisik dibandingkan lainnya. Jadi bias dibayangkan, saya yang bertubuh mungil ini tenggelam saat harus berjejer dengan unsur lain. Hehe.

Sisi Kanan, bangunan baru King Abdullah yang dibuka saat musim Haji


Jadi, berdasarkan kisah-kisah mereka yang pernah Temus sebelumnya, menjadi petugas Haji di Sektor Khusus Masjidil Haram adalah pekerjaan yang menguras tenaga dan sangat melelahkan. Kalua mau jujur, memang jika diukur secara fisik, memang berat. Kami harus menguasai seluruh area Masjid (jangan dibayangkan seperti saat umroh, karena saat musim Haji, bangunan baru King Abdullah yang memiliki terowongan ke arah Jarwal, sepenuhnya dibuka), belum lagi jarak antar terminal -di mana jamaah sering salah terminal- cukup jauh, belum lagi jika jamaahnya butuh didorong karena memakai kursi roda, dan banyak hal lain yang menuntut kekuatan fisik untuk melayani jamaah Haji.
Setelah merasakan langsung bekerja, menjadi khadim di Aera Masjidil Haram, saya memahami beberapa petugas lain yang mengeluh kecapekan, kelelahan. Namun anehnya, saya tidak merasakan hal itu sama sekali. Memang ada rasa capek secara fisik. Namun seperti ada energi lain yang membangkitkan semangat saya untuk terus berkhidmah dalam area Masjidil Haram. Iya, jujur, saya tidak ada rasa mengeluh atau bahkan menyesal, telah ditugaskan di area Masjidil Haram.
Karena sungguh kenikmatan tiada tara, Allah SWT beri kesempatan untuk senantiasa berjumpa dengan masjidil Haram setiap hari, selama kurang lebih 2 bulan lamanya!

Jamaah Haji dan Kota Mekkah
Kota Mekkah adalah titik poin yang cukup krusial saat musim haji. Terlebih pada area Masjidil Haram, di mana saat prosesi inti ibadah haji, seluruh jamaah haji tumpah ruah menjadi satu. Di satu tempat, satu waktu.
Dan dalam kepadatan prosesi ibadah Haji, area Masjidil Haram adalah area yang sangat memungkinkan bagi mayoritas jamaah Haji untuk kelelahan, terpisah rombongan dan tersesat saat tawaf Ifadhoh, setelah Armuzna .
Oleh karena itu ada tim Khusus yang “berlari” alias nonstop bertugas di Area Masjidil Haram pada hari-hari puncak prosesi ibadah haji. Tim itu disebut “Tim Haramain”, dan saya termasuk di dalamnya.
Mengedukasi Jamaah haji



Armuzna
Saat jamaah haji bertolak ke Arafah, Tim Haramain adalah petugas Haji “terakhir” yang menyapu bersih area Masjidil Haram, memastikan tidak ada jamaah haji yang tercecer maupun tertinggal rombongan menuju padang Arafah.
Baru setelah itu, kami menyusul ke Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian, tim kami adalah petugas haji yang harus stand by pertama, menyambut jamaah haji yang telah bertolak dari Armuzna. Kami diharuskan menjadi orang Indonesia yang terakhir meninggalkan Masjidil Haram sebelum Armuzna, dan menjadi orang Indonesia yang pertama kali sampai Masjidil Haram selepas Armuzna.
Karenanya, selepas Wukuf di Padang Arafah, kami langsung di antar bus khusus menuju Muzdalifah, di saat jamaah Haji melakukan mabit, kami harus langsung berjalan kaki menuju mina, dari Mina melalui beberapa terowongan hingga menuju Jamarat. Sampai Jamarat kurang lebih tengah malam.
Segera setelah itu, sambal berjalan cepat, kami berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Sesampai masjidil Haram, lalu Tawaf Ifadhah dan Sai. Saya selesai sa’I qabla subuh. Jadi, sejak Maghrib selepas wukuf hingga pagi hari Idul Adha, saya terus berjalan dan tidak tidur.
Selepas sholat Id, di masjidil Haram, ternyata tim kami sudah menemukan beberapa jamaah yang tersesat.
Karena tidak ada transportasi umum maupun bus “Solawat”, dan jalanan macet, serta harga taksi yang melambung tinggi, kami antarkan jamaah yang tersesat, menuju Kantor Daker Mekkah.
Kondisi jalanan yang macet mengharuskan kami mencari kursi roda bagi jamaah-jamaah tersebut, kemudian berjalan kaki dan mendorong melalui beberapa turunan tajam.
Selesai mengantar beberapa Jamaah Haji tersebut, kami pun tidak punya pilihan kecuali berjalan kaki menuju hotel kami. Adapun Taksi, bila harga normal 15 Reyal, maka di puncak musim haji menjadi 300 Reyal, saking macetnya jalanan.
Sesampai hotel, jam menunjukkan pukul 11.55 siang. Tim kami yang kelelahan, karena belum istirahat sejak Wukuf di Arafah sepakat untuk memejamkan mata. Namun 5 menit kemudian sebuah pesan masuk: Kepada Tim Haramain, sudah pukul 12.00 siang, saatnya bertugas di Masjidil Haram.
لا حول ولا قوة إلا بالله


Ziarah Masjid Nabawi



*Mengenang Musim Haji 1440 H/2019 M

No comments:

Post a Comment