Friday 12 June 2020

Kesalahan dalam Memahami Hadis Shohih dan Dhoif

bismillah

Kesalahan dalam Memahami Hadis Shohih dan Dhoif[1]
Oleh: Ainun Mardiyah, Lc, Dpl[2]

Dewasa ini, informasi begitu cepat tersebar. Geliat muslim untuk berdakwah melalui medsos maupun pesan pribadi semakin ramai dan banyak diminati. Ini menjadi pedang bermata dua. Bila yang disampaikan adalah sesuatu yang memiliki dasar ilmu yang benar, ini menjadi hal yang baik. Sebaliknya, jika konten yang disampaikan tidak memiliki dasar ilmu yang benar, ini bisa menjadi petaka.
                Salah satu yang agak meresahkan penulis adalah konten-konten yang diusung dengan judul besar “Hadisnya Shohih!”. Dengan dicantumkan sebagai judul besar, seperti barang dagangan yang berkualitas tinggi. Seolah konten yang disuguhkan merupakan sebuah kebenaran/sebuah kesimpulan hukum dengan landasan kuat, lantaran “Hadisnya Shohih!”. Belum lagi jika seseorang (yang tidak bergelut di bidang ilmu agama) menanyakan pada penulis secara pribadi, “Hadisnya shohih tidak?”.
                Apakah Hadis shohih itu menjadi jaminan kesimpulan sebuah hukum? Apakah jika sebuah perkara tidak dilandasi hadis shohih lantas ia tertolak? Jika terdapat hadis yang tidak shohih, apakah tidak boleh diamalkan?
Semoga tulisan ini dapat mencerahkan, selamat membaca.
صحيح البخاري دار الأصيل

