Thursday 7 June 2012

Sesekali terjebak...

bismillah

Adakalanya, kita (atau hanya saya saja ya?) terjebak dalam suasana yang melankolis. Suatu perkara kecil menjadi “wah” dan “ehm” karena didramatisir.
Terkadang tersadar dan segera bertindak. Namun seringnya sadar tapi no respond. Membiarkannya begitu saja. Tanpa ada keinginan dan kesadaran untuk segera bangkit dan menyadari akan hakikat yang sebenarnya.
Sesekali terjebak di dalamnya, tak apa. wajar. Fitroh. Manusiawi.
Namun yang lebih penting, bahwa kita berada di alam nyata. Harus bertindak sesuai fakta!
Tindakan-tindakan yang lebih real, itu yang dibutuhkan!
Dan membangunkannya dari diri sendiri bukanlah perkara mudah. Ya, terkadang kita butuh motivasi dari luar.
Apakah harus dari teman? Orang lain?
Saya kira, tak hanya sebatas itu. Ada banyak sarana penunjang untuk bangkit. Memotivasi diri.
Dari buku-buku.
Biografi tokoh yang kita anggap “subhanalloh”!, de el el.
Tentu lain lagi ceritanya, jika berurusan dengan hal-hal yang membutuhkan imajinasi. Fiksi. Membuat cerpen, puisi, dan karya fiksi lain yang menuntut pendalaman rasa.
Kalau buat saya sih, juga mungkin buat mereka-mereka yang “traumatis”, terjebak dalam suasana melankolis itu… sebuah cobaan besar. Seperti penjara. Seperti candu.
Anda ingin keluar, tapi sulit. Sedang di sisi lain anda “kecanduan” di dalamnya.
Akibatnya, saat mengingat sedikit saja dari apa yang pernah di alami –saat terjebak dalam suasana mellow- waduh… sulitnya untuk bangkit dan pergi. Terjebak dalam fantasi sendiri sekaligus perasaan tersiksa itu tak jua lenyap.
Saya beri contoh dari yang pernah saya alami ya…
Misalnya, pernah suatu hari. Tanpa sengaja saya menginjak –entah hewan lunak apa itu- yang bentuknya mirip bekicot tanpa cangkang. Dan… KYAAAA!!! Entah berapa jam saya harus guling-guling di atas kursi sambil bulu kuduk yang terus berdiri. Sambil terus-terusan mengelus kaki dan perut mual. Kejadiannya sudah sekitar 3-4 tahun lalu. Tapi -bahkan- saat menulis ini, bulu kuduk berdiri. Hueeek!
Ya, kejadian-kejadian sepele lain juga tak bisa lekang dari benak sampai saat ini.
Saat SD, pernah menyeberang jalan, e… dari belakang ada orang naik sepeda yang nyaris menabrak saya. Kena semprot deh. Iya sih, saya yang salah, tidak tengok kanan kiri sebelum nyebrang. Sampai sekarang masih malu kalau mengingatnya.
Pernah lagi, tanya pangkalan bus Purwokerto di terminal Tirtonadi. E… malah di sindir,”wu… neng terminal kok ra mudeng! Takon-takon tak blusukke mengko!!”
wu… dasar! Di terminal kok tidak tahu! Tanya-tanya aku tipu nanti!!”
Grrr…  pengen marah tapi malu juga…
Wuaaah… banyak hal deh!!!
Apalagi kalau dibentak-bentak. Dimarahin. Apalagi yang sifatnya mempermalukan. Mungkin itu sebabnya, saya lebih senang menghindari yang namanya “permusuhan” (pleghmatis cinta damai euy).
Saya pikir tidak selamanya itu menjadi sikap terbaik. Karena yang saya rasakan, bersikap seperti itu, serasa menjadi orang munafik. Inginnya moderat. Tapi pada hakikatnya “laa ila haaulaai wa ila haaulaai”. naudzubillahi min dzalik.

Wah-wah… tulisan ini sulit di pahami ya. Meloncat-loncat tidak karuan.
Bahkan mungkin sudah beda topic. Tak apa lah. Biar saya yang menikmati. Hehe

No comments:

Post a Comment