bismillah
Tentang pakaian yang menjadi
pelindung sekaligus identitas muslimah. Juga secara langsung menjadi kewajiban
yang harus ditunaikan. Melihat sejumlah dalil qoth’i. pasti. Aksiomatis. Yang
menunjukkan akan wajibnya berpakaian sesuai tuntutan syar’i.
Saya ingin menyitir satu ayat
dalam surat Al Ahzab:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)
“59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Terlepas dari
keragaman interpretasi ulama mengenai ayat tersebut, khususnya dalam kata
“jilbab”, saya ingin menitik beratkan mengenai salah satu tujuan perintah
wajibnya berjilbab secara syar’i.
Dalam tafsir Ibnu
Katsir, beliau menceritakan tentang kebiasaan orang fasiq zaman Rasululloh yang
membedakan antara budak dan wanita merdeka, dengan pakaian yang mereka kenakan.
Jika seorang wanita keluar pada malam hari –biasanya untuk menunaikan hajat,
dan memakai jilbab, berarti ia wanita merdeka. Sedang jika keluar tanpa
memakainya, ia adalah budak. Sehingga mudah saja untuk mengganggunya.
Yang membuat saya
untuk sedikit menyentuh ayat tersebut adalah kejadian yang dialami oleh salah
seorang kawan asrama saya.
Ya, malam itu,
sekitar pukul 8 malam waktu Cairo. Saya dan dua orang teman asrama pergi
berbelanja kebutuhan harian ke sebuah minimarket di bilangan Ahmad Said.
Ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit.
Semua aman dan
berjalan lancar, seperti biasanya. Hingga ketika berjalan pulang, melewati
trotoar lebar dengan jumlah pejalan kaki yang bisa dibilang biasa saja. Sepi
tidak, ramai juga tidak. Seorang anak kecil, dengan postur tubuh sedikit lebih
tinggi dari kami bertiga, yang kutaksir seumuran anak kelas 1 SMP. Maklum, anak
Arab kan besar-besar. Bocah itu berlari dari arah depan kami, aku masih ingat
ia memakai kacamata dan kaos bola dan bercelana abu-abu selutut. Naas, seorang
kawan yang berjalan paling pinggir di antara kami, tiba-tiba terdiam saat bocah
itu berlari lewat sampingnya.
Aku yang masih
memasang beberapa praduga langsung bertanya “mengapa” atas wajahnya yang secara
drastis berubah pucat pasi. Ia memegang kerudung kaos bagian depan dada dengan
dua tangan menyilang. Gemetar.
Aku menyadari apa
yang terjadi.
Tapi bocah
laki-laki itu sudah jauh berlari. Aku ingin berteriak,”Haromi!” tapi tanggung,
kepalang jauh.
“Kenapa tidak
teriak, kamu dilecehkan begitu?!” Tanyaku. Aku lupa bahwa kawanku yang satu ini
hanya bisa terdiam saat kejadian buruk menimpanya.
Ingin rasanya
menampar bocah yang sudah jauh berlari itu. Sempat sekali, dari kejauhan, ia
membalikkan badan dan menatap kami dengan wajah tanpa dosa!
Aku dan seorang
teman, berusaha menenangkannya, sambil mengajak untuk beristighfar.
Ya Rabb…
Astaghfirullahal adzim…
Memang di antara
kami bertiga, kerudungnya yang paling kecil. Ia memakai kerudung kaos tanggung.
Sedikit membentuk leher dan dada dengan panjang tak lebih dari sepertiga siku.
Ku rasa, aku
pantas bersyukur. Untuk masalah pakaian, utamanya jilbab, aku pantang untuk
memakai yang kecil. Setidaknya, ukuran standar dari pondok pesantren dulu lah.
Sesiku. Juga yang tidak membentuk tubuh.
Sebuah klise
peristiwa beberapa pekan lalu berkelebat. Ketika aku menasehati seorang kawan di
kuliah yang kerudungnya lumayan kecil.
“Kok kerudungnya
kecil sih?”
Belum sempat ia
menanggapi petanyaanku, kawanku, -yang malam itu menjadi korban pelecehan
seksual- menyela dengan cepat. mungkin ia ikut tersinggung karena pernah ku
sindir dengan hal serupa.
“Kita tuh, pakai
kerudungnya kondisional, Nun. Soalnya teman-teman almamater nggak bisa menerima
begitu saja yang kerudungnya besar…”
Selanya dengan
ketus. Sebetulnya aku tersinggung, saat itu. Dan aku sengaja diam.
Tapi akhirnya
waktu yang menjawab. Dan cukup naïf. Karena ia harus menjadi jawaban sekaligus korban
atas pernyataannya sendiri.
Ya ukhti,
malam itu aku tidak segera menyalahkan atas kecilnya kerudungmu.
Aku takut
engkau bertambah sedih atas nasehat yang kusampaikan di saat yang tidak tepat.
Aku sudah
berusaha menasehatimu sebelumnya. Dengan
cara Yang menurutku paling halus.
Tapi kau
menyangkalnya.
Dan kini kau
harus menelan pahit atas jawabanmu sendiri.
Aku tak ingin
semata menyalahkanmu.
Tapi ingin ku
ingatkan, bahwa…
Aku
menasehatimu, karena aku sayang padamu,
Karena Alloh…
“Uhibbuki
fillah…”
“59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
No comments:
Post a Comment