Definisi Hadis dan Sejarah Munculnya Sanad
                Hadis merupakan penjelas dari alquran, yang menjadi salah satu sumber hukum agama Islam. Definisi hadis adalah apa yang disandarkan pada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat beliau (fisik maupun budi pekerti) atau yang disandarkan pada sahabat maupun tabiin.
                Selepas wafatnya Nabi SAW, hadis-hadis beliau terekam dalam ingatan para sahabat. Jika seorang sahabat menyampaikan sebuah hadis, maka itu sudah menjadi jaminan bahwa yang ia sampaikan memang bersumber dari Nabi SAW. Sudah menjadi kaidah utama dalam ilmu hadis, bahwa seluruh sahabat Nabi SAW tidak akan berbohong dalam menyampaikan sebuah hadis.
                Namun penyampaian hadis tidak lagi dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan pada generasi berikutnya -sebagaimana yang disampaikan para sahabat-. Beberapa hadis palsu mulai bermunculan, beberapa orang menyampaikan hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, padahal beliau tidak pernah menyampaikannya. Yang demikian disebabkan beberapa hal; seperti fanatisme dalam politik atau golongan, kebodohan dalam ilmua agama, dsb.
                Karena kecurigaan setiap penyampaian hadis, ditakutkan itu adalah hadis palsu, maka barulah setiap orang yang menyampaikan hadis dituntut untuk menyampaikan silsilah riwayat dari siapa ia mendapat hadis tersebut (sanad).
                Dengan adanya sanad, maka sebuah hadis dapat diteliti, apakah benar itu bersumber dari Nabi SAW atau bukan. Jadi, pada mulanya, sanad muncul untuk membedakan apakah hadis tersebut asli atau palsu. Baru kemudian datang era kodifikasi (pencatatan resmi) hadis yang mencapai masa keemasan pada abad ketiga Hijriah.
Ilmu Mustholah Hadis
                Seiring maraknya hadis yang bersanad, muncullah sebuah disiplin ilmu baru untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan sanad dan matan (isi kandungan hadis) atau yang disebut dengan ilmu mustholah hadis. Kitab pertama yang ditulis dalam ilmu mustolah hadis adalah karangan Qadhi Abu Muhammad arRomahurmuzi (350 H).
                Dalam ilmu mustholah hadis, hadis jika ditinjau dari kekuatannya (diterima atau ditolak) untuk menjadi sumber hukum, terbagi menjadi 3: hadis shohih, hasan dan dhoif.
                Hadis shohih adalah yang memenuhi 5 syarat; sanadnya bersambung, seluruh perowinya adil (bukan fasiq) dan juga dhobith (mampu menjaga hadis), tidak syadz (menyelisihi yang lebih kuat), dan tidak memiliki illah (cacat).
                Hadis hasan memiliki kriteria yang sama dengan hadis Shohih, hanya saja memiliki masalah dalam ke-dhobith-annya.
Sedangkan hadis dhoif adalah hadis yang tidak memenuhi kriteria shohih maupun hasan.
Sebenarnya masih banyak pembagian hadis, namun akan memperpanjang tulisan ini jika harus dituliskan.
Aplikasi Hadis Shohih
                Jika dengan pembagian di atas lantas dipahami bahwa hadis shohih bersumber dari Nabi SAW. Sedangkan hadis dhoif tidak bersumber dari Nabi SAW dan mengamalkannya adalah bid’ah. Ini adalah pemahaman yang keliru.
                Perlu diketahui bahwa hadis maudhu alias hadis palsu adalah hadis yang tidak bersumber dari Nabi SAW, namun disematkan pada beliau. Ini berbeda dengan hadis dhoif, yang masih memiliki kemungkinan bersumber dari Nabi SAW. Hanya saja kemungkinan itu tidak sebesar hadis shohih atau hasan.
Dari pemaparan singkat di atas, perlu diketahui bahwa tujuan pembagian tersebut adalah untuk menentukan kekuatan sebuah hadis. Dengan kata lain, pembagian tersebut bertujuan untuk mengukur kualitas penyampaian sebuah hadis. Bukan untuk menyimpulkan sebuah hukum yang kemudian langsung dapat dipraktikkan. Mengapa demikian?
Karena untuk menyimpulkan sebuah hukum berdasarkan dalil-dalil, merupakan ranahnya fuqaha (ahli fikih). Sedangkan tugas seorang muhaddis (ahli hadis) adalah untuk mengukur kekuatan sebuah riwayat.
Kecuali jika ia menguasai keduanya (fikih dan hadis), barulah ia dapat menyimpulkan hukum dengan dalil-dalil yang ia pegang (dan dengan didukung perangkat ilmu lain sehingga mencapai derajat untuk berijtihad). Di antara ulama yang menguasai keduanya adalah para imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad). Karenanya, mereka berhak untuk menjadi mujtahid yang kemudian melahirkan mazhab masing-masing.
                Kembali kepada aplikasi hadis berdasarkan pembagian di atas (Shohih, Hasan, dan Dhoif), tidak setiap hadis shohih lalu dapat diamalkan begitu saja. Karena masih dibutuhkan perangkat lain untuk mengamalkan sebuah hadis. Di antara perangkat tersebut (yang merupakan ranah utama ahli fikih) adalah; kaidah bahasa Arab, kaidah mengkompromikan hadis, me-nasakh Mansukh (hadis yang lebih akhir menghapus yang sebelumnya), maupun men-tarjih (menentukan mana yang rajih (lebih kuat) dan marjuh) dan sebagainya.
Sebagai contoh misalnya, hadis shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

 حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ المُنْذِرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ [ص:42] مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنْ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ القِبْلَةِ، مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
(صحيح البخاري (1/ 41/148)
Arti matan:
Dari Ibnu Umar ra berkata: “Aku naik rumah Hafsah ra karena ada keperluan, aku melihat Rasulullah SAW buang hajat membelakangi kiblat, menghadap ke Syam”
Bandingkan dengan hadis shohih yang diriwayatkan Imam Bukhori di kitab yang sama:

 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا»
(صحيح البخاري (1/ 88/394)
Artinya:
Dari Abi Ayyub al Anshori, bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika kalian buang hajat, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya. Tapi hadaplah (arah lain) Timur atau Barat”

