bismillah
Adakalanya, kita (atau hanya saya
saja ya?) terjebak dalam suasana yang melankolis. Suatu perkara kecil menjadi “wah”
dan “ehm” karena didramatisir.
Terkadang tersadar dan segera
bertindak. Namun seringnya sadar tapi no respond. Membiarkannya begitu saja. Tanpa
ada keinginan dan kesadaran untuk segera bangkit dan menyadari akan hakikat
yang sebenarnya.
Sesekali terjebak di dalamnya, tak apa.
wajar. Fitroh. Manusiawi.
Namun yang lebih penting, bahwa
kita berada di alam nyata. Harus bertindak sesuai fakta!
Tindakan-tindakan yang lebih real,
itu yang dibutuhkan!
Dan membangunkannya dari diri
sendiri bukanlah perkara mudah. Ya, terkadang kita butuh motivasi dari luar.
Apakah harus dari teman? Orang lain?
Saya kira, tak hanya sebatas itu. Ada
banyak sarana penunjang untuk bangkit. Memotivasi diri.
Dari buku-buku.
Biografi tokoh yang kita anggap “subhanalloh”!, de el el.
Tentu lain lagi ceritanya, jika
berurusan dengan hal-hal yang membutuhkan imajinasi. Fiksi. Membuat cerpen,
puisi, dan karya fiksi lain yang menuntut pendalaman rasa.
Kalau buat saya sih, juga mungkin
buat mereka-mereka yang “traumatis”, terjebak dalam suasana melankolis itu…
sebuah cobaan besar. Seperti penjara. Seperti candu.
Anda ingin keluar, tapi sulit. Sedang
di sisi lain anda “kecanduan” di dalamnya.
Akibatnya, saat mengingat sedikit
saja dari apa yang pernah di alami –saat terjebak dalam suasana mellow- waduh…
sulitnya untuk bangkit dan pergi. Terjebak dalam fantasi sendiri sekaligus
perasaan tersiksa itu tak jua lenyap.
Saya beri contoh dari yang pernah
saya alami ya…
Misalnya, pernah suatu hari. Tanpa sengaja
saya menginjak –entah hewan lunak apa itu- yang bentuknya mirip bekicot tanpa
cangkang. Dan… KYAAAA!!! Entah berapa jam saya harus guling-guling di atas
kursi sambil bulu kuduk yang terus berdiri. Sambil terus-terusan mengelus kaki
dan perut mual. Kejadiannya sudah sekitar 3-4 tahun lalu. Tapi -bahkan- saat menulis
ini, bulu kuduk berdiri. Hueeek!
Ya, kejadian-kejadian sepele lain
juga tak bisa lekang dari benak sampai saat ini.
Saat SD, pernah menyeberang jalan,
e… dari belakang ada orang naik sepeda yang nyaris menabrak saya. Kena semprot
deh. Iya sih, saya yang salah, tidak tengok kanan kiri sebelum nyebrang. Sampai
sekarang masih malu kalau mengingatnya.
Pernah lagi, tanya pangkalan bus Purwokerto
di terminal Tirtonadi. E… malah di sindir,”wu… neng terminal kok ra mudeng! Takon-takon
tak blusukke mengko!!”
“wu… dasar! Di terminal kok
tidak tahu! Tanya-tanya aku tipu nanti!!”
Grrr… pengen marah tapi malu juga…
Wuaaah… banyak hal deh!!!
Apalagi kalau dibentak-bentak. Dimarahin.
Apalagi yang sifatnya mempermalukan. Mungkin itu sebabnya, saya lebih senang
menghindari yang namanya “permusuhan” (pleghmatis cinta damai euy).
Saya pikir tidak selamanya itu
menjadi sikap terbaik. Karena yang saya rasakan, bersikap seperti itu, serasa
menjadi orang munafik. Inginnya moderat. Tapi pada hakikatnya “laa ila haaulaai
wa ila haaulaai”. naudzubillahi min dzalik.
Wah-wah… tulisan ini sulit di
pahami ya. Meloncat-loncat tidak karuan.
Bahkan mungkin sudah beda topic. Tak
apa lah. Biar saya yang menikmati. Hehe
No comments:
Post a Comment