Thursday 3 May 2012

KERUDUNG KECIL ITU bukan PILIHAN

bismillah

Tentang pakaian yang menjadi pelindung sekaligus identitas muslimah. Juga secara langsung menjadi kewajiban yang harus ditunaikan. Melihat sejumlah dalil qoth’i. pasti. Aksiomatis. Yang menunjukkan akan wajibnya berpakaian sesuai tuntutan syar’i.
Saya ingin menyitir satu ayat dalam surat Al Ahzab:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
“59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Terlepas dari keragaman interpretasi ulama mengenai ayat tersebut, khususnya dalam kata “jilbab”, saya ingin menitik beratkan mengenai salah satu tujuan perintah wajibnya berjilbab secara syar’i.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, beliau menceritakan tentang kebiasaan orang fasiq zaman Rasululloh yang membedakan antara budak dan wanita merdeka, dengan pakaian yang mereka kenakan. Jika seorang wanita keluar pada malam hari –biasanya untuk menunaikan hajat, dan memakai jilbab, berarti ia wanita merdeka. Sedang jika keluar tanpa memakainya, ia adalah budak. Sehingga mudah saja untuk mengganggunya.
Yang membuat saya untuk sedikit menyentuh ayat tersebut adalah kejadian yang dialami oleh salah seorang kawan asrama saya.
Ya, malam itu, sekitar pukul 8 malam waktu Cairo. Saya dan dua orang teman asrama pergi berbelanja kebutuhan harian ke sebuah minimarket di bilangan Ahmad Said. Ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit.
Semua aman dan berjalan lancar, seperti biasanya. Hingga ketika berjalan pulang, melewati trotoar lebar dengan jumlah pejalan kaki yang bisa dibilang biasa saja. Sepi tidak, ramai juga tidak. Seorang anak kecil, dengan postur tubuh sedikit lebih tinggi dari kami bertiga, yang kutaksir seumuran anak kelas 1 SMP. Maklum, anak Arab kan besar-besar. Bocah itu berlari dari arah depan kami, aku masih ingat ia memakai kacamata dan kaos bola dan bercelana abu-abu selutut. Naas, seorang kawan yang berjalan paling pinggir di antara kami, tiba-tiba terdiam saat bocah itu berlari lewat sampingnya.
Aku yang masih memasang beberapa praduga langsung bertanya “mengapa” atas wajahnya yang secara drastis berubah pucat pasi. Ia memegang kerudung kaos bagian depan dada dengan dua tangan menyilang. Gemetar.
Aku menyadari apa yang terjadi.
Tapi bocah laki-laki itu sudah jauh berlari. Aku ingin berteriak,”Haromi!” tapi tanggung, kepalang jauh.
“Kenapa tidak teriak, kamu dilecehkan begitu?!” Tanyaku. Aku lupa bahwa kawanku yang satu ini hanya bisa terdiam saat kejadian buruk menimpanya.
Ingin rasanya menampar bocah yang sudah jauh berlari itu. Sempat sekali, dari kejauhan, ia membalikkan badan dan menatap kami dengan wajah tanpa dosa!
Aku dan seorang teman, berusaha menenangkannya, sambil mengajak untuk beristighfar.
Ya Rabb… Astaghfirullahal adzim…
Memang di antara kami bertiga, kerudungnya yang paling kecil. Ia memakai kerudung kaos tanggung. Sedikit membentuk leher dan dada dengan panjang tak lebih dari sepertiga siku.
Ku rasa, aku pantas bersyukur. Untuk masalah pakaian, utamanya jilbab, aku pantang untuk memakai yang kecil. Setidaknya, ukuran standar dari pondok pesantren dulu lah. Sesiku. Juga yang tidak membentuk tubuh.
Sebuah klise peristiwa beberapa pekan lalu berkelebat. Ketika aku menasehati seorang kawan di kuliah yang kerudungnya lumayan kecil.
“Kok kerudungnya kecil sih?”
Belum sempat ia menanggapi petanyaanku, kawanku, -yang malam itu menjadi korban pelecehan seksual- menyela dengan cepat. mungkin ia ikut tersinggung karena pernah ku sindir dengan hal serupa.
“Kita tuh, pakai kerudungnya kondisional, Nun. Soalnya teman-teman almamater nggak bisa menerima begitu saja yang kerudungnya besar…”
Selanya dengan ketus. Sebetulnya aku tersinggung, saat itu. Dan aku sengaja diam.
Tapi akhirnya waktu yang menjawab. Dan cukup naïf. Karena ia harus menjadi jawaban sekaligus korban atas pernyataannya sendiri.
Ya ukhti, malam itu aku tidak segera menyalahkan atas kecilnya kerudungmu.
Aku takut engkau bertambah sedih atas nasehat yang kusampaikan di saat yang tidak tepat.
Aku sudah berusaha menasehatimu sebelumnya.  Dengan cara Yang menurutku paling halus.
Tapi kau menyangkalnya.
Dan kini kau harus menelan pahit atas jawabanmu sendiri.
Aku tak ingin semata menyalahkanmu.
Tapi ingin ku ingatkan, bahwa…
Aku menasehatimu, karena aku sayang padamu,
Karena Alloh…
“Uhibbuki fillah…”
Description: G:\SIMPLE MEMORIES\diperkecil\Capture.JPG
“59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

No comments:

Post a Comment