Jika mengamalkan sebuah hadis shohih adalah sebuah keharusan, bagaimana dengan contoh sederhana di atas? Keduanya sama-sama hadis shohih. Keduanya diriwayatkan oleh seorang Imam Besar dalam ilmu hadis yang juga terdapat dalam kitab yang paling benar setelah alquran, Shohih Bukhori.
Namun hadis pertama menunjukkan bahwa Rasul SAW buang hajat dengan membelakangi kiblat, sedang hadis kedua mengandung perintah untuk tidak menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang hajat. Bagaimana sebenarnya? Bolehkan buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat? Hadis mana yang harus diamalkan? Padahal keduanya sama-sama hadis shohih?
Setelah melalui berbagai proses, fuqaha menyimpulkan bahwa hadis larangan buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat tersebut berlaku jika dilakukan di tempat terbuka seperti padang pasir misalnya. Sedang hadis yang memperbolehkan, berlaku jika buang hajat dengan penghalang yang menutupi.
Begitu pula hadis dhoif, hanya karena ia tidak sekuat hadis shohih, bukan berarti ia dibuang dan tidak dipakai sama sekali. Berikut contoh hadis dhoif yang diamalkan oleh ulama: dalam Sunan atTirmidzi,
 حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ البَصْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الكَبَائِرِ.
وَحَنَشٌ هَذَا هُوَ أَبُو عَلِيٍّ الرَّحَبِيُّ، وَهُوَ حُسَيْنُ بْنُ قَيْسٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الحَدِيثِ، ضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ: أَنْ لاَ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ إِلاَّ فِي السَّفَرِ أَوْ بِعَرَفَةَ.
(سنن الترمذي ت بشار (1/ 259/188)

Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa menjama’ dua sholat tanpa udzur, makai a telah mendatangi salah satu pintu dosa besar.”
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis tersebut dhoif. Akan tetapi hadis tersebut diamalkan oleh para alhul ilmi (ulama). Oleh karena itu, seseorang dilarang menjama’ dua sholat kecuali ketika safar atau ketika proses ibadah haji di Arafah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: القَاتِلُ لاَ يَرِثُ.
هَذَا حَدِيثٌ لاَ يَصِحُّ لاَ يُعْرَفُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الوَجْهِ وَإِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي فَرْوَةَ قَدْ تَرَكَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْهُمْ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّ القَاتِلَ لاَ يَرِثُ
 سنن الترمذي ت بشار (3/ 496/2109(
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: “Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi”
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadis tersebut tidak shohih dan hanya memiliki satu jalur. Akan tetapi para ulama mengamalkan hadis tersebut. Oleh karena itu, seorang pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari orang yang ia bunuh.
Dari beberapa contoh tersebut, bisa disimpulkan bahwa tidak setiap hadis shohih dapat diamalkan secara langsung. Dan hadis dhoif tidaklah ditolak mentah-mentah begitu saja. Untuk menyimpulkan sebuah kesimpulan hukum, dibutuhkan banyak perangkat yang hanya dikuasai ahli fikih. Sedang tugas seorang ahli hadis adalah mengukur kekuatan sebuah hadis atau riwayat.
Perbedaan Peran Ahli Hadis dengan Ahli Fikih
                Ya, peran ahli hadis berbeda dengan ahli fikih. Ahli fikih memiliki peran untuk fokus dalam kesimpulan hukum. Sedang ahli hadis fokus pada kekuatan riwayat.
                Ibaratnya, ahli fikih adalah dokter. Dan ahli hadis adalah apoteker. Dokter dapat memberi resep yang tepat untuk pasien yang sakit. Dan apoteker dapat membuat ramuan obat yang pas sebagaimana mustinya. Apa jadinya jika seorang apoteker menggantikan dokter atau sebaliknya?
                Masing-masing memiliki tugas dan peran tersendiri. Dan keduanya sama-sama memiliki peran yang penting, yang tidak dapat diabaikan salah satunya. Seorang ahli fikih tidak dapat menyimpulkan sebuah hukum tanpa peran ahli hadis. Dan ahli hadis, tidak boleh menyimpulkan sebuah hukum (kecuali jika ia juga ahli fikih), karena tugasnya adalah mengukur kekuatan sebuah riwayat.
                Dalam muqaddimah kitab الجرح والتعديل  yang ditulis oleh Ibnu Abi Hatim diceritakan, Ishaq bin Rohuyah bercerita bahwa saat berada di Iraq ia pernah duduk bersama Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main dan beberapa ahli hadis lainnya. “Kami mempelajari hadis dari beberapa jalur riwayat. Yahya bin Main berkata: jalurnya adalah begini. Lalu aku menimpali: bukankah ini shohih sesuai ijma’ ahli hadis? Semua yang duduk berkata: ya, benar. Lalu aku bertanya: apa maksud hadis ini? Apa penafsirannya? Bagaimana hukum fikih di dalamnya? Semua yang ada terdiam. Hanya Ahmad bin Hanbal yang dapat menjawabnya.”
                Mengapa hanya Imam Ahmad bin Hanbal yang menjawabnya? Karena Imam Ahmad bin Hanbal menguasai fikih dan perangkat ilmu lainnya, sedangkan semua yang duduk di sana adalah ahli hadis. Sehingga mereka tidak berani menjawab atau berbicara mengenai hal yang tidak mereka kuasai. Padahal ulama yang turut di majelis tersebut adalah Imam Besar dalam ilmu hadis, nemun mereka tidak berani berbicara apa yang tidak mereka kuasai.
Ini berbeda sekali dengan saat ini, di mana banyak orang yang tidak berilmu, namun berani berbicara apa yang tidak ia kuasai. Orang yang bukan ahli hadis atau ahli fikih berbicara tentang aplikasi hadis dengan membuat kesimpulan sendiri. Naudzubillahi min dzalik.
Kesimpulan
                Allah SWT berfirman dalam QS An Nahl: 43
            {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ}

            Artinya:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
                Allah SWT memerintahkan kita, jika menemui permasalahan agar bertanya pada ahlinya. Terlebih dalam ilmu agama, tidak boleh dipermainkan. Karena telah hafal beberapa hadis, lantas berani menyimpulkan sebuah hukum. Selayaknya seorang muslim berlaku sesuai kadar yang ia kuasai. Terlebih jika berbicara dalam urusan agama, tidak boleh serampangan menggunakan ayat alquran maupun nas hadis untuk mendukung pendapatnya.
                Untuk menilai sebuah riwayat atau hadis hingga mencapai derajat shohih, memerlukan proses yang tidak instan. Terlebih untuk menerapkannya, tidak dapat disimpulkan lalu diamalkan begitu saja. Karena untuk mengamalkannya sesuai petunjuk syariatNya, tidak melalui jalan yang instan. Ada banyak perangkat ilmu lain yang harus digunakan; penguasaan Bahasa Arab, cara mengkompromikan dalil, Naskh Mansukh, Tarjih, dan sebagainya, yang mana bukan lagi ranah seorang ahli hadis. Apalagi bukan seorang tholibul ilmi.
                Ahli hadis menggunakan istilah-istilah tersebut (Shohih, Hasan, Dhoif) untuk mengukur kekuatan sebuah hadis. Bukan untuk menyimpulkan sebuah hukum yang dapat diamalkan begitu saja.
Menggunakan dalih “hadisnya shohih” untuk membenarkan sebuah pendapat, bukanlah ranah seorang awam. Ada banyak tingkatan ilmu yang harus dikuasai. Tidak setiap hadis shohih dapat langsung dipraktikkan. Dan sebaliknya, adanya hadis dhoif tidak berarti ia dibuang begitu saja. Berdalih demikian sama saja bertindak serampangan dan mempermainkan hadis Nabi SAW.
Wallahu ta’ala a’lam

Referensi
·         AlQuran
·         صحيح البخاري (دار طوق النجاة) ط الأولى 1422 هـ
·         صحيح مسلم (دار إحياء التراث العربي) بيروت
·         سنن الترمذي (دار الغرب الإسلامي) بيروت 1998 م
·         تحية لأهل الأثر بشرح نزهة النظر للشيخ مصطفى أبو سليمان الندوي (ندوة العلماء)
·         نشأة علم المصطلح والحد الفاصل بين المتقدمين والمتأخرين (أروقة) للدكتور محمد عصام عيدو






[1] Disampaikan dalam Kajian Haramain (Alumni KMI Ngruki 2010), 2 Mei 2020
[2] Kandidat Master Univ. Al Azhar Kairo

No comments:

Post a Comment